Wanita itu jelas mengenalnya. Blue adalah pengunjung tetap di tempat ini, meskipun ia selalu datang dengan alasan yang berbeda dari kebanyakan pria lainnya.
Blue menepis tangan wanita itu dengan gerakan cepat dan tegas. Matanya menatap tajam, memberi pesan yang tak terbantahkan. “Jangan ganggu aku. Aku di sini untuk urusan penting.” Suaranya dingin dan menusuk. Wanita itu langsung mundur dengan wajah tersipu, menyadari bahwa Blue tak sedang dalam mood untuk bermain-main. Ia mundur ke kerumunan tanpa sepatah kata lagi, sementara Blue melanjutkan langkahnya. Dengan tubuh tegap, Blue makin jauh masuk ke dalam club. Matanya yang tajam memindai seluruh ruangan sekali lagi. Kali ini, pandangannya terhenti pada sebuah meja di sudut ruangan. Ia melihat sosok wanita muda yang cukup familier. Rambutnya panjang bergelombang, dengan wajah ceria yang sulit dilupakan. Itu adalah Arwen, salah satu sahabat Emely. Blue segera melangkah cepat menuju meja itu. “Hai, Uncle Blue!” sapa Arwen dengan nada ceria. Senyumnya lebar, menunjukkan betapa ia mengenali pria itu. “Hai,” jawab Blue, mengulas senyum tipis yang hampir tak terlihat. “Kau melihat Emely di mana?” Ia bertanya tanpa basa-basi. Nada suaranya terdengar serius. Arwen tampak berpikir sejenak sebelum menjawab, “Tadi kata yang lain, Emely pergi ke toilet, Uncle. Tapi, dia belum kembali sampai sekarang.” Mendengar itu, Blue mengangguk singkat. “Oke, terima kasih,” ujarnya tegas. Ia lalu segera membalik tubuh dan melangkah lebar, meninggalkan meja. Pikirannya kini hanya tertuju pada satu hal: menemukan Emely. Langkah demi langkahnya makin cepat, hampir tergesa. Udara panas dan suara bising club tak lagi terasa. Ia hanya fokus menuju satu arah: toilet, tempat terakhir Emely terlihat. Detik-detik terasa seperti berputar lambat saat Blue berhenti di ujung lorong. Di bawah pencahayaan remang-remang yang memantulkan bayangan panjang, matanya menajam, memandang lurus ke depan. Napasnya memburu dan rahangnya mengetat ketika akhirnya ia menemukan apa yang dicari. Sosok itu, sang kucing seksi dan liar yang selama ini selalu memancarkan aura kebebasan, kini terlihat rapuh. Emely, wanita itu terpojok di dinding dengan ekspresi ketakutan yang begitu jelas. Tubuhnya gemetar, wajahnya memerah—bukan karena malu, melainkan karena terjebak di antara rasa takut dan ketidakberdayaan. Di hadapannya, seorang pemuda berdiri dengan sikap mendominasi, seolah-olaj menantang siapa saja yang mencoba mendekat. Blue tidak perlu mendengar kata-kata mereka untuk memahami apa yang terjadi. Matanya menangkap bagaimana Emely memalingkan wajah, berusaha menghindari pemuda itu, sementara tangan si pemuda mencengkeramnya dengan kasar, memaksa. Napas Blue bergemuruh, membakar seperti api yang menyala-nyala di dadanya. Darahnya mendidih. Hanya satu pikiran yang memenuhi kepalanya: tak ada seorang pun yang berhak memperlakukan kucing liarnya seperti itu. Tidak seorang pun. Tanpa pikir panjang, Blue melangkah maju. Langkahnya lebar dan berat, mengisi lorong dengan aura yang mengintimidasi. Ketika ia mendekat, tangannya terulur. Dengan gerakan cepat dan presisi, ia meraih kerah baju pemuda itu dari belakang, mencengkeramnya erat dengan kekuatan yang tidak main-main. “Apa ....” Sebelum pemuda itu sempat bereaksi, Blue menariknya dengan satu sentakan kuat. Tubuh pemuda itu terhuyung ke belakang, terlempar menjauh dari Emely yang langsung terduduk di lantai, memeluk tubuhnya sendiri. Delon berdiri sambil menatap Blue dengan penuh kemarahan. “Apa yang kau lakukan, brengsek!” Ia mendesis dengan suara penuh kebencian, meskipun ia tahu pria di hadapannya jelas lebih tua, lebih besar, dan lebih kuat darinya. Blue tidak menggubris omelan itu. Napasnya berat dan matanya hanya memancarkan satu hal: kemarahan. Tangan kanannya mengepal, urat-urat di