***
Emely perlahan membaringkan tubuhnya di atas ranjang Amara. Dengan posisi miring, ia menatap wajah gadis kecil itu yang tampak damai dalam tidurnya. Emely membawa sebelah tangannya untuk memeluk tubuh mungil Amara, menciptakan kehangatan di antara mereka.‘Ketika kamu besar nanti, aku yakin kamu akan tumbuh menjadi gadis yang cantik dan baik hati,’ batinnya sambil menatap lembut wajah polos Amara. Emely mendekatkan wajahnya, lalu mengecup kening gadis kecil itu dengan penuh kasih sayang.Meskipun Emely sangat membenci Lidya, ibu kandung Amara, perasaannya terhadap gadis kecil ini sama sekali tidak terpengaruh. Tidak ada kebencian, tidak ada kekesalan. Amara adalah anak yang baik, lucu, dan menggemaskan. Terlepas dari siapapun ibunya, Emely tahu ia akan tetap menyayangi Amara tanpa syarat.Hampir lima belas menit berlalu. Emely masih berbaring memeluk hangat tubuh mungil Amara, menikmati momen penuh ketenangan itu. Namun, tiba-tiba pintu kamar“Ughh!” Emely dengan refleks menutup mulut menggunakan sebelah tangan ketika rintihan penuh kenikmatan itu lolos dari bibirnya akibat remasan lembut yang dilakukan oleh Blue di payudaranya.Matanya tertutup rapat. Napasnya mulai tersengal-sengal ketika Blue tak hanya meremas payudaranya, tetapi juga memelintir putingnya.Emely berusaha mati-matian menahan diri. Rasa panas menjalar di tubuhnya, tetapi ia tahu ia tak bisa mendesah bebas seperti biasanya. Karena bagaimanapun, Amara sedang berada di sampingnya.Tangan Emely terangkat, mencengkeram erat pergelangan tangan Blue, yang dengan santainya membiarkan jemarinya bermain di atas dadanya. Sentuhan itu mengirimkan gelombang sensasi yang membuatnya hampir kehilangan kendali.“Masih tidak mau memaafkanku?” bisik Blue pelan di telinganya. Suaranya serak dan memancing. Sesaat kemudian, ia menjulurkan lidah, menjilat lembut daun telinga Emely, sebelum akhirnya mengulum dan menghisapnya dengan penuh ken
Tubuh bagian atas Emely kini benar-benar polos, tanpa sehelai kain pun yang menutupi. Blue mendekat, mengalihkan perhatiannya pada celana hotpants yang masih membalut pinggul gadis itu. Dengan gerakan cekatan, ia mulai membuka kancingnya, lalu menurunkan resletingnya secara perlahan.Tangannya yang kokoh kemudian memegang kedua sisi celana tersebut. Dalam satu gerakan lembut, ia meloloskan kain itu dari tubuh Emely. Gadis itu tidak tinggal diam. Ia mengangkat sedikit bokongnya, mempermudah proses pelepasan kain tersebut. Kaki jenjangnya juga bergerak lentur, memberikan ruang agar celana itu dengan mudah meluncur turun, meninggalkan kulitnya yang kini semakin terekspos.Dalam sekejap, celana hotpants itu sudah terlepas sepenuhnya. Yang tersisa hanyalah sepotong celana dalam tipis yang tampak kontras dengan kulitnya yang halus. Emely sempat berpikir bahwa Blue tidak akan melepaskan kain tersebut. Namun, dengan cara yang tak terduga, pria itu justru melepask
***Pagi itu, cahaya matahari yang lembut menyelinap melalui sela-sela tirai, menerangi kamar tidur dengan nuansa hangat keemasan. Di atas ranjang berukuran king size yang tertata rapi dengan selimut putih tebal, Blue dan Emely masih terbaring. Tubuh mereka yang polos terlindung hangat di balik selimut, menikmati kehangatan pagi yang tenang.Keduanya sudah terjaga sejak beberapa menit lalu, tetapi tidak ada keinginan untuk segera bangkit. Momen damai seperti ini terlalu berharga untuk dilewatkan. Blue, dengan suara serak khas bangun tidur, memecah keheningan. "Apakah ada kelas pagi ini?" tanyanya sambil