"Hallo Bintang, Tian. Maaf nih, Om malem-malem ganggu. Habisnya ulernya juga keluarnya malem-malem sih. Jadi Om ikutin aja ke mana dia mau nyemburin bisanya. Eh rupanya mau ke sini. Makanya Om bawain pawang ulernya sekalian biar jinak. Iya kan, Rafka?" Walau pun kesan yang coba di tampilkan Badai itu santai, tapi auranya sangat mengancam. Belum lagi tatapan matanya. Para penegak hukum mempunyai rata-rata tatapan seperti itu. Tatapan yang seolah-olah berkata aku tahu rahasia mu.
Bintang senang sekali karena omnya datang. Kalau ada Om Badai semua masalah akan dijamin beres dan tuntas sampai ke akar. Percayalah!
"Ayo masuk dulu Om, semuanya. Kita bicara di dalam saja. Tidak enak sama tetangga kalau kita ribut-ribut di sini." Bintang mempersilahkan semua tamu-tamu mnya masuk. Clara dan seorang laki-laki tampan yang terus saja gelisah itu, terlihat begitu enggan masuk ke dalam rumahnya. Tian juga hanya diam seribu bah
"Mana jas-jasnya si manusia planet itu, Bi?" Bintang melihat suaminya sudah nampak rapi dan tampan warbiasyah pagi-pagi. Ia juga terlihat sibuk membongkar-bongkar kardus tempat pakaian-pakaian yang sudah ia setrika. Suaminya semalaman tidak bisa tidur. Ia terus membayangkan istrinya sampai harus menjadi buruh cuci, hanya demi memberinya makanan yang bergizi, katanya. Ia bahkan sampai berulang-ulang kali meminta maaf karena merasa sangat tidak berguna sebagai seorang suami."Hah, manusia planet? Maksud Kakak apa?" Bintang kebingungan melihat Tian pagi-pagi sudah membongkar-bongkar kardus sambil ngawadul sendiri."Ya si Jupiter songong itulah. Siapa lagi? Orang yang kamu kenal, terus namanya boleh nyomot dari nama planet kan cuma dia seorang. Makanya tingkahnya nggak ada mirip-miripnya sama manusia bumi eh manusia pada umumnya."Tian yang kepleset kata menyebutkan nama Bumi, mendadak merasa begitu nista kar
"Lho, Bunda kok bisa di sini?" Tian sedikit bingung saat melihat bundanya masuk kedalam cafe."Ya karena bunda tidak di sana lah." Seperti biasa jawaban bundanya selalu tidak pakai mikir."Maksud Tian, dari mana Bunda bisa tahu kalau Tian itu sekarang ada di sini, Bun?" Tian mengulangi pertanyaannya dengan sabar. Melihat wajah cantik-cantik naif dan cara berbicara lempeng bundanya, membuatnya sungguh merindukan orang yang sudah melahirkannya ke dunia ini."Ohhh, kalau itu sih kecik lah. Bunda 'kan ngikutin kamu dari kamu keluar rumah tadi. Ayahmu selalu bilang, jangan suka mengintervensi kehidupan kamu di rumahmu sendiri. Makanya Bunda tidak menemui kamu di rumah tadi, Nak. Karena itu kan artinya bunda sudah melanggar janji Bunda pada ayahmu. Tapi ini kan di mall, bukan di rumah kamu sendiri. Jadi Bunda boleh dong menemui kamu? Ya kan?" Tian tersenyum. Bundanya selalu mengartikan segala sesuatu s
"Maaf ya Mbak, ini barang antik. Dari cara Mbak memperhatikan setiap detail dari guci ini tadi saja, Mbak pasti sudah tahu kualitasnya. Jadi maaf sekali, Mbak harus membayar seratus lima puluh juta rupiah sekarang juga, atau dengan amat sangat terpaksa, Mbak akan kami bawa ke kantor polisi. Keputusan ada di tangan mbak sendiri." Petugas penjaga stand mengultimatum Bintang yang kini berdiri ketakutan dengan sekujur tubuh yang gemetaran."Saya--saya tidak punya uang sebanyak itu, M--Mas. Ka--kalau saya cicil saja ba--bagaimana, Mas? Lagi pula tadi Mas lihat sendiri kan kalau saya itu tidak sengaja memecahkannya? Saya didorong oleh anak-anak i-- lho anak-anak tadi pada ke mana ya?" Bintang kebingungan saat anak-anak yang menabraknya tadi sudah tidak terlihat di sana. Mungkin mereka semua ketakutan dan segera lari saat melihat apa yang terjadi padanya karena tingkah sembrono mereka. Ia semakin bingung saat mendengar nama kantor polisi dibawa-bawa. Kedua tangan
Bintang melirik Tian yang sedari tadi diam saja di dalam taksi online. Sejak berseteru di dalam cafe tadi, suasana memang terasa sangat berbeda auranya. Untung saja tadi ada Om Albert yang jadi penengahnya. Om Albert mengingatkan pada Jupiter dan Tian untuk selalu bersikap professional dalam masalah bisnis. Makanya baik Tian maupun Jupiter masing-masing berusaha untuk saling menahan diri. Kerjasama akhirnya deal setelah semua program-program cafe selft service Tian dibeli oleh Om Albert dan juga Jupiter. Rupanya Om Albert dan Jupiter adalah para owner kuliner papan atas negeri ini. Seringnya terjadi kesalahaan-kesalahan yang seharusnya bisa diminimalisir di restaurant-restaurant mereka, membuat dua raja kuliner negeri ini memutuskan untuk memakai program yang transparan namun akurat yang di tawarkan Tian."Saat sampai di rumah nanti, kita langsung saja beres-beres dan mempacking barang-barang. Kita pindah rumah malam ini juga."
