MasukLeon ayah Zea, sudah sampai ke tempat perlindungan yang disediakan oleh pemerintah, berada di gedung paling tinggi di Jakarta. Untuk pesawat yang mengangkut masyarakat, sudah di sediakan tempat tinggal sementara di beberapa gedung bekas perkantoran. Di langit, terlihat banyak pesawat maupun helikopter terbang mengangkut masyarakat. Semua pesawat maupun helikopter di kerahkan ke seluruh penjuru Indonesia, bolak-balik mengangkut masyakat.
Leon melihat GPS Zea, anaknya masih berada di atas gunung. Leon bergegas ke ruangan atasannya untuk meminta bantuan. "Ada apa Pak Leon?" Tanya Samuel atasan Leon. "Begini Pak, anak saya masih berada di gunung, tertinggal pesawat. Saya mohon Pak, bisakah helikopter menjemput anak saya?" Pinta Leon penuh harap. "Ada berapa orang?" Tanya Samuel. "2 orang Pak," jawab Leon. "Mereka enggak bisa ngangkut 2 orang Pak Leon, mereka lebih milih mengangkut banyak masyarakat sekaligus, maaf saya enggak bisa bantu. Anak saya pun terjebak di salah satu gunung dan saya juga enggak bisa nolong dia," ucap Samuel penuh penyesalan. Terlihat gurat lelah di wajah mereka, setiap detik harus memantau perkembangan situasi. Entah sampai kapan ini akan berlalu, tapi air laut semakin naik tiap menitnya. Leon berjalan gontai ke ruangannya sendiri, dia membuka handphone untuk menghubungi Zea. "Halo Ze, maaf Papah enggak bisa bantu kamu di sana, pesawat enggak akan mendarat kalau cuma ada 2 orang." Ucap Leon pelan. Leon lega istri dan ibu mertuanya sudah selamat, tapi hatinya masih mengganjal karena anak semata wayangnya belum di selamatkan pemerintah. "Papah enggak perlu khawatir, Zea bisa lindungin diri sendiri, Zea udah punya banyak persiapan. Kalau air laut semakin naik, Zea ada perahu karet, Zea harap bisa sampai ke tempat Papah sekarang." Ucap Zea. "Papah ada di gedung paling tinggi di Jakarta, air laut sudah mencapai seperempat dari gedung, Papah harap air laut enggak akan naik sampai ke atas." "Baik Pah, Zea usahakan sampai ke sana. Mamah gimana Pah?" "Mamah kamu sudah dapat tempat berlindung, kamu hati-hati ya Ze. Kalau air laut enggak mencapai gunung, lebih baik kamu berdiam saja di sana dan jangan ke mana-mana," ucap Leon. "Iya Pah, Zea tutup dulu teleponnya," Zea dan Adrian sedang makan roti, Adrian membawa banyak roti, katanya lebih baik makan roti dulu daripada nanti keburu basi. Ya Zea sepakat untuk membentuk tim dan bekerja sama dengan Adrian, bagaimana pun dia butuh teman untuk membantunya. "Perahu karet ini apa akan sampai ke tempat jauh?" Gumam Zea. Sebenarnya Zea sendiri tidak yakin, tapi Zea tak ingin membuat Leon semakin khawatir. "Setelah di Jakarta, kita ke pelabuhan Ze, siapa tahu ada perahu kayu yang mengambang." Ucap Adrian. "Lo bisa renang?" Tanya Adrian. "Ya, bisa. Kenapa?" "Gue wanti-wanti aja kalau makanan abis, kita renang ke bawah buat nyari makanan, siapa tahu kita nemu supermarket." 2 jam kemudian, air laut sampai ke gunung. Zea memakai pelampung, begitu juga Adrian. Handphone nya diberi plastik kemudian di simpan di tas kecil yang menggantung di leher. Zea menyimpan tas gunung di depan dan belakang perahu karet supaya perahu seimbang. Kemudian Zea dan Adrian duduk, Zea di depan sedangkan Adrian di belakang, tangan mereka masing-masing memegang satu alat untuk mendayung perahu. "Lo siap Ze?" Tanya Adrian dengan jantung berdetak kencang. Zea mengangguk tanpa menoleh ke belakang, "siap, sekarang waktunya kita bertahan hidup." Sebelumnya Zea memakai topi, masker, sarung tangan dan jaket. Udara sangat panas karena terik matahari, Adrian sendiri membawa perlengkapan yang sama jadi tidak meminjam ke Zea. Tak lama, air laut sudah menggenang, Zea dan Adrian mendayung perahu ke depan. Terkadang angin tak bersahabat, menggoyangkan perahu sehingga berputar haluan, tapi Adrian dan Zea tak patah semangat melaju menuju Jakarta. Zea melihat GPS di jam tangan digitalnya, titik di mana Ayahnya berada. Di sisi lain, Alin berada di rooftop bekas perkantoran. Bukan hanya ada keluarganya, tapi juga beberapa masyarakat yang satu pesawat dengan Alin. Alin memandang ke bawah gedung, dia tertegun melihat air laut sudah