Share

6

Matahari sudah mulai terlihat waktu aku bangun.

Segera kutegakkan badanku, bersiap untuk salat subuh yang pasti sudah sangat terlambat. Saat kukerjapkan mataku, kulihat pemandangan di sekelilingku, lalu kembali kuingat ada di mana aku saat ini. Padahal hati kecilku berharap semua yang kelalui kemarin hanyalah mimpi.

Tapi tidak terkabul.

“Eh, sudah bangun, pinter bisa bangun sendiri,” suara Mama ceria.

“Ayo sarapan, terus siap-siap ya dek,” Papa menimpali.

Di pinggir tempat tidur sudah tersedia celana pendek dan rompi biru, serta kemeja putih.

Sialan, benarkah ini terjadi???

Usiaku benar-benar empat tahun. Jadi aku masih taman kanak-kanak.

Dan...ini benar-benar harus kulakukan?

Aku benar-benar harus pergi ke Taman Kanak-kanak???

Aku menolak saat Mama hendak memakaikan bajuku. Mama pun nampak terheran-heran.

Kupandangi seragam putih dan rompi biru, juga celana pendeknya.

Benarkah ini?

Bukan mimpi?

Aku benar-benar harus memakainya?

Lalu aku akan pergi ke taman kanak-kanak?

Taman kanak-kanak tempatku sekolah dulu?

Cukup lama aku terdiam. Aku tidak ingat berapa lama, hanya Mama yang menyadarkanku dengan mulai memakaikan bajuku. Namun tetap kutampik tangan Mama.

“Aku bisa, Ma,” sergahku.

Tidak kulihat wajah Mama, untuk tidak menambah beban pikiranku karena mengira-ngira apakah ia menyadari keanehan pada diriku.

Kupakai baju dengan cepat, sambil kupandangi wajahku di cermin. Sejak tadi malam aku telah berusaha menerima apa yang terjadi, meskipun demikian tetaplah wajah yang terpantul di cermin membuatku syok.

Sebuah wajah dari anak berusia empat tahun, namun dengan tatapan mata yang jauh lebih dewasa. Bahkan aku pun tidak mengenali wajahku sendiri. Sangat berbeda dengan foto-fotoku waktu kecil yang pernah kulihat.

Jika aku saja menyadari, tidakkah semua orang di rumah juga?

Sempat terpikir, mungkin aku harus berpura-pura sakit untuk tidak pergi ke sekolah hari ini. Mama dan Papa pasti mengerti. Aku belum siap menghadapi semua yang terjadi, seandainya ini memang benar-benar nyata.

Tapi di satu sisi, aku juga penasaran.

Sejauh apa yang terjadi saat ini?

Ditambah lagi sebagian kecil diriku masih menganggap bahwa mungkin saja ini hanya sebuah lelucon. Pada akhirnya akan muncul kamera televisi yang bertujuan mengejutkan. Bahwa selama ini aku hanya terjebak dalam sebuah reality show yang konyol.

Aku duduk di meja makan persegi yang telah lama kulupakan. Roti tawar Holland Bakery dan susu coklat yang telah lama kulupakan, ternyata pernah menjadi menu sarapan rutinku. Sesekali kupandangi Mbok Jah yang sedang mencuci piring.

Ia benar-benar masih hidup.

“Mau tambah lagi rotinya?” tanya Mama.

Aku mengangguk.

Mama mengenakan blus dan rok, siap untuk berangkat kerja. Bagiku pakaian Mama tampak sangat kuno.

Tapi ini adalah 1989, jika memang benar adanya. Apa yang dikenakan Mama adalah pakaian modern untuk zaman sekarang.

Aku masih termenung memikirkan apa yang akan terjadi.

“Ferre, kamu kenapa?” tanya Papa.

Sebenarnya aku masih ingin menjawab bahwa aku merasa kurang enak badan dan tidak bisa masuk sekolah. Tapi setelah kupertimbangkan, memangnya sampai kapan aku bisa menunda? Jika tidak hari ini, besoknya pun aku harus masuk sekolah.

“Saya...cuma butuh udara segar, Pa,” kataku akhirnya.

Aku beranjak ke luar.

“Ferre kebanyakan sarapannya ya kayaknya?” Ternyata Mama mengikutiku.

“Iya, sepertinya, Ma,”

Mama kembali terbengong-bengong.

“Saya mau duduk sebentar,” kataku sambil menghempaskan tubuhku di kursi teras.

Mama beranjak masuk, kembali bersiap-siap.

Sementara menunggu, aku memandangi tanah kosong di depan rumah kami. Semestinya ada sebuah rumah di sana. Rumah yang hampir setiap hari diwarnai pertengkaran.

Kuingat masa-masa ketika kami menghabiskan waktu bertahun-tahun menyaksikan penghuni rumah tersebut bertengkar. Beberapa tahun lagi akan tiba, ketika rumah tersebut setiap malamnya selalu ditingkahi dengan suara barang-barang dibanting.

