Share

Sindrom Ludens

Perempuan yang berdiri di depan Jimi dan Afif mengenakan setelah serba hitam, rambutnya pendek menutupi kedua daun telinganya, warnanya hitam legam. Kakinya jenjang ditutupi stocking dan rok rimpel pendek di bawah lutut yang seluruhnya berwarna kehitaman. Di tangannya yang kokoh menahan dorongan gading gajah monster itu terbalut rangkaian cincin besar berwarna kehitaman mengkilap. cincing itu terlalu besar untuk sebuah cincin dan ia gunakan di seluruh jemarinya kecuali jempol.

"Ok. Kalau kalian ga apa-apa, tolong pergi menjauh. Terak[1] ini terlampau berat untuk ditahan sendiri, he he," ujarnya sambil sedikit gemetar menahan dorongan gajah itu. Efek suara tawa kecil di ujung kalimatnya menandakan dirinya tidak begitu percaya diri dengan apa yang sudah ia katakan.

Afif yang sadar lebih dahulu segera menarik lengan Jimi dan berlari sejauh mungkin melewati sisi gedung sekolah. Jimi yang berlari di belakang berteriak kepada Afif, memintanya kembali karena ia sudah menemukan sosok makhluk yang dicari. Afif terkejut saat tahu Jimi serius dan memilih berhenti di tengah jalan.

"Bangsaat! kalau lo masih ingin tahu semuanya, lebih baik selamatkan diri dulu baru kita tanya esok hari!" seru Afif. Belum sempat Afif menjemput Hilmi, monster Gajah tersebut mengamuk dan berhasil lepas dari pegangan perempuan tersebut.

"Hei kalian! sori lepas! lari yang jauh ya!" teriak perempuan itu sambil melambai kepada mereka berdua.

Monster gajah itu sudah lepas, lari seperti kesetanan dan menabrak tembok hingga gedung sekolah bergetar hebat. Jimi dan Afif kembali panik, mereka mengambil langkah seribu ke arah pagar. Ujung sisi gedung sekolah ini berjarak tidak jauh lagi.

"Kok malah dilepas! cewek sialan!" caci Afif.

"Fif! lo kenal sama cewek tadi?" tanya Jimi yang sudah berlari di samping Afif.

"Aneh! lo aneh! kenapa tanya begituan sekarang!?".

"Lo yang lebih aneh, sudah tahu keluar malam malah pakai kacamata!?" balas Jimi yang santai mengatur nafasnya. Afif benar-benar heran melihat Jimi yang sama sekali tidak terengah-engah.

Saat mencapai ujung sisi samping gedung, mendadak ada dua orang yang berdiri di depan mereka. Afif dan Jimi berhenti, mereka berfikir telah terpergok penjaga sekolah, namun mereka keliru. Kedua sosok itu berlari ke arah mereka sambil mengacungkan tinju, Afif dan Jimi dengan cepat menghindar ke masing-masing sudut.

Gagah perkasa, dua orang yang melewati Afif dan Jimi menahan pergerakan monster gajah itu dengan memukul tubuh gajah ke samping hingga menghantam dinding. Secara bergantian mereka memukuli tubuh besar monster, namun suara yang muncul dari pukulan tersebut bukan suara pukulan benda lunak, melainkan karena memukul benda keras.

"Duag! Krak! Duag! Krak!" suara pukulan dan retakan terdengar bergantian.

Monster itu melolong keras dan memekakan telinga. Afif dan Jimi menutup telinga mereka untuk menahan nyaringnya lolongan itu. Monster gajah itu beralih menggunakan belalai ketimbang gadingnya. Seakan beradaptasi, belalai tersebut dapat menyesuaikan diri yang awalnya lentur menjadi kaku layaknya tiang beton.

"Hilmi! cabut kita!" seru Afif, kali ini ia sungguh ketakutan.

"Engga! kita harus bantu mereka, Fif!" balas Jimi. Afif menggeram mendengar jawaban Jimi, ia tahu akan mendengarnya namun, ia juga masih berharap nalar Jimi bekerja pada situasi genting ini.

Serangan pecutan belalai monster gajah itu telak mengenai salah satu orang yang membantu mereka. Tubuhnya terpelanting dan menghantam keras dinding. Sementara orang satunya masih berusaha keras mengincar sesuatu di atas kepalanya, namun pertahanan monster gajah tersebut seperti tanpa celah dan mulai menguras stamina orang itu. Jimi akhirnya mengambil inisiatif menghampiri orang yang terlempar dan mengeceknya, ia pingsan.

