Share

Para Monster

Nohan diam saja, ia tahu siapa yang memanggilnya.

Tentu saja suara keras bernada menghina itu milik Jay si ketua geng perundung.

Nohan hanya diam, ia tak berniat menyauti atau sekadar melihat wajah Jay.

"Si ansos ini pasti merasa senang sekarang!" ini suara mengejek milik Jio.

Entah mengapa diantara keempat orang yang merundungnya, Nohan paling membenci Jio. Tapi tentu bukan berarti Nohan membenci Jay, Ray, dan Ren sedikit. Ia membenci mereka dengan kadar yang sudah melebihi kebenciannya.

Nohan benci mereka berempat, ia juga benci semua yang hanya menonton ketika ia dirundung, ia benci semua hal yang ada di dunia ini.

Bahkan mungkin tanpa sadar Nohan juga membenci dirinya sendiri.

Sungguh, Nohan yang malang.

"Semuanya boleh pulang! Hari ini guru-guru rapat!" suara Jay kembali terdengar, membuat kelas menjadi ramai seketika.

Siswa-siswa segera merapikan buku-buku mereka, memasukkannya ke tas dengan terburu-buru.

"DIAM! DAN SEGERALAH KELUAR!" teriak Ren menggelegar, semuanya terdiam. Mengingat ini pertama kalinya mereka mendengar Ren berteriak.

Semua siswa buru-buru mencangklok tas mereka, dan bergegas keluar dari kelas apalagi melihat tatapan Ray yang menajam menatap satu persatu dari mereka.

Nohan juga bergegas keluar dari kelas, ia hampir saja mencapai pintu kelas saat tiba-tiba saja Jio menghadangnya, menarik tasnya membuat Nohan berhenti melangkah.

"Mau kemana kau, Ansos?" tanya Jay dengan nada tajam.

"Kau mau memberikan sesuatu, Ray?" tanya Jay menatap pada Ray yang kini menyeringai.

Kelas sudah benar-benar kosong, hanya tersisa Nohan, Jay dan tiga kawannya.

Nohan mendesis pelan, ia tahu hidupnya tidak akan pernah terasa aman sebelum ia mati.

Atau salah satu diantara ia dan para monster ini yang mati.

Apa aku yang harus mati, Tuhan? Apa aku harus merelakan mimpiku? Apa aku harus merelakan seluruh luka ini menganga bahkan sampai saat aku berhenti bernapas? Batin Nohan dengan perasaan kecewa luar biasa.

Ia merasa dunia tak adil padanya, ia tak bersalah. Ia bahkan tak tahu mengapa ayahnya mengidap HIV, ia bahkan tak tahu awal mulanya. Tapi seolah semuanya, semua hal yang terjadi di antara kedua orang tuanya, harus menjadi tanggungannya, harus ia yang menanggungnya tanpa bisa menolak.

"Kau benar-benar tak bisa bicara ya, Nohan! Kau benar-benar ingin kubuat babak belur dulu baru mau berbicara ya? Begitu huh?" cerca Jio yang melepaskan Nohan sembari mendorongnya, membuat Nohan terjatuh dan dahinya hampir saja menubruk pintu.

"Kau terlalu banyak omong!" suara Ren terdengar sebal, ia tanpa aba-aba langsung menendang perut Nohan.

Jio segera menyingkir.

Bugh...

Tak cukup sekali.

Bugh...

"Sakit? Kurasa kau harus menambah kekuatanmu, Ren!" saut Ray yang dianggukki oleh Ren.

Ren memasang wajah datar, tanpa perasaan ia kembali menendang perut Nohan. Dan benar saja kali ini jauh lebih keras, bahkan kepala Nohan sampai membentur pintu.

Bughh...

Brakk...

Menyakitkan memang, tapi jauh lebih menyakitkan saat ibunya tak mau memercayai perkataannya. Mengatakan bahwa perundungan tak pernah ada di sekolah.

Bohong, tentu saja bohong. Nohan bahkan bukan hanya mendengarnya dari teman-temannya, tapi Nohan mengalaminya sendiri. Ia yang menjadi korbannya, tetapi ibunya yang seorang polisi malah tak percaya padanya.

Dan malah menganggap Nohan berhalusinasi, terlalu banyak menonton sinetron, dan kata-kata sangkalan lainnya yang membuat Nohan kecewa.

Aku bahkan tak pernah menonton televisi, apalagi sinetron. Batin Nohan mengingat sangkalan ibunya beberapa hari kemarin.

Jay bertepuk tangan, diikuti Ray dan Jio. Ketiganya merasa puas melihat Ren berhasil memukul Nohan tanpa ampun.

"Aku sudah! Giliranmu, Ray!" kata Ren dengan wajah lempengnya.

