Share

The Undying Tales of AGORA BEAK
The Undying Tales of AGORA BEAK
Penulis: Jurnal Sore

Di Bawah Sinar Rembulan

Malam itu, hujan turun cukup deras menyapu jalanan hingga tertutup genangan. Ayah mengemudikan mobil sedan dengan cepat namun tidak kasar. Ibu yang duduk di jok depan sebelah Ayah mengajak ngobrol santai karena Ayah lebih senang menyetir sambil bercerita. Jimi yang saat itu baru duduk di bangku sekolah dasar kelas 1 memilih membaringkan tubuh di jok belakang sambil memain-mainkan kakinya di kaca jendela samping.

"Jimi, ayo pejamkan mata, nanti ayah akan bangunkan saat tiba di rumah. Besok kamu sekolah loh!" ujar Ayah dengan mata yang sesekali melirik ke arah belakang dari spion tengah.

"Sebentar lagi, Ayah. Masih hujan di luar," sahut Jimi yang sebenarnya tidak menghiraukan ucapan Ayah.

"Kamu tuh kalau di ajak ngobrol, pasti jawabannya ga nyambung," timbal ibu dengan nada sedikit ketus. lagi-lagi Jimi hanya mendengus dan tidak mengacuhkan ucapan ibunya.

Dalam kondisi yang temaram itu, ingatan Jimi tidak begitu jelas mengingat kondisi yang terjadi selanjutnya. Perlahan, suara bulir air hujan yang berjatuhan berirama di atas mobil benar-benar membawa Jimi dalam kantuk. Anak kecil yang polos ini masih membayangkan malasnya harus bangun pagi, meski di sekolah ia akan bertemu dan bermain dengan kawannya-kawannya.

Pandangannya berpindah dari kaca ke arah atap mobil yang berbahan abu-abu cerah. Dingin AC mobil dan gerakan mobil yang bergetar layaknya ditimang perlahan membawa Jimi dalam kantuk. Sesekali ia memandang ke arah depan dan melihat siluet Ayah dan Ibu yang masih berbincang seru. Semakin dibuai kantuk, Jimi melihat kembali ke arah atap, namun hal aneh terjadi. Seketika atap yang ia pandang menjadi begitu dekat, mendekat tepat setelah bunyi benturan kuat terdengar dari arah depan mobil.

"BRAK!".

Tubuhnya menghantam keras ke langit-langit dan jatuh terbanting ke lantai mobil ditambah tas dan barang yang diletakkan di bagian atas jok belakang menimpanya. Jimi pingsan dan tidak mengetahui apa-apa setelahnya. Begitu terbangun ia berada di rumah sakit dikelilingi perawat, dokter dan bibinya. Kepalanya begitu sakit meski matanya dapat terbuka, suara orang yang kaget melihat Jimi mulai sadarkan diri juga hanya terdengar seperti sayup-sayup.

***

Selang dua hari, Jimi baru dapat sadarkan diri sepenuhnya. Ia berusaha duduk, di depan ranjangnya terdapat televisi yang menyala, ada berita yang baru saja mulai menyiarkan kecelakaan misterius. Menyaksikan berita itu, Jimi sadar jika kedua orang tuanya telah meninggal. Air matanya menetes deras namun tidak dengan wajahnya yang tetap terdiam dengan ekspresi terkejut. Namun yang ia tidak tahu adalah hanya salah satu matanya yang meneteskan air mata sedangkan dengan satunya tidak. Mata yang tidak menangis itu juga sudah berubah warnanya menjadi kuning terang.

Bibinya yang baru saja kembali dari toilet terkejut melihat Jimi kecil yang sudah terbangun duduk di atas ranjang. Melihat air mata Jimi yang menetes deras karena melihat berita kecelakaan tragis di televisi, membuatnya tidak kuasa jua menahan tangis dan memeluk Jimi erat-erat. Saat itu Jimi mengalami shock sehingga belum dapat merespon reaksi sekitarnya, butuh waktu hingga Jimi dapat kembali ke rumah dengan tenang.

***

Sepuluh tahun berlalu dan Jimi tumbuh menjadi remaja yang sehat dan gagh. Nilai kedisiplinannya baik dan selalu berada di lima besar peringkat kelas. Pelajaran olahraga serta beladiri menjadi favoritnya. Namun bukan berarti tanpa cela, mata Jimi yang mengalami Heterochromia[1] ditambah sorot matanya yang tajam membuatnya sulit mendapat teman. Orang lain akan takut lebih dulu melihat pandangan dan pembawaan Jimi yang terkesan arogan dan intimidatif.

"Tan, Saya berangkat sekolah dulu, ya," ujar Jimi seraya menyelesaikan sendokan terakhir sarapannya. ia kemudian bergegas membawa tas punggung dan mengarah ke pintu depan.

"Telan dulu baru kamu bicara, Jimi," balas bibinya yang masih berada di dapur. Hilmi melambaikan tangan sambil tetap beranjak mengambil sepatu di rak sepatu.

