Share

Keanehan

Author: Maulana Hani
last update Last Updated: 2022-09-04 05:43:29

"Kau belum pulang, Nak?" tanya seseorang barusan, yang ternyata adalah Mr. Jusuf.

Nohan hanya menundukkan kepalanya.

Kemudian Mr. Jusuf terbelalak, menyadari Nohan basah kuyup, dan aroma tak sedap mengitari muridnya itu.

"Sesuatu terjadi padamu, Nak?" tanya Mr. Jusuf khawatir.

Nohan berdehem pelan, dan berusaha tersenyum walau sebetulnya hatinya benar-benar tak ingin tersenyum.

"Tadi aku tak sengaja menyenggol ember yang berisi air untuk mengepel, Mr. Jusuf. Dan ya akhirnya aku terpeleset airnya mengguyurku," jelas Nohan berusaha berbohong sebaik mungkin.

Satpam yang berdiri di belakang Nohan menganggukkan kepala, berusaha meyakinkan Mr. Jusuf yang juga menatapnya.

Mr. Jusuf pun akhirnya percaya.

"Nohan! Karena kau sudah basah kuyup, kau boleh pulang! Tadinya aku hendak berbicara denganmu, tapi sepertinya bukan waktu yang tepat," kata Mr. Jusuf tersenyum ramah penuh perhatian.

Nohan menganggukkan kepala sebagai respon.

"Kalau begitu aku permisi! Dan selamat pulang, Nak! Hati-hati di jalan," kata Mr. Jusuf yang kemudian segera kembali melanjutkan langkahnya menuju ruang guru.

Kini tersisa Nohan, dan satpam yang sedari tadi memandanginya.

"Pulanglah, Nak!"

Nohan tak menggubrisnya dan segera berjalan menuju koridor kelas, ia harus pulang secepatnya.

Tubuhnya sudah benar-benar bau, dan ah ... sungguh menjengkelkan.

Beberapa menit berlalu, Nohan menunggu bus yang biasanya lewat depan sekolah. Tapi entah mengapa siang ini tak kunjung muncul.

"Apa alasan mereka merundungku?" monolog Nohan sembari mengambil kerikil di dekat sepatunya, ia memandanginya lekat.

"Kurasa tidak perlu alasan, sama seperti mencintai yang juga tidak perlu adanya alasan!"

Nohan terdiam seketika.

Cinta? Bagaimana mungkin hal buruk seperti perundungan disandingkan dengan cinta? Itu sungguh tak masuk diakal.

Apa mungkin iblis pantas disandingkan dengan malaikat? Tentu saja tidak mungkin.

Dan apa kata satpam tua bangka tadi? Perundungan sama halnya dengan cinta, tak memerlukan alasan untuk terjadinya.

Haha, hanya orang bodoh yang mengiyakannya. Dan satpam tua bangka ini kan memang monster, maka sudah seharusnya Nohan tidak heran, mengapa ia bisa berkata demikian.

Monster mengerikan mana mengerti arti cinta, mana paham arti perbedaan antara cinta dan kebencian, keburukan dan kebaikan. Di mata mereka semuanya sama, tanpa ada batas antara baik ataupun buruk.

"Kadang ada orang yang merundung seseorang tanpa alasan, mereka bahkan hanya bilang ingin saja, atau iseng saja. Bukankah cinta juga begitu? Hanya orang-orang yang mau jatuh cinta untuk merasakannya, atau terkadang berawal dari iseng, dan berakhir jatuh cinta. Sama bukan?" lanjutnya seolah mempertahankan pendapatnya.

Selagi itu baik buat mereka, maka mereka akan menganggapnya hal baik. Meski harus mengorbankan orang lain untuk kebaikan diri mereka. Dan perundungan tidak pernah pantas disandingkan dengan cinta.

"Kalau kau kesal diperlakukan seperti itu, mengapa tidak melawan?" suara menyebalkan milik sang satpam mengganggu ketenangan Nohan lagi.

"Kalau dilawan apa musuh itu akan diam? Akan berhenti bertindak mengerikan?" tanya Nohan dengan nada menohok tajam, "Tidak perlu menasihatiku seolah kau makhluk paling benar di dunia, ketimbang kau menasihatiku! Nasihati saja dirimu, kau kan tak jauh berbeda dari monster mengerikan, Pak!" lanjut Nohan dengan nada yang lagi-lagi menohok.