Ray segera mengangguk dengan memasang senyum menyeringai, sungguh mengerikan.

Ray memang psikopat, dia sungguh seperti monster. Batin Nohan mendesis, merasakan perutnya yang sakit. Dan tentu saja kepalanya.

"Kau harus tahu, Ansos! Hidupmu tidak akan pernah damai, sebelum kau bisa melawan kami! Lawan kami, lawan! Kau laki-laki bukan?" cerca Ray menatap Nohan remeh.

Nohan mendesis, tangannya terkepal.

"Dia marah sepertinya!" kata Jay terekekh jahat.

Jio tertawa jahat bersama Ray, sementara Ren hanya menyeringai saja.

"Bagus! Biar dia merasakan jadi manusia normal! Dia itu sudah mirip mayat hidup, seperti tidak punya emosi, dia bahkan tidak bisa marah, bahkan tertawa saja tidak pernah!" lanjut Ray tertawa keras, dengan senyum mengerikan.

Nohan mengepalkan tangannya makin erat.

Bagaimana bisa aku tertawa? Bagaimana bisa aku bahagia? Saat hidupku saja hanya penuh penderitaan, bagaimana? Batin Nohan merasa kesal luar biasa.

Kau kesal tapi tidak bisa melawan, itu sungguh-sungguh percuma, Nohan. Tiba-tiba saja otak Nohan bersuara, membuat kepalan di tangan Nohan makin mengerat.

Jangan melawan, Nohan. Kau tahu kejahatan tidak akan pernah berhenti jika kembali dilawan dengan kejahatan. Suara hati Nohan memberikan bisikkan, seolah berusaha meyakinkan Nohan bahwa mengalah jauh lebih baik.

Tapi sampai kapan? Sampai kapan Nohan harus mengalah? Apa hidupnya hanya tentang mengalah saja? Apa benar begitu, Tuhan?

Dan berikutnya, Ray pergi ke belakang kelas. Seolah sudah menyiapkannya, ia tanpa perasaan menyiram Nohan dengan air yang baunya sangat menyengat.

Byurr...

"Air got, dan air bekas mengepel yang kucampur jadi satu!" kata Ray menyeringai, bahkan seolah belum puas. Ia juga melempar embernya yang tepat mengenai kepala Nohan.

Kredakk...

Keempat monster itu tertawa jahat, merasa bahagia melihat Nohan hanya bisa diam tersungkur dengan ember yang menutupi kepalanya.

"Aku harap harimu selalu buruk, Nohan! Selamanya!"

Dan detik berikutnya, empat monster itu menendang Nohan bersamaan. Menyerangnya secara brutal tanpa ampun.

Bughh...

Bughh...

Bughh...

"Sudah! Kita pergi! Biarkan dia hidup!" kata Jay menghentikan kaki Ray yang sudah akan melayang lagi di tubuh Nohan.

"Baiklah! Aku akan buat kejutan untuknya besok!" kata Ray dengan tawa jahatnya.

Mereka berempat keluar meninggalkan kelas, dan tersisalah Nohan sendirian.

"Aku salah apa, Tuhan? Apa aku tidak pantas hidup normal? Apa aku hanya pantas direndahkan seperti ini?" monolog Nohan menatap langit-langit kelas.

"Bukan salahmu, hanya saja kau terlalu lemah, Nak! Orang-orang seperti mereka tentu saja merasa senang dengan orang lemah sepertimu," suara seseorang membuat Nohan membuka ember yang menutupi kepalanya.

Nohan menoleh, dan mendadak wajahnya datar.

Nohan juga benci orang ini, orang yang ditemuinya di rumah sakit beberapa hari yang lalu.

Manusia bermuka dua, licik, dan tak jauh mengerikan dari Jay dan kawan-kawannya.

"Pulanglah! Biar aku yang membereskan ini!" kata seseorang yang mengenakan seragam satpam.

Nohan mendesis lirih.

Meski kau berusaha menutupi kebusukkanmu dengan berbuat baik, tetap saja kau itu busuk. Buah busuk akan tetap busuk meski kulitnya mulus. Batin Nohan mengepalkan tangannya lagi.

Nohan buru-buru bangkit, ia tak sudi berlama-lama berdekatan dengan monster tua ini.

Satpam sekolah yang seharusnya melindungi warga sekolah, malah bertingkah mengerikan.

Sungguh Nohan bersumpah, jika ia melihat satpam tua bangka ini bertingkah lagi. Ia akan pastikan melaporkannya pada ibunya, akh... atau pada Mr. Adam saja seorang guru BK di SMA ini.

"Nohan?"

Bersambung.

***

Makasih banyak udah mau baca ceritaku, aku masih belajar bikin cerita thriller jadi maklumi ya kalau acak-acakkan.

Stay healthy and happy guys.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status