Share

Seorang Ansos?

Pagi ini Nohan terbangun di rumah sakit lagi, semalam Mr. Henry langsung mengantarnya kembali ke rumah sakit.

Nohan terdiam, mengamati sekeliling. Dan tatapannya terjatuh di tangan kirinya yang kembali dililit selang infus, mendadak Nohan teringat kejadian semalam. Saat dengan tak punya hatinya, Ray menginjak-injak kantung infusnya hingga isinya muncrat kemana-mana.

Ia benci mengingat hal mengerikan itu, tetapi tentu saja Nohan tak bisa melupakannya begitu saja.

Nohan mengepalkan tangannya kuat-kuat, dan kepalan di tangannya melemah. Saat tatapannya jatuh ke meja sebelah brankar, di mana tiga pulpen tergeletak di atas buku harian bersampul hitam--yang diberikan Nasai padanya.

Nohan tak tersenyum, wajahnya lempeng saja. Ia bangkit dari posisi berbaringnya, dan tangannya berusaha menggapai buku dan juga pulpen.

"Aku tidak tahu kalau kau semalam pergi dari sini, Nohan! Kukira kau tertidur lantaran ruang rawatmu terlihat sepi dan senyap," suara seseorang di depan pintu membuat Nohan berjingkit.

Nasai, ya remaja lelaki yang Nohan anggap sebagai teman.

Nasai tersenyum, mendekat ke brankar Nohan dengan kursi rodanya.

"Kau baik-baik saja, Nohan? Wajahmu terlihat kurang baik."

Nohan terdiam ia tak mungkin mengatakannya pada Nasai, ia juga takut kalau Nasai menolak percaya padanya.

Nohan takut setelahnya Nasai tak mau berteman dengannya lagi, meninggalkannya, menciptakan garis asing dia antara mereka berdua.

Nohan pada akhirnya memilih tersenyum, "Aku baik-baik saja, Nasai!" timpal Nohan pada akhirnya sembari tersenyum ramah.

"Kau tahu, Nohan. Kuharap kau segera sembuh, aku tahu kau pasti ingin kembali sekolah kan?"

Mendengar kalimat yang meluncur dari mulut Nasai, seketika wajah Nohan berubah. Senyuman itu lenyap seketika, digantikan wajah datar tanpa ekspresi.

Andai kau tahu bahwa sekolah amat mengerikan, andai kau tahu bahwa hidupku tak semenyenangkan di pandanganmu, andai kau tahu bahwa aku bahkan tidak pernah bisa tertawa selama tahun-tahun aku hidup. Aku tak bisa tertawa bahagia, hanya tawa miris yang menertawakan alur hidupku yang teramat mengerikan. Andai saja kau tahu, Nasai. Batin Nohan sembari melamun.

"Nohan?" panggil Nasai membuat Nohan terkejut, dan segera mengubah ekspresinya.

"E-eh? Iya?"

Nasai terkekeh, dan berikutnya ia mengatakan sesuatu pada Nohan.

"Nohan! Aku berharap kau lekas sembuh, karena aku sudah cukup lama ada di sini, aku ingin pergi ke sekolah sepertimu, aku ingin bisa berlari sepertimu, dan ya kuharap kau segera sembuh, tapi jangan lupa jenguk aku saat kau sudah sembuh ya?"

Nohan terdiam lagi, bahkan kini cukup lama.

Bagaimana bisa Nasai menginginkan hidup Nohan? Mengapa Nasai ingin ke sekolah? Tempat mengerikan itu. Dan mengapa Nasai ingin bisa berlari, saat Nohan bahkan ingin sekali terlelap selama-lamanya?

Jika Nasai bahkan seolah ingin menjadi Nohan, maka Nohan jujur saja ingin menjadi Nasai. Ia ingin punya Ayah seperti ayahnya Nasai, ia ingin punya ibu seperti ibunya Nasai. Ia iri pada Nasai, tapi tidak bisa mengatakannya, tidak bisa juga memohon pada Tuhan agar mengganti orang tuanya.

Bahkan mendadak Nohan berpikir bahwa apakah ia harus seperti Nasai dulu, baru ibunya mau memerhatikannya? Ia harus duduk di kursi roda dulu baru ibunya mau memahaminya?

"Aku tahu harimu berat, Nohan! Tapi jangan menyerah, semangatlah!" kata Nasai tersenyum tulus.

Nohan segera mungkin membalas senyum Nasai tak kalah tulus.

Terima kasih sudah memberikanku teman lagi, Tuhan. Batin Nohan tersenyum lebar tanpa sadar.