lengannya menegang—memperlihatkan intensitas emosinya yang memuncak. “Kau mengganggu ....” Delon bahkan tidak sempat menyelesaikan kalimatnya. Dalam sepersekian detik, Blue melayangkan tinju keras ke wajah pemuda itu. Bug! Tubuh Delon terempas ke lantai dengan keras. Kepala dan punggungnya menghantam ubin yang dingin. Darah mengalir dari sudut bibirnya. Pemuda itu mengerang kesakitan, tangannya memegangi wajah yang baru saja ditinju. Emely memekik kaget sambil berusaha menjauh. Matanya membelalak, menatap pemandangan di depannya dengan perasaan syok dan tidak percaya. Namun, bukan Delon yang menjadi pusat keterkejutannya. Sesuatu yang membuat Emely terdiam kaku adalah sosok pria yang baru saja muncul seperti badai, Blue Sinclair. Ia tidak menduga pria itu akan ada di sini, apalagi membelanya dengan begitu ganas. Blue melirik sekilas ke arah Emely, memastikan wanita itu tidak terluka, sebelum kembali mengalihkan pandangan pada Delon yang tengah berusaha bangkit. Tanpa mengurangi intensitasnya, Blue berkata dengan nada rendah yang penuh ancaman, “Jika kau menyentuhnya lagi—atau bahkan hanya memikirkan tentang dia—aku pastikan kau tak akan bisa bangkit dari tempat tidur selama berbulan-bulan, atau bahkan selamanya!” Delon terdiam, tubuhnya menegang di tempat. Mata Blue seperti belati, memotong keberaniannya sedikit demi sedikit. Kemudian, Blue berbalik, mengulurkan tangannya ke arah Emely yang masih terduduk di lantai. Emely menatap tangan itu dengan ragu. Matanya bertemu dengan tatapan Blue yang sama tajamnya ketika pria itu menatap Delon. Perlahan, ia mengulurkan tangan, membiarkan pria itu membantunya berdiri. ***“Early, itu bukan anaknya Uncle Blue?” tanya Rich sambil menunjuk seorang gadis kecil yang tampak kebingungan. Dia adalah Amara. Early mengikuti arah pandangan Rich dan melihat Amara berdiri di sudut ruangan dengan wajah bingung. Bocah itu tampak seperti sedang mencari seseorang. “Sebentar,” ucap Early, meninggalkan saudaranya dan berjalan menghampiri Amara. “Hey, Amara?” sapanya lembut sambil meraih tangan mungil gadis itu. Amara terkejut sesaat sebelum mendongak menatap Early. “Uncle Early?” “Kamu lagi cari siapa, hmm?” tanya Early. “Aku cari Aunty Talia. Aku mau minta tolong antar ke toilet. Aku mau pipis,” jawab Amara polos, wajahnya menunjukkan betapa tersiksanya dia menahan keinginannya. “Uncle antar, mau?” tawar Early karena merasa iba. Menahan pipi adalah sesuatu yang tidak enak. “Mau, Uncle? Boleh?” Amara bertanya dengan mata berbinar. “Tentu saja,” jawab Early sambil menggenggam tangan kecil Amara. “Ayo, kita cari toilet,” ajaknya. Ketika Early dan Amara pergi, Ric
*** Pesta malam itu digelar dengan megah di Hotel Armani Milano, salah satu hotel paling mewah dan bergengsi di jantung kota Milan. Bangunan ini memadukan keanggunan arsitektur modern dengan kehangatan desain klasik khas Italia. Lobi hotel dihiasi lampu gantung kristal yang berkilauan, sementara lantai marmernya memantulkan kemegahan dekorasi bunga segar dan ornamen berlapis emas yang tersebar di seluruh ruangan. Ballroom utama, tempat resepsi berlangsung, dihiasi dengan nuansa putih dan emas, menciptakan suasana mewah namun tetap romantis. Tirai panjang dari kain sutra menghiasi dinding, sementara meja-meja bundar dilapisi kain beludru dengan centerpiece bunga mawar dan lilin aromatik. Emely, kini telah berganti ke gaun pengantin keduanya yang memukau. Gaun putih panjang itu dirancang dengan detail mewah, menampilkan potongan punggung terbuka yang memberikan kesan seksi namun tetap elegan. Bahan gaun terbuat dari satin berkilau dengan aksen renda halus yang melapisi bagian p
*** Di jantung kota Milan, berdiri megah Duomo di Milano, sebuah katedral ikonik yang menjadi saksi ribuan kisah cinta selama berabad-abad. Hari ini, katedral itu menjadi tempat