"Ya Dai, ada apa? Hah! Masuk televisi? Sekarang? Oke. Gue liat dulu. Tian, coba kamu hidupkan televisi dulu. Om Badai bilang ada berita tentang kamu dan Bintang di--Astaghfirullahaladzim!" Mata Sabda terbelalak lebar saat melihat berita di televisi tentang terciduknya seorang anak calon walikota, dengan anak seorang pengusaha real estate papan atas Indonesia yang baru saja kembali dari luar negeri. Dan parahnya lagi, hal ini terjadi hanya dua hari menjelang pernikahannya dengan Clara Gita Mahendra. Model yang sedang naik daun. Berita infotaiment ini membuat opini seolah-olah Bintang adalah seorang pelakor. Tayangan kemudian berpindah pada Clara yang terlihat sedih saat akan diwawancarai. Namun ia menolak, seolah-olah ia tidak sanggup menceritakan kesedihan hatinya. Ia hanya terus menangis dan mengatakan semoga orang yang telah menzholiminya berbahagia. Sikap playing victim dan pura-pura tersakitinya memang juara. Tian <
"Selamat siang para teman-teman pewarta dan pers sekalian. Saya, Christian Diwangkara Junior berikut istri saya Bintang Diwangkara Junior, kedua orang tua saya dan juga ayah mertua saya, siap untuk memberikan klarifikasi tentang berita yang simpang siur tentang saya dan istri saya beberapa jam yang lalu. Sebenarnya ada lagi seorang nara sumber yang akan ikut dalam konfrensi pers ini. Namun beliau masih dalam perjalanan, dan sebentar lagi sepertinya akan segera tiba di sini."Tian membuka acara konfrensi pers yang memang sengaja ia gelar, dengan memperkenalkan semua orang-orang yang hadir. Ia ingin meluruskan berita yang semakin lama semakin membesar, bagai bola liar yang tidak terkendali. Bagaimanapun nama baik kedua keluarga besar mereka menjadi taruhannya."Siapa seorang lagi itu, Pak Tian? Apakah dia itu Clara? Calon istri tidak jadi Anda?" Salah seorang pewarta mulai memancing emosinya dengan bahasa yang penuh provokasi.
"Kok Kakak tahu Bintang ada di sini?" Bintang kaget saat mendapati Bumi berdiri tepat di depan pintu apartemennya. Namun Bumi sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Dia hanya menatapi wajahnya dengan rakus dalam diam. Bintang menjadi serba salah harus bersikap bagaimana. Jika ia menerima tamu di depan pintu seperti ini, kok rasanya seperti tidak sopan ya? Namun jika ia menerima Bumi untuk masuk ke dalam apartemen, kesannya juga tidak baik. Istimewa hanya ada mereka berdua di dalam apartemen. Takutnya nanti malah menjadi fitnah."Kakak tadi menelepon Tria, makanya kakak tahu kalau kamu sekarang ada di sini. Kakak sebenarnya punya kabar baik untuk kamu. Tapi Kakak rasa, itu sekarang sudah tidak berguna lagi. Karena apapun yang akan Kakak katakan, tidak akan membawa pengaruh apapun lagi bagi hubungan kita berdua, sa--Bintang." Mata Bumi tampak meredup."Kakak mau bilang apa, ya bilang aja. Kita putus kan bukan berarti kita nggak temenan la
"Halah, sekarang aja Kakak bilang buang-buang. Lupa dulu Kakak udah tukeran air ludah sama Mbak Clara? Malah sempet-sempetnya lagi ngatain Bintang, buntelan jerawatan. Inget nggak Kak? Apa perlu Bintang segerin lagi tuh ingetan Kakak?"Bintang menyindir Tian terang-terangan. Ia masih sakit hati karena teringat bahwa Tian dulu mengatai-ngatainya buntelan jerawatan pada saat ia berusia 15 tahun dengan tinggi badan 158 cm dan berbobot 68 kilogram. Butuh waktu setidaknya setahun hingga ia mencapai berat badan idealnya tanpa naik turun lagi seperti yoyo. Sekarang Bintang bertinggi badan 168 cm dan berbobot 50 kilogram. Ia sekarang tampak tinggi dan langsing. Jerawat batu kecil-kecilnya juga sudah bertransmigrasi entah kemana. Wajahnya sekarang selicin kemeja katun yang baru saja di setrika oleh Bik Santi. Licin, mulus dan harum."Di dunia ini ada beberapa hal yang memang tidak bisa diubah. Masa lalu misalnya. Sementara kita kan hidup di masa ki
