Share

7. Sang Pewaris

"Pusaka Pasvaati memilih Sang Pewaris sehati dengan inti jiwanya."

________

Taja celingukan, berjalan mengikuti Radhit. Berbeda dengan Radhit melangkah santai, lurus, dan tanpa suara sedikitpun.

"Oh, iya. Dia hanya sukma. Seperti udara, tentu langkahnya tanpa suara," pikir Taja, melangkah penuh hati-hati sampai berjinjit tatkala melewati para penjaga pintu masuk dan keluar bangunan Istana Kitab. Aneh, para penjaga itu seperti dalam keadaan tidak waspada. Bahkan mereka layaknya orang yang tidur berdiri.

"Mantera Sirep berlaku beberapa saat saja. Kita harus bergegas sebelum mereka tersadar!" bisik Radhit tegas. Kedua lengannya bersedekap di dada. Begitulah cara dia berjalan santai.

"Mantera Sirep masal, berupa alunan seruling memeluk jiwa, melarutkan kesadaran siapapun yang mendengar," jelas Radhit singkat.

"Jadi, kau yang membuat mereka tertidur?" gumam Taja. Sempat terpikir, andai dia juga menguasai Mantera Sirep.

Beberapa saat kemudian, mereka sampai di Istana Pusaka. Suasana lenggang memudahkan mereka masuk.

Dalam ruangan Istana Pusaka, tampak meja besar dengan tatanan berbagai pusaka. Satu di antaranya paling istimewa, terpasang pusaka berselimut kain putih di antara dua penopang.

"Itu dia," kata Radhit menatap pusaka terbungkus kain itu tidak lain Pasvaati.

"Apa yang harus 'kulakukan?" Taja agak gemetar, takut-takut terpergok. Radhit meliriknya. Melihat ekspresi Taja kebingungan.

"Bukalah kain pembungkusnya!" Radhit memberi aba-aba.

Sebuah senjata pusaka dari logam putih. Bercahaya di dalam ruangan remang-remang. Cahaya Pasvaati menyilaukan. Di saat malam, ternyata cahaya Pasvaati lebih berpendar.

Taja mengamati dengan seksama Pusaka Pasvaati yang cemerlang.

"Apa sesuatu yang sangat 'kauinginkan di dunia ini?" Radhit bertanya. Sementara Taja menatap lurus ke arah Pasvaati terpajang di depan mata.

"Tidak ada. Aku merasa ... hampir tidak memiliki keinginan apapun," jawab Taja. Perhatiannya tercuri oleh Pasvaati.

"Tapi, kau punya tujuan, bukan?" tanya Radhit.

"Tentu," jawab Taja.

"Cobalah dengarkan dia," Radhit memberi aba-aba lagi.

"Siapa yang harus 'kudengar?" Tanya balik bertanya tanpa menoleh.

"Pasvaati," jawab Radhit.

"Dia sedang berbicara denganmu, apa kau mendengarnya?" tanya Radhit.

Taja terdiam. Semakin mengamati dan memasang pendengarannya lebih seksama.

"Dengarkan dengan batinmu, bukan dengan telinga," lanjut Radhit.

Sebentar kemudian, lebih khidmat. Taja mulai berkomunikasi dengan batinnya sendiri. Muncul suara-suara lirih, semakin bersahutan.

"Seperti ... ada yang sedang berdoa," kata Taja lirih, "Tetapi aku tidak tahu itu bahasa apa."

"Setiap saat, Pasvaati bermunajat. Berdoa. Memuji Yang Maha Rahmat," kata Radhit di sebelah Taja.

"Pasvaati bukan benda mati, melainkan dia makhluk hidup juga. Walaupun jasadnya hanya pusaka," tambahnya. Sementara Taja fokus perhatiannya pada Pasvaati.

"Dia berbisik," ujar Taja. Semakin jelas terdengar olehnya suara-suara yang muncul. Jelas bukan hanya dari batinnya, melainkan berpusat dari Pasvaati yang tengah mengajaknya berbicara.

"Itu ucapan salam ...," balas Radhit.

"Dia berbicara bahasa apa? Aku tidak bisa membalas ...," Taja masih belum mengerti.

"Sebagian bahasa bidadari. Sebagian bahasa angin. Sebagian bahasa Orang Wali," jawab Radhit lalu dengan lirih dan tegas, ia mengucap aji-aji dalam bahasa aneh yang tidak pernah didengar Taja sebelumnya. Seperti mendesis.

"Haa-em-shaa-mi-wash-waa."

Bibir Radhit komat-kamit, cukup terdengar bagian terakhir mantra yang diucapnya. Taja terpana, seperti ada kekuatan menarik sebelah tangannya, semakin mendekati Pasvaati. Kemudian ujung jemarinya mulai menyentuh logam putih itu dengan lembut.

Sengatan Energi mengejutkan Taja.

Tiba-tiba sekilas cahaya menerpa pandangan Taja. Seketika ia melihat sekitarnya berubah laksana pagi yang cerah. Suatu taman asri nan elok. Indah nan sejuk. Bahkan bisa dirasakan rumput yang lembut di bawah telapak kakinya. Sinar matahari menerpa tempat itu. Sekeliling tempat itu, terdengar suara-suara lembut ke angkasa.

Tampak seseorang berpakaian serba putih. Rambutnya terurai rapi sebahu. Wajahnya bercahaya sampai tidak dapat dilihat dengan jelas seperti apa. Aroma harum semerbak memenuhi.