“Ayo, sudah siap tas sekolahnya?” kata Papa meyentakku dari lamunan.

Lalu Papa mengantarku dengan mobil Suzuki-nya, menuju Taman Kanak-kanak. Jalanan komplek rumah kami masih berbatu-batu, sebagian kavling belum memiliki rumah. Rumah-rumah yang ada sekalipun sebagian belum memiliki pagar.

Aku teringat foto-foto di album milik Mama dan Papa yang menggambarkan masa kecilku. Sekarang jalanan yang kulalui sama persis dengan yang ada di foro-foto tersebut. Bahkan tidak semua jalanan di kompleks ini memiliki tiang dan kabel listrik.

Cahaya matahari pagi menghiasi jalanan. Tampaklah siluet orang-orang berpakaian sederhana. Kemeja mereka pun warnanya sangat terbatas.

Dan tidak ada satu pun orang yang mengenakan masker.

Ini memang tahun 1989.

Virus Corona belum lagi lahir.

Belum ada pandemi mengerikan yang melanda dunia, termasuk ke negeri ini.

Tanah lapang masih sangat banyak tersedia. Mayoritas dari mereka dipenuhi rumput ilalang. Semuanya tampak tidak terurus. Dari balik rumput-rumput ilalang terkadang muncul kucing atau bahkan anjing.

Dari sini kusadari bahwa ini benar-benar 1989. Teori reality show-ku tinggal harapan.

Ya Tuhan..., lagi-lagi aku membatin.

Hari-hari yang kulalui di masa ini, tidak pernah sepenuhnya kuingat. Hanya ingatan-ingatan samar yang sesekali muncul dalam lamunanku.

Berapa kali aku telah melewati jalan ini?

Ini jalan tempat aku berkelahi dengan anak kampung, entah tak terhitung berapa kali. Sebabnya entah kenapa, aku juga tidak begitu mengingatnya. Yang jelas selalu ada alasan untuk berkelahi, apa pun itu.

Mama menciumku saat kami mencapai sekolah. Aku turun dari mobil Papa dan masih berjalan dengan gontai menuju kelas, memasuki tempat dengan pagar berwarna-warni.

Sambil berjalan, perlahan kunikmati udara yang kuhirup. Betapa tidak, sebelum ini, setiap hari dalam beulan-bulan terakhirku di tahun 2020 selalu kulewati dengan menggunakan masker apabila sedang berada di luar rumah. Kini aku bisa menghirup udara segar tanpa harus terhalang oleh masker.

Kupejamkan mataku selama beberapa saat, kembali berpikir bahwa ini memang mimpi.

Ternyata tidak.

Di halamannya berbagai macam ayunan dan perosotan masih menghiasi tempat ini. Ayunan dan perosotan yang seingatku sudah lama dimusnahkan. Tangga-tangga yang melengkung untuk anak-anak bermain panjat-panjatan.

Semua anak berlarian, berkejar-kejaran, sambil ibu-ibu mereka duduk di pinggiran, mengobrol satu sama lain. Beberapa anak melewatiku, sebagian memanggil namaku.

“Ferre!” seorang anak perempuan menyapaku.

Kupaksakan senyum, dan ia pun berlalu.

Siapa dia?

Wajahnya cukup familiar. Namanya...entahlah, aku sama sekali tidak ingat.

Dindingnya penuh dengan gambar tokoh-tokoh Disney yang kemiripannya cukup jauh dari tokoh aslinya. Bahkan di kaca jendelanya pun digambari karakter mirip Donal Bebek.

Juga lapangan besar di samping halaman. Baru kali ini aku ingat bahwa pernah ada lapangan sebesar itu di samping taman kanak-kanakku. Juga baru sekarang terpikir tentang siapa pemilik tanah lapang tersebut. Yang pasti bukan milik sekolah. Kucoba mengingat apa yang akan terjadi. Yang pasti lapangan itu akan hilang. Lapangan yang biasa dipakai berkejaran oleh anak-anak pada jam istirahat.

Tidak ada pertanyaan lagi. Entah kepalaku terbentur cukup keras saat aku jatuh di bar tadi malam, atau apa. Mungkin saja aku sedang bermimpi dalam keadaan koma.

Atau mungkin juga tidak.

Di dalam kelas, bangku-bangku dan meja berwarna biru, merah, kuning, dan hijau telah menungguku.

Kupandangi setiap bangku, tanpa tahu harus duduk di mana. Maka aku berdiri dan menunggu semua anak datang dan duduk sehingga hanya satu bangku yang tersisa kosong.

Itu pasti bangkuku.

Dua orang berseragam serba biru masuk ke kelas.

Mereka langsung berdiri di depan, dan memberi aba-aba. Anak-anak mengikutinya, dan mulai bernyanyi.

Ya Tuhan, masa-masa ini...

