Bella turun dari mobil lalu melangkah memasuki gedung dimana kantor cabangnya berada. Tidak ada perubahan dari setiap bentuk sejak terakhir kali dia menginjakkan kakinya di sini. Terakhir kali dia ke sini sudah teramat lama sekali. Mungkin sekitar 5 atau 6 tahun lalu dia ke sini untuk meninjau keadaan kantor. Cuma basa basi biasa. Tidak ada hal yang penting.
Dan kali ini yang di lakukannya adalah hal yang sangat penting. Untuk meninjau keadaan dan juga untuk mengetahui siapa Manager baru yang akan memegang managemen kantor cabang ini. Si penentu yang punya tanggung jawab penuh pada semua karyawan dan juga keuangan.
Begitu memasuki gedung, aku pun di sambut oleh senyum para karyawan yang berjalan melewatiku. Aku pun sampai pada resepsionis kantor ini dan menanyakan perihal Manager baru apakah dia sudah ada di ruangannya atau belum.
Tiara menyambutku dengan senyum awal yang terasa kaku. Mungkin dia berpikir aku adalah orang terpenting dari kantor ini.
Ku buka pintu ruang Manager baru yang sebelumnya ku ketuk pintu itu dengan sopan lalu masuk ke dalamnya. Begitu aku melihat wajah dari Manager yang sedang duduk itu. Sontak aku langsung terkejut melihat siapa yang sedang serius membuka lembar demi lembar dokumen yang dia pegang di tangannya.'Astaga bagaimana mungkin dia ada di sini. Gila. Aku rasa aku salah masuk ruangan atau aku sedang berhalusinasi sekarang. Tidak mungkin.'Dia belum menyadari siapa yang sedang berdiri memperhatikannya sampai kepalanya terangkat dan melihat siapa yang berdiri di depannya itu dengan canggung.Berbeda dengan aku yang tidak mempercayai penglihatanku. Dia malah tidak terkejut dan juga tidak mengatakan apa-apa sama sekali. Seperti tau apa yang aku pikirkan.Matanya memandang datar melihat ke aku dan itu terkesan sangat dingin. Tangannya bertopang dagu dengan senyuman miring yang tak ku sukai sama sekali. Ada gitu karyawan yang tidak bersikap sopan pada atasa
"Kamu sangat lucu Xavier. Bisa kita bicara serius?""Aku juga serius sama apa yang aku bilang kalau aku itu kerja di sini karna ingin dekat sama kamu.""Aku jadi memerah rasanya mendengar gombalan kamu. Kamu sangat pintar memuji, Xavier. Jadi kamu bekerja di sini karna ingin dekat sama aku. Oke aku terima. Lalu kenapa kamu nggak milih di pusat saja malah memilih di kantor cabang yang kurasa sangat jauh dariku.""Wah ternyata kamu juga ingin aku dekat sama kamu ya. Di terima." Xavier menggangguk-anggukkan kepala seolah menerima yang aku ajukan. Padahal yang sebenarnya terjadi bukan begitu."Eh. Kok jadi gini sih. Aku bertanya begitu karna memang ku lihat dari pekerjaan dan juga bidang yang pernah kamu ambil. Bukan karna ada indikasi aku suka sama kamu ya. Pikiran kamu itu berkhayal terlalu tinggi. Aku itu cuma penasaran bukan karna aku mengharapkan ada yang lain.""Di terima." Dia mengulum senyum di bibirnya itu. Aku merasa tidak enak jadinya berka
Kembali ke rutinitas seperti biasanya. Setelah menempuh perjalanan berkilo-kilo meter. Akhirnya aku pun kembali ke kantor. Tentunya bukan hal mudah setelah bertemu dengan Xavier di kantor cabang tadi. Kekesalanku masih saja berada di dalam hati. Kalau saja Firly tidak membawakan semangkuk es krim coklat. Mungkin setibanya aku di kantor, aku masih ngomel-ngomel tak jelas."Lo mau cerita atau nggak? Mumpung ini masih jam istirahat. Gimana kantor cabang? Managernya oke?""Gue nggak tau kalau ternyata yang jadi Manager sana adalah orang yang gue nggak mau sebut namanya.""Maksud lo?""Manager yang menjabat itu adalah Xavier, rival gue semasa sekolah.""Loh kok bisa?""Gue juga nggak tau. Yang terima sebelumnya kan bukan gue. Itu bagian rekruitment pekerja. Lo tau apa?"Firly menggelengkan kepalanya dengan kerutan di dahi. Jelas saja dia binggung. Dia tidak tau apa-apa."Kemarin mobil gue mogok. Gue nggak tau yang datang selamatin g
Aku lupa kapan aku bisa tersenyum dalam hati bisa melihat orang yang aku jumpai juga melakukan hal yang sama. Tersenyum.Aku memalingkan kepalaku ke arah lain sembari mengembungkan pipiku. Aku tidak mau tertangkap basah ingin tertawa senang begitu melihat tingkahnya yang terbilang beda dari biasanya. Untuk apa senyum itu dia lakukan kalau setelah ini dia akan membuatku kesal lagi."Xavier bisa kita serius sedikit. Aku sudah menepati janjiku untuk bertemu sama kamu. Jadi tolong kamu lakukan yang benar. Aku tidak mau membuang waktu buat menemanimu yang hanya tersenyum seperti itu.""Aku kesulitan membuat laporan. Tapi aku lupa membawa semua pekerjaanku ke sini.""Terus bagaimana bisa aku mengoreksi laporan kamu kalau kamu tidak membawanya ke sini. Konyol. Kamu mencoba menggodaku atau apa. Atau mungkin lebih tepatnya mengerjaiku. Hei kamu itu pintar dan kamu berada di posisi Manager, mana mungkin kamu kesulitan melakukan hal itu. Oh tidak!
