Share

7

Perlahan dapat kulihat wajah anak di depanku. Sedikit-banyak ingatanku mulai kembali.

“D...Dimas???”

Anak itu menyeretku dan menghempaskanku ke dinding kelas.

Dimas adalah orang yang dulu sangat kutakuti. Dengan seringainya yang bagiku lebih mirip setan, aku ingat bahwa saat-saat istirahat adalah waktunya ia menghajarku, selama dua tahun masa Taman Kanak-kanak. Dua tahun yang harus kulalui dengan mewaspadai keberadaannya, setiap kali jam istirahat tiba.

“Ciaaaattt!!! Ciaaattt!!!” ia menendangiku.

Aku memandanginya, merasa heran. Apakah hal ini yang dulu kutakuti?

Tendangannya sama sekali tidak terasa bagiku. Bahkan kalau mau aku bisa membuatnya terjungkal kapan pun.

Ya, kapan pun.

Haruskah kulakukan?

Sepertinya memang demikian.

Aku harus mencobanya.

Baiklah, sekali saja.

Kudaratkan tinjuku lurus mengenai hidungnya.

Ia terjengkang ke belakang, nampak terkejut. Dimas berusaha kembali maju, namun sebelumnya kutendang kursi di sampingku.

Bukan ke arah Dimas, tapi ke arah Ibu-ibu yang sedang ngerumpi menunggui anak mereka sekolah.

Kursi yang mendarat tepat di depan mereka cukup untuk membuat Ibu-ibu di sana melihat ke arah kami.

Kubiarkan Dimas memukuliku.

Satu... dua... tiga... empat kali, sambil kukumpulkan tenaga terpusat di kaki kananku.

“Hei Dimas, jangan!” kata seorang Ibu dan diikuti oleh Ibu-ibu lainnya.

“Nakal ya!!!” kata seorang Ibu lain.

Lima... enam... oke sudah cukup.

Sebelum pukulan ketujuhnya mendarat, kuarahkan tendanganku sekuat tenaga menuju kemaluannya.

Suara “BUKKK” cukup keras terdengar.

Dimas terjengkang, memegangi kemaluannya, lalu mulai menangis keras. Sangat keras sampai rasanya telingaku menjadi pekak.

Guru-guru berdatangan, Ibu-ibu tadi berkasak-kusuk.

Sekolah dibubarkan pada hari itu.

Mbok Jah yang menjemputku diminta oleh Bu Elly untuk mengabari Papa dan Mama bahwa mereka dipanggil ke sekolah esok hari.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status