Home / Thriller / Thirty Days / Seorang Ansos?

Share

Seorang Ansos?

Author: Maulana Hani
last update Last Updated: 2022-09-02 16:37:22

Pagi ini Nohan terbangun di rumah sakit lagi, semalam Mr. Henry langsung mengantarnya kembali ke rumah sakit.

Nohan terdiam, mengamati sekeliling. Dan tatapannya terjatuh di tangan kirinya yang kembali dililit selang infus, mendadak Nohan teringat kejadian semalam. Saat dengan tak punya hatinya, Ray menginjak-injak kantung infusnya hingga isinya muncrat kemana-mana.

Ia benci mengingat hal mengerikan itu, tetapi tentu saja Nohan tak bisa melupakannya begitu saja.

Nohan mengepalkan tangannya kuat-kuat, dan kepalan di tangannya melemah. Saat tatapannya jatuh ke meja sebelah brankar, di mana tiga pulpen tergeletak di atas buku harian bersampul hitam--yang diberikan Nasai padanya.

Nohan tak tersenyum, wajahnya lempeng saja. Ia bangkit dari posisi berbaringnya, dan tangannya berusaha menggapai buku dan juga pulpen.

"Aku tidak tahu kalau kau semalam pergi dari sini, Nohan! Kukira kau tertidur lantaran ruang rawatmu terlihat sepi dan senyap," suara seseorang di depan pintu membuat Nohan berjingkit.

Nasai, ya remaja lelaki yang Nohan anggap sebagai teman.

Nasai tersenyum, mendekat ke brankar Nohan dengan kursi rodanya.

"Kau baik-baik saja, Nohan? Wajahmu terlihat kurang baik."

Nohan terdiam ia tak mungkin mengatakannya pada Nasai, ia juga takut kalau Nasai menolak percaya padanya.

Nohan takut setelahnya Nasai tak mau berteman dengannya lagi, meninggalkannya, menciptakan garis asing dia antara mereka berdua.

Nohan pada akhirnya memilih tersenyum, "Aku baik-baik saja, Nasai!" timpal Nohan pada akhirnya sembari tersenyum ramah.

"Kau tahu, Nohan. Kuharap kau segera sembuh, aku tahu kau pasti ingin kembali sekolah kan?"

Mendengar kalimat yang meluncur dari mulut Nasai, seketika wajah Nohan berubah. Senyuman itu lenyap seketika, digantikan wajah datar tanpa ekspresi.

Andai kau tahu bahwa sekolah amat mengerikan, andai kau tahu bahwa hidupku tak semenyenangkan di pandanganmu, andai kau tahu bahwa aku bahkan tidak pernah bisa tertawa selama tahun-tahun aku hidup. Aku tak bisa tertawa bahagia, hanya tawa miris yang menertawakan alur hidupku yang teramat mengerikan. Andai saja kau tahu, Nasai. Batin Nohan sembari melamun.

"Nohan?" panggil Nasai membuat Nohan terkejut, dan segera mengubah ekspresinya.

"E-eh? Iya?"

Nasai terkekeh, dan berikutnya ia mengatakan sesuatu pada Nohan.

"Nohan! Aku berharap kau lekas sembuh, karena aku sudah cukup lama ada di sini, aku ingin pergi ke sekolah sepertimu, aku ingin bisa berlari sepertimu, dan ya kuharap kau segera sembuh, tapi jangan lupa jenguk aku saat kau sudah sembuh ya?"

Nohan terdiam lagi, bahkan kini cukup lama.

Bagaimana bisa Nasai menginginkan hidup Nohan? Mengapa Nasai ingin ke sekolah? Tempat mengerikan itu. Dan mengapa Nasai ingin bisa berlari, saat Nohan bahkan ingin sekali terlelap selama-lamanya?

Jika Nasai bahkan seolah ingin menjadi Nohan, maka Nohan jujur saja ingin menjadi Nasai. Ia ingin punya Ayah seperti ayahnya Nasai, ia ingin punya ibu seperti ibunya Nasai. Ia iri pada Nasai, tapi tidak bisa mengatakannya, tidak bisa juga memohon pada Tuhan agar mengganti orang tuanya.

Bahkan mendadak Nohan berpikir bahwa apakah ia harus seperti Nasai dulu, baru ibunya mau memerhatikannya? Ia harus duduk di kursi roda dulu baru ibunya mau memahaminya?