Aku menggerang begitu sinar matahari masuk melalui jendela membuatku silau akan sinarnya yang menyorot masuk langsung ke arah mataku. Tirainya di buka oleh seseorang dan aku menggerutu kesal karnanya. Siapa yang telah berani membangunkanku di pagi dan hari weekend begini.Aku nggak akan pernah memaafkannya jika yang membangunkanku adalah seorang pelayan rumah ini. Tidak sopan. Hari weekend adalah hari dimana aku bisa bermalas-malasan dan tentu saja untuk bersantai sejenak dari rutinitas keseharianku yang selalu berkutat dengan pekerjaan.Aku menutup mataku dengan menggunakan bantal berharap aku kembali bisa tertidur lagi. Namun suara khas seseorang mengagetkanku membuatku mau tidak mau harus melihat dia yang sekarang sedang berdiri membelakangi jendela. Kristan sudah rapi dan bersih dengan pakaian yang bisa terbilang santai. Kaos berwarna hitam pas tubuh dengan celana panjang baggy yang pas membungkus kakinya yang panjang."Kamu sudah kembali."
Kristan mengurungku dengan kedua tangannya dan itu tidak bisa membuatku pergi begitu saja. Aku ingin lepas pun tak bisa. Tangan yang besar itu mengurung pas di kedua pergelangan tanganku. Setiap kali aku gerakan. Aku tidak bisa melepasnya. Tenaganya sangat kuat, aku harus memikirkan cara lain agar aku tidak lagi pasrah di depan dia."Aku bilang lepas atau...""Atau apa?""Atau jangan salahkan aku kalau kepunyaanmu itu akan ku serang saat ini juga. Jangan lupakan Kristan aku bisa menghajarmu dengan rasa sakit yang tidak terkira."Kristan menyipitkan matanya, memandang satu arah ke arahku dan itu tepat di kedua mataku ini. Kami saling berpandangan dengan jalan pikiran masing-masing, dia menilai kesungguhanku saat itu juga. Sementara aku, aku tidak memikirkan hal itu. Aku malah berpikiran kalau dia selalu saja membuatku tak habis pikir, aku selalu saja dia buat bertanya-tanya sama sikap yang dia punya."Jika kamu memang mau menendangku, ak
Heran aku tuh sama Kristan yamg mau seenaknya sendiri. Dia itu sebenarnya mau apa sih. Aku tuh selalu salah dimata dia. Semua yang aku lakukan salah. Terus aku harus mengalah gitu. Itu udah aku lakukan sejak tadi. Malah aku sudah sangat sabar menghadapi tingkahnya itu."Kekanakan." Aku berdiri untuk pulang. Ngapain juga aku masih sabar di sini sama dia. Lebih baik aku pulang dan tidur. Daripada di sini bikin aku kesel sampai aku tuh nggak bisa bilang apa-apa. Memilih untuk diam tapi hati meronta-ronta."Apa kamu bilang? Aku kekanakan?""Ya kamu itu kekanakan. Aku daritadi ngikutin kemauan kamu sampai lupa aku jadi orang bodoh."Tangan Kristan mengepal sempurna di depan wajahku. Dia terpancing emosi karna omonganku saat ini. Terserah. Aku tidak peduli dia mau marah sama aku. Aku bilang terserah! Aku bilang apa adanya. Itu yang aku rasakan sejak tadi pagi saat mata ini masih tertutup sampai sinar terik ini menyinari bumi."Kamu mau pukul
Seseorang menurunkan kaca mobilnya di saat aku sedang menunggu taksi di jalan untuk kembali pulang ke rumah."Hei apa yang kamu lakukan di sini?"Berlagak tidak tau siapa yang ada di dalam mobil itu. Aku memalingkan mukaku ke arah lainnya. Aku tidak mau melihat dia yang sedang bertanya padaku saat itu."Hei aku tanya apa yang kamu lakukan di sini. Kamu lagi nunggu orang?""Terserah aku mau apa. Kamu nggak usah peduli ya. Udah sana pergi. Aku nggak mau lihat kamu di sini. Aku lagi kesel."Sudah terlihat jelas betapa jeleknya aku saat ini. Muka tertekuk di tambah bau matahari dan sekarang ada asap pembakaran yang membuat wajahku bertambah kecoklatan."Ayo ikut aku saja daripada kamu berdiri di jalan begitu kayak orang hilang. Mending ikut aku.""Aku nggak mau ikut kamu.""Jangan keras kepala deh kamu. Mau ikut atau nggak nih. Aku lagi baik. Kalau nggak mau, aku pergi."Aku berpikir kemudian. Aku nggak mungkin k