Share

Chapter 4 - Keluarga Weygandt

This Novel is owned by Ailana Misha

Please, don’t copy and remake!

Collins Street, Melbourne

In Australia

Di sebuah rumah berlantai tiga, di sebuah luxury housing di daerah Colins Street, Melbourne, nampak agak riuh dan ramai dari hari sebelumnya. Rumah yang biasanya sepi semenjak anak bungsu dari pemilik rumah tersebut meninggalkan rumah itu kini kembali hidup. Mungkin lebih tepatnya gaduh dan ribut sekali lantaran putra tuan mereka tiba-tiba pulang dengan disambut suara heboh wanita paruh baya, belum lagi ditambah dengan cekikikan-cekikan kecil pelayan-pelayan rumah tersebut.

“Nak, jangan bercanda, mama bisa semakin tua karena memikirkanmu!” seru nyonya rumah tersebut.

Seorang wanita yang tengah duduk di kursi keluarga itu terdengar merajuk, sapu tangan kecil bewarna putih dengan hiasan bunga peony kecil-kecil di tepiannya ia keluarkan untuk membasuh matanya yang sebenarnya tidak ada basahnya sama sekali. Hari ini ia harus lihai berakting sebaik bintang piala Oscar, begitu pikirnya.

“Aku tak tahu jika dulu mama seorang aktris teater.” sindir seorang pria muda yang berdiri di balkon utama ruang keluarganya dengan tenang.

Sesekali ekor mata pria itu melirik ibunya yang menaikkan suara tangisannya, yang pastinya agar dirinya mampu mendengarnya, yang mana ia sambut dengan gelengan pelan kepalanya. Ia tak tahu lagi bagaimana bisa mamanya jadi sekonyol ini.

Merasa dihiraukan, wanita paruh baya itu berdiri dari kursinya, mendekati anak bungsunya. Dalam hati wanita itu, bagaimana bisa tahun berganti tahun dengan cepat dan putranya menjadi tidak sepenurut ini. Wanita yang bernama asli Elisabeth Weygandt itu mengerang kesal menyadarinya.

“Aiden...” panggil wanita itu dengan sayang kepada putra bungsunya.

“Hemm...”

Pria muda itu hanya bergumam menyanggupi panggilan ibunya. Angin musim semi mengibarkan helaian surai milik pria itu, rambut pria itu bewarna brown black dan tersisir amat sangat rapi seperti biasanya. Saat angin berdesir dari arah barat, manik indah milik pria itu terpejam, membuat sosok tegap itu nyaman menyandarkan dirinya di jeruji bewarna putih yang begitu sepadan dengan warna kemeja yang ia pakai.

Here, Everything is still similar

“Aiden... Dengarkan mama, kamu harus pindah kembali kesini, son. Mama-”

“Maafkan aku mama, I can’t.” Laki-laki yang dipanggil Aiden itu hanya memandang mamanya dengan tatapan menilai.

“Tidak, mana bisa kamu pisahkan grandma dengan cucunya sendiri. Move here, and I’ll be fine then...”

Perempuan paruh baya itu tetap bersikeras jika putranya seharusnya mendengarkan perkataannya, kenapa putranya ini harus mirip sekali dengan karakternya ayahnya. Luar dalam, semuanya bagaimana bisa semirip ini dengan William Weygandt, suaminya. Hanya saja, wajah putranya adalah perpaduan miliknya dengan William, anaknya seharusnya berterima kasih punya wajah malaikat sebening itu, dengan pengecualian tingkah lakunya yang benar-benar mirip ayahnya seorang, begitu memusingkan.

If you still ask me for... I am not fine, mama...” Ujar pria itu singkat, benar-benar ayah anak sama saja keras kepalanya.

I shall go now, I have to pick up Won...” Aiden William Weygandt benar-benar pergi dan meninggalkan ruangan besar yang kini hanya berisi mamanya seorang.

Aiden anakku!!” mamanya menjerit hampir frustasi, tetapi sayang putranya itu telah berlalu pergi.

Aiden yang memang berniat menghindari amukan ibunya, dia kini pergi menyeberangi teras tengah rumahnya. Teras tengah rumahnya memang luas, ayahnya biasanya menggunakan teras tersebut untuk tempat beristirahat sore selepas pulang kerja, tentu di sana lebih disukai ayahnya karena berhadapan dengan kolam renang berisi air biru yang dingin. Aiden berjalan santai, dia melewati meja kayu dan jejeran kursi malas menuju taman di depan ruang tengah keluarganya, menuju seorang anak kecil yang sedang ditemani dua pelayan rumahnya.

Anak itu tertawa-tawa mengejar anak ayam Bangkok jenis Ai Jae peliharaan ayahnya. Anak ayam itu lari terbirit-birit dikejar si bocah, suara tawanya sungguh menggemaskan. Pria itu tersenyum cerah sampai matanya, sebuah senyum yang akan membuat semua perempuan yang tiap memandangnya pasti memiliki pipi yang bersemu merah. Malu jika tertangkap memandangi wajah pria itu.

