Share

6. Tak Kasat Mata

"Tubuhku tidak menua, sukmaku pun tidak. Tubuhku tidak makan dan minum, tetapi sukmaku makan dan minum."

________

Pukul Babi Jantan*.

Gong ditabuh sepuluh kali. Malam larut, Taja tidak juga terlelap. Beberapa kali ia tergugah. Pikirannya terhisap sesuatu. Bayangan sesosok muncul lagi dalam mimpi. Walaupun sekejap, jelas sesosok itu memanggil namanya.

'Taja!'

Tak terhitung mimpi itu. Semenjak ia mengenal dunia. Semakin jelas mimpi itu menjelma sesosok dirinya yang lain di suatu tempat entah di mana. Suasana sunyi senyap. Diam-diam ia beranjak meninggalkan ruangan.

Langit cerah. Purnama hampir penuh menghiasi malam. Tampak bangunan Tanapura yang tenang. Taja terpikir untuk mendatangi Istana Kitab. Ia berjalan cepat-cepat sembari melihat sekeliling kalau-kalau ada penjaga patroli.

Situasi mendukung untuk dia menunaikan keinginannya. Sebuah ambang pintu terbuka, dijaga satu orang penjaga.

Taja menunjukkan lencana khusus ‘Pengunjung tanpa batas waktu’. Beruntung ia memiliki hak istimewa ini.

“Tertib dan jangan membuat apapun selain belajar,” penjaga itu mengingatkan sebentar. Taja mengangguk. Kemudian, ia mematung di satu sudut ruangan yang sepi. Tersadar, ia tidak tahu tujuannya datang ke tempat itu. Tiba-tiba sebuah suara mengejutkannya.

“Tidak bisa tidur?”

Seseorang menyapa. Muncul di sebelah Taja. Terkesiap, Taja lega setelah tahu siapa orang itu.

“Kamu tadi siang di Istana Pusaka. Aku melihatmu. Kenapa kamu muncul dan menghilang tiba-tiba?” tanya Taja mengikuti pemuda itu menuju satu tempat duduk.

Di hadapan satu meja kecil, pemuda itu bersila. Sembari membuka gulungan kitab lontar di tangannya. Taja ikut duduk berhadapan dengannya. Suasana hening. Namun nafas pemuda itu tidak terdengar sama sekali.

“Kenapa?” pemuda itu bertanya datar.

Taja melihat lencana terpasang di kalung pemuda itu. Lencana dengan simbol ukiran huruf ‘Ra’. Cukup jelas terlihat di bawah cahaya kandil ruangan.

“Apa mungkin kamu ...?!”

Taja tak melanjutkan kalimatnya. Sepintas teringat tentang lencana dengan simbol ‘Ra’.

“Hantu praja?!"

"Tak Kasat Mata?!” terkesiap Taja.

Pemuda itu menatap kitabnya terpampang di meja. Wajah tanpa ekspresi sama sekali.

“Benar. Itu bukan rumor. Akulah yang dianggap Tak Kasat Mata,” kata pemuda itu, tersenyum kecil dan menatap perlahan pada Taja.

Pemuda itu sebaya Taja, membuka sekotak alat berisi puluhan dadu terukir berbagai aksara, lalu menatanya sehingga tersusun satu kalimat.

Ra-dhit-ta-ma.

"Ini namaku," kata pemuda itu menunjukkan aksara tersusun di dadu. Taja terbelalak, membaca nama yang tertera.

“Jadi, kamu selama ini?!” Taja mengamati wajah pemuda itu.

“Aku tidak mencuri makanan. Aku mengambil jatahku. Aku warga di sini. Aku seorang praja. Setidaknya aku juga warga Tanapura," kata pemuda mengaku dirinya Radhittama.

Taja masih keheranan. Sama sekali belum memahami sejatinya pemuda itu.

“Tapi ... kenapa kamu tidak terlihat orang lain? Kenapa aku bisa melihatmu?” Taja bingung. Sesekali menyeka kedua mata, terbelalak sekalipun, pemuda itu tetap tampak di hadapannya.

“Aku bukan hantu. Melainkan aku ini sukma,” kata pemuda itu, melihat ekspresi Taja keheranan.

“Aku belum mengerti kenapa kamu bisa melihatku," kata pemuda itu.

“Aku juga heran, indra batinku melihatmu berbeda dari orang kebanyakan," lanjutnya.

"Manusia biasa memiliki tujuh bagian sukma. Tetapi kamu memiliki sembilan. Mungkinkah itu alasan kamu bisa melihatku dengan leluasa,” lanjut pemuda itu.

Taja tak paham apa yang dibicarakan pemuda itu tentang sukma.

“Aku boleh memanggilmu Radhit?” Taja segan untuk memanggil pemuda itu.

“Silakan,” jawab pemuda itu.

