Share

Chapter 2 PUPUS

Ani yang begitu mendengar keributan dari arah luar segera menghampiri sumber suara dan saat ia melihat keadaan suaminya yang lemas dalam pelukan sang putri, iapun jatuh tak sadarkan diri. Para anggota kepolisian dan Ayu segera membawa kedua orangtuanya ke rumah sakit terdekat. Ayu sudah tidak mempedulian apa-apa lagi, bahkan kejanggalan kedatangan para pria yang mengaku dari kepolisian tersebut.

Ia baru menyadari hal itu saat di rumah sakit. Bahkan mobil yang mendatangi rumahnya itu bukan mobil yang dipakai para polisi tidak ada satupun lambang kepolisian terlihat. Mereka berjumlah enam orang dengan mengendarai dua mobil berwarna hitam, yang lebih terlihat aneh lagi untuk apa orang sebanyak itu untuk menjemput satu orang saja. Apa maksud kedatangan mereka sebenarnya? Pemikiran itu berkecamuk tumpang tindih di benaknya. Ayu menarik nafas panjang seraya menatap bilik tempat sang ayah dan ibunya di rawat. Ia kemudian mencari keberadaan para polisi itu yang saat ini malah tidak tampak satupun untuk menemaninya.

Tetapi ia melihat dari arah loby Rumah Sakit, pak RT, bu Yanti dan Ika tergopoh-gopoh berjalan beriringan ke arahnya. Ayu menarik nafas lega, paling tidak dirinya tidak menghadapi saat menegangkan ini seorang diri.

“Ya ampun, apa yang terjadi?” tanya bu Yanti ibunda Ika.

“Tadi itu ada polisi ke rumah, trus bawa surat penangkapan untuk Bapak. Belum apa-apa Bapak udah pingsan,” jawab Ayu.

“Kamu yakin itu dari kepolisian?” tanya pak RT.

“Bapak barusan hubungi Mas Ahmad, tapi dia bilang nggak ada tuh surat edaran untuk menangkap bapakmu,” tambah pak RT lagi.

Ayu  yang tadi berwajah lesu seketika bertambah pias dan melotot menatap pak RT. Jadi apa yang ia pikirkan saat ini benar adanya. Tetapi ia ingin memastikan apa yang dirinya pikirkan kepada pak RT.

“Jangan-jangan mereka polisi gadungan ya Pak?” tanya Ayu.

“Bisa jadi, Yu. Mana suratnya kamu simpan nggak? Bisa buat bukti di tunjukkan pada Mas Ahmad,” pinta pak RT.

Ayu menggeleng frustasi karena ia sama sekali tidak menyimpan surat itu. Fokusnya hanya berpusat kepada sang ayah hingga ia melupakan hal itu.

“Nggak ada Pak, tadi Bapak tuh jatuhnya di teras mungkin masih di teras rumah Ayu, Pak.”

“Nggak ada apa-apa, Yu. Tadi aku dah ke rumahmu, untuk tutup pintu depan yang terbuka lebar. Bu Yan tetangga depan rumahmu yang bilang. Sebelum ke sini aku bahkan sudah membersihkan bekas baksomu yang mengotori lantai,” terang Ika.

“Beneran nggak ada apa-apa?” tanya Ayu lagi.

“Iya beneran suer,” jawab Ika seraya kedua jarinya membentuk tanda V.

“Keluargamu sepertinya dikerjai orang, Yu. Lagipula Pak Damar baru saja pulang mana mungkin polisi langsung menagkap. Sudah pasti sebelumnya pasti diberikan surat panggilan dahulu. Tidak segampang itu polisi langsung menetapkan sebagai tersangka,” terang pak RT.

Ayu semakin tertegun meresapi semua yang terjadi hari ini sekaligus dengan firasat yang ia rasakan selama ini.

“Keluarga Damar Prawira?!” seru seorang perawat dari bilik tindakan. Ayu dan ketiga orang lainnya segera mendekat.

“Siapa keluarga Pak Damar?” tanya perawat bernama Arwi itu memastikan.

“Saya Bu,” jawab Ayu dengan suaranya yang bergetar, cairan bening sudah menumpuk mengaburkan pandangannya. Ia tahu hal buruk sedang terjadi di dalam sana, Ayu tetap tidak siap menerimanya.

“Mari …,” bimbing perawat itu untuk Ayu masuk ke bilik.

