Share

Rumah Sakit

Nohan terbangun di rumah sakit, kondisinya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Tangan kirinya masih diinfus, dan wajahnya tentu masih lebam membiru. 

Nohan menatap langit-langit rumah sakit, terdiam cukup lama. Sampai sebuah suara membuatnya menoleh, dan tersenyum melihat siapa yang datang. 

"Kenapa, Nohan? Kau buat masalah lagi?"

Senyum di wajah Nohan lenyap seketika. 

Ibu yang dikira akan mendukungnya justru bertanya demikian, mendadak Nohan merasa ia memang seharusnya tidak dilahirkan ke dunia. 

Entah mengapa Nohan merasa ia sendiri di dunia, bahkan tiap kali Nohan mengatakan bahwa ia dirundung oleh teman-temannya. Ibunya tak percaya, seolah semua yang dikatakan Nohan hanyalah khayalannya saja. 

"Ibu tidak percaya padaku? Aku begini karena... "

"Perundung?" potong Ibu Nohan menatap lelah Nohan. 

Nohan menganga tak percaya, kurang bukti apalagi? Apa mungkin Nohan harus lompat dari gedung dulu, baru ibunya mau percaya? 

"Sudah ibu bilang berapa kali, Nohan? Tidak ada yang namanya perundungan, kau terlalu banyak menonton televisi, dan sinetron, makannya otakmu jadi berhalusinasi begitu," kata ibu Nohan berusaha menjelaskan pada Nohan, bahwa hal semacam itu tak pernah ada. 

Bagaimana bisa? Bagaimana bisa Nohan bertahan kalau begini? Bagaimana bisa Nohan tidak membenci hidupnya? Jika satu-satunya yang ia harapkan menjadi pendukung malah menolak percaya padanya. 

Kau sungguh tidak mau memahamiku, Bu. Batin Nohan terluka. 

"Nohan! Aku tahu kau mungkin mengalami hari yang berat, tapi berhentilah menyakiti dirimu sen... "

"Aku tidak menyakiti diriku sendiri, Bu! Sudah kubilang berapa kali?" cerca Nohan dengan nada yang mulai meninggi, Nohan kesal ibunya selalu tak percaya padanya. 

Ibu Nohan menarik napas, menatap Nohan lembut. 

"Nohan, aku tahu di sekolah itu tak ada anak-anak semacam yang kau kata... "

Nohan menatap ibunya kecewa, "Tidak! Kau tidak tahu, Bu. Kau tidak tahu bagaimana mereka sebenarnya, kau tidak tahu! Mereka itu perundung, dan yang lainnya hanya menonton saja! Aku yang dirundung, Bu!" cerca Nohan menatap ibunya terluka. 

"Cukup, Nohan! Cukup!" tegas Ibu Nohan dengan nada meninggi. 

Nohan terdiam, kemudian ia terkekeh. Merasa hidupnya memang sangat lucu, benar-benar lucu. 

"Bu! Apa mungkin aku memukul diriku sendiri? Apa mungkin aku meminum soda sebanyak itu? Apa mungkin aku menyiramkan minuman ke kepalaku sendiri? Apa aku setidak waras itu dipandanganmu, Bu?" 

Nohan berkata sembari menatap ibunya kecewa. Nohan sadar ia hanya sendirian di dunia, semuanya hanya menontonnya ketika ia hancur. Mereka semua penjahat, mereka semua yang hancur seharusnya. 

Ibu Nohan terdiam, mengalihkan pandangannya ke arah jendela. 

Nohan menghela napas, "Aku tidak tahu mengapa kau sebenci itu padaku, Bu! Tapi aku minta maaf, aku minta maaf padamu, Bu. Aku sudah tak sanggup di sekolah itu, tolong pindahkan aku. Tolong, Bu!" pinta Nohan masih menatap sang Ibu, yang juga masih memandangi jendela. 

Ibu Nohan kini menoleh, membalikkan badan. 

"Bertahanlah di sana, Nohan! Buat ibu yakin dan percaya padamu," saut Ibu Nohan kini menatap Nohan serius, matanya setenang langit yang mulai senja. 

Nohan diam saja dan mulai menundukkan kepala, ia memang sendirian di dunia ini. Ibunya saja tak mau percaya, apa Nohan memang setidak dapat dipercayai itu? 

Nohan tak lagi menyauti ibunya, ia memilih berbaring dengan tenang di atas brankar rumah sakit. Tatapan Nohan kosong, sekosong kepercayaan dirinya yang lenyap entah kemana. 

Nohan makin merasa dunia begitu kejam untuknya, ia mulai bertanya-tanya. Apa benar Tuhan memang menciptakannya untuk hidup? Tapi mengapa hidup Nohan terasa mengerikan? Mengapa, Tuhan? 