mencapai setengah gedung. Meskipun sebelumnya punya banyak persiapan, Alin tak ingin membayangkan harus terombang-ambing di lautan tanpa Zea. Ya, Alin percaya kalau dia bersama Zea dia akan bisa bertahan hidup, sedangkan kalau dia sendirian Alin tak yakin bisa. Alin menatap layar handphone nya, satu jam yang lalu Zea mengirim pesan memberitahukan kalau dia akan mulai mendayung perahu karet, posisinya berada jauh dari Jakarta. "Bagaimana Zea, Alin?" Tanya Dina menghampiri anaknya yang melamun. "Zea udah berangkat pakai perahu karet yang kita beli bareng-bareng Mah," jawab Alin lesu. "Apa dia akan sampai tepat waktu? Kalau air laut semakin naik, katanya semua pengungsi yang berada di gedung akan di pindahkan ke tempat lain," ucap Dina. "Pindah ke mana Mah?" Tanya Alin. "Rusia, katanya pemerintah Rusia memiliki dataran tinggi dan tempatnya tergolong aman. Pemerintah kita sudah bekerja sama dengan Rusia, jadi kalau air laut semakin naik, kita para pengungsi akan di terbangkan ke sana." Ucap Dina membuat Alin lesu. Alin mengirim pesan ke Zea tentang informasi dari Mamahnya, berharap Zea cepat sampai sebelum air laut semakin naik. Zea tidak membuka handphone meskipun beberapa kali berdering, dia fokus mendayung tak ingin melewatkan satu menit pun. Sesekali minum air sedikit demi menghemat air, begitu juga dengan Adrian. Kini matahari tak lagi menyengat, jam menunjukkan pukul 4 sore. Keringat sudah membanjiri pakaian, tapi Zea dan Adrian masih semangat mendayung perahu. Sepanjang perjalanan, tak terlihat apa pun, hanya lautan. Kota-kota sudah tenggelam. Zea harap Ayahnya masih berada di gedung itu. "Masih jauh Ze?" Tanya Adrian lesu. Tangannya sudah pegal bahkan sempat kram, mereka butuh orang. Berdua mendayung sangat melelahkan, jika 4 orang, mereka bisa bergantian mendayung perahu. "Kira-kira satu jam lagi, lebih baik salah satu dari kita istirahat dulu, nanti gantian," jawab Zea pelan. "Ya sudah lo istirahat duluan Ze, gue masih sanggup buat dayung. Tapi gue pinjem jam lo buat GPS," Zea menyerahkan jam tangannya ke Adrian, Adrian langsung memakainya. Zea langsung merebahkan badannya dan langsung tertidur pulas. Sementara Adrian mendayung perahu, sesekali berhenti sebentar untuk meregangkan otot. Setengah jam kemudian, Zea bangun untuk bergantian dengan Adrian. Adrian langsung tumbang setelah menyerahkan jam tangan Zea. Sebelum mendayung, Zea makan roti dan minum susu kotak, berharap bisa memenuhi energinya. Handphone nya tak lagi berdering seperti tadi, hanya keheningan yang menemani Zea selama mendayung.Zea menatap langit senja dengan senyum manis, kini ia bisa menatap senja sambil makan makanan enak, kini senja memancarkan keindahan yang berbeda dan terlihat jauh lebih indah. Rayhan terpaku menatap senyum manis di wajah Zea, keindahan senja itu sekarang kalah telak oleh senyumnya yang memikat. "Terima kasih ya Kak udah ajak ke sini," ucap Zea membuat Rayhan tersentak kaget. Rayhan tersenyum canggung, "sama-sama"Mereka menikmati senja dalam diam. Setelah senja tak lagi terlihat, keduanya kembali ke penginapan dengan berjalan kaki. Setibanya di lobi, Gara yang baru saja masuk langsung menatap Zea dan Rayhan penuh selidik. "Kalian dari mana?" Tanya Gara. "Gue enggak sengaja ketemu Kakak lo di jalan," jawab Zea langsung. Gara menyipitkan matanya penuh rasa curiga, matanya menatap bergantian wajah Rayhan dan Zea yang terlihat tenang, seakan ucapan Zea memang benar. "Ya udah, ayo bang ke Kamar gue mau cerita," ajak Ga
Setelah 2 hari tinggal di perkampungan, Leon mengajak para remaja itu untuk turun gunung melewati tangga berjumlah ratusan. Di sepanjang perjalanan mereka saling bercerita dan tertawa sampai tak terasa sudah tiba di bawah. "Ayo kita ke salon dulu," ajak Leon. Para lelaki akan mencukur rambut di barbershop yang kebetulan salon khusus wanita ada di seberangnya, jadi Zea berpisah dan masuk ke dalam salon seorang diri. Zea masuk ke salon mengandalkan translate google, untunglah pelayan salon itu mengerti dan bersikap ramah. Adrian, Gara, dan Daren sudah selesai di cukur, rambut mereka kini terlihat lebih rapi, tak ada lagi rambut gondrong tak terurus. Sambil menunggu Zea selesai, mereka pergi ke toko swalayan untuk membeli cemilan dan lainnya. Begitu Zea selesai, para lelaki itu sudah menenteng kantong belanja berisi cemilan dan makanan lainnya. "Kita tinggal di mana Pah?" tanya Zea. "Untuk sekarang tinggal di penginapan dulu,"