Bibi Hani adalah adik Ayah satu-satunya, mereka sangat dekat, sehingga saat mendengar Jimi selamat dari kecelakaan tersebut, ia sangat bahagia. Bibi Hani menyayangi Jimi sama seperti ia menyayangi dua putrinya yang lebih tua dari Jimi. Salah satu anak Bibi satu sekolah dengan Jimi, namun ia tidak begitu dekat dengan Jimi. Sementara putri yang paling tua memilih berkuliah di luar kota sehingga keluarga ini akan lengkap beberapa bulan sekali.

"Tan, Kak Remi sudah berangkat?" tanya Jimi sembari memasukkan kaki ke dalam sepatu.

"Remi itu sekretaris OSIS, sepatutnya datang lebih pagi dari yang lain. kamu juga sebaiknya cepat berangkat agar tidak telat," ujar Bibi Hani yang menyusul Jimi ke depan.

Jimi selesai mengenakan sepatu dan berdiri. Sebelum mencium tangan bibi Hani ia memeluknya erat sambil mengucapkan kata sayang padanya. Jimi kemudian mencium tangannya dan berangkat menuju sekolah. Membesarkan Jimi selama sepuluh tahun cukup memberi kesan yang dalam pada Bibi Hani, tidak terkeculai saat Jimi menunjukkan rasa terima kasih dengan memeluk atau mengucapkan kata sayang padanya.

Sekolah Jimi tidak jauh, hanya berjarak dua kilometer sehingga dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Setiba di sekolah Jimi langsung menuju ruang kelas, meski waktu masih menunjukkan lima belas menit sebelum masuk waktu sekolah. ruang kelasnya berada di lantai dua. Sepanjang lorong tersebut ia memperhatikan beberapa orang yang berkumpul di lantai satu. Mereka adalah kakak kelas yang sudah seminggu ini Jimi perhatikan selalu berada di sekolah hingga larut sore.

"Bruk." Jimi menabrak seseorang dan membuatnya menjatuhkan beberapa buku dan botol minum orang tersebut.

"Ah, Maaf, gue ga lihat jalan," ucap Jimi seraya berusaha membantu.

"Ga apa, gue bisa bawa sendiri." Jimi menabrak seorang gadis, namun seperti dugaannya, gadis itu sigap menahan Jimi untuk tidak membantunya.

"Gue bisa bantu kok." Jimi masih berusaha membantu, namun tanpa sengaja mata mereka berdua bertemu dan gadis itu menunjukkan ekspresi takut.

"Hiii!" Gadis itu sedikit histeris dan terperanjat, dengan cepat kedua tangannya memunguti buku dan botol minumnya.

Jimi ditinggal dengan ekspresi bingung, orang lain memang akan memilih menjauh saat berusaha berbicara padanya, namun yang ini cukup ekstrim. Ia berusaha tidak mengacuhkannya dan berjalan kembali ke kelasnya yang berada di ujung lorong, menghadap ke lapangan.

"Gilaaa! sampai kabur loh!" sebuah tangan menampar kepala Jimi dari belakang sebelum akhirnya merangkul pundaknya. Jimi yang terkecut refleks melihat pelakunya.

"Sialan lo, Fif," ucap Jimi sambil membalas temannya itu dengan menyikut perutnya. mereka berdua kemudian memasuki kelas yang sama.

Afif adalah teman Jimi yang paling dekat, mereka berdua bertemu saat hari pertama sekolah, tiga bulan lalu. memilki postur yang tinggi dan duduk bersebelah membuat mereka berdua cepat akrab. hal lain yang membuat Jimi kemudian ingin terbuka dengan Afif adalah, ia tidak takut dengan tatapan Jimi begitu juga dengan latar belakang keluarga mereka yang sama-sama yatim piatu.

"Gue masih lihat orang-orang itu nongkrong di depan lapangan basket." Jimi membuka obrolan sembari mengeluarkan buku tulis yang akan digunakan pada mata pelajaran pertama.

"Sekarang jadi hobi ya memperhatikan orang asing? lagi trend apa?" balas Afif santai.

"Kok lo malah ga curiga sih? padahal lo sendiri yang bilang mereka tau sesuatu dari kejadian aneh di kota ini." Jimi agak jengkel dengan sikap santai Afif.

"Eit, jangan sembarangan. Gue bilang kemungkinan dan gue juga ga pernah bilang kalau orang yang gue curigain masih sekolah di sini," jawab Afif. sesekali ia menyeka kacamatanya dengan kain kecil, namun tidak ia lepas dari batang hidungnya.

"Oia. gue dapat rumor lain, nama monster yang dulu meneror seisi kota disebut Terak."

"Terak.." Jimi hanya dapat mengulangi ucapan Afif barusan sebelum akhirnya wali murid datang pelajaran pertama dimulai.

