"Nama saya Regita Widyanata, panggil saja Gita!" Seru Gita saat memperkenalkan dirinya pertama kali di depan pertemuan pertama Agora Beak bagi murid baru. Gita kembali mengingat masa lalunya hingga bagaimana harga diri menjadi bagian hidup si Silver Chain mangata.
***
Selesai memperkenalkan diri, kami, anak kelas 1 diminta ikut ke ruangan yang berisi loker, di ujungnya ada sebuah ruang rapat yang rupanya dapat diatur kapasitas pesertanya. Saat itu, Aku dan 12 anak lain yang memilih menjadi mangata akan menjadi tes kecocokan shrapnel. Namaku selalu dipanggil lebih dahulu karena bertubuh kecil dan berwajah manis, orang selalu melakukan itu sejak aku kecil dulu, hal itu sungguh mengganggu.
Di depan sebuah meja berdiri seorang laki-laki, matanya berwarna coklat, tinggi dan berambut pendek bergelombang. Sambil tersenyum ia terus memberikan arahan akan pentingnya penggunaan shrapnel bagi seorang mangata. Aku yang sedari tadi merasa diistimewakan tidak begitu
Malam itu, berkat Mas Hendra tidak ada satupun korban jiwa kecuali dirinya. Mba Danti yang membantu pindah, kembali ke sekolah terus memberiku semangat, namun kata-katanya seolah tidak memiliki arti. Selang dua hari sejak aku dirawat di bangsal perawatan Agora Beak, petugas administrasi menghampiriku untuk membuat laporan. "Siang mba, rapat pimpinan memintamu untuk membuat laporan dan melaporkan di depan rapat" ujar perempuan muda itu, sepertinya dia angkatan baru. "Kapan rapatnya?" tanyaku ketus. "Besok malam." jawabnya singkat. "Baik, akan saya kerjakan." memang aku punya pilihan apa. "Saya bisa membantumu untuk membuat laporan karena it.." ucapannya tiba-tiba membuat darahku mendidih. "Diam! Saya bisa mengerjakannya sendiri, buat apa bantuan orang lain yang tidak mengerti kerasnya berhadapan dengan Terak!" Aku membentaknya, meluapkan amarah yang selang berganti dengan rasa kehilangan. Perempuan itu terdiam sambil menunduk. "
Gita seakan kembali ke realita, kenangannya dua tahun kebelakang awalnya ia pikir sebagai sebuah akhir. Namun, rasa percaya dirinya bangkit. Rasa sakit akibat kemampuan binding terus merekah dan memanjang mendorongnya untuk memutar otak. "Damar. Terima kasih. Gue sudah baikkan. Mungkin Terak ini masih bisa bertahan cukup lama hingga bulan terbenam, tapi gue aakan serahkan jiwa ini agar kalian selamat." Gita mengucapkannya dengan mantap, pandangan mata yang awalnya dipenuhi keraguan mendadak sirna, Gita siap menjadikan dirinya martir. "Gita jangan bicara omong kosong! Jalan kita masih panjang, tolong bekerjasamalah!" Seru Damar berusaha mengubah pikiran Gita. Senyum Gita menjadi jawaban yang tidak lagi dapat dinterupsi Damar. "Jimi! mundur!" Perintah Gita. Jimi mendengar jelas teriakan tersebut dan dan menghentikan runtutan serangannya. "Gita!" Damar sekali lagi memanggil nama Gita. Kedua tangannya masih erat menahan gerigi yang digunakan untuk membant
Beberapa sebelum serangan Gita kepada Shabnock, Gani masih berusaha membangunkan Marzuki yang pingsan di lapangan belakang. beralaskan ladang mineral berwarna kehitaman, ia berupaya menarik tubuh Marzuki ke pinggir agar menghindari serangan yang membabi buta datang. Namun, itu bukan pekerjaan mudah. "Gila! Bang Marzuki kok berat banget!?" Keluh Gani melihat tubuh Marzuki yang sedari tadi baru berpindah beberapa jengkal meski Gani sudah menyeretnya sekuat tenaga. "Lo ga apa?" tiba-tiba terdengar suara laki-laki yang menyapa Gani. Dengan sigap Gani mengambil kuda-kuda dan membuka lengannya, ia siap menepuk tangan. "Terlihat seorang penambang yang melepas topengnya. Dari wajahnya dipenuhi darah yang sedikit mengering, sepertinya kepalanya terluka hingga darahnya mengalir. Di kedua tangannya ia menenteng dua penambang lain, tanpa topeng dan darah masih menetes segerah dari arah wajah. "Lo penambang?" Gani kemudian melonggarkan kuda-kudanya setelah mengeta
Herman merasakan puncak rasa sakitnya, energi photon yang dikumpulkan ditangannya memiliki konsekuensi yang ditanggung. Energi tersebut akan ditampung di ujung telunjuknya, fungsinya sebagai inang sebelum energi tersebut ditembakkan. Namun menahan kekuatan sebesar itu sama dengan menahan sebuah Unicorn [1]!. Herman menyadari konsekuensi tersebut dan menggandakan kemampuan shrapnel hingga empat kali. Caranya? dia mengenakan emapt buat cincin shrapnel di telunjuknya. Dengan metode tersebut mengurangi beban angkat dan peluncuran tembak photon, namun tidak dengan rasa sakitnya. Tembakan pertama dilesatkan ke kepala Shabnock yang terbuka karena sedang menyambut pukulan Jimi. Keras dan kuat, itu kesan pertama dari tembakan Herman. Seluruh orang terkejut, bahkan Herman sendiri yang tidak menyangka tembakannya akan menembak tembus salah satu mata Shabnock. "Bagus bang! Tapi sepertinya tadi hanya keberuntungan semata, gue harus mencari cara memberi tahu Kapte