Jimi melepas cincin-cincin besar yang melingkar di jemari orang yang pingsan itu. jumlahnya ada delapan buah, digunakan kecuali di ibu jari. Jimi bergerak cepat dan mengenakan kedelapan cincing tersebut. Tidak seperti kelihatannya, cincing tersebut berat dan saat dipakai mengepal ada magnet yang merekatkan cincin tersebut satu sama lain.

"Hilmi! Lo gila!" jerit Afif yang sudah berada di samping Jimi. Ia memegangi kepalanya karena harus menghadapi pilihan antara meninggalkan Jimi atau tetap di sini.

"Bro! tolong lo bawa orang ini ke tempat aman!" ujar Jimi sambil berlari meninggalkan Afif yang masih terbengong.

"Cih! Anak sialan itu!" Afif karena akhirnya tidak memiliki pilihan lain selain membantu orang ini pergi.

"Tasrif, kan?" suara orang itu terdengar pelan namun berhasil didengar Afif. Panggilan itu jelas mengagetkan Afif, bagaimana mungkin ada yang mengetahui namanya di kesempatan seperti ini.

"Gue Soca, temen sekelasnya lo. Ngapain ke sekolah pas purnama?" Tanya orang itu sambil sesekali terbatuk.

"Aduh, lo lagi masih sempet tanya motif gue disini. sekarang kasih tau gue kemana tempat yang aman!" Balas Afif sembari memapah orang bernama Soca ini.

Jimi berlari kencang ke arah monster gajah yang sudah mulai mengamuk dan acak pola serangannya. Melihat incaran orang yang masih melawan berusaha menggapai sesuatu di atas kepala gajah, Jimi sebisa mungkin mencari celah untuk mencapai kepala gajah tersebut. memanfatakan empat buah gading yang berbentuk seperti pijakan melompat, Jimi mengambil kesemapatan melompat dengan bertolak dari gading tersebut saat belalai gajah menyerang ke arah lain.

Melihat kesempatan yang diberikannya berhasil diambil Jimi, orang tersebut segera berlari rendah untuk mengincar kaki besar gajah tersebut. Serangan kuat yang cukup membuat keseimbangan gajah tersebut goyah dan akhirnya memilih fokus menginjak-injak tanah. Dalam kesempatan yang tipis itu di sela-sela injakan yang mengancam nyawa, orang tersebut berhasil merosot ke bagian ekor gajah.

Jimi berhasil tiba di atas kepala namun ia tidak menemukan apapun yang dapat diserang, kecuali bagian tempurung yang terlihat lebih mengkilap dan keras. Jimi sadar monster ini mengelabui semua orang dengan membuat anggapan jika menyerang bagian kepala dapat mengalahkannya. Namun, Jimi berusaha membuktikan teorinya dengan beberapa kali memukul bagian tempurung tersebut.

Jimi lengah, karena gelap malam meski ada cahaya rembulan tidak cukup membantu penglihatan Jimi pada gerakan yang cepat. Belalai monster gajah mengayun kencang ke arah Jimi. Saatnya pergi pikirnya, namun sesat ia melihat sesuatu di sekitar ujung belalai tersebut. Dengan sigap, Hilmi Menangkap dan menahan ujung belalai itu diketiaknya. Begitu menoleh ke belakang, ia melihat sesuatu berwarna kekuningan bersinar di dalam ujung belalainya.

"Pasti ini yang mereka berdua cari!" pikir Jimi. Namun belalai itu meronta dan mengangkat Jimi tinggi-tinggi. Nafas Jimi tertahan saat tahu ia terangkat sangat tinggi hingga mencapai lantai tiga bangunan.

"Hei! kamu temukan inti teraknya!?" terdengar teriakan perempuan yang tadi menolong Jimi. Ia berlari dari kejauhan, sepertinya setelah urusannya selesai, ia kembali mengejar monster gajah ini.

"Di sini! ujung belalainya bersinar!" balas Jimi dengan teriakan, berharap teriakannya mencapai perempuan itu.

"Bagus! Ari, bantu gue! terus ambil posisi di bawah!" Perempuan itu memberi instruksi kepada orang yang tadi memberi Jimi kesempatan.

