Dion merasa bahwa ada yang memaku kakinya di atas pijakan tanah beraspal supaya tidak membiarkannya kabur di saat situasi seperti ini. Ya, begitu sulit untuk bergerak walaupun hanya seinchi. Di depannya, wanita tersebut yang berhasil mengacau-balaukan system motoriknya tengah menahan senyumnya yang mengembang tak berdosa.
Memangnya apa yang salah dengan ajakan makan diantara anak Adam dan Hawa?
Menurut Dion, itu adalah kesalahan. Ketika mata yang memancarkan sorot penuh harap itu memiliki setetes rasa aneh yang tidak pernah ia jumpai sebelumnya. Sorot keharapan itu berbeda ketika Leyna memintanya untuk melakukannya sesuatu.
“Bagaimana, Dion?” tanya wanita tersebut lagi membuyarkan lamunannya dalam sekejap.
“Aku …,” ucapnya semakin memelan, matanya melirik melihat Jesslyn yang masih setia menatapnya dengan binar yang sama. Itu membuatnya meringis dalam hati.
Maaf.
“Aku tidak bisa makan denganmu, Miss. Aku ada urusan di rumah,” jawab Dion final. Bak terkepung karena mencuri sesuatu, Dion sedikit menunduk setelah melihat binar itu berganti menjadi sebuah kekecewaan.
Ya, Dion Addison berbohong demi keegoisannya sendiri.
Jelas dia tidak ada urusan apapun di rumah yang mendesaknya. Selain, membawa Nenek tersayangnya berjalan dan mengisi persediaan makanan di rumah yang dirasanya kurang untuk menunjang perjalanan hidup yang masih panjang.
Ah! Tidak hanya itu. Dia memiliki jadwal spesial akhir pekan nanti.
“Ah, begitu, ya. Tidak apa-apa, Dion. Maaf membuatmu tidak enak,” kata Jesslyn yang mengusap lengan bawahnya sendiri. Seolah dia mengetahui bagaimana kikuknya pria di depannya menghadapi tingkahnya yang kelewat batas.
Dion mengibaskan tangannya langsung, “Tidak apa-apa, Miss. Sungguh. Ayo, kembali ke ruangan untuk meletakkan ini.”
Karena sejatinya, dia tidak begitu mempertimbangkan hal ini begitu berat. Pria muda itu hanya terkejut dengan sederet kalimat yang tidak disangkanya akan datang hari ini juga.
“Oh, iya. Ayo,” kata Jesslyn yang melanjutkan langkah kakinya. Seiring dengan Dion yang berjalan di barisan belakangnya tanpa ingin membuka topik pembicaraan lagi untuk tidak menimbulkan kecanggungan berlebih diantara mereka.
_The Stranger’s Lust_
Dion menutup buku tugas terakhir siswa yang kukoreksi untuk malam ini. Untuk keseluruhan, bisa berpuas hati karena sebagian besar dari mereka telah paham dengan apa yang diajarkan selama tiga hari ini. Kemudian, pria itu mengumpulkannya menjadi satu dan diletakkan di dekat tas kerja. Lalu, mengambil note book untuk satu ajaran ini dan membuat jadwal lebih lanjut untuk semua para siswa.
Manik coklat melihat kearah jarum jam, telah menunjuk ke angka delapan. Matahari pun telah terlelap pulas digantikan oleh sang bulan dengan banyak temannya di angkasa yang telah gelap tetapi, bukan berarti hujan.
Dia cukup yakin, kalau satu-satunya anggota keluarga yang dipunya sedang asyik menonton acara berita malam di ruang depan dengan apple juice yang dibuat disela-sela kesibukannya meracik bumbu untuk makan malam selepas jam pulang kerja.
Sadar akan melupakan sesuatu, dia menggapai ponselnya yang disimpan di dalam laci nakas paling atas bersama dengan beberapa barang alat tulis lainnya. Maniknya seolah tidak jenuh untuk menatap layar hitam yang ditampilkan dari awal.
“Aku akan membalasmu nanti. Aku sedang sibuk. Bye.”
Dan disinilah dia untuk malam ini. Dengan bodohnya, dia menunggu dengan setia seseorang yang satu wilayah dengannya akan membalas pertanyaannya. Layaknya seperti tidak ada pekerjaan lain untuk dikerjakan lagi.