Masa-masa yang telah lama kulupakan.

Benarkah sungguh terjadi?

Aku tidak lagi bisa menyangkal. Mau tidak mau, aku harus mulai bisa menerimanya, meskipun batinku tidak.

Terakhir kali aku sekarat di rumah sakit. Saat itu tahun 2020.

Lalu aku mati, dan terbangun di 1989?

Tidak ada penjelasan yang masuk akal di sini. Memang sering sekali kubaca tentang teori mesin waktu yang dengan teknologi futuristik membawa pengendaranya pergi ke zaman mana pun. Kuakui mesin waktu adalah salah satu obsesi yang belum pernah kucapai.

Namun kini?

Tidak ada teknologi apa pun yang menyertaiku, hanya saja tubuhku kembali ke fase anak kecil, juga zamannya.

Jadi, hanya pikiran dan jiwaku yang menjelajah waktu?

Lalu apa yang terjadi dengan tubuhku di tahun 2020?

Terbaring di rumah sakit, lalu disimpan dalam lemari pendingin?

Kemudian bagaimana dengan Rita dan keluarga kami?

Apakah mereka langsung tergopoh-gopoh pergi ke rumah sakit, lalu menemukan diriku yang sudah menjadi mayat?

Setelah itu mungkin saja mereka mengadakan tahlilan di rumahku.

Siapa saja yang akan datang?

Adakah yang mau mendoakan seorang kepala keluarga yang mati karena Corona?

Atau sebenarnya aku belum mati?

Melainkan hanya pingsan atau koma?

“Tangan di kepalaaaa,” guru kami, yang kuingat sebagai Bu Elly, memberikan aba-aba untuk menyanyikan lagu pembuka hari.

Jika aku mengikutinya, bukan berati aku senang. Aku hanya pangling, terpana. Selama ini aku telah melupakannya, bagaimana kabarnya sekarang? Ah tidak, maksudku bagaimana kabarnya tiga puluh tahun lagi?

“Ferre, kok diam?” Bu Elly menyapaku, tersenyum.

“Oh iya Bu, maaf,”

Bu Elly tertegun.

Aku sadar, tapi bertanya-tanya.

Apakah aneh seorang anak berumur empat tahun meminta maaf?

Lalu aku harus melakukan apa agar nampak wajar?

Waktu baru menunjukkan pukul setengah sembilan, tapi bel istirahat telah berbunyi.

Enak sekali pekerjaan guru-guruku ini, pikirku. Mereka semua lalu mengobrol, beberapa menerima kue bekal dari anak-anak yang dengan senang hati mengantarkannya ke meja guru tanpa diminta.

“Poppy, makasih yaaaa...” kata bu Ivonne.

“Shinta, mau ngasih lagi kayak kemarin?” Bu Elly tersenyum kepada Shinta.

Shinta berlari ke meja guru sambil berseri-seri, memberikan sebuah kue donat utuh kepada Bu Elly.

Aku memandang Bu Elly dengan setengah tidak percaya.

Dahulu aku akan sangat senang jika mendengar beliau meminta makanan bekalku, entah bagaimana itu menjadi kehormatan untuk kami.

Kehormatan dapat memberikan sesuatu pada guru yang sangat kami agungkan.

Kini aku memandang Bu Elly dengan jijik. Ia tak lebih dari seorang manipulator yang memanfaatkan keluguan anak kecil. Untung saja dia tidak menjadi anggota DPR. Dia kami bayar, mendapat gaji dari iuran bulanan kami.

Lalu dia juga masih meminta bekal kami?

Aku ingat dosen-dosenku di ITB. Mereka tidak pernah bersedia menerima apa pun, bahkan sekadar cendera mata, dari mahasiswa yang lulus setelah mereka bimbing. Mereka memegang teguh idealisme bahwa mereka sudah menerima uang gaji dari ITB, sehingga tidak layak menerima apa pun selain itu untuk pekerjaannya sebagai dosen.

Mengingat dosen-dosenku, lalu memandangi Bu Elly, aku merasa jijik. Sangat jijik. Bahkan sampai ingin muntah.

Yang terbersit di benakku adalah, haruskah kujalani semuanya lagi?

Tahun-tahun penuh rasa sakit, bullying, dan lebih parahnya lagi adalah sekarang aku tahu semua itu akan terjadi.

Haruskah aku diam saja?

Bisakah aku tidak perlu mengalami itu semua lagi?

Apakah mungkin aku menghindar?

Kepalaku pening sendiri memikirkannya. Aku butuh udara segar. Kuputuskan untuk pergi ke luar kelas, menghirup udara segar. Baru saja beberapa langkah kulewati pintu kelas, tiba-tiba napasku tercekat.

“Mau ke mana?” kata sebuah suara di sampingku.

Leherku sakit.

Orang ini, si pemilik suara, mencengkeram leherku dengan kedua tangannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status