Andai saja Nohan punya Ayah, mungkin ini semua takkan terjadi. Ayahnya mungkin saja akan percaya padanya, membiarkannya pindah sekolah, dan ia bebas dari perundungan Jay dan teman-temannya. 

Tentu saja pengandaian selalu terasa lebih indah dari pada kenyataan. 

Tapi jika pengandaian jauh lebih besar dari tindakan, maka berhati-hatilah. Pengandaian itu akan menguasaimu, dan membuatmu hidup dalam dunia yang kau buat sendiri; ilusi. Ya kau akan hidup dalam ilusi. 

"Aku harus pergi ke kantor polisi, aku sudah mendapat panggilan dari komandan," kata Ibu Nohan setelah lama terdiam. 

Nohan hanya mengangguk lemah, toh meski Nohan melarang, ibunya takkan mendengarkan. 

Ibu Nohan memasukkan sesuatu ke saku baju Nohan. 

"Jaga dirimu baik-baik, Nohan! Aku pergi!" pamit perempuan paruhbaya itu, dan meninggalkan Nohan sendiri di ruang rawatnya. 

Ibu Nohan sudah menghilang dibalik pintu ruang rawat. 

Kini Nohan beranjak dari posisi berbaringnya, ia mendudukkan diri sembari berpikir, mungkinkah Nohan akan menjadi korban perundungan sampai lulus? Apa itu tidak terlalu mengerikan? 

Ya lagi-lagi kalimat seandainya yang ada di batin Nohan, seolah kalimat itulah satu-satunya yang mau berteman dengannya. 

"Seandainya orangtuaku bukan ibuku dan ayahku, apa hidupku akan jauh lebih baik, Tuhan?" tanya Nohan sembari menatap ke atas. 

Tuhan selalu mendengarkan doa hamba-Nya, selalu mengabulkan-Nya. Tapi dengan satu syarat, kau harus menomorsatukan Tuhan dalam menjalankan hidupmu, dalam keseharian kau bernapas, dan melangkah di muka bumi ini. 

Nohan sudah mencobanya, tetapi Tuhan belum mau mengabulkan doanya. Mungkin Tuhan menundanya, agar ia bisa lebih kuat lagi. 

Nohan kini memutuskan turun dari brankarnya, ia ingin keluar dari ruang rawatnya sebentar. 

Keluarlah Nohan sembari menyeret tiang penggantung cairan infus di sebelah kirinya. Ia berjalan melewati lorong rumah sakit, dan berhenti ketika ada yang memanggilnya. 

"Hei!"

Kali ini hanya "Hei!" tanpa tambahan apapun, Nohan sudah terlalu terbiasa dipanggil "Hei, pecundang!" dan "Hei!" yang lainnnya, dan yang terbaru adalah "Hei, Ansos." 

Nohan menoleh, menatap sosok remaja lelaki yang seusia dengannya tengah duduk di kursi roda. 

"Kau sakit apa?" 

Nohan terdiam, baru kali ini ada yang bertanya demikian padanya. 

Apa akhirnya Nohan akan punya teman? 

Apa menyenangkan punya seorang teman? Ya kelihatannya menyenangkan, mengingat bagaimana teman-teman sekolahnya sering bergerombol, mengobrol ria, bersenang-senang, dan tentu saja Nohan hanya bisa memandangi mereka dengan wajah masam. 

"Hei! Kau baik-baik saja?" 

Nohan makin terheran-heran, sepertinya ia akan punya teman sekarang ini. 

"Kau tidak bisa bicara?" tanya remaja lelaki barusan dengan bahasa isyarat. 

Nohan terdiam, dan segera menggeleng. Nohan sedikit paham bahasa isyarat, ibunya sempat mengajari saat ia duduk di bangku SMP. 

"Tidak! Aku bisa bicara!" kata Nohan masih berdiri di tempatnya. 

Orang-orang berlalu-lalang di sepanjang lorong rumah sakit. 

Remaja lelaki itu tersenyum, mendekat pada Nohan dan mengulurkan tangannya. 

"Namaku Nasai!" kata remaja lelaki itu tersenyum ramah. 

Nohan mengangguk, tanpa sadar bibirnya melengkung dengan sempurna. Setelah bertahun-tahun, inilah lengkungan paling sempurna di wajah Nohan. 

"Aku Nohan!" katanya sembari menjabat tangan Nasai; remaja lelaki yang seusia dengannya. 

Nasai segera mengajak Nohan pergi ke taman. Katanya ia ingin mengajak Nohan melihat tanaman aneh di taman rumah sakit ini. 

Bersambung. 

***

Makasih udah mampir diceritaku, oh iya ini cerita thriller pertamaku. Jadi maaf kalo masih acak-acakkan, aku udah usaha sebaik mungkin. 

Stay healthy and happy.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status