Share

Warung Internet

Benar saja, sedotan dan rematan yang belum sempurna di atas dadanya berhenti. Laki-laki itu menjauh sambil terengah, sorot matanya masih turun dalam beberapa saat. “Maafkan aku, Na. Aku sangat ingin ...” katanya, kali ini telah mendongak. Khanara tidak bisa melihat sorot mata yang ditampilkan laki-laki itu, keadaannya memang gelap. “Kakimu terluka?” Pertanyaan mendadaknya dengan nada tinggi.

“T-tidak apa-apa.”  Menyeka sesuatu yang nyaris menetes dengan cepat, ia segera berlari, menyelesaikan langkah di dalam gang yang tersisa setengah jalan. 

Lampu pekarangan padam, perhatiannya langsung terbeliak karena hal itu. Sedikit berlari untuk menuntaskan jarak, kepalan tangannya mengetuk pintu.

“Nee!”

“Buka saja, Kak. Aku di dalam.”

Pintu terbuka lebar, pintu yang hanya terdiri dari satu sisi saja itu menghasilkan bunyi ‘duk’ saat menubruk papan rumah. Terpampanglah suasana rumah yang seperti biasanya. “Kenapa tidak menyalakan lampu teras?”

Mata gadis itu melebar, “Aku lupa ...!”

“Hah, kukira kau tidak ada di rumah,” desahnya.

“Kak ...” Anak berusia delapan tahun itu mendekat ke wajahnya, “Kau ...” Lalu kepalanya menggeleng cepat, “apa yang kau bawa? Dari Kak Lim?”

Alisnya berkerut dalam, memperhatikan wajah yang terus saja tersenyum menampilkan deretan gigi-gigi kecil. “Iya, ini dari dia. Kau kenapa?” Sedikit heran karena adiknya tidak kunjung menyudahi senyuman.

Bukannya dijawab, anak itu malah terkekeh. Ditinggalkan raut sang kakak yang masih kebingungan, ia berlalu ke kamar, menuju cermin. Di depan benda yang memantulkan gambar tersebut, ia makin terkikik. Jemarinya menekan permukaan bibir, bagian atas, lalu bagian bawah. “Bibir Kakak sebesar ini,” kikiknya lagi. “Siapa yang berani melakukannya kira-kira?” Bocah itu mendongak, telunjuknya mengetul-ngetuk dagu, tanda bahwa tengah berpikir keras. 

Sedangkan di kursi yang tampak dari gelap di luar pintu, Khanara masih berada di sana. Bahunya bersender dengan kepala terdongak, lekat memperhatikan langit-langit. Jemari yang entah sejak kapan mengepal adalah tanda bahwa ia tengah menahan sesuatu. 'Dia benar-benar menciumku, dia benar-benar melakukannya'. Sapuan yang baru pertama kali didapatkannya itu cukup membuat kaget. Baiklah, Khanara sudah berusia sembilan belas tahun. Usia yang cukup matang untuk melakukan sebuah ciuman.

“Tapi kenapa harus Lim?” keluhnya, tidak benar-benar terlihat sedang terluka. “Tapi rasanya ...” Kali ini jemarinya tidak lagi ditahan, lolos begitu saja ke atas, menyentuh bibir. Ciuman yang terpaksa, karena ia memang dipaksa. Bibir itu kemudian digigitnya, mengingat bagaimana besok dirinya harus bersikap di depan Lim.

***

Disebabkan sisi psikologisnya yang mulai terganggu akibat berita-berita yang terus dibacakan lewat siaran radio, telinganya tidak mungkin bisa bersembunyi, karena orang yang dipanggil Madame terus menjadikan benda elektronik berbahan bakar listrik pemakan signal itu sebagai satu-satunya hiburan di toko. 

Hingga sampailah Khanara di tempat ini sekarang. Seperti orang aneh, ia harus menengok kanan dan kiri, ia betul-betul tidak tahu bagaimana cara menggunakan komputer. 

“Nona, kau seperti kesulitan?” Nada pertanyaan yang sekaligus meminta klarifikasi tersebut terdengar dari belakang bahunya. Khanara menjerit dalam hati.

“I-Iya. Aku ingin ... aku ingin mencari sesuatu di internet.” Cara menjelaskan yang tidak elegan, namun ia berharap orang itu paham apa maksudnya. 

“Oh ... kau bisa menggunakan ini.” 

Awalnya, ia terpukau dengan kelincahan jemari orang itu saat menekan tombol mouse dengan cepat, sambil matanya tidak bisa melihat apakah diklik sekali atau lebih. Tampilan layar berubah, menampilkan layar berwarna dasar putih, sebuah kalimat; WeForage dan kolom kosong di bawahnya, sepanjang kalimat tersebut. 