Suasana di ruang tamu keluarga Sabda alam ramai dikunjungi oleh dua keluarga besar. Keluarga Persada Prasetya, yang terdiri dari Bayu dan Intan Persada Prasetya, putra sulung mereka Bumi dan juga kakak Intan sekaligus pengacara keluarga mereka Bima Sakti Raffardan. Sedangkan dari keluarga Diwangkara yang terdiri dari Christian dan Marilyn Diwangkara, Tian dan juga Maureen Diwangkara, adik Marilyn sekaligus juga pengacara keluarga mereka. Wajah Sabda terlihat beringas dan memerah yang berbanding terbalik dengan wajah Senja yang pasrah dan tampak pucat. Ekspresi air muka Badai kurang lebih sama seperti kakaknya. Hanya saja ia lebih pandai dalam menyembunyikan segala perasaannya."Bumi, Bintang kemari. Ada yang ingin Om tanyakan pada kalian berdua." Takut-takut Bintang dan Bumi duduk di hadapan Badai. "Ingat, Om harap kalian berdua menjawab dengan jujur. Di sini ada team lengkap yang siap untuk membongkar semua kebohongan kalian, kalau kalian berdua
Bintang meninggalkan kantor Tian begitu saja, karena tidak sanggup lagi mendengar sisa pembicaraan suaminya dengan entah siapapun yang di panggilnya dengan sebutan Tisha itu. Saat Bintang membalikkan badannya, ia hampir saja bertabrakan dengan Mbak Rara, sekretaris Tian. Sepertinya Mbak Rara baru pulang dari makan siangnya."Lho Bu Bintang, kok nggak jadi masuk, Bu? Pak Tiannya nggak ada ya? Atau mau titip pesan aja nanti kalau Pak Tiannya kembali mungkin, Bu?" Usul Mbak Rara ramah."Oh nggak apa-apa, Mbak. Pak Tiannya ada kok. Saya buru-buru ini mau ketemu sama teman. Saya titip ini aja untuk Pak Tian, Ya Mbak? Saya permisi dulu." Bintang yang merasa ia belum sanggup untuk berbicara normal dengan Tian, memilih untuk menjauh sejenak dari suaminya. Ia takut kalau dia memaksakan diri untuk bertemu dengan Tian, kata-kata dan air mukanya pasti sudah tidak enak untuk dilihat. Jadi lebih baik, dia menghindar saja.
Hujan deras menerpa saat Tian tiba di apartemennya. Sembari mengibas-ngibaskan rambutnya yang basah, Tian memanggil-manggil nama istrinya. Tetapi istrinya sama sekali tidak menyahut. Padahal ia sudah berkali-kali mengucapkan salam. Biasanya saat mendengar salamnya, istrinya pasti buru-buru keluar dan mengambil alih tas kerjanya. Ini kok sepi sekali rasanya? Apakah istrinya tidak ada di apartemen?Tian meletakkan bouquet bunganya di atas meja. Ia melirik pergelangan tangannya. Baru pukul 17.30 WIB. Ia memang sengaja pulang satu jam lebih cepat dari kantornya, karena ingin memberi kejutan pada istri bohaynya.Saat memeriksa seluruh apartemen yang ternyata memang kosong, Tian pun meraih ponselnya. Mencoba menelepon istrinya. Tumben sampai sore begini istrinya belum pulang. Apakah istrinya pergi ke kampus? Tian semakin heran saat ponsel istrinya masih dalam keadaan tidak aktif seperti tadi siang. Apakah sesuatu telah terjadi pada istr
"Lho Pak Galaksi udah di sini ya? Padahal saya teh maksudnya mau ke kantor menjumpai Bapak. Bapak sehat?" Bintang melihat Bude Yanti menyalami Bapak yang dipanggilnya dengan sebutan Galaksi tadi. Bude Yanti ini sebenarnya suku Jawa, tetapi karena sudah lama tinggal di daerah ini, dialeknya sudah seperti penduduk asli di sini. Bintang memperhatikan masyarakat di sini rata -rata menyebut huruf f menjadi p."Alhamdullilah sehat, Bu. Ibu sekeluarga bagaimana? Sehat?" Bintang memperhatikan bapak-bapak ini walaupun orang kaya tetapi tampak ramah dan tidak ada kesan sombongnya sama sekali. Karena pembicaraan mereka sudah mulai serius membahas masalah pekerjaan, Bintang beringsut ke dapur dan berinisiatif membuatkan minuman untuk tamunya. Rina dan Panji sepertinya masih sibuk mengerjakan PR sekolahnya."Nah ini keponakan jauh saya, namanya Rahayu. Keponakan saya ini baru datang dari kota. Katanya mau melamar pekerjaan di perkebun