Share

Triamur Tasrif

"Biro Mangata?" ucap Jimi yang masih tidak yakin dengan apa yang didengarnya.

"He he, sudah jangan sakiti diri lo sendiri. Dimana teman yang datang bareng lo itu?" tanya Gina.

"Hmm.. Gue ga tau, Gina. Tadi gue minta tolong Afif untuk membantu teman lo yang jatuh karena serangan gajah tadi" jawab Jimi setengah tidak acuh.

"Kalau gitu, dia sekarang sudah bareng teman-teman gue di lapangan depan. Ayo sekarang kita kesana" Gina mengajak Jimi untuk mengikutinya. Gina sekilas seperti remaja ceria yang mudah berteman dengan siapa saja.

Mereka berdua kembali berjalan menyusuri sisi gedung sekolah tersebut, angin kemudian kembali berhembus. Gina berseloroh, jika salah satu indikator kemenangan melawan Terak adalah kembali berhembusnya angin malam. Jimi mengangguk dan berdehem membandingkan kondisi saat ia di lapangan belakang, memang angin kembali berhembus dan atmosfir kembali normal.

Tepat sebelum memasuki lapangan depan, Gina menyodorkan tangannya dan meminta benda lain yang mungkin saja Jimi bawa dari pertarungan tadi. Jimi mengangkat kedua tangannya dan menggelengkan kepala, ia meyakinkan Gina, jika seluruh kantongnya sudah kosong. Gina masih tersenyum sambil mematah-matahkan pandangannya ke seluruh tubuh Jimi. Gina juga tidak menginginkan debat, sehingga ia memilih menghela nafas panjang sambil berlalu dari pandangan Jimi.

"Hai! gimana? lebih cepat dari yang kita kira, bukan!?" Gina berteriak sambil melambaikan tangan.

Jimi yang berjalan pelan menyusulnya cukup terpana melihat sudah banyak orang yang berada di lapangan depan, mereka berdiri di tengah lapangan. Kelihatannya mereka berdiri dengan formasi, namun sekarang lebih santai dan beberapa dari mereka sudah keluar dari formasi tersebut.

Setelah mencari-cari, Jimi menemukan Afif yang duduk menyandar di pinggir lapangan, sepertinya ia kelelahan sekali. Sadar Jimi melihatnya, Afif melambaikan tangan, mereka berdua kemudian seperti reuni kecil-kecilan. Tidak jauh, terlihat orang yang ditolong Afif mendapatkan pertolongan dari beberapa orang, tubuhnya dibungkus kain berwarna putih kusam.

"Itu Soca, teman sekelas kita. Duduk di baris tengah paling kanan" ujar Afif.

"Soca? Soca Damun Arsa?" tanya Jimi.

"Betul! kaget juga ya?".

"Eng..".

"Lidah lo diambil kucing juga ya, lebih baik tanya doi" ujar Afif. Seorang pria menghampiri Jimi, ia bertubuh gempal dan cukup tinggi, wajahnya berbentuk oval dan rambutnya bergelombang. namun satu hal yang menarik perhatian Jimi, warna bola matanya juga berbeda satu sama lain, salah satunya kuning terang seperti milik Jimi.

"Gue Yongki, Yongki Mogarangin" ujarnya seraya menjulurkan tangan meminta berjabat, tanpa basa basi Jimi menyambut tangan tersebut. Telapak tangannya keras dan banyak kapalan.

"Gu, gue Jimi, Jimi Bandri" jawab Jimi.

"Gue sudah memantau lo sejak masa orientasi dan juga teman lo itu, akhirnya kalian datang sendiri ke lokasi ini" ujar Yongki.

"Memantau? tapi gue ga pernah tau ada kegiatan seperti ini di sekolah, apalagi ga ada yang ngajak" ujar Jimi keheranan.

"hmm.. teman-teman gue dan beberapa teman angkatan lo sudah berusaha. Katanya selalu gagal saat bertatapan. Aneh padahal mereka semua punya sindrom ludens juga" ujar Yongki.

Jimi kini paham, orang mencurigakan yang berusaha ia kuntit adalah kakak kelas yang mencoba mengajaknya bergabung namun keburu takut saat berpapasan. Perasaan menyesalnya sedikit menyeruak, kenapa ia tidak belajar ramah meskipun sedikit seperti ujaran Afif. Raut wajahnya yang agak kesulitan menyadarkan Yongki.