Orang yang perempuan panggil Ari itu kemudian berdiri sampil merapatkan kedua tangannya di depan pinggang agar dapat dijadkan pijakan perempuan itu. Begitu memijak, perempuan tersebut melompat sangat tinggi hingga melebihi posisi Jimi. Namun, monster gajah itu sadar dan segera mengayunkan belalainya ke tanah, ia akan membanting Jimi keras-keras.

"Sial! Tahan belalainya! Jangan dilepas!" Perempuan itu kurang cepat tiba dan reaksi monster gajah itu mendahuluinya.

"Maksud lo apa!? gue mau dibantiiiingg!" jeritan Jimi terbawa hingga saat tubuhnya ikut diayun kencang oleh belalai gajah tersebut.

Jimi tidak ingin menyerah dengan keadaan, dari posisinya yang masih menahan belalai itu di ketiaknya, ia kemudian mengubah posisi. Jimi melepas ujung belalai tersebut dan berusaha memukulnya. Namun, sebelum pukulannya dilancarkan, ia merasakan sesuatu yang kuat menjalar di lengannya. Begitu tinjunya mengenai ujung belalai tersebut, muncul dentuman seperti gempa yang menjalar ke sekitar.

Dentuman itu membuat gajah itu seperti terdiam, saat itulah Ari mengambil kesempatan dengan memotong ujung belalai itu dan tepat mengenai bagian yang menyala tersebut. Jimi terjatuh keras ke tanah bersamaan dengan monster gajah tersebut yang kemudian seluruh tubuhnya berubah warna menjadi hitam legam, bagian garis yang berwarna kuning menyala perhalan meredup dan mati.

"Aduh! Aduh! sakit banget!" Jimi merintih seraya menungging, karena ia tadi mendarat dengan punggungnya.

"Hei, lo kuat juga, sampai bisa menggunakan shrapnel milik Soca." perempuan itu sudah mendarat dan berjalan perlahan mendekati Jimi.

"Nama gue Jimi, bukan hei. dan terima kasih sudah nolong gue tadi," balas Jimi ketus.

Jimi menoleh kebelakang, melihat monster gajah yang sudah menghitam dan pecah seperti hamparan batu bara. Ari, yang tadi sudah membelah inti terak di ujung belalai juga kemudian menghampiri Jimi. Ia menjulurkan tangannya seolah meminta sesuatu. Perempuan itu tersenyum dan meminta Jimi melepaskan seluruh cincin yang berada di jemarinya. Kesal karena dimintai secara tidak sopan, Jimi hanya menggerutu saat menyerahkan kedelapan cincin tersebut.

"He he, sudah santai saja. Jimi, sekarang ikut gue sebantar. By the way, nama gue Gina, Gina Laju Tedang, nama lengkap lo siapa?" ujar perempuan itu seraya mendahului Jimi ke arah depan depan sekolah.

Dari belakang sebenarnya Jimi tidak keberatan didahului oleh Gina, karena menurutnya cara berjalan Gina anggun meskipun menggunakan sepatu boots. Sementara itu, Ari berjalan ke arah lapangan belakang sekolah.

"Nama gue, Jimi Bandri, anak baru di sekolah ini. Kenapa gue harus ikut lo, Gina?" tanya Jimi yang kemudian menjadi agak waspada dengan orang asing.

"Jawabannya adalah karena lo merupakan salah satu dari kami. Warna mata kuning cerah di salah satu bola mata lo adalah bukti kalau lo mengidap sindrom ludens".

"Sindrom Ludens?".

"Iya, sama seperti istilah Homo Ludens[2]. Mereka yang memiliki sindrom ini memang dipilih untuk bergabung dengan Agora Beak."

"Dipilih? Agora Beak? Gina, siapa lo sebenarnya?".

Mendengar pertanyaan itu, Gina berhenti berjalan dan tersenyum. Ia menutup mata sebelah kiri dan kemudian berbalik arah memandang Jimi yang masih menaruh curiga. Begitu ia membuka tangan yang menutupi matanya, Jimi terkejut melihat orang lain yang berani menunjukkan warna mata yang sama dengannya.

"Gue adalah Gina, anggota Agora Beak dari Biro Mangata," Ucap Gina dengan senyum dan tatapan lurus ke arah jimi yang seolah menyihir dirinya untuk terpaku diam.

---

Glosarium;

[1] Terak; adalah ampas berupa batu yang terlepas dari bijih baku logam saat logam yang diinginkan sudah terlepas.

[2] Homo Ludens; adalah konsep yang memahami manusia merupakan seorang pemain yang andil dalam memainkan permainan

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status