NOAH DYLAN POV
Perasaan bersalah membuat kepala ku pusing. Kuacak asal rambut, memaki wajah tampanku.
Sial, bodoh sekali aku ini.
Alisku berkerut tengok puluhan panggilan tak terjawab serta beberapa pesan dari Mika, pacarku.
Aku meninggalkannya sehari setelah berpacaran dengannya, dan sibuk meniduri wanita lain. Ku kerutuki wajahku dengan berbagai julukan binatang.
Tubuhku kini terjebak di kamar mandi seorang wanita yang belum lama kukenal, dan dia adalah sekretarisku sendiri.
Rahangku mulai mengeras mengingat semalam bermimpi tentang wanita itu.
Aku jatuh cinta dengan tubuh Marissa, tapi hatiku berdetak hanya untuk Mika.
Penyakit ini telah membunuh jiwa kemanusiaanku
Kata Reigen, kerabat sekaligus dokter yang selama ini menangani gangguan psikologis ku yang telah mendiagnosa penyakit ini sejak lima tahun silam.
Aku tidak yakin akan hidup dengan cara seperti bahkan untuk waktu yang tak terkira.
Yang dapat ku yakini adalah perasaan yang kumiliki terhadap Mika adalah benar adanya. Aku tulus mencintainya. Hatiku benar-benar untuk dirinya seorang.
Apapun akan aku berikan untuknya.
Tapi kenyataanya aku terjebak dalam ikatan tak kasat mata antara aku dan Marissa.
Hubungan ranjang yang biasa aku lakoni hanya berjangka pendek, maksimal adalah satu hari. Lantas kenapa aku terjebak karena aura mistis yang Marissa taburkan kepadaku.
Aku kalap dan bimbang.
Aku tidak ingin menjadi seseorang yang menyakiti orang lain. Cukup wanita jalang itu saja.
***
Siang harinya, aku benar-benar keserupan total
Bukannya mengajak Mika malah kuajak wanita yang belum lama aku kenal ke restoran milik rekan bisnisku.
Aku semakin merasa bodoh sebab melanjutkan hubungan gelap ini. Persetan dengan itu, aku sudah terlalu masuk ke dalam lubang nafsu.
Aku yang masih asyik menyesap segelas anggur merah buatan sejak 1987 sontak tersedak ketika teringat kalimat yang sering diucapkan oleh Mika.
Apa benar yang aku lakukan kali ini sama saja meminta perlindungan dari Mika? Bahwa berpacaran dengan Mika adalah caraku menutupi kelemahanku? Menutupi otakku yang bejat?
"Babe?, are you fine?"
Mataku menatap nanar wanita di sampingku, wajah Carol samar-samar muncul menutupi wajah ayu kekasih gelapku itu.
Darahku mendidih melihat wajah itu.
Ia tersenyum anggun, mengajakku menuju lantai dansa. Siang itu tidak seperti nuansa siang di kota Jakarta seperti biasanya. Di lantai restoran milik rekan kerjaku mulai terasa hangat seiring pelukan Marissa yang menyenderkan kepalanya ke dadaku.
Sepasang suami-istri membuat pandanganku terpaku ke arah mereka yang tengah berbahagia. Perayaan hari istimewa satu hari dalam satu tahun. Agaknya cukup klise atau monoton namun melihat senyuman mereka tanpa pura-pura membuat hatiku terenyuh dan mengingat Mika.
Kemarin Mika mengajakku menonton bioskop, dengan bodohnya aku menolak permohonannya yang mudah saja aku kabulkan.
Kubangan memori yang menenggelamkanku ke suasana kelam masa lalu. Marissa menatap wajahku yang sendu. Ku kulum bibir lembabnya, menyusur ke dalam lidahnya yang lincah berdansa dengan lidahku. Pinggang kecilnya kutarik lebih dekat dengan dadaku. Payudaranya yang mengitip sedikit mengalihkan pandanganku ke arah lain. Aku berpura-pura tersenyum nakal.