menatap Emely yang menyandarkan kepalanya di lengannya, menjadikannya bantal.Emely menggeser tubuhnya, merapatkan diri pada Blue. Tangan lembutnya melingkari pinggang pria itu, memberikan pelukan yang erat. "Tidak ada," jawabnya dengan suara pelan dan malas, matanya masih setengah terpejam.Blue tidak berkata lagi, membiarkan keheningan
Kini, Amara berdiri di depan pintu kamar besar milik Emely dan Blue. Ia mengangkat tangan mungilnya dan mengetuk pintu beberapa kali. Ia menunggu sejenak, namun tidak ada jawaban. Wajah kecilnya berubah sedikit bingung. Ia mengetuk sekali lagi, kali ini lebih keras."Apakah Mommy dan Daddy masih tidur ya?" gumamnya pelan, berbicara pada dirinya sendiri. Setelah beberapa detik, ia memutuskan untuk masuk. "Aku langsung masuk saja," katanya yakin.Tangan mungilnya menggenggam gagang pintu, memutar perlahan, lalu mendorongnya hingga pintu terbuka lebar. Ia melangkah masuk dengan hati-hati, matanya langsung tertuju ke ranjang besar di tengah ruangan. Namun, pandangannya tertahan saat melihat ranjang itu berantakan, dan kedua orang tuanya tidak ada di sana.Kening Amara berkerut, tanda ia berpikir keras. "Ke mana ya Mommy dan Daddy?" tanyanya pelan, kebingungan. Ia berdiri di tengah kamar, matanya menjelajahi setiap sudut ruangan, mencoba mencari tanda-tanda keb
Beberapa saat kemudian…Menit demi menit berlalu dengan kehangatan pagi yang mengiringi keluarga kecil itu. Saat ini, Blue, Emely, dan Amara sedang duduk di meja makan. Sarapan bersama sudah selesai, dan suasana terasa ceria di antara mereka."Mommy, jadi antar aku ke sekolah, kan?" tanya Amara tiba-tiba, menggeser gelasnya ke meja setelah meneguk jus jeruk segar. Mata gadis kecil itu berbinar penuh harap saat menatap ibunya.Emely menoleh, menyelesaikan kunyahan terakhir dari buah segar yang ada di mulutnya. Ia tersenyum lembut sambil mengangguk pelan. "Iya, sayang. Mommy jadi antar kamu ke sekolah hari ini," jawabnya. "Hari ini spesial untuk Amara. Mommy juga akan jemput Amara nanti siang."Mendengar itu, Amara bersorak kegirangan, tangannya menepuk-nepuk meja kecil sebagai ungkapan bahagia. "Yeeey! Terima kasih, Mommy!" serunya dengan penuh semangat.Emely tertawa kecil melihat antusiasme putrinya. "Sama-sama, sayang," jawabnya lembut,
***Mobil yang membawa Erlan melaju dengan mulus, berbelok ke dalam area gedung pencakar langit milik Sinclair Ocean Technologies. Kendaraan hitam mewah itu akhirnya berhenti tepat di depan pintu masuk lobi yang berkilauan, sebuah pemandangan yang memancarkan kemewahan.Seorang bodyguard yang duduk di kursi depan segera bergerak dengan cekatan. Ia keluar dari mobil dan dengan sigap membuka pintu belakang untuk sang tuan, Erlan.Ketika Erlan turun, sosoknya yang berwibawa langsung menarik perhatian. Posturnya tegap, setelan jas mahal yang ia kenakan terlihat sempurna. Mata beberapa karyawan yang berada di lobi sontak tertuju kepadanya, sebagian terkejut, sebagian terpesona. Erlan tidak berkata sepatah kata pun, namun aura dominasi yang ia bawa sudah cukup untuk membuat suasana lobi terasa lebih serius dan formal.Pria paruh baya itu melangkah masuk dengan langkah mantap. Sepatu kulit hitamnya menghasilkan suara yang teratur saat menyentuh lantai marmer lobi, menggema pelan di ruangan y
Erlan memutar tubuhnya dengan tenang, tak memedulikan tatapan ketakutan yang mengiringinya. Langkahnya lebar saat ia berjalan menuju lift. Orang-orang di sekitar lobi hanya bisa menatap, beberapa mencoba mundur perlahan untuk menjaga jarak.Lift