Khanara bahkan tidak mengangguk sama sekali seperti saat menerima sebuah penjelasan. Ia terlalu terpaku. Mungkin sedikit mengherankan di usianya yang milenial tapi buta teknologi internet.

“Kau bisa mengetikkan apa yang ingin kau cari, di sini. Lalu, tekan tombol ini. Apa yang kau cari akan muncul.”

“Lalu?”

“Lalu ...?” Ia seperti kebingungan, “Tekan ini,” katanya kemudian. 

“Baiklah, terima kasih.” 

Pertama-tama, kalimat yang diketiknya adalah nama dari makhluk tersebut. Dalam hitungan detik, muncullah beberapa sumber yang membuat matanya berbinar, setidaknya ia memang berhasil di tahap awal. Sumber-sumber tersebut memuat tentang pengertian dari makhluk itu sendiri. Slander Man adalah ... “Jadi dia diciptakan oleh manusia? Hanya karakter?” Suaranya memekik, “ini hanya fiksi, tapi ...” 

Kasus-kasus anak hilang di hutan bukanlah isapan jempol belaka. Itu benar-benar terjadi. Pemerintah bahkan telah memasang peringatan untuk tidak bermain atau melakukan aktivitas apa pun di hutan sampai batas waktu yang belum ditentukan. Peraturan tersebut tercipta karena kasus-kasus tersebut belum menemui titik terang. Tidak ada yang tahu ke mana mereka, tidak ada tanda-tanda penculikan demi segepok uang, tidak ada juga tanda-tanda bahwa anak-anak tersebut tersesat. Dugaan sementara adalah binatang buas. Tetapi, sebagian penduduk mengaitkan dengan mitos Slander Man, beberapa beranggapan bahwa makhluk tersebut sudah ada sejak dulu kala dam termasuk dalam makhluk mitologi Yunani. 

Suara ketikan pada keyboard, gadis yang membiarkan iris kehijauannya memandang lekat ke arah ketikan dan layar secara bergantian. Ia yakin bisa menemukan kata kunci lain.

“Mahluk mitologi tidak mungkin menunjukkan diri secara terang-terangan atau menimbulkan kekacauan.” Alisnya berkerut saat menjeda bacaan. Giginya terus menggigiti bibir, “Kenapa aku jadi percaya hal gila seperti ini ...?!”

Premis di otaknya tengah dipukul keras. Mungkin karena sudah termakan gosip. Melirik jam dinding, waktunya masih lama, dan uang senilai sepuluh ribu rupiah miliknya akan hilang tanpa memberikan manfaat jika ia menyerah begitu saja. Khanara memang seseorang yang cukup irit, sangat memperhatikan pengeluaran. Berada di sana memang termasuk hal bodoh dalam hidupnya, namun kebodohan tersebut akan menghantui jika ia tidak menuntaskan. 

“Sihir,” ejanya terhadap kata yang baru saja ditulis. Secepat biasanya, sumber-sumber bermunculan. Kali ini, bukan hanya berisi informasi tentang apa itu sihir, melainkan, juga cara menolaknya. Mulutnya komat-kamit dan tangannya mulai lihai menggilir kursor, sebab sebenarnya dia bukanlah gadis bodoh, ia hanya terlalu disibukkan untuk mengurus adiknya—dengan bekerja. 

Situs di depannya menampilkan banyak informasi yang terdengar sangat mustahil, seperti dibuat-buat. Semuanya cukup terstruktur, mulai dari ciri-ciri, aroma, dan cara penanganannya. Cara penanganannya bisa dilakukan dengan atau tanpa sihir juga. Sihir yang buruk, bisa dilawan dengan sihir yang baik asalkan sama-sama kuat. Sejauh yang ia baca, kalimat mantra selalu berasal dari bahasa Yunani, itu seperti bahasa tertua dari mantra-mantra tersebut. Mungkin bisa saja dialihbahasakan ke bahasa kuno lain, tetapi kekuatannya pasti tidak sama. Bahasa Yunani yang tertulis dengan abjad, dilengkapi juga cara membacanya agar benar-benar fasih, disusul oleh kalimat berisi arti dari mantra tersebut. 

Meski terdengar sangat fiktif, namun tubuhnya sedikit meremang saat membaca dan mencerna bagaimana ciri-ciri jika sihir itu muncul. 

“Sedikit mirip dengan suasana mengerikan karena hantu, ya,” gumamnya.

Setelah membaca juga tentang penanganan terhadap sihir dengan tanpa menggunakan sihir, ia segera menutup akses.

“Pas satu jam.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status