Helaan napas gusarnya terdengar untuk pertama kali malam itu. Batinnya terus menerus menenangkan sang otak yang sibuk berpikiran negative dengan sosok yang dihubunginya tadi sore. Walaupun, tidak memberikan hasil yang bagus.
Karena, sepertinya sang otak tidak bisa diajak bekerja sama sekarang ini.
“Ya. Dia pasti sedang sibuk dengan pekerjaannya,” ucapnya sebagai final dari hasil pemaksaan. Ketika tersadarkan bahwa hubungannya dengan dia tidak lebih dari teman yang kenal kurang dari dua bulan.
Lelah setelah bertikai dengan diri sendiri, pria itu memilih turun dan duduk disamping wanita tua kesayangannya. Menemaninya menonton berita malam dalam diam selama tiga puluh menit.
“Hari tersebut sudah mau datang, cucuku. Apa kamu ingat?”
Pertanyaan dari sang nenek menyadarkan lamunannya. Ternyata tidak ada yang berbeda ketika dia menyibukkan diri. Hanya semakin kacau saja yang dia terima.
“Aku ingat, Granny. Aku akan pergi ke sana akhir pekan nanti. Granny tetap tidak mau ikut?” tanya Dion retoris. Pertanyaan yang dari dulu dia tanyakan dan selalu mendapatkan jawaban yang sama dari orang yang sama bertahun-tahun.
“Kamu saja, ya. Granny titip salam kepada mereka,” kata Granny Greisy dan menggapai minumannya.
Reaksi Dion masih sama dari tahun ke tahun, “Iya, Granny.”
_The Stranger’s Lust_
To Be Continue
“Jadi, hari ini adalah harinya?” Dion memangku tangannya yang sedang menggenggam sebuah bungkusan protein bars, mengunyah sambil melihat layar ponsel yang ditegakkan bersandar pada botol minumannya di meja. “Iya. Makan malam dengan kolega Tuan Chayton,” katanya yang telah menelan makanannya tersebut. Makan siang dengan dua protein bars di ruang istirahat di gedung balet yang secara kebetulan sedang sepi, membuatnya berpikir untuk menghubungi kekasihnya itu sekarang. Well, kekasih … Dion rasa dia harus bisa beradaptasi dengan julukan tersebut sekarang. “Kalau memang cowo itu yang bakalan datang, bagaimana menurutmu?” tanya Leyna yang berada di ujung telepon sedang mengecek tumpukan buku anak-anak dengan sebelah telinga kirinya tersumpal dengan Bluetooth earphone. “Aku tidak bisa menerimanya, bukan?” tanya Dion balik yang disetujui oleh jiwa perempuan yang berada di tubuhnya yang asli itu. Terkadang Dion berpikir berapa lama lagikah dia akan bersemayam di tubuh seorang wanita yang
Setelah malam itu mereka saling mengungkapkan perasaan masing-masing, tidak ada lagi yang bertambah. Baik Dion maupun Leyna, keduanya sama-sama disibukkan dengan kegiatan sehari-hari dan Jumat sudah datang menjemput mereka. Dion sudah siap dengan balutan dress di bawah lutut dan duduk ke kursi meja makan yang sudah ditempati oleh tiga anggota lainnya. “Night, Dad, Mom, Quinza,” sapanya dengan binar riang di matanya. “Night, Leyna.” Sang Ibunda membalas sapaannya. Dia mengambil tempat di samping sang adik perempuan yang bermain dengan ponselnya daritadi. Sedangkan, laki-laki satu-satunya di keluarga inti tersebut sedang membaca berita dari ponselnya. “So, can we start?” tanya Aubrey yang melirik kedua anggota yang sedang sibuk dengan dunianya sendiri. Dion memilih untuk tersenyum tipis ketika mengetahui kepada siapa yang dituju. Chayton dan putri bungsunya meletakkan alat komunikasi mereka di samping dan menjawab dengan kompak, “Sure.” Wanita tersebut mengangguk dan mulai meminta