BRUKKKK!!!"Aduhhhh!!!"Bintang mengelus-elus kepalanya yang seperti telah membentur bahu seseorang. Ia memang sedang tergesa-gesa karena mengejar mata kuliah Fisika Bangunannya, Pak Zulkifli Muhammad. Fisika Bangunan adalah mata kuliah wajib mahasiswa arsitektur yang mana dosennya terkenal paling irit memberi nilai. Makanya Bintang tidak boleh terlambat, kalau tidak mau di permalukan dan dijadikan contoh soal di depan kelas. Padahal jadi anak arsitektur itu sudah kayak zombie saja, saking jarangnya tidur akibat tugas gambar yang tidak ada habis-habisnya. Belum lagi jari yang sangat sering luka dan berdarah-darah akibat teriris cutter. Biasanya hal itu terjadi karena tugas membuat maket yang susunannya harus sejajar dan seimbang. Di saat para wanita lain sangat menggemari brand Prada, DNKY, LV, dll. Tapi anak arsitektur malah tahunya brand Mastex, Steadler, Pentel, Rotring dan tabung ga
"Bangun lo, bangsat! Otak lo di mana hah? Bisa-bisa nya lo tidur-tiduran sama bini orang!!"BUGH! BUGH! PRANGGG!Bintang terbangun karena kaget. Apalagi saat tubuhnya ditarik paksa dan disandarkan pada tiang meja gambar. Nyawanya yang belum terkumpul semua karena baru saja terbangun, seketika panik saat mendapati Tian ada di depan matanya dan terus saja memukuli Bumi seperti orang gila. Bumi yang sejenak tampak kebingungan karena sepertinya juga baru terjaga dari tidurnya, akhirnya juga mulai membalas tak kalah beringas.Bintang kehilangan kata-kata saat melihat meja gambar studio tiga patah karena tendangan Tian. Belum lagi maket besar yang teamnya kerjakan dengan susah payah kemarin, hancur terkena kepalan tangan Tian. Kappa board, dupleks, artcarton, segala jenis pensil, cat pewarna, krayon, cat air, cat minyak, drawing pen sampai styrfoam dan bubuk gypsum, semua ber
"Astaghfirullahaladzim! Itu muka kamu kenapa, Nak? Kok jadi mirip buah semangka jatuh dari atas balkon. Hancur semua!"Bintang melihat ibu mertuanya berseru kaget saat melihat wajah Tian yang penuh lebam dan juga memar-memar. Di tangan kanan ibu mertuanya ada beberapa wadah makanan yang tersusun rapi. Sepertinya mertuanya ini berkunjung khusus hanya untuk mengantarkan makanan kepada mereka berdua. Hanya waktunya saja yang tidak tepat. Wajah anak laki-lakinya sedang bengep-bengep seperti habis di keroyok massa."Itu lho Bun, Kak Tian beran--""Tian tadi nolongin orang yang lagi kecopetan Bun, di jalan. Terus ya itu, Tian terpaksa berantem sama pencopetnya juga. Tapi Tian nggak apa-apa kok, Bun. Cuma lecet-lecet begini doang. Anak laki-laki kan biasa begini. Bunda jangan khawatir ya?" Bintang diam saja saat Tian
"Selamat sore suster, pasien atas nama Bintang Diwangkara Junior ada di ruangan apa ya?" Tian dengan nafas tersengal-sengal menghampiri nurse station. Semenjak Altan memberitahukan kalau istrinya pingsan dan telah dibawa ke rumah sakit ini, Tian sudah berlari seperti orang gila. Ia meninggalkan kantor polisi begitu saja tanpa sempat berpamitan pada Badai yang sedang menerima tamu penting di ruangannya. Perasaannya begitu tidak tenang sebelum melihat sendiri keadaan istrinya. Tadi sebelum ia tinggalkan di apartemen, keadaan istrinya itu masih dalam keadaan baik-baik saja. Bagaimana mungkin sekarang tiba-tiba pingsan? Tian benar-benar merasa sangat khawatir."Maaf, menutut keterangan data-data pasien yang sedang menjalani rawat inap di sini, pasien atas nama Bintang Diwangkara Junior itu tidak ada, Pak. Yang ada hanya pasien yang bernama Bintang Wijaya Kesuma. Bapak yakin namanya tidak salah?" Suster manis bername tag Rina Mariana itu menatap Tian d
"Itu semua tidak benar Yah, Bunda. Tian tidak pernah berbuat yang berlebihan pada Clara selama kami berpacaran. Jadi mana mungkin kalau Clara itu hamil anak Tian? Clara sudah hamil sebelumnya, Yah. Kalau ayah tidak percaya, Ayah bisa mengkonfirmasinya pada Akbar. Akbar pernah ketemu dengan Clara di dokter kandungannya Michellia, adik Akbar. Apa perlu nih sekarang Tian telepon Akbar kesini? Biar semuanya clear?" Tian meremas rambutnya gemas. Istri pulang dari rumah sakit belum juga ada sejam, tapi apartemennya sudah kedatangan rombongan keluarganya dan juga keluarga Clara. Lengkap dengan akting sempurna Clara yang sedang menangis tersedu-sedu dengan raut wajah tertekan dan penuh beban."Itu memang benar, gue memang ketemu sama Akbar di rumah sakit bersalin waktu gue check kandungan. Tapi ini anak lo, Yan. Kita melakukannya tiga bulan lalu di Manhattan New York City, apartemen lo sendiri. Kenapa lo nggak mau ngaku sih, Yan? Ini ana