“Ini pertama kali, seseorang memanggilku dengan namaku,” balas Radhit.

“Kita pernah bertemu di sini. Aku sama sekali tidak menyangka bahwa kamu ... Praja Tak Kasat Mata seperti yang digemparkan rumor selama ini!” Taja benar-benar heran.

"Ternyata ... itu bukan sekedar rumor," gumam Taja semakin yakin.

“Kamu pandai dan bijak. Aku berpikir di awal kita berjumpa, aku pikir ... bahwa kamu adalah murid cendekiawan atau sastra Tanapura,” Taja memuji tanpa sadar.

“Kamu mengajari banyak ilmu dalam semalam. Luar biasa!” puji Taja lagi.

Teringat dengan jelas bagaimana awal belajar dari Radhit tentang aksara dan kosakata. Sangat pesat dan bertambah keilmuan dalam semalam. Sebab itu juga, Taja menjadi lancar berbicara bahasa Tanapura.

Radhit kembali membaca lembaran kitab di tangannya. Sesekali ia menyambung pembicaraan.

“Kejadian siang tadi, kamu tertuduh sebagai siluman,” senyum sungging Radhit membuat Taja balik tersenyum geli.

“Dia, bukan orang jahat. Dia punya rasa ingin tahu yang tinggi," kata Radhit.

“Siapa?” tanya Taja tentang siapa yang dibicarakan Radhit.

“Praja sebaya denganmu itu. Dia seorang Gattorian,” lanjut Radhit.

“Siapa?” Taja belum paham juga.

“Raojhin,” Radhit mengucap satu nama yang akhirnya membuat Taja mengerti sekaligus menghela nafas, "Kalian berseteru siang tadi."

“Dia datang ke Tanapura untuk menjadi praja,” kata Radhit sekilas tentang Raojhin.

"Tetapi sebenarnya dia penyusup," lanjut Radhit.

"Penyusup?!" Taja terkejut, setelah tahu rahasia praja menjengkelkan itu. Hidupnya tak tenang dibuat ulah usil praja satu itu.

Taja beralih ke topik pembicaraan lain.

“Apakah kamu selalu tahu tentang apa saja yang terjadi di sini?” Taja penasaran.

“Tidak selalu. Aku bisa tahu banyak hal. Tetapi aku bukan Yang Maha Tahu,” jawab Radhit.

“Apa kamu mengenal semua orang? Tahu seluk beluk mereka?” tanya Taja lagi.

“Lebih dari 400 tahun aku berdiam di Tanapura ..., selama itu banyak peristiwa yang terjadi," kata Radhit, Taja terburu terkejut.

“400 tahun ...?!” ternganga, Taja heran menjadi-jadi.

“Banyak orang di sini yang aku tahu. Tetapi sangat sedikit dari mereka yang pernah ‘kutemui,” jawab Radhit.

“Kamu bisa menemui dan menampakkan diri secara langsung?” tanya Taja lagi.

“Ya. Hanya pada saat-saat tertentu," jawab Radhit.

“Selama lebih dari 400 tahun, berarti ...?” Taja belum sempat melanjutkan kalimatnya, Radhit lebih dulu menyela.

"Setara usia kakek buyut lebih dari sepuluh generasi.”

Seakan Taja dibuat bingung tujuh keliling, "Lebih dari sepuluh generasi? Usia sepanjang itu?"

“Lalu ... kenapa wujudmu hanya sukma? Kamu tidak memiliki tubuh?” tanya Taja.

“Aku memiliki tubuh. Tetapi sukmaku terjebak di Tanapura. Itulah yang membuatku harus menelusuri apapun di Istana Kitab. Aku mencari petunjuk bagaimana cara kembali ke tubuhku.”

Taja menjadi sedikit prihatin mendengarnya, “Apakah itu kesalahan?” Ia merasa Radhit dalam masalah panjang yang belum usai.

“Tidak. Aku sulit menjelaskannya padamu untuk saat ini. Terlalu panjang diceritakan. Suatu saat nanti aku akan menceritakannya padamu,” jawab Radhit.

“Tubuhku ada di tempat sangat jauh dari sini. Tubuhku tidak menua, sukmaku juga tidak. Tubuhku tidak makan dan minum, tetapi sukmaku makan dan minum layaknya manusia hidup,” lanjut Radhit.

"Lantas, apa yang sedang dilakukan tubuhmu saat ini?" Taja sangat ingin tahu.

"Terakhir 'kutinggalkan tubuhku dalam posisi bersemedi," jawab Radhit.

"Kira-kira, apa yang terjadi pada tubuhmu saat ini?" tanya Taja lagi.

"Tubuhku masih hidup. Karena aku sukma orang hidup," lanjut Radhit sebelum membuka-buka lagi lipatan lontar di tangannya. Perhatian Taja beralih ke kitab tersebut.