"Terima kasih!" balas Nohan tersenyum pada Nasai.

"Aku pergi, Nohan! Aku harus menjalani kemoterapi pagi ini, doakan aku ya!" pamit Nasai tersenyum tegar.

Nohan mengangguk, dan memberi senyum super tulus untuk Nasai. Ia berdoa agar Nasai segera sembuh dari penyakit kanker otak, yang dideritanya. Dan Nohan juga berharap satu hal lagi, Nohan berharap Nasai selalu bahagia, dan tak akan pernah menghadapi hari-hari buruk dalam tahun-tahun hidupnya.

Nohan bisa saja berdoa agar Nasai punya hari-hari buruk sama sepertinya, ia bisa saja melakukannya. Tapi apakah itu artinya Nohan jauh lebih baik dari para perundung? Tentu saja tidak, Nohan pasti akan jadi sama buruknya dengan mereka.

"Aku akan mendoakanmu, Nasai! Lekaslah sembuh, dan segera kembali ke sekolahmu," kata Nohan menyauti.

Nasai tersenyum, dan setelahnya ia menghilang dari pintu bersama kursi rodanya, meninggalkan Nohan sendirian di ruang rawat.

"Kau baik-baik saja, Nohan?"

Nohan hanya terdiam, apa ibunya peduli perkara ia baik-baik saja atau tidak? Sejak kapan?

"Nohan?" panggil Ibu Nohan, menyadari putranya hanya diam menatapnya.

"Aku tidak tahu apa aku baik-baik saja atau tidak, Bu! Aku tidak tahu," balas Nohan pada akhirnya.

Ibu Nohan menghela napas, mendekat pada putra satu-satunya.

"Nohan, aku tahu harimu berat... "

"Maka bertahanlah? Maka bersemangatlah?" potong Nohan menatap ibunya terluka.

Ibunya terdiam, menatap tak percaya Nohan.

"Aku sudah lelah mendengarkan kata-kata itu, Bu. Sungguh aku lelah!" lanjut Nohan kini menghela napasnya lelah.

Dua hari berlalu, Nohan sudah kembali ke rumahnya.

Kini Nohan tengah bersiap untuk berangkat ke sekolah.

Andai saja ayahku masih ada, pasti aku sudah pindah sekolah sejak lama. Batin Nohan sembari memasang dasi di kerah seragamnya.

Nohan bergegas keluar dari kamarnya, kala melihat jam di dinding menunjukkan pukul tujuh pagi, yang mana sekolah masuk pukul setengah delapan.

Tiga puluh menit lagi gerbang sekolah akan ditutup.

Nohan menuju ke meja makan, ia berharap ada sesuatu untuk mengganjal perutnya pagi ini.

Dan ya memang ada, hanya saja itu roti sisa kemarin yang dibeli ibunya.

Apa boleh buat? Di tudung saji hanya ada itu saja, maka Nohan pun memakannya dengan buru-buru. Ia bahkan hampir tersedak, dan segeralah ia ambil minum yang sudah ada di tasnya.

Tas Nohan selalu diletakannya di kursi meja makan, tentunya saat malamnya ia sudah menyiapkan buku sesuai jadwal pelajaran.

Beberapa waktu berlalu, Nohan sudah sampai di sekolah tepat waktu dan selamat.

Tapi tentu saja Nohan tidak akan merasa aman di tempat ini, ia tidak merasa nyaman di tempat bernama sekolah ini.

Ditambah saat ini jam kosong, tapi keberuntungan seolah memihaknya. Membuat Jay dan kawan-kawannya dipanggil guru, katanya mereka akan rapat organisasi siswa anti perundung.

Nohan tertawa miris dalam hati, organisasi siswa anti perundung huh? Dan ketuanya adalah si perundung sendiri? Sungguh ini benar-benar lucu.

Nohan ingin sekali berteriak, membeberkan bahwa Jay adalah seorang perundung, tetapi siapa yang akan percaya padanya? Siapa?

Tentu saja hanya Tuhan, hanya Tuhan yang percaya.

"Nohan! Kau dipanggil Mr. Jusuf ke ruang TU," kata Rokan yang entah sejak kapan sudah berdiri di depan Nohan.

Nohan hanya mengangguk sebagai balasan, ia tak pernah dekat dengan siapapun, dan tak pernah berminat dekat dengan mereka.

Jangan-jangan benar yang dikatakan Jay bahwa kau seorang ansos, Nohan.

"Hei! Ansos!"

Bersambung.

***

Makasih udah mampir ke ceritaku, jangan lupa buat vote ya.

Stay healthy and happy.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status