"Jimi, berhubung lo sudah disini. Sekarang apa yang lo mau lakukan?" tanya Yongki dengan suara yang lantang.

Jimi tahu ini bukan tantangan, pertanyaan Yongki yang tiba-tiba dilontarkan seperti shock therapy yang membuatnya kembali fokus. Pertanyaan Yongki kembali terulang di kepalanya, namun sebelum ia menjawab, Jimi memperhatikan sesuatu di belakang Yongki.

Jimi melihat pemandangan yang hangat, Gina berkumpul dan bersenda gurau dengan rekan-rekannya. Percakapan hangat di antara mereka berdua dan saling menghibur. Jimi seakan melihat ada potongan puzzle yang sedang ia cari, namun kurang yakin. Ada yang perlu Jimi pastikan.

"Bang Yongki. kenapa kalian juga memiliki warna pupil mata yang berbeda, sama seperti milik gue?" Jimi bertanya dengan mantap. Mendengar pertanyaan itu, Afif kemudian perlahan berdiri dan menjaga posisinya di belakang Jimi agar suara Yongki tetap terdengar.

"Sindrom ludens adalah tanda yang muncul pada manusia saat mereka terpapar terlalu lama oleh Terak. Semakin muda usianya, semakin cepat muncul sindromnya" Yongki mulai menjelaskan panjang lebar.

"Jika lo sudah menduga, kami semua adalah yatim piatu atau paling tidak kehilangan salah satu orang tuanya karena serangan Terak. Serangan yang menurut kami berlangsung sejak tahun 1990 hingga tahun 1999". Ucapan itu mengagetkan Jimi, ia kembali teringat peristiwa yang menimpanya sepuluh tahun lalu.

"Bang, sebentar. Kenapa hanya anak-anak yang selamat?" Jimi akhirnya menunjukkan antusiasmenya.

"Selama periode itu ada seekor terak yang berkeliaran di kota, liar menyerang pasangan yang dikaruniai anak. Kami masih mencari tahu, namun untuk sementara Terak tersebut berhasil dihentikan oleh Mangata angkatan pertama". Jimi teringat kembali akan ucapan Gina yang menyebutkan kata mangata.

"Terak itu mengincar manusia juga?".

"Benar. Sejak terak tersebut dihentikan bukan berarti terak lain berhenti muncul. Kami, Agora Beak mengabdikan diri untuk menghentikan kemunculkan terak dari portal yang sempat lo lihat di lapangan belakang".

Jimi terkejut, ia tidak menyangka ada banyak anak yang merasakan hal yang sama seperti dirinya, ditinggal mati orang tuanya, tanpa tahu siapa pelakunya. Jimi ingat, ia mengalami kejadian naas itu di tahun 1994, artinya masih ada lima generasi remaja yang belum mengetahui realita ini. Ia kini sadar kenapa hanya dirinya yang menjadi olok-olok orang lain, karena banyak anak yang memiliki sindrom ludens, namun memilih menghindar dengan menutup warna matanya untuk menjalani hidup yang normal.

"Jimi, Anak yang terpapar sindrom ludens, bukan hanya memiliki warna mata yang mencolok. Namun Terak cenderung memiliki ketertarikan pada orang yang terpapar karena sindrom ludens seolah menjadi sebuah tanda yang diberikan oleh terak sialan itu" ujar Yongki lagi.

"Lantas kenapa kalian memantau Afif juga? ia tidak memiliki sindrom ludens" ucap Jimi yang kemudian disambut telunjuk Yongki mengarah kepada Afif, seolah menginstruksikannya melepas kacamata.

Jimi heran, kenapa melepas kacamata? apa yang salah dengan kacamatanya? Ia segera menoleh kebelakang dan melihat Afif yang berdiri dengan senyum simpul seolah mengatakan dirinya telah tertangkap basah. Perlahan Afif melepaskan kacamata dengan frame persegi panjangnya itu. Begitu selesai, barulah Jimi sadar jika Afif juga menyembunyikan mata kuningnya di balik kacamatanya dengan ilusi optik.

"Sori, Hilmi. Gue juga memiliki sindrom yang sama dengan lo" ucap Afif santai dengan senyum. pandangannya yang sekarang sama dengan Jimi membuka lembaran baru pertemanan mereka berdua.