"Aku tahu harimu berat, Nohan! Tapi jangan menyerah, semangatlah!" kata Nasai tersenyum tulus.

Nohan segera mungkin membalas senyum Nasai tak kalah tulus.

Terima kasih sudah memberikanku teman lagi, Tuhan. Batin Nohan tersenyum lebar tanpa sadar.

"Terima kasih!" balas Nohan tersenyum pada Nasai.

"Aku pergi, Nohan! Aku harus menjalani kemoterapi pagi ini, doakan aku ya!" pamit Nasai tersenyum tegar.

Nohan mengangguk, dan memberi senyum super tulus untuk Nasai. Ia berdoa agar Nasai segera sembuh dari penyakit kanker otak, yang dideritanya. Dan Nohan juga berharap satu hal lagi, Nohan berharap Nasai selalu bahagia, dan tak akan pernah menghadapi hari-hari buruk dalam tahun-tahun hidupnya.

Nohan bisa saja berdoa agar Nasai punya hari-hari buruk sama sepertinya, ia bisa saja melakukannya. Tapi apakah itu artinya Nohan jauh lebih baik dari para perundung? Tentu saja tidak, Nohan pasti akan jadi sama buruknya dengan mereka.

"Aku akan mendoakanmu, Nasai! Lekaslah sembuh, dan segera kembali ke sekolahmu," kata Nohan menyauti.

Nasai tersenyum, dan setelahnya ia menghilang dari pintu bersama kursi rodanya, meninggalkan Nohan sendirian di ruang rawat.

"Kau baik-baik saja, Nohan?"

Nohan hanya terdiam, apa ibunya peduli perkara ia baik-baik saja atau tidak? Sejak kapan?

"Nohan?" panggil Ibu Nohan, menyadari putranya hanya diam menatapnya.

"Aku tidak tahu apa aku baik-baik saja atau tidak, Bu! Aku tidak tahu," balas Nohan pada akhirnya.

Ibu Nohan menghela napas, mendekat pada putra satu-satunya.

"Nohan, aku tahu harimu berat... "

"Maka bertahanlah? Maka bersemangatlah?" potong Nohan menatap ibunya terluka.

Ibunya terdiam, menatap tak percaya Nohan.

"Aku sudah lelah mendengarkan kata-kata itu, Bu. Sungguh aku lelah!" lanjut Nohan kini menghela napasnya lelah.

Dua hari berlalu, Nohan sudah kembali ke rumahnya.

Kini Nohan tengah bersiap untuk berangkat ke sekolah.

Andai saja ayahku masih ada, pasti aku sudah pindah sekolah sejak lama. Batin Nohan sembari memasang dasi di kerah seragamnya.

Nohan bergegas keluar dari kamarnya, kala melihat jam di dinding menunjukkan pukul tujuh pagi, yang mana sekolah masuk pukul setengah delapan.

Tiga puluh menit lagi gerbang sekolah akan ditutup.

Nohan menuju ke meja makan, ia berharap ada sesuatu untuk mengganjal perutnya pagi ini.

Dan ya memang ada, hanya saja itu roti sisa kemarin yang dibeli ibunya.

Apa boleh buat? Di tudung saji hanya ada itu saja, maka Nohan pun memakannya dengan buru-buru. Ia bahkan hampir tersedak, dan segeralah ia ambil minum yang sudah ada di tasnya.

Tas Nohan selalu diletakannya di kursi meja makan, tentunya saat malamnya ia sudah menyiapkan buku sesuai jadwal pelajaran.

Beberapa waktu berlalu, Nohan sudah sampai di sekolah tepat waktu dan selamat.

Tapi tentu saja Nohan tidak akan merasa aman di tempat ini, ia tidak merasa nyaman di tempat bernama sekolah ini.

Ditambah saat ini jam kosong, tapi keberuntungan seolah memihaknya. Membuat Jay dan kawan-kawannya dipanggil guru, katanya mereka akan rapat organisasi siswa anti perundung.

Nohan tertawa miris dalam hati, organisasi siswa anti perundung huh? Dan ketuanya adalah si perundung sendiri? Sungguh ini benar-benar lucu.

