Alina menghentikan mobil di dalam garasi. Dia dan Aqeela turun dari mobil. Mereka bersama masuk ke dalam rumah dan menghentikan langkah kaki di ruang tamu.
“Plak!” Sebuah tamparan mendarat di pipi Aqeela.
“Ma.” Alina dan Aqeela sangat terkejut.
“Aqeela. Kurang baik apalagi Alina kepada kamu? Kenapa kamu tidak mau ikut makan malam ke rumah Winarta?” tanya Marlina dengan nada tinggi.
“Apa?” Aqeela melihat pada Anggara yang duduk di sofa.
“Bukankah Tante yang melarangku untuk ikut?” tanya Aqeela.
“Aku sudah meminta kamu memanggilku Mam, tetapi kamu juga tidak mau dan bersikeras menyebutku Tante,” bentak Marlina.
“Apa kamu membenciku dan Alina?” Marlina menangis.
“Hah!” Aqeela bingung dengan sikap Marlina.
“Apa maksud, Tante?” tanya Aqeela lagi.
“Sayang, lihat putri kamu.” Marlina memeluk Anggara.
“Aqeela!” teriak Anggara mendekati Aqeela.
“Plak!” Anggara pun menampar Aqeela dengan sangat kuat hingga gadis kecil itu tersungkur di lantai. Rasa sakit pada pipi itu benar-benar menusuk hingga ke jantung dan hatinya. Dia tidak mampu menahan air mata yang menetes membasahi wajahnya. Dadanya begitu sesak.
“Kenapa kamu memanggil Marlina dengan sebutan Tante?” tanya Anggara.
“Tante sendiri yang tidak mau dipanggil mama,” jawab Aqeela.“Plak!” Anggara kembali menampar pipi Aqeela hingga bibir merah muda itu pecah dan berdarah. Cairan merah menetes pada lantai keramik yang putih bersih.
“Kenapa kamu menjadi liar Aqeela? Alina telah membelikan gaun dan meminta kamu untuk ikut ke acara makan malam keluarga. Kenapa kamu menolak?” tanya Anggara dengan nada tinggi.
“Pa, jangan marahi Aqeela lagi.” Alina memeluk Aqeela yang masih tersungkur di lantai. Gadis kecil itu tidak sanggup lagi mengangkat kepala dan tubuhnya. Dia mengalami luka fisik dan mental.
“Ayo Kakak antar ke kamar,” ucap Alina lembut dan membantu adiknya beranjak dari lantai. Aqeela hanya terdiam dalam bingungnya.
“Dua malam ini kamu tetap di rumah dan tidak boleh keluar,” tegas Anggara.
“Ayo, Aqeela.” Alina membawa Aqeela ke kamar.
“Lihatlah, Sayang. Alina begitu peduli kepada Aqeela, tetapi anak itu tidak tahu terima kasih,” ucap Marlina.
“Ya.” Anggara duduk di sofa. Dia melihat tangan yang telah menampar putinya sendiri. Anak dari wanita yang dicintainya.
“Maafkan aku Calizta,” ucap Anggara di dalam hati.
Alina duduk bersama Aqeela di sofa. Dokter muda itu mengambil es batu dan memberikan kepada adiknya.
“Maafkan papa dan mama.” Alina menatap pipi Aqeela yang merah. Dia memeriksa bibir sang adik yang pecah.
“Kakak ambilkan obat dulu.” Alina baru saja akan beranjak dari sofa, tetapi tangannya ditahan Aqeela.
“Tidak usah, Kak. Ini hanya luka kecil dan akan segera sembuh,” ucap Aqeela.
“Kenapa aku merasa semuanya aneh?” tanya Aqeela.
“Apa yang aneh? Apa Kakak dan mama serta papa melakukan kesalahan kepada kamu?” Alina balik bertanya.
“Bukankah terakhir Tante tidak inginkan aku ikut dan tidak pernah memintaku memanggilnya mama,” jelas Aqeela.
“Benarkah? Kakak tidak ingat.” Alina tersenyum.
“Tenangkan diri kamu dan tetaplah berada di rumah. Ganti pakain dan tidur. Kakak ambilkan obat dulu.” Alina mengusap kepala Aqeela. Dia keluar dari kamar adiknya dan kembali dengan obat.