Satpam tua bangka itu mendadak terdiam, tak lagi menyauti Nohan.

Nohan berdehem pelan, "Mungkin kedengarannya tidak sopan karena aku mencampuri urusanmu, tapi tindakanmu sebagai seorang dewasa sungguh mengerikan, Pak!" kata Nohan dan berikutnya ia mencegat bus yang lewat.

Tanpa berpamitan atau mengatakan apapun lagi, Nohan segera memasukki bus yang kebetulannya sepi penumpang.

"Dia memang sudah tahu sejak awal, tapi biarkan saja. Toh dia tak akan mengadu pada siapapun," monolog satpam barusan menatap kepergian bus yang ditumpangi Nohan.

Nohan duduk di kursi paling belakang, lantaran ada beberapa penumpang di kursi depan. Nohan tentu tak mau mengganggu penciuman mereka, hanya karena aroma menyengat dari sekitaran dirinya.

Nohan hanya diam sembari memandangi tangannya sendiri, di lengan kanan terlihat ada bekas cekalan yang membiru, dan ya sekarang Nohan baru merasakan perutnya agak kaku dan sakit, pasti ini akibat tendangan si atlet taekwondo itu; Ren.

Nohan menghela napas, ia pasti harus mandi air hangat lagi sekalian mengompres luka lebam di tubuhnya.

Citt...

Ban bus berdecit, lantaran bus mengerem. Dan sepertinya ada penumpang.

Nohan tak peduli, yang ia pedulikan sekarang adalah lekas sampai ke rumah dan membersihkan diri.

Hingga saat tiga penumpang remaja laki-laki mengganggu penumpang remaja perempuan, yang sepertinya baru saja naik.

Nohan melihatnya, bagaimana tiga penumpang dengan seragam sama dengan miliknya, mengganggu remaja perempuan dengan seragam sekolah berbeda darinya.

Nohan kau tak mengenalnya, lebih baik diam saja. Tak usah turut campur, dia bukan urusanmu. Suara di kepala Nohan tiba-tiba saja bergema, otaknya lagi-lagi menguasai.

"Benar! Aku bahkan tak mengenalnya, jadi kurasa aku tak perlu membantunya, atau malah justru aku yang akan jadi sasaran selanjutnya!" monolog Nohan berpura-pura tak terganggu dengan situasi di depannya.

Nohan berpura-pura memalingkan wajah, seolah menikmati perjalanan melalui jendela. Tapi tentu saja itu bohong, nyatanya mata Nohan masih saja melirik ke depan sana, menatap tiga remaja lelaki yang seusia dengannya tengah mengganggu remaja perempuan.

Hingga hati Nohan berbisik, mengatakan sesuatu yang membuat Nohan terdiam merasa tertohok seketika.

Kau tidak mau menolongnya? Sungguh, Nohan? Apa itu artinya kau sudah berubah? Apa kau pikir kau jauh lebih baik menghindar begini? Jangan melakukannya, Nohan. Bantu remaja perempuan itu, kau memang tidak mengenalnya. Tapi, bukankah kau juga merasakannya sendiri, bagaimana rasanya saat kau diganggu tapi tak ada yang mau membantu? Bantu dia, Nohan. kata hati Nohan seolah mendorong Nohan untuk bangkit dari duduknya.

Kau harus berpikir dulu, Nohan. Pikirkan! Kau membantu orang lain lolos dari sergapan harimau, tapi setelahnya dirimu yang disergap. Ini bukan lagi tentang apa dan bagaimana perasaan, tapi ini tentang seberapa mengerti dan cintanya kau pada dirimu sendiri. Kau mengorbankan dirimu demi orang lain sungguh mengerikan. Otak Nohan kembali bersuara. Membuat Nohan terdiam lagi.

Hingga pada akhirnya bus berhenti, sepertinya ada penumpang lain. Dan Nohan bersyukur, penumpang barusan seorang perempuan paruhbaya yang tampangnya galak.

Dan akhirnya, tiga remaja lelaki itu berhenti mengganggu remaja perempuan tadi.

Nohan menghela napas lega. Setidaknya kali ini ia tak mengorbankan dirinya untuk jadi sergapan harimau ataupun singa.

Dulu Nohan pernah melakukannya, dan pada akhirnya ia terjebak selamanya di kandang singa. Ia tidak bisa melarikan diri sebelum benar-benar mati.