Nohan ingin sekali berteriak, membeberkan bahwa Jay adalah seorang perundung, tetapi siapa yang akan percaya padanya? Siapa?

Tentu saja hanya Tuhan, hanya Tuhan yang percaya.

"Nohan! Kau dipanggil Mr. Jusuf ke ruang TU," kata Rokan yang entah sejak kapan sudah berdiri di depan Nohan.

Nohan hanya mengangguk sebagai balasan, ia tak pernah dekat dengan siapapun, dan tak pernah berminat dekat dengan mereka.

Jangan-jangan benar yang dikatakan Jay bahwa kau seorang ansos, Nohan.

"Hei! Ansos!"

Bersambung.

***

Makasih udah mampir ke ceritaku, jangan lupa buat vote ya.

Stay healthy and happy.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Thirty Days   Epilog

    Nohan sengaja tidak pulang setelah berhasil melenyapkan sosok-sosok alter ego dalam dirinya. Nohan masih duduk di depan ruko, ia memandangi langit yang kembali bersinar. Sialnya Nohan bahkan belum benar-benar merasa hidup normal, ia tahu ia masih harus melenyapkan dua orang itu. Orang yang telah menyebabkan ayahnya pergi, ayahnya pergi bersama luka yang belum sempat disembuhkan. Nohan akan membuat mereka menyadari, bahwa menyakiti harus dibalas dengan menyakiti. Bahwa rasa sakit yang diterima ayahnya, juga harus dirasakan oleh mereka. Ya harus begitu. Nohan memilih bangkit dari posisi duduknya, segera ia memasukkan buku milik ayahnya ke dalam tas, berikutnya ia menggendong tasnya, dan berjalan keluar dari gang kumuh nan mengerikan itu. Nohan berlari agar ia bisa cepat sampai di rumah, ia akan berganti pakaian dan setelahnya ia harus menemui Mr. Pram. Ya apapun itu, ia harus menemui ayah sambungnya, yang siang ini pasti tengah berada di salah satu ruangan di gedung pemerintahan. Noh

  • Thirty Days   Ten Day

    Nohan membaca tulisan ayahnya, tentang betapa terlukanya lelaki paruh baya itu. "Kukira aku sudah berusaha menjadi lelaki yang baik, lelaki yang pengertian! Tapi ternyata aku tetaplah lelaki pecundang di matamu, kau memilih dia. Memilih pergi dengannya, sungguh hatiku terasa diiris-iris sembilu, kala melihatmu memeluk lengannya, mengatakan bahwa kau memilihnya. Mencintainya." Nohan berhenti membaca, dan sadar bahwa mungkin Nohan harus melenyapkan semua orang, yang telah jadi penyebab luka ayahnya. Ya Nohan harus melakukannya. "Aku tidak bisa berharap apa-apa lagi jika begitu, maka aku harus melenyapkan perasaanku padanya. Aku cukup berhasil, hatiku sudah tak terlalu sakit tiap melihatnya memeluk lengannya, atau tersenyum bersamanya. Tapi hatiku terasa sakit luar biasa, bahkan ini jauh lebih sakit dari pada saat aku melihatnya bersama lelaki itu. Dia mencegahku menemui Nohan, dia bahkan melarangku hanya untuk sekadar menyapanya lewat telepon, dia menjauhkanku darinya. Padahal Nohan a

  • Thirty Days   Nine Day

    Hari berikutnya Nohan sudah bersiap ke sekolah, tetapi ia berhenti begitu saja kala suara Amand terdengar memanggilnya. "Nohan!""Kenapa?" tanya Nohan menatap Amand, yang kali ini memakai seragam persis miliknya. "Kau tidak mau berangkat bersama?" ajaknya dengan wajah sok baik. Nohan mendecih dalam hati, menjjikan sekali orang-orang macam ini. "Kenapa? Kenapa aku harus berangkat bersamamu? Apa kau pikir aku tidak tahu jalan ke sekolah? Atau kau yang tidak tahu?" cerca Nohan menatap kesal Amand. Amand terkekeh masam, "Kau ini sangat tidak tahu diri ya? Kau bersekolah di sana menggunakan uang ayahku, kalau kau lupa, Nohan! Dasar Ansos tidak tahu diri!" ejek Amand dengan mata tajam menatap Nohan. "Jangan banyak omong! Kalau kau mau ke sekolah, silahkan pergi saja sendiri! Jangan mengajakku, aku sudah hapal jalannya. Dan tidak akan terlambat meski tidak semobil denganmu!" tegas Nohan dan menubruk bahu Amand, yang mengahalangi jalan keluarnya. Amand tersenyum menyeringai, "Rupanya