"Gue akan ninggalin kalian berdua dulu sampai tengah malam. Jika kalian ingin bergabung, silahkan ke ruang ekskul mading di belakang sekolah" Ujar Yongki seraya membalikkan badan dan mengajak teman-temannya pergi meninggalkan lapangan depan sekolah.

Selepas kepergian mereka semua, tinggallah Jimi dan Afif berdua duduk di pinggir lapangan. Angin malam yang kadang bertiup kencang dan dingin tidak lagi mereka hiraukan. Jika mereka ingin bergabung dengan Yongki dan Gina, waktu yang mereka miliki tidak lebih dari satu jam, dan itu tidaklah panjang.

"Hilmi, sori gue sembunyikan identitas gue" akhirnya Afif yang lebih dahulu melepas diam diantara mereka. Setelah ada jeda barulah Jimi merespon.

"Gue ga gampang bergaul, dengan berteman dengan lo di hari pertama sekolah gue pikir sudah saatnya gue terbuka dan menerima ucapan orang lain".

"Bro, gue ga niat ngibulin lo. ada alasan kenapa gue juga akhirnya memilih menggunakan kacamata ini" timpal Afif. Jimi kemudian memperhatikan alasan Afif, ada yang ingin ia nilai dari air wajah Afif.

"Waktu serangan Terak itu, umur gue 5 tahun dan adik perempuan berusia 3 tahun. Namun hanya gue yang memiliki sindrom ludens ini. Begitu orang tua kita meninggal, adik gue mengalami banyak perundungan karena memiliki kakak yang membawa sial".

Mendengar cerita itu, Jimi juga teringat bagaimana hari-harinya di masa kecil selalu diolok-olok karena memiliki heterochromia. Jimi yang pantang menyerah terus melawan hingga akhirnya kedua kakak sepupunya datang melerai dan mengajak Jimi untuk pulang. Karena perangai itulah, Jimi sulit mendapat kawan.

"Fif, sudah, berhenti. Gue yang salah" ucap Jimi. Mendengar itu, Afif terkejut dan menghentikan ceritanya.

"Setelah penjelasan Yongki tadi, gue kepikiran untuk menghentikan Terak ini. Gue akan berusaha membuat semua anak tidak kehilangan orang tuanya lagi karena monster sialan itu" ujar Jimi lagi. Afif tersenyum mendengar resolusi Jimi itu.

"Sekarang sudah kayak pahlawan mau menaklukan raja iblis saja gaya lo" ledek Afif yang disambut gelak tawa mereka berdua.

Suasana di antara mereka akhirnya cair dan mengalir layaknya tidak terjadi apa-apa. Afif berjanji tidak akan menyembunyikan apapun kepada kawannya itu, Jimi juga akan menghormati keputusan yang diambil Afif.

"Seperti yang gue bilang, kalau lo mau senyum sedikit, kakak kelas itu bakal mengajak kita berdua lebih cepat. Muka lo kaku banget sih kayak tiang telepon" Ledek Afif dengan tawa. Jimi agak jengkel dan berniat membalasnya.

"Adik perempuan lo cantik kan?" tanya Jimi dengan seringai.

"Hei!".

"Lo ga sister complexs kan? kasih lihat fotonya ke kak Hilmi dong".

"Hei Bangsat!"

Mereka berdua kemudian menyelesaikan gelak tawanya dan berkomitmen bergabung dengan Yongki dan kawan-kawannya.

"Gue akan buktikan ke adik gue, sindrom ini tidak berarti apa-apa" ucap Afif dengan raut serius. Giliran Jimi yang tersenyum mendengar resolusi sederhana Afif itu.

"Tapi kenapa kita disuruh ke ruang ekskul mading? bahkan kemarin orientasi, ga ada ekskul mading yang tampil" ujar Jimi penuh tanya.

"Hm? entahlah. Oia, Hilmi ada yang lupa gue sampaikan. saat kejadian naas itu, gue ingat ciri-ciri monster yang menyerang orang tua gue" ucapan Afif ini menghentikan langkah Jimi.

"Matanya berjumlah empat dengan warna kuning terang" sambung Afif. Saat Jimi mengolah ucapan Afif terdengar suara dari belakang mereka.

"Seperti ini?". seketika bulu kuduk mereka berdua berdiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status