Tanpa sepengetahuan Aiden, di sekelilingnya, beberapa pelayan yang kebetulan sedang berada di taman itu mencuri pandang ke arahnya. Sudah sedari tadi semenjak kedatangan pria muda itu, bisik-bisik di rumah berlantai tiga itu dimulai, namun melihat objek yang menjadi bahan pembicaraan itu hampir di depan muka mereka, mau tak mau para pelayan itu merasa gatal juga untuk tidak mengutarakan hasil penglihatan mata mereka. Putra tuan besar Weygandt sangatlah tampan.

“Serius itu tuan Aiden Weygandt?” bisik seorang gadis kepada gadis yang membawa kain lap warna putih, gadis itu berseragam hitam putih dengan apron putih berenda di roknya, itu adalah seragam pelayan rumah besar Weygandt sejak bertahun – tahun yang lalu. Gadis lainnya mengangguk gugup.

Bukannya mengelap kaca rumah, gadis itu malah berhenti dan menjulurkan kepalanya saat putra bungsu tuan mereka melewatinya. “Kenapa aslinya lebih bening begini, padahal fotonya saja sudah bagus.” Mata gadis itu masih mengikuti dimana anak bungsu majikannya pergi.

“Tak tahu lagi, jika beliau benar-benar akan tinggal disini lagi. Aku pasti akan gugup tiap kali bertemu beliau.” Ketiga gadis itupun tertawa cekikan kembali.

Bibi Taylor, Kepala Pelayan kediaman keluarga Weygandt mengeleng-geleng tak percaya melihat kelakuan anak didiknya tersebut. Sebenarnya bukan hal yang sulit bagi kepala pelayan rumah itu untuk menetralisir keadaan supaya dapat kembali ke situasi yang mendekati kondusif, namun sekali lagi suatu perubahan yang terjadi sedikit banyaknya pasti akan berdampak pula pada perubahan lain akhirnya. Tentu ini yang menjadi salah satu pemicu keributan ini.

Bagaimana tidak, bulan lalu adalah masa pensiun hampir 60% dari populasi pelayan rumah besar kediaman Weygandt, membuat tuan besarnya dengan berat hati memberikan masa pensiun kepada orang-orang yang mengabdi puluhan tahun di rumah mereka. Hingga kemudian, tempat kosong mereka diganti oleh pelayan-pelayan baru berumur di kisaran delapan belas tahunan ke atas. Sebagai tenaga kerja yang masih muda, tentu pekerjaan mereka lebih bisa diharapkan dan diandalkan.

Bibi Taylor dapat melihat mereka bisa membersihkan lantai dua dan tiga bahkan sebelum matahari mulai bersinar di langit kota Melbourne. Mereka juga dapat memasak masakan Western hingga Timur Tengah yang diminta oleh tuan besarnya, bahkan hingga hal-hal kecil seperti kemampuan menguasai bahasa asingpun mereka dapat kuasai.

Sesuatu yang sangat sulit ditemukan pada pelayan seumuran bibi Taylor dulu. Untuk dapat belajar bahasa asingpun, kepala pelayan Taylor bahkan menjadwalkan kelas bahasa tiap Sabtu malam di pavilliun pelayan, membuat nyonya besarnya tertawa melihat rumahnya berubah menjadi sekolah bahasa khusus manula.

Kembali lagi kepada definisi tidak ada hal di dunia ini yang mendekati sempurna, para pelayan muda itupun pasti memiliki celah tentu saja. Sepenurut-penurutnya mereka, kepala Pelayan Taylor hampir lupa kalau mereka masih remaja normal seumuran remaja diluar sana.

Remaja yang gemar sekali melihat tampilan Boyband, film, hingga drama dengan taburan aktor muda dengan wajah rupawan, yang mungkin bagi sebagian orang, fans girls seperti gadis-gadis itu justru kekanakan. Disinilah semua dalih tersebut dapat ditujukan, asal dari suatu konsesus yang tak dapat terbantahkan. Jika mau mempekerjakan gadis-gadis muda, risikonya adalah seperti itu.

Ahh Daddy!!!” Anak kecil tadi menoleh ke pria yang mendekatinya. Melihatnya, anak kecil itu tersenyum lebar dan berlari ke arah daddy-nya.

“Daddy, Daddy, you come, you come...” Anak kecil berambut brown black mirip ayahnya itu menubruk Aiden dan memeluk kakinya.

Aiden mengangkat tubuh anak itu, putranya, dan kebanggaannya akan seorang ayah, Won Christian Weygandt. Aiden sangat mencintai anak ini, anaknya.

“Are you happy, son?” tanyanya pada anaknya yang masih belum genap tiga tahun itu. Putranya itu sedang mengelap tangannya yang kotor terkena tanah ke kemeja cream miliknya. Melihat kemeja dadnya yang menjadi kotor, Won mencebikkan bibirnya merasa kesal.