Di dalam sana tubuh sang ayah sudah terbujur kaku dan tertutup dengan selimut rumah sakit. Tatapan mata Ayu tak terlepas dari ranjang sang ayah, bahkan perkataan dokterpun tak lagi ia dengar. Seolah-olah semua suara berkumpul dan berdengung seperti lebah di dalam otaknya sampai memekakkan telinganya. Ayu berteriak sekuat tenaga seraya menggeleng-gelengkan kepalanya dan menutupi kedua telinganya. Dunianya sudah runtuh saat itu juga, cinta pertama setiap anak gadis sepertinya telah pergi. Nasehat ayahnya hari ini bagaikan kaset yang diputar berulang-ulang dibenaknya. Bahkan dibutuhkan dua orang perawat dan satu dokter itu untuk menahannya agar tidak terjatuh, pada akhirnya ia pingsan dan mendapatkan perawatan bersama sang ibu yang masih belum sadarkan diri.

Ayu memakai jaket dan syalnya rapat-rapat, suhu udara setelah turun hujan sangat dingin. Ayu segera mengambil tas kecil dan helm dari dalam loker kerjanya. Sift kerja malam ini sudah selesai.

"Ayu pulang dulu ya Firsa?!" Ayu berpamitan pada teman kerjanya.Ayu bekerja di sebuah rumah makan yang buka 24 jam nonstop dan bersebelahan dengan pompa bensin.

"Hati-hati ya Yu! Kamu langsung ke rumah sakit ?" tanya Tono sembari berjalan mengiringi Ayu ke pintu depan.

"Iya Ton, Ibu nggak ada yang jaga," jawab ayu sedih mengingat ibunya yang terbaring sakit kanker paru-paru.

"Panjang sabar ya Yu, semoga Ibu segera diberi mujizat," hibur Tono.

"Amin. Makasih Tono."

"Sekali lagi hati-hati, jika ada apa-apa hubungi kami," pesan Firsa.

"Makasih," jawab Ayu sembari membuka pintu kaca depan.

Saat ia menuju tempat parkir kendaraan, dirinya melihat pacarnya Evan sedang mengisi bensin bersama dengan seorang gadis manis bernama Debora teman sekolahnya dulu.

Ayu memicingkan matanya. Ia seperti tak percaya dengan penglihatannya, Ayu mengusap kedua matanya agar semakin jelas pemandangan di depannya itu.

Lho Benar! Itu Evan, kok dandanannya keren sekali pake mobil lagi?

Setahu Ayu, Evan adalah seorang yang sederhana seperti dirinya. Bukan berasal dari keluarga kaya. Sedangkan Evan, yang ia saat ini lihat adalah seorang Evan yang menaiki mobil sedan mewah, yang sudah pasti harganya tidak murah.

Ayu sengaja melihat dari kejauhan. Masih berat langkahnya ingin mendekati Evan, dadanya berdebar tak tenang, timbul denyut pedih di hati.

Evan ndak mungkin bohong ah. Apa mungkin dia hanya mempermainkanku?

Debora keluar dari mini mart dan menghampiri Evan yang berdiri di sisi mobil bagian belakang. Gadis itu tersenyum ceria dan berjinjit mengalungkan kedua tangannya di leher kemudian mencium bibir Evan. Ayu terperangah, reflek ia menutup kedua mulutnya dengan tangannya. Airmata sudah turun dipipi gembulnya. Sakit hatinya melihat kenyataan yang ada di depan matanya, terlebih Evan tidak menolak dengan apa yang ditawarkan oleh Debora tadi. Evan sepertinya tampak menikmati hal itu. Ayu sedikit merasa marah dan dicurangi tentu saja dengan apa yang dilakukan oleh Evan dan Debora. Padahal Evan sendiri tahu jika Debora sedari dulu tidak pernah suka dengan keberadaan Ayu yang dianggap sebagai gadis sederhana dan tidak pantas untuk bersekolah di sekolah favorit seperti mereka. Reflek Ayu seketika berlari menghamoiri Evan dan Debora yang akan segera membuka pintu mobil.

"Evan ...!" seru Ayu.

"Apa-apaan ini?!" tanya Ayu sesampainya di dekat kedua orang tersebut.

"Eh! Ayu?" Evan  tampak salah tingkah, gugup memandang bergantian dari Debora kemudian Ayu.

"Kamu 'kan sudah jadi mantannya Evan, move on dong Yu!" ujar Debora ketus, matanya melotot tajam ke arah Ayu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status