Share

Villia Cemburu

Wanita yang wajahnya mirip denganku itu terus berlari bahkan berkali-kali terjatuh. Sementara lelaki yang membawa pisau itu terus mengejarnya tanpa rasa iba. Hingga tiba-tiba wanita itu terjebak di tepi jurang, sementara si lelaki bersiap menghunuskan pisaunya.

"Jangaaaaaaan!" teriakku.

Seketika wanita itu melompat ke jurang tersebut hingga membuatku seketika berteriak histeris.

"Bella! Bella! Kamu kenapa?"

Seketika aku langsung terbangun saat seseorang mengguncangkan tubuhku. Perlahan kubuka mata, lalu kulihat Gio menatapku dengan tatapan cemas bercampur penasaran.

"Kamu mimpi buruk?" tanyanya sembari duduk di sampingku dan mencoba untuk memelukku.

Aku langsung beringsut menjauhinya, hingga membuatnya mengernyitkan dahi.

"Kamu kenapa tidak mau kusentuh? Aku hanya ingin membuatmu lebih tenang." Ia malah menarik tanganku lalu memelukku dengan erat.

Seketika dadaku berdebar kencang saat berada dalam pelukannya. Tidak, ini tidak boleh terjadi, dia suami orang, jadi aku tak boleh diam saja saat dia memelukku.

"Gio, tolong lepaskan!" Aku langsung menghempaskan tubuhnya.

"Apakah aku tidak boleh memeluk istriku sendiri?"

"Tapi saat ini aku belum mengingat semuanya, bahkan aku masih ragu kalau kamu itu suamiku."

"Aku janji, Bella, aku akan melakukan apapun agar kamu bisa mengingatku."

"Terserah!" Aku langsung berbaring membelakanginya lalu menarik selimut, sementara Gio tampaknya kembali tidur di sofa.

Suasana tiba-tiba hening, entah mengapa tiba-tiba bulu kudukku meremang, bersamaan dengan itu aku merasa sangat kedinginan padahal aku mengenakan selimut yang tebal. Mungkinkah karena AC di kamar ini terlalu dingin?

"Hu...hu...huhu...hu.." Tiba-tiba terdengar suara tangis yang begitu menyayat hati.

Aku langsung membuka mata dan beranjak dari tempat tidur, kulihat Gio tengah tidur dengan lelapnya, sementara suara tangis wanita itu semakin terdengar jelas dari luar jendela, tampaknya ada seseorang di balkon kamar ini. Karena penasaran, aku segera membuka pintu menuju balkon.

Degh! Seketika aku langsung terhenyak saat melihat wanita yang tengah menangis tersedu-sedu sembari menundukkan wajahnya. Bagaimana bisa dia ada di balkon, lewat mana dia masuk?

"Hei, kamu siapa? Kenapa kamu menangis?"

Wanita itu langsung mengangkat wajahnya hingga tiba-tiba aku kembali terhenyak saat melihat wajah wanita itu yang sama persis denganku. Namun, wajahnya begitu pucat pasi seolah tak memiliki darah.

"Kamu Bella, kan?" Aku memberanikan diri untuk bertanya.

Ia mengangguk, lalu menatapku dengan tatapan pilu.

"Semua orang mencarimu, kenapa kamu malah ada di sini?"

"Tolong ungkap siapa yang orang yang telah membunuhku," ujarnya sembari meraih tanganku, hingga seketika bulu kudukku meremang, sementara tangannya begitu dingin seperti es batu.

"Apa kamu bilang? Jadi kamu sudah meninggal?"

Ia mengangguk, lalu kembali menatapku dengan tatapan nanar.

"Aaaaaaasaaaaaak!" Aku langsung berteriak histeris, karena seumur-umur belum pernah melihat penampakan hantu.

"Bellla! Bella!" Aku kembali terhenyak dan menyadari bahwa aku tengah berada di tempat tidur.

"Kamu mimpi buruk lagi?" tanya Gio.

Aku menghela napas saat menyadari bahwa tadi hanyalah mimpi, tapi mengapa semua itu terasa sangat nyata?

"Bella, sebenarnya kamu mimpi apa?"

"Emm..itu..aku mimpi melihat hantu."

"Gimana kalau aku tidur di sampingmu aja? Agar kamu gak mimpi buruk lagi."

"Gak perlu, Gio. Kamu kembali ke sofa aja."

"Jujur aja aku sangat khawatir sama kamu." Perlahan tangannya membelai rambutku dengan lembut hingga membuatku secepat kilat meraihnya.

"Jangan menyentuhku sampai aku mengingat semuanya."

"Meskipun bingung, tapi aku akan menghindari semua yang membuatmu tak nyaman."

Setelah Gio kembali tidur di sofa, aku kembali memikirkan mimpiku tadi. Apakah benar Bella sudah meninggal? Jika iya, lalu siapa orang yang telah membunuhnya, apakah pembunuhnya ada di rumah ini? Lalu mengapa dia harus memintaku mengungkap semuanya, mengapa dia tidak menemui Gio dalam mimpi lalu meminta tolong padanya?