“Radhit, apa yang 'kaubaca?” Taja beralih perhatian pada kitab di tangan Radhit.

“Ini Kitab Muhaqqina, tetapi tidak utuh. Kitab mantera penawar sihir, obat dan racun. Ada mantera sakti yang dapat digabungkan dengan senjata tertentu. Termasuk Pasvaati," jelas Radhit.

“Sang Gendewa, Pasvaati, dan Muhaqqina. Perpaduan yang sempurna!” lanjut Radhit.

"Selama ini, kamu turut serta dalam setiap pelatihan," Taja sembari memperhatikan isi lontar yang terpampang di hadapan mereka.

“Aku tidak melihat ada tulisan apapun di kitab ini,” Taja menjadi heran lagi.

“Muhaqqina adalah kitab ajaib. Hanya segulung lontar. Tetapi kitab ini mengungkap hampir seluruh peristiwa di Jawata.”

Taja memperlihatkan lontar di tangan Radhit, terpampang di meja.

“Harus merapal mantera khusus sebelum membacanya, kamu bahkan tidak akan mengerti bahasa Kitab Muhaqqina. Ini bahasa Orang-orang Wali," kata Radhit.

Taja garuk-garuk kepala, tanda bingung.

“Sayang sekali, Muhaqqina menyisakan beberapa bagian,” sebentar Radhit menghela nafas, "Aku tidak menemukan potongan lainnya.”

“Mmm, aku dengar selentingan, Pasvaati akan dipadukan dengan Sang Gendewa. Apakah sangat luar biasa pengaruhnya?” tanya Taja

“Ya. Tetapi tidak akan berhasil tanpa mantera Muhaqqina," jawab Radhit.

“Apa yang terjadi jika mantera Muhaqqina dibaca untuk Pasvaati dan Sang Gendewa?” tanya Taja.

“Tergantung jenis mantera yang dibaca. Muhaqqina berisi mantera perisai, pelindung, dan obat. Juga sebaliknya, racun, pemusnah, penebar kematian,” kata Radhit. Taja penasaran jadinya.

“Di tanganku ini, Muhaqqina di sisi yang baik. Besar kemungkinan sebagian Muhaqqina yang hilang, berisi mantera keburukan,” lanjut Radhit.

“Itu sangat berbahaya!” Radhit menahan suaranya, "Terlebih-lebih jika dikuasai tangan yang salah."

"Radhit, sebenarnya kamu siapa?" gumam Taja merasakan takjub sekaligus mengerikan. Karena Radhit sangat banyak tahu hal dan peristiwa.

Di tengah ruangan Istana Kitab yang sunyi senyap, mereka membicarakan banyak hal. Tanpa terasa waktu bergulir hingga tiba pukul Harimau Betina**.

“Maukah kamu, 'kutunjukkan bagaimana cara menyentuh dan menggenggam Pasvaati?” kali ini, Radhit bertanya.

“Aku ...? Menyentuh Pasvaati ...?” Taja merasa itu tidak mungkin.

"Aku pernah menyentuhnya, tetapi siapa yang pernah melihatku melakukan itu?" balas Radhit sembari menggelengkan kepala. Ia mengingat kejadian dirinya sendiri pernah menyentuh Pasvaati. Tetapi dengan tanpa wujud fisik, siapa yang akan menyaksikannya.

"Wah, luar biasa!" Taja takjub.

“Kamu pun bisa,” kata Radhit meyakinkan.

"Bagaimana caranya?" Taja tak sabar.

“Mari kita ke Istana Pusaka!” ajak Radhit.

“Sekarang?!” Taja tidak yakin.

“Ya!” jawab Radhit tegas.

“Ini larut malam. Banyak penjaga di sana. Mereka tidak akan mengijinkan kita masuk,” Taja menahan suara agar tidak berisik. Terlebih-lebih mereka membicarakan rencana berbahaya.

"Justru inilah waktu terbaik kita!" kata Radhit dan segera beranjak dari duduknya. Sebentar melipat lontar, meletakkan begitu saja di meja. Ia menoleh pada Taja. Sementara Taja bingung harus menerima ajakan Radhit atau tidak.

“Ikuti aku! Tidak ada penjaga yang tahu kita menyusup ke Istana Pusaka,” jawab Radhit.

"Baiklah," tanpa pikir panjang, Taja mengiyakan. Walaupun ragu. Namun antusiasnya terhadap Pasvaati, memaksa langkahnya bergegas untuk mengikuti Radhit menuju Istana Kitab.

________

KETERANGAN:

*Pukul Babi Jantan (Jam 10 malam).

**Pukul Harimau Betina (Jam 12 malam).

Sekte terbesar Jawata: Tanapura, Kakilangit, Gattorian, Mayapadhi, Padmangulan, Wetanampel, Adhiwangsa, Sangkanaya, Surimukhti, Bayuangga, Lumeru.

* * *

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status