Share

Bab 7

Penulis: Detia Wahyuni
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-27 10:41:47

Adrian dan Zea menatap kosong ke arah depan, mereka sudah sampai di Jakarta, tapi tak terlihat satu pun gedung perkantoran maupun gedung lainnya. Zea buru-buru membuka handphone.

💌Papah

Ze maaf, pemerintah membawa kami ke Rusia. Papa minta maaf enggak bisa lindungin kamu, kamu boleh benci sama Papah Ze.

💌Alin

Ze lo di mana? Cepat sampai Ze, mereka bilang akan bawa pengungsi ke Rusia, gue enggak mau lo sampai ketinggalan Ze.

💌Mamah

Sayang kamu di mana? Maafin Mamah udah ninggalin kamu, Mamah selalu mendoakan keselamatan kamu.

Zea mencoba menghubungi Ayahnya, tapi tidak ada sinyal sama sekali. Internet terputus. Zea balik badan, menatap Adrian yang wajahnya sudah pucat karena kelelahan.

"Kita... Terlambat..." Ucap Zea lirih.

Adrian mengangguk lesu, keduanya diam, tak lagi semangat mendayung. Senja datang dengan indah, tapi senja itu tak lagi indah di mata Zea.

"Sekarang... Gimana?" Tanya Adrian lirih.

"Kita tidur dulu, biarlah perahu terombang-ambing membawa kita ke mana, yang penting kita istirahat dulu dan besok baru kembali dengan semangat baru," ucap Zea.

Zea menyalakan satu senter dan menyimpannya di tengah, mereka tertidur lelap membiarkan perahu terombang-ambing entah membawa ke mana.

----

Sinar matahari membangunkan Adrian dan Zea, langit sudah menampakkan cahayanya. Zea dan Adrian tak lagi se lesu kemarin.

"Kita di mana ya?" Ucap Adrian melihat sekeliling.

Zea menatap GPS yang tidak menyala sama sekali, internet benar-benar putus total. Sejauh mata memandang, hanya air lautan luas tanpa gedung terlihat.

"Ternyata ini enggak semudah yang gue bayangkan," ucap Zea pelan.

"Kita pasti bisa selamat, harus selamat." Ucap Adrian menyemangati. Padahal dia sendiri tak yakin.

"Kalau kita menyebrangi negara lain, gue enggak yakin perahu karet ini bakal aman. Kita harus nyari kapal," ucap Zea.

"Ya lo benar, tapi nyari ke mana? Enggak kelihatan apa pun selain air."

Mereka mengikuti kata hati, terus mendayung ke depan, berharap bertemu kapal atau pun orang.

"Eh Ze, itu yang ngambang di kayu manusia bukan?" Ucap Adrian sambil menunjuk ke depan.

"Ayo dayung lebih kencang Ad, siapa tahu masih hidup." Ucap Zea.

Setelah sampai di dekat kayu itu, terlihat seorang lelaki dengan tangan memeluk erat batang kayu. Wajahnya pucat sedikit membiru, mungkin kelamaan berada di air. Adrian mengundang badan lelaki itu.

"Uh" lelaki itu mengerang pelan, tenggorokannya kering sehingga dia tak bisa berbicara, bibirnya pecah-pecah.

"Masih hidup Ze, kita angkat enggak?" Tanya Adrian.

Bagaimana pun juga perahu ini milik Zea, jadi Adrian harus meminta pendapat gadis itu dulu.

"Angkat saja, dia bisa bantu kita buat gantian mendayung perahu," ucap Zea.

Keduanya mengangkat lelaki itu dengan susah payah, lelaki itu terlihat lebih tua beberapa tahun dari mereka, hanya mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana bahan.

"Lebih baik lo gantiin dia baju Ad, gue bikin air panas dulu," Zea langsung balik badan.