“Ini untuk oles dan minum.” Alina meletakkan obat di atas meja.
“Cepat sembuh ya.” Alina mencium kepala Aqeela.
“Teirma kasih, Kak.” Aqeela menatap Alina.
“Kakak keluar ya.” Alina meninggalkan Aqeela dengan tidak lupa menutup pintu.
Aqeela bersiap untuk mandi. Dia beranjak dari sofa dan dikejutkan oleh kehadiran Marlina. Wanita itu masuk tanpa mengetuk pintu.
“Dengar, Aqeela. Kamu hanyalah parasite di rumah ini!” Marlina mencengkram pipi Aqeela.
“Ibumu menjadi selingkuhan. Jadi, kamu harus sadar diri,” tegas Marlina.
“Ikuti semua aturan yang telah aku berikan. Dua hari ini tetap di rumah dan jangan melakukan apa pun yang membuat malu hingga merugikan keluarga Anggara,” jelas Marlina.
“Aku tidak mau pernikahan Alina batal hanya gara-gara kamu,” tegas Marlina. Wanita itu mendorong tubuh Aqeela hingga jatuh ke sofa.
“Kamu adalah anak pembawa sial bahkan ibu kamu mati setelah melahirkan kamu,” ucap Marlina keluar dari kamar Aqeela dengan membanting pintu.
“Apa?” Aqeela melihat Marlina yang telah pergi.
“Kalian yang mengusirku dari rumah ini, tetapi kalian juga yang memintaku untuk kembali.” Aqeela menghela napas dengan berat.
“Aku parasite. Hahaha.” Aqeela masuk ke dalam kamar mandi. Dia melepaskan semua kain yang melekat di tubuhnya. Menyalakan air dari shower dan membasahi diri dalam sedih.
“Ya. Aku adalah anak pembawa sial. Aku tidak pernah minta untuk dilahirkan dari seorang selingkuah. Arrrghh!” Aqeela berteriak di kamar mandi.
“Aku bahkan benci dengan takdir ini. Hiks.” Aqeela menangis. Dia meringkuk di atas lantai di bawah guyuran air shower.“Aku tidak diizinkan melihat wajah ibuku. Aku bahkan tidak menemukan apa pun tentangnya. Sehina apakan aku dan ibu? Hahaha.” Aqeela tertawa dalam tangis. Air mata terus membasahi wajahnya bercampur dengan air yang jatuh dari shower.
Aqeela menyelesaikan mandi dan berganti pakaian. Dia mengenakan piyama tidur pendek. Mengeringkan rambut dan duduk menghadap cermin. Gadis muda itu memberikan perawatan pada wajah dan tubuhnya.
“Sedikit bengkak.” Aqeela tersenyum menatap wajah yang berantakan. Dia terlalu lama menangis dan ada luka pada bibir. Pipi pun sedikit membiru bekas tamparan Anggara dan Marlina.“Bahkan papa ku tidak melindungiku. Dia memberikan luka di wajah dan hatiku.” Aqeela menyentuh pipi dan dadanya.
“Rasanya sakit dan sesak.” Air mata Aqeela kembali menetes tanpa aba-aba.“Aku harus bertahan hingga lelah dan menyerah.” Aqeela menghapus air matanya. Dia beranjak dari kursi dan bersiap untuk tidur.
Aqeela menutup pintu kamarnya. Dia ingin tidur dengan tenang. Mengistirahatkan diri yang lelah dari segala masalah yang dihadapinya.
“Aku bahkan tidak bisa mengunci pintu kamar ini.” Aqeela mematikan lampu dan merebahkan tubuh di atas kasur yang empuk.
“Aqeela.” Anggara mengetuk pintu kamar Aqeela.
“Tidak dikunci.” Anggara membuka pintu dan melihat ruangan yang remang-remang. Dia mendekati tempat tidur Aqeela.
“Aqeela, apa kamu sudah tidur?” Anggara mengusap kepala Aqeela. Dia menyentuh pipi putrinya.
“Maafkan Papa, Sayang.” Suara Anggara terdengar bergetar.
“Kamu harus menuruti mama Marlina,” ucap Anggara mencium kepala Aqeela.