terbuka. Erlan melangkah masuk tanpa ragu—diikuti oleh bodyguard-nya, pintu logam itu tertutup dengan bunyi yang nyaris tidak terdengar, membawa pria paruh baya itu naik ke lantai 32—menuju ruang kerja Blue Sinclair, Direktur Utama sekaligus CEO Sinclair Ocean Technologies. Setelah berlalu dari lobi, Erlan akhirnya tiba di lantai yang dituju. Lift berhenti dengan lembut, dan pintunya terbuka lebar, memperlihatkan lorong panjang dengan pencahayaan modern yang menuntun ke ruang kerja Blue. Tanpa ragu, Erlan melangkah keluar. Di sisi lain, di dalam ruang kerjanya yang luas dan mewah, Blue tengah tenggelam dalam tumpukan dokumen yang berserakan di atas meja. Wajahnya serius, fokus sepenuhnya pada laporan yang sedang ia pelajari. Namun, konsentra
***Mendengar ucapan penuh keberanian dan tantangan dari Blue, amarah Erlan kian membara. Dadanya yang bidang terlihat naik turun, napasnya memburu, dipenuhi oleh kemarahan yang tak lagi bisa dibendung. Matanya menyala tajam, menatap Blue yang terbaring di lantai seperti seorang predator yang siap melahap mangsanya.Tanpa sepatah kata, Erlan melangkah maju. Sepatunya yang berkilau berhenti tepat di sisi tubuh Blue yang tampak lemah di lantai. Dengan gerakan tegas, Erlan mengangkat kakinya tinggi, bersiap menginjak dada Blue tanpa ampun, seolah ingin menghancurkan segala perlawanan yang tersisa dari pria itu.Namun kali ini, Blue tidak tinggal diam. Meski tubuhnya terasa remuk, insting dan pelatihannya selama bertahun-tahun sebagai mantan anggota klan Mafia segera mengambil alih. Dengan gesit, Blue menggulingkan tubuhnya ke samping, menghindari injakan Erlan yang mematikan.Tubuh Blue berulang kali mengguling di atas lantai yang dingin, mencoba menjauh dari serangan Erlan. Sementara it
Zara menghela napas pelan, mencoba menenangkan dirinya sendiri agar bisa memberikan kenyamanan pada cucunya. Perlahan, ia melepaskan pelukan itu, menciptakan jarak kecil di antara mereka. Zara mengangkat kedua tangannya untuk menangkup wajah mungil Amara, menatap langsung ke matanya yang sembab dan merah.“Amara tidak boleh bersedih. Mommy hanya pergi sebentar,” ucap Zara dengan lembut. Ia melirik Gina yang duduk di dekatnya. “Benar begitu, kan, Nanny?” lanjutnya, meminta dukungan.Gina tersenyum kecil dan mengangguk pelan, menatap Amara dengan penuh kasih. “Iya, betul sekali, Sayang,” jawab Gina lembut. “Amara dengar apa yang Grandma bilang? Mommy hanya pergi sebentar saja. Beberapa hari, bukan selamanya seperti yang Amara pikirkan. Mommy pasti kembali.”Amara menatap Gina dengan mata berkaca-kaca, kemudian kembali mengalihkan pandangan ke neneknya. “Tapi… tapi kenapa, Grandma? Aku tidak bisa telepon Mommy. Ponselnya… tidak aktif,” ujarnya terbata-bata, i
Zara memperhatikan wajah lebam putranya dengan cermat. Matanya menyipit, menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. Pun begitu dengan Ronan dan Talia. Keduanya sama-sama menatap Blue dengan penasaran, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.“Apa yang terjadi padamu, Blue?” tanya Zara akhirnya.Blue hanya menarik napas panjang, menundukkan kepala sejenak. Ia tahu pertanyaan ini tak terhindarkan, dan kali ini ia tak bisa menghindar. Semua tatapan kini tertuju padanya, menanti jawabannya.“Kamu bertengkar dengan Emely, Nak?” tanya Zara lembut, penuh kehati-hatian.Blue menggeleng pelan, menundukkan pandangannya. “Tidak, Mom,” jawabnya singkat. “Lalu kenapa dia pergi? Mommy kaget sekali ketika tadi Amara menelepon sambil menangis. Apa yang sebenarnya terjadi, Blue?” tanya Zara lagi.Blue menarik napas panjang. Setelah beberapa saat hening, ia akhirnya menjawab dengan suara pelan, “Dia dijemput oleh ayahnya.”Ronan, yang sedari
