Share

Chapter 6 TEGURAN

"Ayu, itu namamu bukan?" tanya Kian tegas seraya menatap datar ke arah Ayu.

Ayu, merespon dengan cepat menganggukkan kepalanya.

"Antar kudapan dan kopi hitam ke ruang kerjaku se ka rang," titah Kian lagi, lalu meninggalkan ruang makan menuju lantai 2 ke dalam ruang kerjanya yang bersebelahan dengan kamar tidurnya.

"Baik Tuan." Ayu segera menyiapkan nampan dan menu yang diminta oleh Kian.

Kian menghenyakkan pinggulnya di kursi kerjanya, sembari mempelajari beberapa dokumen berkas kerja yang harus segera ia tanda tangani. Bertepatan dengan  Ayu yang mengetuk pintu ruang kerjanya.

"Masuk ...." Pandangan mata Kian tak lepas dari daun pintu yang dibuka secara perlahan dan gadis mungil itu berjalan masuk.

Wajah Ayu tampak kebingungan, seraya matanya menyisiri seluruh penjuru ruangan yang terasa hangat dan nyaman. "Maaf tuan saya taruh di mana kudapan dan kopinya?" tanya ayu ragu dan bingung.

"Menurutmu harus di taruh di mana?" kata Kian tajam, entah mengapa rasa jengkelnya tak juga sirna karena teringat dengan paras Ayu yang merona saat digoda oleh Mario tadi.

Ya, wajar saja bukan? Ayu yang jelas masih muda dan normal menanggapi rayuan pria tampan seperti Mario.  Ayu dengan kecanggungan dan merasa sedikit terintimidasi menengadahkan kepalanya menatap Kian, kemudian kembali menunduk ia takut menatap mata setajam elang tersebut. Selama ini ia tidak pernah bertemu dengan pria setegas dan sangat mendominasi seperti Kian. Bahkan mantan pacarnya. Ayu meringis saat tersadar mulai membandingkan kedua pria tersebut. Bersama dengan Evan, Ayu tidak pernah merasa terintimidasi sama sekali.

"Emm saya taruh di meja sini saja ya Tuan." Ayu segera menghampiri meja rendah di depan sofa yang terletak tak jauh dari tempatnya berdiri.

Tatapan mata Kian tak lepas dari gerak-gerik Ayu yang kaku dan canggung, untung saja pengendalian diri Ayu cukup baik. Setidaknya nampan yang ia pegang tidak bergetar dan menumpahkan segala yang ada di atasnya pada lantai kayu yang mengkilat seraya meneriakkan kata mahal.

"Sudah Tuan, sekarang saya permisi undur diri dulu," ujar Ayu dengan penuh kelegaan.

Saat Ayu membalikkan badannya dan tangannya sudah meraih gagang pintu. Ucapan Kian membuatnya terpaku. Ia berbalik bertatapan dengan Kian, entah mengapa nama suara Kian seolah menghipnotisnya untuk tetap patuh berada di sana, walaupun benaknya menyuruh untuk segera angkat kaki dari hadapan pria tampan tersebut.

"Aku belum mengijinkanmu pergi," ujar Kian seraya beranjak dari kursinya dan pindah duduk di sofa.

Kian memberi kode dengan dagunya. "Duduklah di sana," titah Kian seraya menunjuk sofa tepat di belakang tubuh Ayu.

Ayu segera duduk berhadapan dengan Kian, ia semakin merasa gugup dan risih. Tak betah berlama-lama dalam satu ruangan dengan Kian. Ia tidak ingin menampilkan kesan buruk di hari pertamanya bekerja tentu saja. Walaupun semua orang tampak sangat baik kepadanya.

"Kenapa gugup? Aku tak akan memakanmu," ujar Kian dengan tatapan tajam menaikkan salah satu alisnya dan muka datarnya.

Ayu menggeleng dan menunduk menutupi bibirnya yang mencebik tidak setuju dengan perkataan Kian.

"Kau tidak takut denganku bukan?" tanya pria tampan itu.

Ayu menengadahkan kepadanya dan menggeleng pelan. "Nggak dong Tuan, Ayu belajar dari bulu ketek walaupun selalu terhimpit, tapi tetap selalu tegar bertahan dan bertumbuh," jawabnya cepat. Ia harus membuat tameng dan menguatkan hatinya, sepertinya majikannya yang ini sekeras gunung es, dingin dan datar.

Kian terbahak, gadis ini lucu juga kalau sedang ketakutan begini.

"Lalu apa hubungannya dengan bertahan dan bertumbuh?" Sikap jahil Kian mulai bangkit dan seketika terpadam kan begitu saja berganti dengan desiran gairah menyebalkan dengan perkataan Ayu berikutnya.

"Ayu ini kan masih delapan belas tahun tentu saja masih bertumbuh," ujarnya.

"Mulai besok jangan lagi memakai seragam ketat seperti itu, kau mengerti." Tatapan kian tajam meneliti tubuh Ayu, Kian mengganti topik.

"Tetapi baju ini Nyonya yang memberi Tuan." Ayu menyanggah, ia bingung. Ya memang, ukuran seragam itu sedikit ketat di bagian dada, dan dadanya memang termasuk besar untuk tubuh mungilnya. Namun pakaian ini memang dipilihkan oleh nyonya rumah. Ayu tak mungkin menolak, toh masih terbilang wajar. Paling tidak saat ini , tidak ada kancing yang seolah menjerit ingin keluar dari lubangnya.

"Baiklah nanti aku yang bicara dengan Bunda. Sekarang kau kembali saja ke rumahmu dan jangan menggoda tamuku," perintah Kian tak terbantahkan.