“Selamat malam, Aqeela sayang.” Anggara keluar dari kamar Aqeela. Dia tidak tahu bahwa bibir gadis itu terluka dan pecah.
“Hiks!” Aqeela membuka mata yang telah mengalirkan butiran bening.
“Pa.” Aqeela menangis hingga sesegukan. Hatinya begitu kacau. Dia bahkan tidak mengerti dengan takdir yang sedang dijalaninya.
“Apa yang harus aku lakukan?” tanya Aqeela pada hati yang begitu sesak.
“Untuk apa aku dilahirkan? Kenapa tidak mati saja bersama mama? Kenapa aku tidak digugurkan saja agar tidak merasakan kejamnya dunia ini.” Aqeela tersenyum tipis.
Terima kasih. Semoga suka.
“Wah!” Mata Aqeela berbinar melihat kue yang ada di atas meja dan sofa ruang tengah.“Surganya kue. Aku suka.” Aqeela akan membuka kotak kue.“Cuci tangan dulu, Aqeela,” tegas Bramasta.“Ya.” Aqeela berlari menuju wastapel.“Ahh!” Bramasta menepuk jidatnya melihat Aqeela yang terus-terusan berlari di dalam rumah.“Untung saja dia bukan gadis yang ceroboh sehingga tidak mudah jatuh atau menabrak.” Bramasta menghela napas melihat Aqeela yang sudah kembali dengan tetap berlari.“Om. Terima kasih,” ucao Aqeela duduk di sofa.“Jangan terlalu banyak karena harus makan malam,” tegas Bramasta.“Siap.” Aqeela tersenyum lebar.“Pasti enak.” Aqeela mengambil garpu dan mulai memotong kue. Dia memasukan ke dalam mulut dan memejamkan mata untuk menikmati setiap rasa yang tercipta.“Mmm. Benar-benar enak.” Aqeela membuka mata dan terkejut melihat wajah Bramasta yang begitu dekat di depannya.“Apa suka?” tanya Bramasta pelan.“Mmm.” Aqeela mengangguk dan tersipu.“Mau.” Aqeela mengambil kue dengan ga
Bramasta bersiap untuk pulang. Dia selalu mengelabui orang-orang dengan dua mobil. Pergi dan pulang dengan kendaraan dan jalur yang berbeda.“Tuan, tumben Anda minta anter saya?” tanya Beni.“Bawa aku ke toko kue yang menyediakan desert buah dan seperti ini.” Bramasta memperlihatkan foto dari ponselnya.“Apa untuk Nyonya?” Beni menahan senyum.“Ya,” Bramasta menyimpan kembali ponsel ke saku kemejanya. “Saya akan membawa Anda, Tuan.” Beni mengendarai mobil dengan kecepatan standar. Dia menuju sebuah toko kue yang sangat terkenal dan selalu ramai.“Kita sampai, Tuan.” Beni menghentikan mobil di tempat parkir.“Ramai sekali.” Bramasta melihat toko yang memiliki tempat tongkrongan.“Toko ini sangat popular dan terkenal enak, Tuan. Cafenya juga selalu ramai anak-anak muda yang baru pulang kerja dan kuliah,” jelas Beni.“Toko baru buka jam tiga sore dan tutup jam sembilan malam,” lanjut Beni.“Bos, tunggu di mobil saja. Saya akan belikan kue untuk Nyonya.” Beni keluar dari mobil. “Saya mau
Jordi terkejut karena mendapatkan laporan bahwa robot buatan Perusahaan Bramasta telah disempurnakan. Terkunci dari jarak jauh dan dipastikan aman. Tidak bisa diotak atik lagi.“Kita tidak bisa merusak robot buatan Perusahaan Tuan Bramasta,” ucap pria berdiri di depan Jordi.“Kenapa begitu cepat?” tanya Jordi menatap tajam pada anak buahnya.“Maaf, Pak. Kami tidak tahu.” Pria itu menunduk.“Apa kalian sudah bisa menghubungi hacker yang dibicarakan Elena?” tanya Jordi mengepalkan tangannya.“Akun sang Hacker telah dihanguskan. Dia tidak menerima pekerjaan lagi,” jawab pria itu.“Apa?” Mata Jordi melotot.“Aku dengar. Setelah menyerang Perusahaan Tuan Bramasta. Beberapa waktu kemudian sang hacker menghilang,” jelas pria itu memberikan ponselnya kepada Jordi. “Apa Aqeela benar-benar hacker itu?” tanya Jordi di dalam hati.“Itu artinya dia yang menyempurnakan robot milik Bram,” gumam Jordi.“Apa Elena sudah tahu bahwa hacker yang dibayarnya sangat mahal itu adalah Aqeela?” tanya Jordi yan