***“Sayang, yuk, makan dulu. Sedikit saja, please?” Bujuk Gina. Namun, Amara tetap menggeleng keras, isak tangisnya makin menjadi. “Aku nggak mau makan! Aku mau Mommy, Nanny!” suaranya pecah, napasnya tersendat-sendat diantara tangisnya. Tangan mungilnya mengusap wajah, menghapus air mata yang terus mengalir di pipinya.Gina menatap Amara dengan iba. Hatinya tersayat melihat gadis kecil itu menangis begitu keras sejak pulang sekolah. Masih jelas dalam ingatan Gina, saat Blue menjemput Amara di sekolah, gadis kecil itu sudah mulai bertanya, “Kenapa bukan Mommy yang jemput?” Namun, Blue hanya diam, tak memberikan jawaban apa pun.Sesampainya di rumah, Amara langsung sibuk mencari Emely. Ia berlarian ke setiap ruangan, memeriksa kamar tidur, dapur, hingga halaman belakang. Namun, sosok ibunya tetap tak ditemukan. Ketika akhirnya Amara kembali ke ruang tengah dengan wajah penuh harapan, Blue terpaksa berbohong, mengatakan bahwa Emely sedang per
Tamparan itu menggema di seluruh ruangan. Namun bukan pipi Emely yang menerima tamparan itu. Dalam hitungan detik, Blue tiba tepat waktu. Ia menarik Emely ke dalam pelukannya, menjadikan tubuhnya sebagai perisai. Tamparan keras Erlan menghantam pipi Blue, meninggalkan bekas merah yang langsung memanas.Suasana membeku sejenak.Napas Emely terengah. Matanya yang membesar menatap Ayahnya dengan syok dan ketakutan. Sepanjang hidupnya selama 21 tahun, ini adalah kali pertama ia melihat Ayahnya mencoba melayangkan tangan padanya. Namun, kenyataan bahwa Blue yang menerima tamparan itu justru membuat hatinya semakin hancur.Emely menutup mulutnya dengan tangan, mencoba menahan isak tangis yang semakin keras. Tubuhnya bergetar hebat, air matanya terus mengalir tanpa henti. Pemandangan di hadapannya membuat hatinya terasa seperti diiris.Namun, Erlan tetap berdiri tegap. Tatapannya dingin dan penuh amarah. Tidak ada sedikitpun penyesalan di wajahnya. Bahka
Di tempat lain, tepat di depan gerbang rumah mewah Blue yang terbuat dari baja hitam kokoh dengan ornamen ukiran modern, sebuah mobil mewah berhenti perlahan. Pintu mobil terbuka, dan Erlan melangkah keluar. Langkahnya lebar saat ia mendekati gerbang besi. Pandangannya tajam, langsung tertuju pada pintu pagar yang dilengkapi dengan celah kecil untuk memantau siapa yang berada di luar.Seorang bodyguard yang bertugas di depan gerbang segera menghampiri celah tersebut. Matanya menyipit, mencoba mengenali pria berwibawa yang berdiri di hadapannya. “Selamat siang. Anda ingin bertemu dengan siapa?” tanyanya sopan namun tegas.Erlan, yang sudah tidak sabar, langsung menjawab dengan nada tegas, “Aku ingin bertemu dengan Emely. Buka pintunya, cepat!”Bodyguard itu mengernyitkan dahi, merasa ragu untuk langsung mematuhi perintah dari pria asing yang baru pertama kali dilihatnya. Melihat reaksi tersebut, Erlan langsung melanjutkan, “Aku Ayahnya E