"Mau kemana babe?" kata Marissa ketika aku melepas genggaman tanganku dari pinggulnya dan melangkah keluar menuju kamar mandi.
Sungguh aku benar-benar telah sepenuhnya menjelma menjadi seorang pecundang. Lalu apa bedanya Noah dulu dengan Noah yang sekarang? Bukankah sama persis bobroknya?
Mungkin sekarang Mika tengah duduk di kursi bioskop sambil melihat beberapa pasang burung merpati bermesraan.
Bruk!
Hantaman tanganku meruntuhkan kaca di hadapanku. Beberapa pasang mata melihatku dengan tatap ngeri.
De javu! Perasaan terintimidasi mengalir ke seluruh darahku. Nyaliku ciut. Kenangan ketika menjadi objek perundungan membuatku teringat akan Mika yang selalu ada untukku.
Nafasku naik turun ketika melangkah keluar dari hotel meninggalkan Marissa yang masih sibuk menyesap anggur merahnya.
Beberapa panggilan kulayangkan ke arah Mika, namun tidak ada jawaban.
Dia sedang dimana?
Mika bukanlah tipe wanita yang menghabiskan waktunya keluar terlebih ketika friday night.
Seharusnya aku memperlakukannya seperti pasangan kekasih pada umumnya. Pasangan normal yang biasa lakukan ketika berkencan.
Ku injak gas kuat-kuat melesat ke area perkampungan, tempat tinggal Mika.
MARISSA LOURDSuara ngorok membuatku terbangun. Dengan keadaan tubuh tanpa sehelai kainpun aku terkapar di atas karpet yang berada tak jauh dari ranjang. Saking capeknya sepulang kerja ditambah perjalanan yang cukup jauh membuat mataku langsung terkatup dengan mudahnya.“Kita pulang yuk ke vila, disana lebih hangat dan indah”Suara yang belum sempurna dicerna olehku yang masih setengah tidur. Sepasang tangan mengangkat ku dengan lembut menuju mobil. Mataku seakan dibebani puluhan batu sulit terbuka.“Mar, bangun woi”Suara cempreng Alex yang agak serak dan maskulin sukses membikinku terperanjat. Aku terkejut melihat jam digital yang duduk di atas meja samping ranjang king size yang kutiduri.Dimana gue? Bukannya tadi di motel ranjangnya ga semewah ini?Pikiran tentang dimana aku sekarang sekejap pudar mengingat matahari sudah nyelonong masuk melalui cela
AUTHOR POV“Apaan sih lu” Marissa masih kaget melihat gelagat manusia yang terkenal aneh untuk dirinya.Tapi, alasan ia mengeraskan suaranya supaya suara detak jantungnya tak terdengar ke telinga Alex.Alex yang masih berusaha agar tak tergagap – kebiasaan lamanya ketika gugup.Fakta itu membuatnya makin gugup dan gelisah. Hingga sesuatu yang basah mulai mengguyur tubuh mereka. Bandung yang dikelilingi bukit dan pohon semakin dingin ketika dibasahi hujan.Jaket kulit milik Alex yang digunakan untuk menutup rambut Marissa bahkan tak mampu mengurangi volume air yang membasahi tubuh mereka. Kedinginan mulai menusuk sampai ke tulang.“Bibir lu gemeter, lu gapapa?” Alex yang melihat tubuh basah kuyup Marissa segera mendekapnya tanpa permisi. Tak seperti biasanya rasa gugup semakin mengikat mereka berdua. Mereka yang sudah menjadi “Friend with benefit” di at