Nohan hanya dicabik-cabik tapi tak pernah benar-benar mati.

Cittt...

Ban bus kembali berderit, ternyata remaja perempuan barusan yang turun. Ia buru-buru turun dari bus usai membayar, dan tak disangka Nohan perempuan paruhbaya barusan juga ikut turun.

Apa tidak ada yang salah saat ini? Batin Nohan menatap kepergian dua orang itu.

Kini bus kembali seperti semula, hening senyap tanpa suara. Hanya ada suara mesin bus, dan klakson dari beberapa kendaraan lain.

"Bukankah dia si Ansos!"

Sial, sungguh sial nasib Nohan sekarang.

"Sungguh? Wah kebetulan yang sangat menyenangkan bisa pulang bersama si Ansos anak polisi!"

Nohan hanya berharap Tuhan melindunginya.

Tapi Tuhan selalu melindunginya, hanya saja Nohan tidak pernah menyadarinya.

Bersambung.

***

Makasih udah mampir, see you next chapter.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Thirty Days   Epilog

    Nohan sengaja tidak pulang setelah berhasil melenyapkan sosok-sosok alter ego dalam dirinya. Nohan masih duduk di depan ruko, ia memandangi langit yang kembali bersinar. Sialnya Nohan bahkan belum benar-benar merasa hidup normal, ia tahu ia masih harus melenyapkan dua orang itu. Orang yang telah menyebabkan ayahnya pergi, ayahnya pergi bersama luka yang belum sempat disembuhkan. Nohan akan membuat mereka menyadari, bahwa menyakiti harus dibalas dengan menyakiti. Bahwa rasa sakit yang diterima ayahnya, juga harus dirasakan oleh mereka. Ya harus begitu. Nohan memilih bangkit dari posisi duduknya, segera ia memasukkan buku milik ayahnya ke dalam tas, berikutnya ia menggendong tasnya, dan berjalan keluar dari gang kumuh nan mengerikan itu. Nohan berlari agar ia bisa cepat sampai di rumah, ia akan berganti pakaian dan setelahnya ia harus menemui Mr. Pram. Ya apapun itu, ia harus menemui ayah sambungnya, yang siang ini pasti tengah berada di salah satu ruangan di gedung pemerintahan. Noh

  • Thirty Days   Ten Day

    Nohan membaca tulisan ayahnya, tentang betapa terlukanya lelaki paruh baya itu. "Kukira aku sudah berusaha menjadi lelaki yang baik, lelaki yang pengertian! Tapi ternyata aku tetaplah lelaki pecundang di matamu, kau memilih dia. Memilih pergi dengannya, sungguh hatiku terasa diiris-iris sembilu, kala melihatmu memeluk lengannya, mengatakan bahwa kau memilihnya. Mencintainya." Nohan berhenti membaca, dan sadar bahwa mungkin Nohan harus melenyapkan semua orang, yang telah jadi penyebab luka ayahnya. Ya Nohan harus melakukannya. "Aku tidak bisa berharap apa-apa lagi jika begitu, maka aku harus melenyapkan perasaanku padanya. Aku cukup berhasil, hatiku sudah tak terlalu sakit tiap melihatnya memeluk lengannya, atau tersenyum bersamanya. Tapi hatiku terasa sakit luar biasa, bahkan ini jauh lebih sakit dari pada saat aku melihatnya bersama lelaki itu. Dia mencegahku menemui Nohan, dia bahkan melarangku hanya untuk sekadar menyapanya lewat telepon, dia menjauhkanku darinya. Padahal Nohan a

  • Thirty Days   Nine Day

    Hari berikutnya Nohan sudah bersiap ke sekolah, tetapi ia berhenti begitu saja kala suara Amand terdengar memanggilnya. "Nohan!""Kenapa?" tanya Nohan menatap Amand, yang kali ini memakai seragam persis miliknya. "Kau tidak mau berangkat bersama?" ajaknya dengan wajah sok baik. Nohan mendecih dalam hati, menjjikan sekali orang-orang macam ini. "Kenapa? Kenapa aku harus berangkat bersamamu? Apa kau pikir aku tidak tahu jalan ke sekolah? Atau kau yang tidak tahu?" cerca Nohan menatap kesal Amand. Amand terkekeh masam, "Kau ini sangat tidak tahu diri ya? Kau bersekolah di sana menggunakan uang ayahku, kalau kau lupa, Nohan! Dasar Ansos tidak tahu diri!" ejek Amand dengan mata tajam menatap Nohan. "Jangan banyak omong! Kalau kau mau ke sekolah, silahkan pergi saja sendiri! Jangan mengajakku, aku sudah hapal jalannya. Dan tidak akan terlambat meski tidak semobil denganmu!" tegas Nohan dan menubruk bahu Amand, yang mengahalangi jalan keluarnya. Amand tersenyum menyeringai, "Rupanya