Taja bersimpuh begitu saja di lutut orang berpakaian serba putih itu. Hanya berhadapan namun terasa sangat tentram. Sosok itu membalas dengan menyentuh ubun-ubun Taja. Hawa hangat mengalir ke sekujur tubuhnya. Selebihnya, suara gemerincing lirih makin terdengar dari seluruh penjuru. Berbaur dengan suara-suara doa berkumpul menjadi satu, lalu menggema ke angkasa. Suara-suara itu seolah berasal dari ribuan jiwa yang tenang.

Di tangan Taja. Sebuah kitab tanpa ia tahu kitab apa itu. Kitab yang memancarkan cahaya.

Tiba-tiba suasana kembali redup. Cahaya itu tiba-tiba menghilang. Sekejap saja, Taja tersadar kembali ke ruangan Istana Pusaka yang remang-remang. Seolah-olah ia baru saja kembali dari belahan dunia lain.

Ketika tersadar, pusaka Pasvaati sedang berada di genggaman Taja. Ia pun terkejut melihat tangannya sendiri dalam keadaan menggenggam Pasvaati. Entah sejak kapan terjadi, Taja baru tersadar dengan mata kepala sendiri.

"Ini ...?" Taja tersentak. Tidak percaya bahwa pusaka itu benar-benar ada di tangannya.

"Jiwa Murni adalah Jiwa yang terjaga. Terjaga dari angkara murka. Terjaga dari penyakit hati. Terjaga dari prasangka. Terjaga dari segala keinginan duniawi. Tidak serakah. Tidak congkak. Hati yang merunduk."

Suara Radhit semakin menyadarkan Taja bahwa ia tidak sendiri. Radhit berbicara bukan hanya sekedar berucap. Melainkan sedang membaca mantera aji-aji dan Taja seperti memahami maknanya.

"Jika kamu mampu menggabungkan Sang Gendewa dengan Pasvaati sebagai anak panah, maka kita akan tahu seberapa dahsyat apa yang terjadi. Tentu dengan mantera dari Kitab Muhaqqina," lanjut Radhit.

"Ada satu mantera yang sangat mustajab untuk digunakan pengendali Pasvaati," kata Radhit lagi.

"Pasvaati akan bersifat sebagai pelindung dengan mantera itu," ujar Radhit.

"Pasvaati dapat menjelma menjadi Senjata Pamungkas Shahada," tambah Radhit membuat Taja makin tercengang.

"Senjata Pamungkas Shahada?!" Taja mengulang satu nama itu.

"Tapi ... aku tidak yakin mampu menyatukan Sang Gendewa dengan Pasvaati, apalagi dengan mantera Muhaqqina sekaligus," Taja tergeleng pelan, walaupun terlihat sangat antusias namun tidak cukup yakin untuk melakukannya.

Tanpa terasa air mata mengalir dari kedua sudut mata. Bukan kesedihan. Rasa tentram dan tenang menyelimuti sampai sumsum tulang.

Ruangan tempat Taja dan Radhit berada, menjadi lebih terang akibat pantulan cahaya Pasvaati memenuhi ruangan sampai menembus atap.

Kejadian itu cukup lama berlangsung. Namun Taja lupa akan waktu. Tiba-tiba sebuah suara mengejutkan Taja dan Radhit.

"Taja?!"

Tiba-tiba sosok Putri Alingga sudah berada di hadapannya. Entah sejak kapan ia menyaksikan Taja di ruangan itu.

"Benarkah kamu yang melakukan ini?" lanjut Putri Alingga dengan tatapan terkejut dan rasa tak percaya.

Taja terpaku di tempatnya berdiri dengan kedua tangan masih memegang Pasvaati. Terkejut melihat kehadiran Putri Alingga, ia melihat ke arah putri berdiri tidak jauh di depannya. Sejenak diliriknya posisi Radhit terakhir berada, namun rupanya sosok Radhit pun sudah menghilang tiba-tiba.

"Aku ...," Taja mendadak canggung.

"Kamu diam-diam sendirian menyusup ke Istana Pusaka dan memegang Pasvaati?"

Taja baru tersadar bahwa Putri Alingga memergokinya dalam keadaan seperti itu

"Ngg ... aku ... aku bersama Radhit," Taja melihat sekeliling. Hanya dia dan Putri Alingga yang saat ini berada di tempat itu.

"Radhit? Siapa?" tanya Putri Alingga sembari melihat sekeliling, namun tidak dilihat siapapun selain Taja.

Taja tidak punya banyak waktu untuk menjelaskan. Suara derap langkah kaki para penjaga berdatangan ke tempat itu.

"Celaka!" Putri Alingga merasa ada sesuatu yang mengancam mereka jika tetap berada di tempat itu.

"Kembalikan Pasvaati ke tempatnya!" pekik Putri Alingga menahan suara agar tidak terdengar dari luar.

Taja segera mengembalikan Pasvaati ke posisi terpajang seperti sebelumnya.

"Ikut aku!" lanjut putri, segera menarik tangan Taja, panik saat mendengar suara riuh orang-orang mendekati ruangan Istana Pusaka.

Taja dan Putri Alingga bergegas pergi melalui jalan keluar belakang Istana Pusaka, dengan hati-hati, berjalan dan menyelinap di antara lorong-lorong sisi gelap istana. Situasi sekitarnya mulai ramai dengan kedatangan para penjaga menuju Istana Pusaka.

* * *

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status