Adrian dengan cekatan mengganti baju lelaki itu, untung saja Adrian membawa 4 stel baju ganti. Baju lelaki itu tidak Adrian buang, melainkan di jemur di pinggir perahu.

"Udah gue ganti bajunya," ucap Adrian.

Zea berbalik, tangannya menyodorkan segelas air panas.

"Bangunin kasih minum, dia kayaknya udah dari kemarin di lautan," ucap Zea.

Adrian membangunkan lelaki itu, membantunya duduk kemudian membantunya minum air panas.

Beberapa menit kemudian, lelaki itu bisa bicara.

"Terima kasih sudah menolong, gue Daren," ucap lelaki itu yang bernama Daren.

"Ya sama-sama Bang, gue Adrian, dan dia Zea." Ucap Adrian.

"Bang Daren kenapa bisa ngambang di perahu?" Tanya Adrian.

"Kemarin gue ketiduran di kos, pas bangun air udah naik, gue lari ke kamar-kamar lain, ternyata semua udah enggak ada orang. Akhirnya gue nemu sebatang kayu dan ya gue ngambang. Gue enggak inget apa-apa lagi," jawab Daren.

"Mungkin lebih banyak orang kayak Bang Daren, menurut lo gimana Ze?" Tanya Adrian.

"Ya tapi kita enggak bisa nolong semua orang Ad, seperti yang gue bilang waktu itu, kita harus egois buat keselamatan diri kita sendiri." Jawab Zea.

"Benar, kebetulan gue bisa baca arah angin. Gue tahu gue datang tanpa bawa apa-apa, tapi gue bakal bantu sebisa gue." Ucap Daren.

"Wah bagus kalau bisa baca arah angin, rencananya kita mau nyari kapal Bang, kira-kira harus ke mana nih perahu?" Tanya Adrian.

Daren menatap sekeliling, "ke arah kanan harusnya, di sana ada bekas pelabuhan."

"Lo istirahat aja Ze biar gue sama Adrian yang dayung perahu," ucap Daren.

"Iya bang thanks"

Zea duduk menyender di bagian tengah, tangannya mengotak-atik handphone.

"Masih enggak ada sinyal Ze?" Tanya Adrian.

"Iya, sinyal enggak ada sama sekali." Ucap Zea.

"Kita mau lanjutin ke Rusia setelah dapat kapal nanti?" Tanya Adrian lagi.

"Gue enggak yakin kita bakal sampai ke sana Ad, setelah kita menemukan daratan, kita berhenti." Ucap Zea pelan.

"Lo enggak mau ketemu orang tua lo?" Tanya Adrian lagi.

"Gue senang kalau mereka baik-baik aja, mereka bakal lebih khawatir kalau gue maksain diri. Apalagi kalau nemuin kapal, bahan bakarnya entah cukup atau enggak."

"Ya lo benar Ze, gue juga senang kalau misalnya nyokap gue selamat."

Zea menyalakan kompor dan merebus air, setelah mendidih dia menuangkan air ke dalam 3 cup mie instan. Kemudian membagikan satu kepada masing-masing orang.

"Istirahat dulu," ucap Zea.

Mereka makan mie instan dalam hening.

"Cup nya jangan dibuang, bilas aja sama air di bawah," ucap Zea.

Sekarang Adrian istirahat dan Zea mendayung bersama Daren. Setelah Adrian selesai istirahat, giliran Daren yang istirahat. Begitu seterusnya sampai mereka menemukan speed boat, speed boat itu terlihat mengambang dengan tali yang terdekat di bawah lautan.

"Gue sama Adrian akan nyelam ke bawah, lo tunggu di sini Ze." Ucap Daren.

"Iya, kalian hati-hati.

Adrian dan Daren menanggalkan kaos kemudian berenang ke bawah untuk melepas tali di pengait. Setelah lepas, Daren naik ke atas speed boat, Adrian naik ke atas perahu karet dan mendekatkan perahu ke speed boat. Zea dan Daren mengangkut barang ke speed boat, setelah selesai, mereka semua naik ke speed boat, tak lupa perahu karet juga ikut di simpan siapa tahu nanti akan berguna.