  • Thirty Days   Akhirnya Kau Lenyap

    Entah siapa yang mengetuk pintu, tetapi setelah sesosok lelaki paruhbaya yang amat Nohan kenali masuk. Saat itu juga Nohan menyadari ada hal yang tak beres, dan benar saja sosok yang amat ia benci muncul dari pintu. Sosok itu tersenyum amat lebar, seolah menyapa Nohan dengan keramah-tamahannya. Nohan mendecih dalam hati, entah apa yang dilakukan manusia ini di sekolahannya.Amand dan sopirnya. Ya saudara tirinya itu entah mau apa datang kemari, atau jangan-jangan ia mau pindah ke sekolah ini? Hahah ... Nohan tertawa dalam hati. Memang sungguh sial hidupnya, sial dan makin sial saja saat ia tak bisa bertindak kala Amand mengejeknya, melalui ekspresi wajah. Mr. Adam menatap Nohan, ia tahu Amand mana yang tadi dikatakan Nohan. Tentu saja hanya ada satu Amand, yaitu Amand si putra kandung Mr. Pram, orang penting di pemerintahan kota ini. "Baiklah, Nohan! Kau sudah selesai, jadi kau bisa pergi! Dan hati-hatilah, Nak!" kata Mr. Adam yang menyadari ada aura permusuhan, di antara kedua re

  • Thirty Days   Eight Day

    Pagi ini Nohan sengaja berangkat lebih awal ke sekolah, ia tidak mau berlama-lama di rumah. Apalagi setelah kejadian kemarin, saat ibunya menamparnya hanya demi Amand. Sosok yang membuat Nohan dianggap anti sosial, bahkan psikopat. Yang akhirnya membuatnya dijauhi teman-teman. Ternyata Amand pulang ke rumah, ia bilang ingin menemui Nohan. Ya kemarin monster mengerikan itu mengatakan hal itu, dasar si tukang manipulatif. Nohan membenci Amand, melebihi ia benci pada dirinya sendiri. Sungguh. Tetapi Nohan pindah sekolah saat kelas satu SMA semester pertama, ia sudah tak mau satu kelas ataupun satu sekolah dengan Amand. Dan akhirnya di sekolah baru pun Nohan tak bisa mendapat teman, lantaran hal-hal buruk tentangnya telah disebarkan oleh Amand melalui berita. Ya Amand sengaja mengundang para wartawan, kala hari di mana Nohan keluar dari ruang psikoterapi di salah satu rumah sakit jiwa di kota ini, bahkan saat keluar dari sana. Amand sengaja menggandeng tangan Nohan, lalu mengangkatnya d

  • Thirty Days   Seven Day

    Hari berikutnya Nohan sudah pulang ke rumah, ia tak lagi tinggal di rumah Paman Khamdi. Ia sadar selalu merepotkannya, dan memilih kembali saja ke rumah. Pagi ini Nohan sudah bersiap untuk kembali ke sekolah, hal yang sejak lama telah ia benci. Nohan tidak suka sekolah, ia benci tempat itu, apalagi tiap ke sekolah hal mengerikan selalu terjadi padanya; Jay, Jio, Ray, dan Ren akan datang mengganggunya, membuat hidupnya terasa mengerikan, dan membuatnya ingin lekas pergi dari dunia. Nohan keluar dari kamarnya, ia melongok ke sekitar dan benar saja di meja makan, ada ibunya dan sosok lelaki yang ia benci. Nyatanya Nohan sudah sedikit pulih, ia mulai bisa sedikit membedakan mana yang nyata, mana yang berupa khayalannya. Saat ini di depannya ia melihat ibunya tersenyum tipis, pada lelaki paruhbaya yang bagi Nohan adalah penyebab ayahnya pergi. "Aku pergi! Selamat pagi!" kata Nohan dan benar saja ia segera melengang pergi keluar rumah. "Nohan!" panggil Ibu Nohan yang dikiranya takkan d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status