Pagi-pagi sekali Zea sudah terbangun dan duduk di tepi tebing, matanya berdecak kagum melihat matahari yang baru muncul, melukiskan warna orange di langit dengan kemegahannya. Zea memejamkan mata, merasakan semilir angin menerbangkan rambut panjangnya yang tak ia ikat. Udara pagi ini membuat Zea puas dan tak henti-hentinya bersyukur atas kuasa Tuhan yang senantiasa memberinya keselamatan. Meski sempat menyalahkan takdir, Zea kini sadar kalau dia jauh lebih kuat dari yang di bayangkan, mungkin itu sebabnya Tuhan mengujinya, memisahkannya dari orang tuanya dan berjuang di lautan dengan teman-temannya yang baru ia temui. Semua kesulitan itu telah berlalu, kini saatnya Zea memulai hidup baru yang lebih baik."Zea ..." Panggilan lembut itu seakan menyatu dengan angin, begitu halus dan membuat jantung berdebar. Zea menoleh dan baru tersadar ada orang yang duduk di dekatnya. "Kak Rayhan?" Ucap Zea canggung. Meskipun Rayhan kakaknya Gara, kemarin malam Zea tak mengobrol dengannya jadi se
Setelah malam berlalu, Zea, Gara, Adrian dan Daren kembali melanjutkan perjalanan. Mereka hanya berjalan lurus saja mengikuti jalur, karena kanan kiri adalah jurang. Adrian berjalan di depan membuka jalur yang terkadang penuh rumput yang sudah meninggi. Saat tengah hari, mereka kembali beristirahat untuk makan siang. Dengan iseng Zea membuka handphone, matanya membola kaget menatap pesan dari ayahnya. 💌 PapahZe, Papah udah di China. Aktifin data selular kamu ya. 💌 PapahPapah sudah ada di perkampungan yang berada di atas gunung. Kata tour guide nya, kalau kamu selamat dan berhasil naik ke atas tebing, kamu akan menemukan kampung ini karena kampung ini adalah jalan satu-satunya buat kamu turun. Jaga keselamatan kamu Ze. "Gue dapat pesan dari Papah," ucap Zea antusias. "Apa katanya?" tanya Adrian tak kalau antusias. "Nih baca sendiri," Zea menyodorkan handphone nya dan di baca bergantian oleh mereka. "Ber
Matahari kembali menampakkan sinarnya pertanda pagi telah datang. Zea orang pertama yang membuka mata, dia mengerjapkan matanya karena silau dengan cahaya matahari. Setelah nyawanya terkumpul sempurna, Zea bangun dan menatap sekeliling, mereka masih ada di atas tebing. "Ad, Gar, Bang Daren, bangun." Ucap Zea sambil menggoyang-goyangkan badan mereka satu persatu. Ketiga lelaki itu terbangun dengan kaget, mereka ingat setelah sampai ke atas mereka langsung berbaring begitu saja dan tertidur lelap. Tanpa mendirikan tenda maupun makan. "Udah pagi aja?" Ucap Adrian sambil melihat sekeliling. "Ayo makan," ajak Zea yang perutnya sudah berbunyi nyaring. Gara mengeluarkan cemilan dari tas dan membagikannya satu persatu. Mereka makan dengan lahap sambil mata menatap sekeliling. "Kita belum sampai ya? Kok enggak ada rumah-rumah." Ucap Gara. Setelah menghabiskan makanannya, Zea berdiri ke dekat pinggir tebing yang diberi pemb
Zea berulang kali merangkak sendirian untuk melilitkan tali ke batu, dan ketiga orang lainnya merangkak setelah tali siap di gunakan. Sebagai lelaki mereka merasa malu karena selalu mengandalkan Zea yang seorang perempuan, tapi keadaan sekarang berbeda. Dibutuhkan keberanian dan tekad kuat untuk bisa melaluinya, jelas Zea lebih unggul dalam hal ini. Beberapa kali Zea berteriak menyemangati, meski ia sendiri lelah tapi Zea tak ingin menyerah begitu saja. Zea ingin berkumpul kembali dengan orang tuanya. Ingin melakukan aktivitas layaknya remaja, mengejar impian dan cita-cita. "Istirahat dulu," ucap Zea. Matanya menatap langit sore, semilir angin menerbangkan helaian rambutnya yang sudah acak-acakan. Zea tak peduli dengan tubuhnya yang lengket oleh keringat, tak peduli dengan wajahnya yang kotor penuh debu. Adrian yang berada di belakangnya tak sengaja menatap tangan Zea yang penuh luka. Matanya menatap cemas, dia tak sadar Zea mengorbankan dirinya merangk