"Kebetulan gue bisa ngendarain speed boat, tapi kalian juga harus belajar, untuk sekarang lihatin gue," ucap Daren membuat kedua remaja itu mengangguk.

Daren mengemudikan speed boat ke arah depan dan mengajarkan Zea dan Adrian. Sore hari, mereka makan roti, sedangkan malam hari digunakan untuk tidur mengisi energi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • The World is Sinking   Bab 22

    Zea menatap langit senja dengan senyum manis, kini ia bisa menatap senja sambil makan makanan enak, kini senja memancarkan keindahan yang berbeda dan terlihat jauh lebih indah. Rayhan terpaku menatap senyum manis di wajah Zea, keindahan senja itu sekarang kalah telak oleh senyumnya yang memikat. "Terima kasih ya Kak udah ajak ke sini," ucap Zea membuat Rayhan tersentak kaget. Rayhan tersenyum canggung, "sama-sama"Mereka menikmati senja dalam diam. Setelah senja tak lagi terlihat, keduanya kembali ke penginapan dengan berjalan kaki. Setibanya di lobi, Gara yang baru saja masuk langsung menatap Zea dan Rayhan penuh selidik. "Kalian dari mana?" Tanya Gara. "Gue enggak sengaja ketemu Kakak lo di jalan," jawab Zea langsung. Gara menyipitkan matanya penuh rasa curiga, matanya menatap bergantian wajah Rayhan dan Zea yang terlihat tenang, seakan ucapan Zea memang benar. "Ya udah, ayo bang ke Kamar gue mau cerita," ajak Ga

  • The World is Sinking   Bab 21

    Setelah 2 hari tinggal di perkampungan, Leon mengajak para remaja itu untuk turun gunung melewati tangga berjumlah ratusan. Di sepanjang perjalanan mereka saling bercerita dan tertawa sampai tak terasa sudah tiba di bawah. "Ayo kita ke salon dulu," ajak Leon. Para lelaki akan mencukur rambut di barbershop yang kebetulan salon khusus wanita ada di seberangnya, jadi Zea berpisah dan masuk ke dalam salon seorang diri. Zea masuk ke salon mengandalkan translate google, untunglah pelayan salon itu mengerti dan bersikap ramah. Adrian, Gara, dan Daren sudah selesai di cukur, rambut mereka kini terlihat lebih rapi, tak ada lagi rambut gondrong tak terurus. Sambil menunggu Zea selesai, mereka pergi ke toko swalayan untuk membeli cemilan dan lainnya. Begitu Zea selesai, para lelaki itu sudah menenteng kantong belanja berisi cemilan dan makanan lainnya. "Kita tinggal di mana Pah?" tanya Zea. "Untuk sekarang tinggal di penginapan dulu,"

  • The World is Sinking   Bab 20

    Pagi-pagi sekali Zea sudah terbangun dan duduk di tepi tebing, matanya berdecak kagum melihat matahari yang baru muncul, melukiskan warna orange di langit dengan kemegahannya. Zea memejamkan mata, merasakan semilir angin menerbangkan rambut panjangnya yang tak ia ikat. Udara pagi ini membuat Zea puas dan tak henti-hentinya bersyukur atas kuasa Tuhan yang senantiasa memberinya keselamatan. Meski sempat menyalahkan takdir, Zea kini sadar kalau dia jauh lebih kuat dari yang di bayangkan, mungkin itu sebabnya Tuhan mengujinya, memisahkannya dari orang tuanya dan berjuang di lautan dengan teman-temannya yang baru ia temui. Semua kesulitan itu telah berlalu, kini saatnya Zea memulai hidup baru yang lebih baik."Zea ..." Panggilan lembut itu seakan menyatu dengan angin, begitu halus dan membuat jantung berdebar. Zea menoleh dan baru tersadar ada orang yang duduk di dekatnya. "Kak Rayhan?" Ucap Zea canggung. Meskipun Rayhan kakaknya Gara, kemarin malam Zea tak mengobrol dengannya jadi se