ALEX ANDREW POVMataku seperti dibakar api di perapian yang ada di villa milik keluarga ku. Muka ku kusut dan bau, sudah dari kemarin malam tubuh ku tak terkena air selain air mataku sendiri. Tanganku memar akibat terlalu banyak memukul tembok.Brengsek! Aku meraih handphone dengan malas memencet dengan kasar sebuah kontak yang bertuliskan Marissa – si jalang.Dari seberang suara sesenggukan memenuhi isi telingaku. Suara yang akhirnya meluluhkan amaraku terhadap Marissa.Setidaknya Marissalah yang cukup memahami situasi yang aku alami.Mungkin kita tengah berada pada fase teralihkan akibat perasaan jemu dan kesepian yang menggiring kita merasakan perasaan yang mungkin hanya berlaku untuk sementara.“Lu dimana?” Baru kali ini aku melihat dia seterpuruk ini. Seorang Marissa sangatlah anti mewek-mewek club. Ia sangat benci ketika terlihat lemah di depan ora
MIKA LODGE POV“Aku mencintaimu Mika,meski tubuhku terjerat dan tidak leluasa memilihmu sebagai satu-satunya” bisik Noah di lekuk leherku.Aku terisak mendengar kalimatnya.Tapi manusia seperti diriku tidak cukup untuknya. Tidak akan pernah.Bukan hanya itu saja, aku pun akan menyakitinya lagi dan lagi seperti yang sudah sudah. Kita akan menjadi lingkaran setan dan saling menyakiti.Entah sejak kapan aku menjadi manusia yang rakus dan melupakan diriku. Atau apakah inilah wujud diriku yang sesungguhnya.Yang pasti, ungkapannya di sela ketidaksadarannya membuat hatiku terasa lebih hampa.Perasaan bersalah menggerayangi tubuhku.Aku menggeser layarku dengan buru-buru, beberapa dering kemudian.“Selamat malam pak, ada sebuah kecelakaan di jalan depan perpustakaan Timba Ilmu”Selamat tinggal Noah.Ku kecup bibirnya yang kering dan
NOAH DYLAN POVBelum sempat aku merebahkan diri setelah kejadian semalam. Badanku yang masih kaku sudah berada di atas kursi kebesaran keluarga Dylan.Belum ada kabar dari Mika. Apakah semalam hanyalah delusi?Tapi aku ingat betul, ketika aku berbicara dengannya di telepon.Tubuhku pun masih terkenang akan tubuhnya yang duduk di atas pahaku.Tubuhku tidak bisa ditipu ketika dipuaskan.Bayangan wajahnya membuatku tidak bisa berpikir jernih.Apakah ia kembali bersama Alex? Jelas aku ingat semalam aku berterus terang perihal keadaanku yang jauh dari kata normal.Pikiranku saling memaki dan bertengkar.Kepalaku semakin berdenyut.“Permisi pak, ada kiriman khusus untuk anda” kata Marissa melangkah menuju mejaku.Wanita ini benar-benar memiliki nyali yang besar. Atau lebih tepatnya tidak punya urat malu. Bagaimana tidak, setelah kelakuannya yang
32 Panggilan Terjawab dari Wanda.“Lex, maafin Mika, kalau udah denger pesan ini. Telpon Mika ya”Pesan suara dari Mika mengalir ke seluruh ruang apartemen Alex yang sepi.Maafin Mika, serius jangan tinggalin Mika ya Lex.suara isakan Mika membuat hati Alex semakin perih.Sejak malam mengerikan itu, Alex tak sempat memejamkan matanya. Gelagatnya seperti orang yang sedang keranjingan. Mukanya kusut, otaknya tak berhenti memutar dan memikirkan perempuan itu.Kamarnya sudah berantakan akibat amukan Alex yang kerasukan iblis tampan.“Alex”Suara familiar diiringi bunyi bel dari pintu apartemen membuatnya berhenti.Penampakan Marissa yang amburadul. Matanya setengah menyeramkan lantaran maskara yang luntur, rambutnya benar-benar kusut bahkan bajunya robek di bagian pahanya. Tidak sekalipun Alex melihat penampilan sahabat—mantan sahabatnya acak-acakan se