Alina segera beranjak dari lantai dan berlari pergi ke kamar mamanya. Dia melihat pintu yang tertutup rapat.“Ma,” Alina mengetuk dan mencoba membuka pintu kamar, tetapi gagal karena terkunci.“Ma. Apa Mama di dalam?” tanya Alina khawatir. Dia tidak juga mendapatkan jawaban dari mamanya.“Bibi!” teriak Alina dan bibi pun datang.“Ada apa, Non?” tanya bibi.“Di mana kunci kamar ini?” Alina menoleh pada bibi.“Itu Non.” Bibi menunjukkan kunci yang tergantuk di rak sudut di samping pintu kamar.Alina yang terburu-buru dan panik tidak bisa berpikir jernis. Dia ketakutan akan ancaman Anggara.“Buka pintunya, Bi!” perintah Alina menyingkir dari depan pintu.“Baik, Non.” Bibi segera mengambil kunci dan membuka pintu kamar Anggara untuk Alina.“Silakan, Non.” Bibi membuka lebar pintu kamar Marlina.“Ma, Mama.” Alina dengan cepat masuk ke dalam kamar. Dia melihat ruangan itu rapi dan kosong.“Ma! Mama di mana?” Alina memeriksa kamar mandi dan tidak menemukan ibunya.“Bi. Bibi. Di mana mama?” t
Anggara pulang ke rumah di malam hari. Pria itu masih belum sudi melihat wajah Marlina yang telah menyiksa putri kandungnya yang lahir dari rahim wanita yang benar-benar dia cintai. Pernikahan rahasia karena cinta dan bukan bisnis.“Aku tidak menyangka gudang di belakang itu dijadikan tempat penyiksaan Aqeela.” Anggara menghentikan mobil di halaman. Dia masih duduk diam di balik kemudi. Tangannya berat untuk membuka pintu mobil dan masuk ke dalam rumah. Ada rasa benci, sedih dan marah yang membuat dadanya sesak.“Apa yang harus aku lakukan pada Marlina untuk membalas luka Aqeela?” Anggara turun dari mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah yang sepi. Semua orang sudah tidur kecuali para petugas keamanan dan beberapa pelayan.“Anda pulang, Pak.” Bibi menyambut kedatangan Anggara. “Di mana Marlina dan Alina?” tanya Anggara pelan. Mata pria itu masih bengkak karena menangis. Dia terlihat lemah dan sedih. “Ibu dan Non tidur di kamar masing-masing,” jawab bibi.“Apa Bibi tahu bahwa Marlina
Aqeela masih meringkuk di lantai. Tubuhnya penuh dengan tanda merah ciuman dan cengkraman Bramasta. Bibirnya pun bengkak. Dia kesakitan karena keganasan dan kemarahan sang suami yang terlalu cemburu.“Dulu disiksa Tante Marlina. Sekarang disiksa Om Bram. Kapan aku akan bahagia?” tanya Aqeela menangis. Dia benar-benar tidak mengerti tentang cinta yang berlebihan dari Bramasta.“Aarrggh!” Aqeela beranjak dari lantai dan meninju cermin hingga pecah. Dia melakukan itu tanpa sadar dan tidak sengaja.“Brak!” sepihan cermin jatuh ke lantai. Tangan Aqeela berdarah bercampur air yang terus mengalir.“Aqeela!” Bramasta kembali ke kamar mandi dan melihat Aqeela yang berdiri dengan tangan bercucuran darah hingga lantai kamar mandi pun memerah.“Aqeela!” Bramasta segera menggendong Aqeela dan memindahkan ke tempat tidur. Dia menghubungi dokter Diko.“Arrggh!” Bramasta sangat kesal. Dia memanggil para pelayan perempuan untuk menggantikan pakaian Aqeela. “Kenapa, Aqeela? Kenapa?” Bramasta berteriak