***“Tuan…” seru Porter dengan napas terengah-engah saat memasuki ruang kerja Blue. Matanya membelalak saat melihat kondisi ruangan yang kacau balau—meja terbalik, dokumen berserakan di lantai, dan tanda-tanda perkelahian jelas terlihat. Kekhawatiran terpancar dari wajahnya. “Apakah Anda terluka?” tanyanya dengan nada penuh kecemasan, berdiri tak jauh dari posisi Blue.Blue menggeleng pelan, mencoba menenangkan pria itu. “Aku baik-baik saja,” jawabnya singkat, suaranya tenang namun terdengar lelah.Porter tetap tidak puas dengan jawaban tersebut. “Tadi saya mendengar suara tembakan, Tuan. Benar Anda tidak apa-apa?” tanyanya lagi, kali ini lebih mendesak.Blue mengangguk kecil. “Yeah… aku baik-baik saja,” balasnya datar sambil melangkah ke arah meja kerjanya yang sudah berantakan. Ia berhenti di sisi meja, lalu mengambil dua lembar tisu dari salah satu laci. Dengan gerakan perlahan, ia menekan tisu tersebut ke sudut bibirnya, menyeka darah seg
Blue memilih untuk diam, bukan karena tidak bisa membalas tuduhan itu, melainkan karena ia tahu bahwa berbicara dalam situasi ini hanya akan menjadi sia-sia. Amarah Erlan sudah menguasainya sepenuhnya, dan penjelasan apa pun tidak akan bisa menembus tembok prasangka yang telah terbentuk.“Dengar baik-baik, Blue.” Erlan melangkah maju. “Kau tidak lebih dari seorang pria brengsek, asal kau tahu. Pria yang hanya tahu memanfaatkan situasi untuk keuntungan sendiri!” Desisnya tajam."Pria brengsek?" suara Blue terdengar dalam, nyaris berbisik. "Pria brengsek adalah pria yang meniduri wanita, lalu setelah menikmati tubuhnya, meninggalkannya tanpa rasa tanggung jawab. Pria brengsek adalah pria yang meniduri wanita dalam keadaan mabuk, menyakitinya tanpa dia sadari. Sedangkan aku? Dari segi mana kau menilai bahwa aku adalah pria brengsek?"Deg!Kata-kata Blue bagaikan tamparan keras, membuat Erlan terdiam. Blue tidak berhenti di sana. la mengambil napas dalam. "Aku meninggalkan Emely karena s
***Mendengar ucapan penuh keberanian dan tantangan dari Blue, amarah Erlan kian membara. Dadanya yang bidang terlihat naik turun, napasnya memburu, dipenuhi oleh kemarahan yang tak lagi bisa dibendung. Matanya menyala tajam, menatap Blue yang terbaring di lantai seperti seorang predator yang siap melahap mangsanya.Tanpa sepatah kata, Erlan melangkah maju. Sepatunya yang berkilau berhenti tepat di sisi tubuh Blue yang tampak lemah di lantai. Dengan gerakan tegas, Erlan mengangkat kakinya tinggi, bersiap menginjak dada Blue tanpa ampun, seolah ingin menghancurkan segala perlawanan yang tersisa dari pria itu.Namun kali ini, Blue tidak tinggal diam. Meski tubuhnya terasa remuk, insting dan pelatihannya selama bertahun-tahun sebagai mantan anggota klan Mafia segera mengambil alih. Dengan gesit, Blue menggulingkan tubuhnya ke samping, menghindari injakan Erlan yang mematikan.Tubuh Blue berulang kali mengguling di atas lantai yang dingin, mencoba menjauh dari serangan Erlan. Sementara it
Erlan memutar tubuhnya dengan tenang, tak memedulikan tatapan ketakutan yang mengiringinya. Langkahnya lebar saat ia berjalan menuju lift. Orang-orang di sekitar lobi hanya bisa menatap, beberapa mencoba mundur perlahan untuk menjaga jarak.Lift terbuka. Erlan melangkah masuk tanpa ragu—diikuti oleh bodyguard-nya, pintu logam itu tertutup dengan bunyi yang nyaris tidak terdengar, membawa pria paruh baya itu naik ke lantai 32—menuju ruang kerja Blue Sinclair, Direktur Utama sekaligus CEO Sinclair Ocean Technologies. Setelah berlalu dari lobi, Erlan akhirnya tiba di lantai yang dituju. Lift berhenti dengan lembut, dan pintunya terbuka lebar, memperlihatkan lorong panjang dengan pencahayaan modern yang menuntun ke ruang kerja Blue. Tanpa ragu, Erlan melangkah keluar. Di sisi lain, di dalam ruang kerjanya yang luas dan mewah, Blue tengah tenggelam dalam tumpukan dokumen yang berserakan di atas meja. Wajahnya serius, fokus sepenuhnya pada laporan yang sedang ia pelajari. Namun, konsentra