“Kemeja daddy kotor, jadi kotor.” kicau mulut kecil Won Weygandt.

Won masih menepuk nepuk bagian bahu kemeja milik ayahnya, tetapi nodanya semakin parah dan kian melebar. Menyadari itu, Aiden hanya tertawa. Di belakang mereka, kedua pelayan rumah keluarga Kim berusaha mati-matian untuk tak mengabadikan momen ayah dan anak yang menurut mereka terlalu gemas untuk dilewatkan saja.

It’s fine, tak apa, young boy... Kamu kangen dad tidak, hemm?” Aiden kembali mencium pipi gembul milik putranya, dan Won semakin terkikik geli.

Yes.. My miss you, dad.” Aiden semakin tertawa mendengar pelafalan anaknya. Putranya belum bisa menyusun kalimat sesuai dengan English structure dengan tepat.

“Do you like chicken? Let’s have fried chicken!” Pria muda itu mengajak putranya untuk makan siang, dia tahu, ini jam makan siang putranya. Oleh karena itu dia mengajaknya untuk makan siang.

We eat dat chicken, daddy?”

Won menunjuk anak ayam Ai Jae kakeknya. Ayam itu mendadak berhenti makan paletnya, dan kembali berlari kesana kemari. Aiden mengikuti arah jari anaknya, dia lagi-lagi ingin tersenyum kesekian kali. Ayahnya bisa marah jika ayam puluhan juta dollar-nya berakhir di penggorengan dapur keluarganya.

“Ayam grandpa kurang enak... Kita makan di luar, okay?” Yang dijawab anggukan oleh anak laki-laki itu. Aiden Weygandt mengeratkan gendongannya, dan menolak tawaran pelayannya yang mendekatinya untuk menawarkan diri menggedong putra kecilnya, Won. Pria itu kemudian mengambil tas putih cangklong isi peralatan kebutuhan Won.

“Kalian mau kemana?” Tiba-tiba mama Aiden sudah berada di sisinya. Perempuan itu berjalan tergopoh-gopoh saat tahu anak dan cucunya mau pergi entah kemana tanpa sepengetahuannya.

“Kami mau mencari makan siang, mama di rumah saja.” kata Aiden agak acuh tak acuh. Bahaya sekali jika mamanya minta ikut pergi juga. Dia ingin pergi ke suatu tempat sendiri. Aiden terus beranjak hingga sudah mencapai arah tempat parkir rumahnya. Tetapi, mamanya terus membuntutinya.

“Kalian mau makan siang diluar?” tanya nenek dari Won, Elisabeth Weygandt.

We will eat dat chicken! Chicken, yummy!” Won menirukan anak ayam milik kakeknya. Aiden hanya tersenyum sesekali melirik Won yang berada di gendongannya.

“Tanpa babysitter?” Mama dari Aiden itu merasa ngeri.

Aiden William Weygandt mengangguk.

“Tanpa pelayan?” ulang wanita itu tak percaya, suaranya seperti tercekik melihat putranya yang mengangguk.

Grandma, are you okay? Okay, grandma?” Won khawatir melihat neneknya yang seperti itu.

“Aiden.... Ahhh!!!” Nyonya Elisabeth itu hampir memekik andai saja dia tak melihat wajah polos cucunya. Bayi di bawah tiga tahun itu melihatnya penuh rasa ingin tahu.

“Aiden, my son...” Elisabeth Weygandt mengulang ucapannya, dia sudah semakin pusing dengan sikap putranya ini.

Bagaimana putranya ini bisa tenang saja mengurus anaknya tanpa bantuan baby sitter? Di depannya, anak laki-lakinya itu masih sabar meladeni sifat hiperbola mamanya, pria muda itu menaikkan alisnya. Rupanya, pria muda itu menunggu apa yang akan dikatakan oleh mamanya sebentar lagi.

“Tanpa guard?” Wajah mama Aiden sudah seperti orang yang sesak nafas.

Aiden hanya mengangguk kembali, dan beralih ke sisi kursi penumpang mobilnya untuk menaruh tas peralatan dan barang-barang milik Won. Pria itu kemudian membuka pintu depan mobil warna silver miliknya. Namun sebelum mendudukkan Won di kursi depan mobilnya, sebuah lengan mencegahnya.

“Mama mau ikut! Titik!!” Tetapi pewaris keluarga Weygandt itu kalah cepat dengan mamanya. Wanita itu mengucapkan kalimat finalnya.

“Mama, Don’t...” Aiden menolak, dia merasa keberatan.

“Titik itu iya...” Mama dari Aiden William Weygandt itu semakin bersikeras, wanita itu sekarang mengambil alih Won untuk menggendongnya. Bayi itu menatap daddy-nya yang tak percaya melihat ulah grandmanya yang sungguh kekanakan sekali.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status