Alina sangat kesal karena dia hanya bisa melihat wajah Bramasta sebentar saja. Mereka bahkan tidak bertegur sapa sama sekali. Padahal pria itu adalah calon suaminya.
“Sial!” Alina duduk di tepi kasur. Dia menghamburkan bantal dan guling.
“Ada apa, Alina?” Marlina dan Anggara masuk ke kamar putrinya.
“Semua ini karena Aqeela,” bentak Alina dengan air mata yang telah membasahi wajahnya.
“Benar. Anggara. Putri kedua kamu itu benar-benar membuat malu keluarga kita,” ucap Marlina memeluk Alina.
“Alina sudah membujuknya untuk ikut hingga membelikan gaun mahal, tetapi dia menolak. Sekarang Bramasta marah dan kita harus mengundur lagi acara pernikahan mereka,” jelas Marlina dengan marah.
“Aku akan memberikan pelajaran padanya,” ucap Anggara.
“Tidak usah, Pa. Minta saja untuk Aqeela pulang di makan malam selanjutnya.” Suara Alina terdengar lembut.
“Kamu sangat baik dan lembut, Sayang.” Anggara mengusap pipi dan kepala Alina.
“Papa akan bicara dengan Aqeela.” Anggara keluar dari kamar Alina.
“Ma, kenapa Bramasta harus menunggu keluarga lengkap? Padahal Aqeela tidak ada artinya dalam keluarga kita.” Alina menatap Marlina.
“Seharusnya nama Aqeela tidak masuk dalam daftar keluarga Anggara.” Marlina mengepalkan tangannya.
“Lalu, kenapa Mama memasukan nama Aqeela?” tanya Alina.
“Itu adalah syarat agar Calizta bisa pergi dari kehidupan papa kamu,” jawab Marlina.
“Jadi, papa kamu hanya bertanggung jawab atas kehidupan Aqeela,” jelas Marlina.
“Sekarang dia tinggal di asrama. Uang jatahnya masuk ke rekening Mama. Itu cukup menguntungkan.” Marlina tersenyum.
“Apa Aqeela tidak mendapatkan uang dari papa?” tanya Alina.
“Dapat, tetapi Mama hanya berikan setengahnya.” Marlina tersenyum lebar.
“Aqeela hanyalah anak dari seorang pelakor. Dia tidak pantas mendapatkan kemewahan dari keluarga kita yang terhormat ini.” Marlina menyentuh pipi Alina.
“Aku akan tetap menjadi kakak yang baik untuk Aqeela, Ma.” Alina tersenyum.
“Kamu memang baik, Sayang. Sekarang, Mama mau kembali ke kamar untuk melihat papa kamu yang akan memarahi Aqeela.” Marlina tersenyum lebar dan mencium dahi Alina.
“Tenangkan dirimu. Bramasta pasti akan menjadi milik kamu selamanya. Tidak akan ada wanita lain.” Marlina menepuk pundak Alina dan keluar dari kamar putrinya.
“Tentu saja, Ma.” Alina merebahkan tubuhnya ke kasur.
“Bramasta, kamu berlebihan. Hanya karena kekurangan satu orang membatalkan makan malam keluarga kita.” Alina tersenyum.
“Di mana Aqeela?” Alina memeriksa ponsel dan melihat pesan dari Aqeela.
“Dia sudah di asrama kampus.” Alina tersenyum tipis.
Anggara terlihat gelisah. Dia terus menghubungi Aqeela, tetapi tidak ada jawaban. Gadis muda itu mematikan suara panggilan dari ponselnya.
“Bagaimana, Sayang?” tanya Marlina duduk di sofa.
“Aqeela tidak menerima panggilan dariku. Apa dia sengaja melakukan ini?” Anggara terlihat kesal.
“Sayang, Aqeela pasti menurun sifat ibunya yang pembangkang. Tidak seperti Alina yang penurut sehingga menjadi dokter bedah terkenal.” Marlina memperhatikan Anggara yang hanya diam saja. Pria itu tidak pernah ingin berbicara buruk tentang Calizta dan Aqeela.
“Pa.” Alina mengetuk pintu kamar orang tuanya. Wanita itu sudah berganti pakaian dengan celana hitam panjang dan kemeja putih.
“Alina, ada apa?” tanya Anggara lembut.“Aku akan mencari Aqeela dan mengajaknya pulang,” ucap Alina.
“Tidak usah, Sayang. Dia akan pulang sendiri,” tegas Anggara.
“Tidak apa, Pa. Aku akan memintanya untuk tidur di rumah agar malam besok bisa ikut menyambut kedatangan keluarga Bramasta,” jelas Alina.
“Alina, kamu adalah kakak yang sangat perhatian dan baik.” Marlina memeluk Alina.