Herman tersadar, tubuhnya terbaring bersama reruntuhan dinding sekolah. Karena bagain belakang sekolah dipenuhi kebun, maka tidak ada kerusakan lain yang timbul. Mata Herman sempat merasakan perih, namun sepertinya dikarenakan darah yang keluar dari kepalanya mengalir ke wajahnya. "Gue terlalu meremehkan Terak tersebut. Tapi sekarang gue dimana? Bagaimana gue bisa disini.." Herman berusaha bangkit, tangan kirinya yang digunakan sebagai inang photon kini sudah sepenuhnya lumpuh, menggantung di samping Herman. "Kap..ten, Herman.." terdengar suara pelang yang berusaha memanggil nama Herman. Ia langsung mengenali suara itu sebagai suara Gani. "Gani! Gani! lo dimana?" sahut Herman sambil mencar-cari di antara reruntuhan dinding sekolah. Di tengah gelap kebun itu, Herman melihat sebuah lengan mengacung, seolah memberi tanda. "Gani!" tanpa pikir panjang, Herman segera berjalan cepat dengan tertatih mengejar lengan tersebut. Namun, belum jauh melangkah, perge
Melihat salah satu tanduknya yang terpotong rapi, membuat Shabnock naik pitam. Di detik yang sama, mereka yang bertarung di garis depan sudah siap melakukan serangan mati-matian. Target mereka hanya satu, mata Shabnock yang terus ditutupi oleh tangan. Listu juga menaikkan tensi melodi sehingga adrenalin para mangata meningkat hingga empat kali lipat. "Cukup! Beri saya waktu! Ludensia jahanaaamm!!" Shabnock meronta, seluruh orang kaget. Donni yang masih berpegangan dengan salah satu tanduknya ikut terlempar. Saat tangan yang digunakan untuk menutup matanya dibuka, Shabnock berusaha mencakar Nora yang berada dalam jangkauannya. Nora melihat jelas mata Shabnock, kuning bercahaya dan memberikan aura begitu kelam, hati Nora begitu gusar hingga gerakannya menjadi kian ragu. Kini, nyawanya berada di ujung tanduk. "Nora!" Jimi mengubah haluannya, ia ingin sesegera mungkin mencapai Nora. melihat gerakan yang tidak lincah, Hilman mengambil inisiatif untuk membuat tanah
Tidak ada yang menyangka jika Herman akan keluar bersama Gani di saat Marzuki akan menebas lengan Shabnock. Mungkin mereka berdua sudah membayangkan hal terburuk saat diselamatkan rantai Gita, namun begitu mereka melihat Shabnock yang masih tertahan di pinggir lapangan, Herman tidak tinggal diam. "Gani, bantu gue untuk membidik Shabnock," ujar Herman. Padahal dengan tangan yang separuh hancur, Gani saja malas melirik lengan Herman, namun ia tahu diantara mereka berdua hanya Herman yang masih memiliki kemampuan untuk menembak. "Bidik matanya, kapten," sahut Gani. Ia memang tidak kuat berdiri dengan kedua kakinya, sehingga ia memastikan dirinya bersandari di potongan dinding sehingga mampu menopang lengan Herman. "Lo bisa, Gani?" tanya Herman memastikan. Pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Keringat membanjiri dahi dan leher Gani, ia menahan sakit dan hanya tertawa kecil untuk menjawab pertanyaan Herman. Meski tidak memperkirakan elemen kejutan pada ser
"Kenapa gue sampai harus dikremasi?" tanya Jimi. "Soalnya lo sudah mati," jawab Afif. Jimi tahu Afif ingin meledeknya tapi ia masih butuh informasi dari Afif. "Maksud gue, kenapa dibakar? kan bisa dikubur," balas Jimi. "Mungkin orang Agora jengkel sama lo karena masih anak baru tapi kekuatannya menyamai anak kelas tiga, Ha ha ha!" tawa Afif meledak, membuat Gani kaget dan tersenyum mendengar percakapan kekanakan mereka berdua. "Lo yang cabut duluan dari lapangan harusnya dibakar duluan juga!" Jimi tersulut. "Tapi gue masih hidup," sahut Afif tidak mau kalah. "Tapi ga ada guna kalau lemah!". "Hah!" "Apalagi gue sekarang udah hidup! bakar diri pake korek api sana! Ha ha ha! Aarph" Tiba-tiba tawa Jimi oleh buah apel yang disuap seseorang dengan garpu. "Lebih baik bagi orang yang hampir mati untuk diam sambil menunggu pulih." suara itu terdengar tidak asing, seluruh orang melirik ke samping kanan Hilmi dan menemukan