"Gue bakal datang malam ini ke sekolah. Gue akan cari tahu apa yang mereka lakukan di sekolah ini," Ucap Jimi lagi. Afif hanya dapat menghela nafas panjang tanpa bisa membalas.

Malamnya, Jimi benar-benar menyiapkan semua. Ia mengenakan pakaian serba hitam dan membawa tas pinggang yang berisi sebuah buku, alat tulis, kamera dan senter. Buku dan alat tulis itu digunakan untuk mengelabui Bibi Hani. Afif dan Jimi sudah bersepakat untuk membohongi wali mereka malam ini, dan apabila rencana tidak berjalan sesuai rencana mereka akan menginap di warnet (warung internet) dekat sekolah.

Setiba di depan pagar sekolah, mereka berdua menuju sudut pagar dan bahu-membahu memanjat melewatinya. Di lapangan depan sekolah, mereka mengendap-endap agar tidak ketahuan penjaga yang mungkin ada di pos keamanan. Dari pengamatan mereka, setidaknya ada dua orang penjaga yang berpatroli setiap dua jam mengelilingi sekolah.

Begitu dirasa aman, mereka berjalan di sisi gedung sekolah, berjalan santai dan tetap siaga memperhatikan sekitar dengan tujuan lapangan belakang sekolah yang cenderung tidak akan di cek oleh patroli penjaga.

"Gue heran, dengan tubuh lo yang atletis, kenapa ga ikut ekskul (ekstra kurikuler) yang keren seperti basket, silat atau pecinta alam?" tanya Afifi berusaha mencairkan suasana karena malam ini udara cukup dingin berhembus.

"Gue ga suka dimanfaatin hanya karena sebuah ekskul butuh prestasi," jawab Jimi singkat.

"Kok lo percaya diri banget bakal dipercaya ikut kompetisi?" ledek Afif.

"Sewaktu demo ekskul terlihat banget mereka berambisi mencapai prestasi yang ditonjolkan tanpa menyatukan seluruh anggotanya."

"hmm.. maksud lo, menjawab kenapa demonya eksul futsal jelek banget meski orangnya banyak?"

"mungkin."

"huh, narsis," tutup Afif.

Mereka tiba di tepi lapangan belakang sekolah yang cukup temaram dan sepi, begitu juga dengan lapangan parkir kendaraan yang kosong. Namun hal aneh terjadi, sinar purnama malam itu terasa begitu terang hingga cukup menyinari sekitar lapangan. Dari sudut lapangan di seberang Afif dan Jimi melihat sekumpulan orang berdiri di kejauhan.

"Loh itu, Fif!" seru Jimi sambil berusaha menunjuk ke arah sudut yang dimaksud.

Afif terkejut dan melihat jam tangannya memastikan apa benar waktu sudah terlampau larut hingga tidak ada orang di tempat ini. Waktu menunjukkan tepat pukul sepuluh malam dan seketika angin berhenti berhembus. Mendadak tanah bergetar, awalnya pelan dan beranjak keras.

Gerombolan orang yang berada di sudut lain lapangan terlihat terkejut sambil menunjuk-nunjuk ke arah Afif dan Jimi. Merasa di atas angin, Jimi tidak ingin kehilangan momen dan berusaha memergoki apa yang dikerjakan gerombolan itu selarut ini di sekolah. namun, gerakannya terhenti saat tanah yang dipijak membelah dan dari tengah lapangan muncul hewan seperti gajah dengan gading sebanyak empat buah yang sangat panjang.

Afif dan Jimi yang takjub tidak berkata apa-apa dan hanya terdiam memaku. Makhluk itu benar-benar seukuran gajah afrika dan warnanya hitam lengkap mengkilap, namun ada banyak garis berwarna oranye atau kuning yang menyala di sepanjang tubuhnya. Begitu makhluk tersebut keluar sepenuhnya dari dalam tanah yang terbelah, ia kemudian menggerak-gerakkan lehernya hingga melihat ke arah Afif dan Jimi yang terpaku.

"Astaga. Jimi! lari!" teriak Afif seraya berusaha menarik lengan Jimi. Namun teriakan itu juga yang memancing gajah tersebut mengejar dan menyerang Jimi dengan gading panjangnya.

Jimi yang tidak sempat melarikan diri, hanya dapat menutupi wajahnya dengan tangan dan di saat bersamaan Afif berhasil meraihnya. Gading tersebut kemudian berhenti begitu juga dengan suara langkah kakinya.

"Hei! kalian berdua engga apa-apa?" ucap seorang perempuan yang berdiri di depan mereka menahan gading gajah tersebut dengan kedua tangannya.

Pertemuan di bawah rembulan malam ini akan menjadi titik balik dari kehidupan remaja Afif dan Jimi selamanya.

---

Glosarium;

[1] Heterochromia; Kondisi genetik pada mata yang merujuk pada kelainan warna iris mata yang berbeda pada satu individu

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status