  • Thirty Days   Akhirnya Kau Lenyap

    Entah siapa yang mengetuk pintu, tetapi setelah sesosok lelaki paruhbaya yang amat Nohan kenali masuk. Saat itu juga Nohan menyadari ada hal yang tak beres, dan benar saja sosok yang amat ia benci muncul dari pintu. Sosok itu tersenyum amat lebar, seolah menyapa Nohan dengan keramah-tamahannya. Nohan mendecih dalam hati, entah apa yang dilakukan manusia ini di sekolahannya.Amand dan sopirnya. Ya saudara tirinya itu entah mau apa datang kemari, atau jangan-jangan ia mau pindah ke sekolah ini? Hahah ... Nohan tertawa dalam hati. Memang sungguh sial hidupnya, sial dan makin sial saja saat ia tak bisa bertindak kala Amand mengejeknya, melalui ekspresi wajah. Mr. Adam menatap Nohan, ia tahu Amand mana yang tadi dikatakan Nohan. Tentu saja hanya ada satu Amand, yaitu Amand si putra kandung Mr. Pram, orang penting di pemerintahan kota ini. "Baiklah, Nohan! Kau sudah selesai, jadi kau bisa pergi! Dan hati-hatilah, Nak!" kata Mr. Adam yang menyadari ada aura permusuhan, di antara kedua re

  • Thirty Days   Eight Day

    Pagi ini Nohan sengaja berangkat lebih awal ke sekolah, ia tidak mau berlama-lama di rumah. Apalagi setelah kejadian kemarin, saat ibunya menamparnya hanya demi Amand. Sosok yang membuat Nohan dianggap anti sosial, bahkan psikopat. Yang akhirnya membuatnya dijauhi teman-teman. Ternyata Amand pulang ke rumah, ia bilang ingin menemui Nohan. Ya kemarin monster mengerikan itu mengatakan hal itu, dasar si tukang manipulatif. Nohan membenci Amand, melebihi ia benci pada dirinya sendiri. Sungguh. Tetapi Nohan pindah sekolah saat kelas satu SMA semester pertama, ia sudah tak mau satu kelas ataupun satu sekolah dengan Amand. Dan akhirnya di sekolah baru pun Nohan tak bisa mendapat teman, lantaran hal-hal buruk tentangnya telah disebarkan oleh Amand melalui berita. Ya Amand sengaja mengundang para wartawan, kala hari di mana Nohan keluar dari ruang psikoterapi di salah satu rumah sakit jiwa di kota ini, bahkan saat keluar dari sana. Amand sengaja menggandeng tangan Nohan, lalu mengangkatnya d

  • Thirty Days   Seven Day

    Hari berikutnya Nohan sudah pulang ke rumah, ia tak lagi tinggal di rumah Paman Khamdi. Ia sadar selalu merepotkannya, dan memilih kembali saja ke rumah. Pagi ini Nohan sudah bersiap untuk kembali ke sekolah, hal yang sejak lama telah ia benci. Nohan tidak suka sekolah, ia benci tempat itu, apalagi tiap ke sekolah hal mengerikan selalu terjadi padanya; Jay, Jio, Ray, dan Ren akan datang mengganggunya, membuat hidupnya terasa mengerikan, dan membuatnya ingin lekas pergi dari dunia. Nohan keluar dari kamarnya, ia melongok ke sekitar dan benar saja di meja makan, ada ibunya dan sosok lelaki yang ia benci. Nyatanya Nohan sudah sedikit pulih, ia mulai bisa sedikit membedakan mana yang nyata, mana yang berupa khayalannya. Saat ini di depannya ia melihat ibunya tersenyum tipis, pada lelaki paruhbaya yang bagi Nohan adalah penyebab ayahnya pergi. "Aku pergi! Selamat pagi!" kata Nohan dan benar saja ia segera melengang pergi keluar rumah. "Nohan!" panggil Ibu Nohan yang dikiranya takkan d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status