sakral di mana Blue dan Emely akan melangsungkan pemberkatan pernikahan mereka. Setelah perjalanan panjang selama dua bulan yang penuh persiapan dan harapan, akhirnya pasangan itu sampai di titik ini—momen yang telah lama mereka nantikan. Di hadapan Tuhan, mereka akan berjanji untuk sehidup semati, mengikat cinta mereka dalam ikatan suci yang tak tergoyahkan. Hari itu, suasana di sekitar katedral penuh dengan kehangatan dan antusiasme. Keluarga besar dari berbagai penjuru datang, khusus untuk menyaksikan pernikahan Emely, salah satu cicit dari keluarga Blaxton. Di sisi lain, keluarga Sinclair tak kalah antusias. Jika dibandingkan dengan pernikahan Blue sebelumnya, kali ini seluruh keluarga Sinclair, dari berbagai generasi dan wilayah, hadir untuk memberikan restu mereka. Keindahan katedral Duomo di Milano
Mendengar cerita Amara, tiba-tiba suara berat Erlan memecah suasana. “Mommy sama Daddy berendam di mana, Nak? Bareng sama Amara?” tanyanya dengan nada penasaran campur curiga. Sejenak, ruangan itu mendadak hening. Semua mata kini tertuju pada Erlan, termasuk Blue dan Emely. Wajah Emely langsung memanas, tubuhnya sedikit kaku. Dia menggigit bibir bawahnya, merasa gugup mendengar pertanyaan sang ayah. Apalagi ketika pikirannya melayang ke momen-momen intim antara dirinya dan Blue di jacuzzi tadi. ‘Aduh, bisa gawat kalau Daddy tahu apa yang terjadi tadi di jacuzzi,’ batinnya cemas. Sementara itu, Blue terlihat sangat tenang—mungkin terlalu tenang. Sikap santainya yang berlebihan justru membuat Emely semakin gelisah. Amara, yang polos seperti biasanya, mengalihkan pandangannya ke arah Erlan. Matanya berbinar cerah saat menjawab, “Tidak, Grandpa. Tempatnya terpisah. Aku berenang di luar bersama teman-teman, sedangkan Mommy sama Daddy berdua saja di dalam ruangan. Mereka berendam di jac
*** “Mommy, Daddy, kenapa pintunya ditutup?” tanya Amara, sambil berdiri di dekat pintu ruangan jacuzzi. Wajah mungilnya menatap bergantian antara Blue dan Emely dengan rasa penasaran. Baru saja Amara masuk ke dalam ruangan tempat Blue dan Emely berendam, diantar oleh seorang petugas yang berjaga di kolam renang luar. Sementara itu, Blue dan Emely sudah keluar dari jacuzzi dan sedang mengganti pakaian serta mengeringkan tubuh mereka. “Pintunya memang harus ditutup, Nak. Ruangan ini memang khusus untuk privasi orang dewasa,” jawab Blue dengan suara lembut. “Tapi, ‘kan di luar juga ada orang dewasa, Daddy,” Amara balas sambil melipat kedua tangan di dada, tampak berpikir keras dan menatap sang ayah dengan ekspresi penasaran. “Begini, Nak. Di luar itu terbuka, ramai, dan orang-orang bebas masuk. Tapi di sini, di ruangan ini, kita mencari ketenangan. Jadi, orang yang masuk ke sini memang sengaja mencari suasana yang lebih tenang dan privasi. Itu sebabnya pintunya harus tetap tertutu
Namun, tiba-tiba, dengan gerakan sigap, Blue mengangkat tubuh ramping Emely dengan mudah ke atas pangkuannya. Air di jacuzzi sedikit bergolak akibat gerakan mendadak itu. Emely memekik kecil, terkejut dengan tindakan pria itu. Namun, dengan refleks, kedua lengannya segera melingkar di leher kekar Blue, berusaha menyeimbangkan diri. Tatapan mereka bertemu dalam jarak yang begitu dekat. Emely memandang Blue dengan mata yang sedikit membesar, penuh rasa gugup. Di sisi lain, Blue hanya menatapnya dengan tatapan intens penuh kekaguman. Sorot mata pria itu seolah mengungkapkan sesuatu yang lebih dalam daripada sekedar cinta. Blue tersenyum kecil, sebuah senyum yang menawan dan sarat makna. Baginya, gadis cantik di hadapannya ini adalah segalanya, membuatnya tak pernah tergoda oleh ribuan wanita lain yang menawarkan diri di luar sana. Bagi Blue, Emely adalah satu-satunya, makhluk Tuhan yang diciptakan khusus untuk dirinya. "Kau sangat cantik, Emely," bisik Blue dengan suara yang rendah,