[Dion POV] Aku yang baru saja bisa pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri sekalian merilekskan persendian yang rasanya kaku banget setelah duduk di meja makan mendiskusikan beberapa topik hangat dengan Tuan Chayton. Sedangkan, Quinza berada di kamarnya sendiri mengerjakan tugas sekolahnya di jam sebelas malam ini. Setelah berbelanja barang kebutuhan tadi, aku dan dia langsung menyimpan barang tersebut di dapur dan beberapa disisihkan untuk di simpan di tas yang khusus menampung pakaian ganti dan outfit latihan aku. Dan, ketika melihat namaku sendiri tertera di layar ponsel Leyna itu aku langsung mengangkatnya. “Hello?” Sejujurnya ntah kenapa malam ini terasa berbeda dari malam-malam sebelumnya yang pernah kami lewati dengan berbicara melalui telepon. Leyna menjawabnya, pembicaraan mulai terasa aneh ketika lawan bicaraku itu menanyakan situasi di sini. Namun, tidak berapa lama, aku mengetahui jawabannya. Jawaban mengapa aku merasa canggung dan aneh dalam pembicaraan kami k
[Leyna POV] Aku melangkah keluar dari gedung sekolah dan menaiki sepeda yang menemani semua kegiatanku semenjak menjadi sosok yang dipanggil Dion Addison. Langit yang hari ini terlihat mendadak begitu cerah tidak digubris olehku sama sekali. Karena rasanya dari dalam hatiku terbakar sejak siang tadi. Sialnya sampai sekarang masih belum padam. Efek yang luar biasa dahsyat setelah guru perempuan itu seenak jidat menawarkan ini dan itu kepadaku. Maksudnya kepada Dion, tentu saja. “Memangnya dia tahu kalau Dion itu suka sekali dengan oatmeal dan smoothies yang beragam variasi cara untuk menikmatinya,” celetukku sambil mengayuh sepeda. Beruntung aku bukan seorang puteri keturunan kepala pemerintah sekarang ini. Ada untungnya juga menjadi seorang warga biasa yang memiliki pekerjaan yang biasa-biasa saja. Tentu saja kebanyakan warga di sini menikmati kehidupannya dengan biasa-biasa saja, bangun pagi, menyiapkan sarapan, mandi, berpakaian, pergi bekerja, pulang dan menikmati makan malam
Dion meletakkan semua belanjaannya kepada kasir dengan tenang. Tidak, lebih tepatnya pura-pura untuk bersikap tenang dan biasa saja. Dia tahu Quinza daritadi melihatnya dengan tatapan yang menyiratkan untuk berbicara empat mata dengannya. Namun, dia bersikap tidak tahu-menahu. "Leyna," panggil Quinza yang berada di belakangnya berbisik mendekat sampai ke telinganya. Beruntung sekali dia sudah terbiasa dengan adik perempuan Leyna selama ini sehingga dia tidak lagi merasa terkejut. Sebuah dehaman menjadi jawabannya dan dia melihat ke arah monitor kasir yang sedang bergerak menghitung total pembeliannya. "Kamu serius sekarang? Si cowo yang kujelasin itu ada di belakang tahu," kata Quinza lagi, dia berbicara dengan bisikan meskipun terdengar seperti nada tinggi. "Dia orangnya? Charles, benarkan?" beo Dion yang melirik ke sosok di belakang anak bungsu keluarga kepala pemerintah ini. Lalu, kembali bertingkah seperti biasa. Yang lebih muda itu refleks menepuk pundak sang Kakak gemas. "
Pada satu waktu yang sama, Leyna juga sedang mengurusi nilai murid-muridnya di ruang guru. Dia tidak sendirian di ruangan tersebut, masih ada dua atau tiga guru yang juga duduk di sana melakukan tugas mereka masing-masing. Mengingat jam belajar-mengajar telah berakhir tiga jam yang lalu, Leyna dan guru-guru lainnya bisa beristirahat sejenak. "Sir. Dion," panggil seorang guru perempuan yang sering mengikutinya di setiap kesempatan yang ada. Maksudnya, mengikuti raga Dion, bukan jiwanya. Terkadang Leyna melamun dan berpikir bagaimana reaksi sekitar mereka kalau mengetahui bahwa orang yang di depan mereka bukanlah yang mereka kenali. "Ada apa, Miss?" tanya Leyna sesopan mungkin. Setelah mengetahui konsep dari kutukan aneh ini, Leyna berpikir untuk membatasi diri dengan dunia. Dia tidak bermaksud untuk besar kepala. Namun, siapa yang tidak akan jatuh hati ketika melihat raga seorang laki-laki yang tinggi jangkung, berpakaian rapi, dan bersikap lembut? Leyna mungkin adalah salah satun