  • The World is Sinking   Bab 19

    Setelah malam berlalu, Zea, Gara, Adrian dan Daren kembali melanjutkan perjalanan. Mereka hanya berjalan lurus saja mengikuti jalur, karena kanan kiri adalah jurang. Adrian berjalan di depan membuka jalur yang terkadang penuh rumput yang sudah meninggi. Saat tengah hari, mereka kembali beristirahat untuk makan siang. Dengan iseng Zea membuka handphone, matanya membola kaget menatap pesan dari ayahnya. 💌 PapahZe, Papah udah di China. Aktifin data selular kamu ya. 💌 PapahPapah sudah ada di perkampungan yang berada di atas gunung. Kata tour guide nya, kalau kamu selamat dan berhasil naik ke atas tebing, kamu akan menemukan kampung ini karena kampung ini adalah jalan satu-satunya buat kamu turun. Jaga keselamatan kamu Ze. "Gue dapat pesan dari Papah," ucap Zea antusias. "Apa katanya?" tanya Adrian tak kalau antusias. "Nih baca sendiri," Zea menyodorkan handphone nya dan di baca bergantian oleh mereka. "Ber

  • The World is Sinking   Bab 18

    Matahari kembali menampakkan sinarnya pertanda pagi telah datang. Zea orang pertama yang membuka mata, dia mengerjapkan matanya karena silau dengan cahaya matahari. Setelah nyawanya terkumpul sempurna, Zea bangun dan menatap sekeliling, mereka masih ada di atas tebing. "Ad, Gar, Bang Daren, bangun." Ucap Zea sambil menggoyang-goyangkan badan mereka satu persatu. Ketiga lelaki itu terbangun dengan kaget, mereka ingat setelah sampai ke atas mereka langsung berbaring begitu saja dan tertidur lelap. Tanpa mendirikan tenda maupun makan. "Udah pagi aja?" Ucap Adrian sambil melihat sekeliling. "Ayo makan," ajak Zea yang perutnya sudah berbunyi nyaring. Gara mengeluarkan cemilan dari tas dan membagikannya satu persatu. Mereka makan dengan lahap sambil mata menatap sekeliling. "Kita belum sampai ya? Kok enggak ada rumah-rumah." Ucap Gara. Setelah menghabiskan makanannya, Zea berdiri ke dekat pinggir tebing yang diberi pemb

  • The World is Sinking   Bab 17

    Zea berulang kali merangkak sendirian untuk melilitkan tali ke batu, dan ketiga orang lainnya merangkak setelah tali siap di gunakan. Sebagai lelaki mereka merasa malu karena selalu mengandalkan Zea yang seorang perempuan, tapi keadaan sekarang berbeda. Dibutuhkan keberanian dan tekad kuat untuk bisa melaluinya, jelas Zea lebih unggul dalam hal ini. Beberapa kali Zea berteriak menyemangati, meski ia sendiri lelah tapi Zea tak ingin menyerah begitu saja. Zea ingin berkumpul kembali dengan orang tuanya. Ingin melakukan aktivitas layaknya remaja, mengejar impian dan cita-cita. "Istirahat dulu," ucap Zea. Matanya menatap langit sore, semilir angin menerbangkan helaian rambutnya yang sudah acak-acakan. Zea tak peduli dengan tubuhnya yang lengket oleh keringat, tak peduli dengan wajahnya yang kotor penuh debu. Adrian yang berada di belakangnya tak sengaja menatap tangan Zea yang penuh luka. Matanya menatap cemas, dia tak sadar Zea mengorbankan dirinya merangk

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status