Ayu mengernyitkan dahinya atas ucapan Kian, karena tidak ingin adanya perdebatan dengan Kian kemudian ia bangkit berdiri. Dengan patuh patuh ia segera bergegas keluar dari ruang kerja Kian.

Siapa juga yang menggoda, sembarangan! gerutu Ayu dalam hati.

Saat Ayu berjalan menuruni tangga, ia bertemu dengan Mario yang akan menuju ruang kerja Kian.

Mario tersenyum hangat. "Hai cantik, kapan kau ada waktu kita makan malam berdua ya?"

Ayu terperanjat. "Maaf Tuan saya sibuk," ucap Ayu, ia salah tingkah menjawab ajakan Mario saat dilihatnya Kian berdiri di puncak tangga. Nanti bisa dikira dirinya merayu tamunya lagi. Berabe ye 'kan? Kena semprot! Sepertinya Kian ini selain terlihat dingin dan bisa kejam juga jenis orang yang suka meledak-ledak seperti petasan.

Ayu berlalu setelah berpamitan dengan sopan dan bergegas kembali ke rumah Budi lewat pintu samping rumah. 

Setelah memastikan gadis itu menghilang dari pintu, Mario segera meneruskan langkahnya menemui Kian. Tatapan Kian sangat serius terhadap Mario, entah mengapa sejak kejadian kecelakaan yang merenggut nyawa istrinya ia merasakan perasaan yang lain terhadap pemuda di depannya saat ini. Ia juga tidak ingin ada skandal Mario mendekati para pegawainya sekalipun Mario adalah teman baiknya.

"Berhenti mengganggu pekerja di sini," tegur Kian tanpa basa-basi begitu Mario berdiri bersisian dengannya.

"Memangnya kenapa? Kami orang yang bebas kawan, yang pasti tidak akan ada yang tersakiti," jawab Mario dengan santai.

Kian memicingkan matanya seraya menatap wajah Mario lekat-lekat. "Kamu yakin dia adalah gadis yang bebas. Gadis secantik dirinya bisa saja sudah memiliki pasangan di negaranya," imbuh Kian.

Mario tersenyum jahil menanggapi ucapan Kian dan berkata, "Ternyata kamu juga mengakui jika dia cantik."

"Aku laki-laki normal Dude, tentu saja aku tahu mana yang sedap dipandang dan tidak."

"Kalau begitu tidak apa-apa bukan? Aku mendekatinya. Biar saja, seandainya dia memiliki kekasih di tempat asal. Lalu yang terpenting sekarang ada di depan mata. Kamu lupa yang setia bisa saja kalah dengan yang perhatian."

"Jangan asal kamu! Jangan mempengaruhi pekerjaku untuk menjadi jala**mu. Cari saja yang lain di luar sana," tegur Kian lagi. Ia sungguh merasa semakin tidak suka dengan Mario beserta sifat bajing** tersebut, walaupun saat ini dirinya juga tidak jauh berbeda. Hanya saja, Kian tidak pernah melakukan dengan 'milik' orang lain sedangkan Mario istri orang pun akan dirinya tiduri jika saja sang wanita menyerahkan diri dalam pelukannya.

Mario semakin tertawa dengan keras seraya menepuk bahu Kian ia berkata, "Aku bercanda kawan. Tentu kau tahu aku tidak pernah mengejar wanita. Wanitalah yang suka rela jatuh dalam pelukanku."

***

Ayu mengayunkan langkah berjalan melewati taman bunga penghubung antara rumah utama kediaman Dario dengan komplek perumahan pelayan, sendirian. Saat di pertengahan jalania merasa jika ada yang memperhatikan atau mungkin bahkan mengikutinya, karena sedari tadi dirinya mendengar ada suara langkah berat yang mengiringi langkahnya.

Ayu berjalan terburu-buru sampai tak memperhatikan langkah kakinya dan tersandung akar tunggal yang menjulur tepat di depan mata.

Brukk ...!

Ayu  tadi sudah mengirimkan pesan singkat kepada Dion untuk menjemputnya. Benar saja tak jauh darinya berada, Dion sudah menunggunya di bawah pohon oak. Seketika hatinya merasa lega. Ayu bangkit dan segera menghampiri saudaranya tersebut.

"Akhirnya Abang datang hihihi," ucap Ayu lega sembari mengusap tulang keringnya.

"Ada apa kok mukamu pucat begitu, kakimu lecet?" tanya Dion sembari mengusap pipi Ayu. Wajah pucat Ayu terlihat jelas di bawah pantulan bayangan lampu taman di seberang mereka berdiri.

"Ayu merasa dari tadi ada yang mengikuti Ayu, Kak.  Ayu jatuh Kak," rengeknya seraya menempelkan wajahnya pada dada kakaknya itu.

"Masa? Biarkan saja jika begitu. Lain kali tunggu di rumah utama sampai Abang atau ayah yang jemput ya. Jangan pernah pergi sendiri, di sini banyak pekerja laki-laki kita nggak tahu apa yang akan terjadi ya 'kan. Istirahatlah dan bersihkan lukamu ya," ujar Dion sembari berjalan dan merengkuh bahu Ayu.

Dan tak jauh dari mereka berdiri, ada sosok yang berdiri menatap nyalang pada punggung Ayu. Saat tak lagi terlihat bayang Ayu dan Dion, sosok ini kemudian kembali ke tempatnya.

Setelah memastikan Ayu beristirahat di rumah, Dion kembali keluar menyusuri jalan setapak yang dilalui Ayu tadi. Dion pun sebenarnya merasa seperti ada yang memperhatikan mereka sedari tadi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status