Meskipun tidak mengenalnya, tapi entah mengapa aku merasa sangat iba kepada wanita bernama Bella itu. Kenapa dia bisa sampai dibunuh? Apa salah dia hingga ia harus meninggal dengan cara yang tragis seperti yang kulihat di mimpi?

"Maafkan aku, Bell, maafkan aku." Seketika lamunanku buyar saat mendengar suara Gio, rupanya dia tengah mengigau.

Namun, mengapa ia terus mengatakan maaf dan menyebut nama Bella, sebenarnya dosa apakah yang ia lakukan pada Bella, apa jangan-jangan....

Ah, tidak mungkin dia yang menyuruh orang untuk membunuh Bella. Bagaimana bisa ada seorang suami yang tega melakukan hal sekejam itu. Tapi, kalau dipikir-pikir, bisa saja dia melakukan hal itu, karena mungkin dia sudah bosan pada Bella makanya dia selingkuh dan menikahi Villia.

"Tidak...tidak..." Gio semakin mengigau hingga membuatku seketika langsung mendekatinya.

"Kamu kenapa Gio?"

"Bella, jangan tinggalkan aku Bell." Ia langsung memelukku dengan erat.

Kulihat keringat dingin membasahi wajahnya yang tampak panik, ia tampak sangat ketakutan, selain itu aku bisa merasakan detak jantungnya yang begitu kencang, sehingga aku merasa tak tega untuk melepaskan pelukannya.

"Sebenarnya kamu kenapa, Gio."

"A...aku hanya mimpi buruk," ujarnya sembari melepaskan pelukannya.

"Baiklah, kalau begitu ayo kita kembali tidur."

Ia mengangguk, lalu kami kembali tidur di tempat masing-masing.

Keesokan paginya, aku langsung ke kamar mandi, sebelumnya aku mengambil pakaian ganti ke kamar mandi, karena tak mungkin aku berganti pakaian di hadapan Gio. Aku langsung mengguyur seluruh tubuh saat mengingat bahwa semalam Gio telah memeluk tubuhku dengan erat. Seumur-umur belum ada lelaki yang memeluk tubuhku, mengapa bisa malah aku dipeluk oleh suami orang.

Beberapa saat kemudian, aku telah selesai, lalu segera keluar dari kamar mandi untuk mengeringkan rambut.

"Kamu mau kemana, kok pagi-pagi gini udah rapi?" tanya Gio yang baru saja bangun.

"Mau ke rumah orang tuaku."

"Oke, tunggu sebentar, aku akan mandi lalu mengantarmu ke sana."

"Memangnya kamu gak kerja?"

"Aku akan menelpon sekretarisku dan menyuruhnya untuk menghandle semua pekerjaanku."

Aku tak lagi menimpali ucapannya, lalu kulihat ia bergegas menuju kamar mandi. Sementara aku langsung menoleh ke arah deretan skincare yang berbaris di meja rias. Sepertinya tak apa-apa jika aku menggunakan semua itu, siapa tahu wajahku bisa secantik dan seglowing Bella. Setelah merias wajah, aku juga tak lupa mencatok ikal rambutku sembari menatap foto Bella yang terpajang di dinding, entah mengapa pagi ini aku ingin terlihat sama persis dengannya.

"Bella, tolong ambilkan pakaianku," ujar Gio tiba-tiba.

Aku langsung terkejut saat melihatnya yang hanya mengenakan handuk. Ia tampa rasa malu menampakan dadanya yang bidang sedikit berbulu itu, bahkan aku bisa melihat perutnya yang sixpack.

"Hei! Kenapa kamu berani-beraninya menampakan diri dengan hanya mengenakan handuk seperti itu?" Seketika aku langsung menutup mata saat menyadari bahwa seharusnya aku tak melihat hal yang seharusnya kulihat.

"Tapi bukankah kamu sudah sering melihat seluruh tubuhku bahkan tanpa sehelai benangpun?"

Ucapannya seketika membuatku merasa geli, lalu tanpa berlama-lama aku langsung berlari menuju pintu.

"Mau kemana, Bell?"

"A..aku tunggu diluar saja," ujarku lalu bergegas keluar kamar.

Lama-lama aku bisa gila jika terus berada di rumah ini. Tak dapat kupungkiri jika Gio sangatlah tampan dan menawan, tapi bagaimana pun dia bukan suamiku, aku harus sadar diri.

"Wah, pagi-pagi gini rambut Non Bella sudah basah?" tanya Mbok Minten saat berpapasan denganku.

"Iya, Mbok, banyak hal yang terjadi semalam hingga membuatku harus segera mandi."

Tiba-tiba Mbok Minten langsung tertawa saat mendengar jawabanku, entah apa yang ia pikirkan. Lalu tiba-tiba Villia menatapku dengan wajah masam, rupanya sejak tadi ia berdiri di belakangku.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status