“Mama kamu benar, Alina. Terima kasih sudah menjaga Aqeela. Walaupun kalian memiliki ibu yang berbeda.” Anggara mendekati Alina.
“Dia tetap adikku, Pa. Kami mempunyai papa yang sama.” Alina tersenyum cantik.
“Kamu mau menjemput Aqeela di mana?” tanya Anggara.
“Dia di asrama kampus.” Alina memperlihatkan pesan Aqeela di ponselnya.
“Baiklah. Kamu hati-hati, Sayang.” Anggara mencium dahi Alina.
“Tentu saja, Pa.” Alina tersenyum.
Alina mengendarai mobil putihnya menuju asrama Aqeela. Wanita cantik itu menghentikan kendaraan di tempat parkir. Dia menaiki tangga dan berdiri di depan pintu.
“Aqeela.” Alina mengetuk pintu kamar Aqeela.
“Kak Alina.” Aqeela segera mematikan computer. Dia merapikan kamar dan membuka pintu.
“Kenapa Kak Alina kemari?” Aqeela menatap Alina.
“Aqeela.” Alina menangis dan memeluk Aqeela.
“Ada apa, Kak?” Aqeela bingung.
“Ayo masuk.” Aqeela membawa Alina masuk ke dalam ruangan yang sederhana, tetapi cukup luas karena lengkap dengan ruang tamu.
“Duduklah. Apa yang terjadi?” tanya Aqeela memberikan tisu kepada Alina.
“Aqeela. Bramasta marah sehingga rencana pernikahan pun gagal,” jelas Alina sesegukan.
“Kenapa gagal?” Aqeela menatap Alina.
“Itu karena….” Alina menghentikan kalimatnya dan menangis.
“Kenapa, Kak?” Aqeela memeluk Alina.“Bramasta marah karena kamu tidak datang,” ucap Alina.
“Apa? Apa hubungan denganku? Dia akan menikah dengan Kak Alina dan bukan aku,” jelas Aqeela.
“Itu karena kamu adalah bagian dari keluarga papa Anggara sehingga ketidakhadiran kamu membuat semuanya berantakan.” Alina menatap Aqeela.
“Hah!” Aqeela benar-benar bingung. Dia sadar benar bahwa dirinya tidak dianggap di keluarga sang papa.
“Ingat Aqeela. Nama kamu tercatat di dalam kartu keluarga kita,” ucap Alina.
“Maafkan aku, Kak. Aku sudah membuat Kakak sedih hingga menangis.” Aqeela benar-benar merasa bersalah.
“Tidak apa. Masih ada kesempatan kedua. Mereka akan datang ke rumah kita. Jadi, kamu harus hadir di makan malam besok.” Alina tersenyum. Dia memegang tangan Aqeela.
“Ya. Aku akan datang.” Aqeela mengangguk.
“Terima kasih, Aqeela. Sekarang, kamu harus pulang ke rumah bersama Kakak.” Alina menatap Aqeela.
“Aku pulang besok saja, Kak. Ketika makan malam,” ucap Aqeela.
“Kakak mohon.” Alina menatap Aqeela dengan memelas.
“Baiklah.” Aqeela mengangguk. Dia tidak bisa menolak permintaan Alina.
“Terima kasih.” Alina memeluk Aqeela.
“Motor kamu tinggal di sini saja. Kita pulang dengan mobil aku,” ucap Alina.
“Tapi, Kak….” Aqeela bingung.
“Tidak apa. Ayo.” Alina menarik tangan.
“Tunggu, Kak. Aku akan berkemas.” Aqeela tidak pernah meninggalkan ponsel dan komputernya. Dua benda itu sangat berharga untuk urusan pekerjaan dan kuliah.
Aqeela mengunci pintu. Dia meninggalkan motornya di asrama dan ikut pulang bersama Alina.
“Ayo.” Alina menggandeng tangan Aqeela dan berjalan bersama menuju mobilnya.
“Silakan masuk.” Alina membuka pintu untuk Aqeela.
“Terima kasih, Kak. Aku bisa sendiri.” Aqeela tersenyum. Dia benar-benar bahagia dengan perlakukan Alina yang baik dan lembut.
“Kamu adalah adik kesayanganku.” Alina menutup pintu dengan hati-hati. Dia mengitari mobil dan duduk di balik kemudi.
“Jangan lupa gunakan sabuk pengaman,” ucap Alina.
“Ya.” Aqeela terus tersenyum. Dia memasak sabuk pengaman dan duduk dengan tenang.
“Kita berangkat.” Alina mengendarai mobil dengan kecepatan standar menuju rumah mereka. Membelah jalanan kota yang masih ramai oleh kendaraan yang lalu Lalang.
Terima kasih. Semoga suka.
“Wah!” Mata Aqeela berbinar melihat kue yang ada di atas meja dan sofa ruang tengah.“Surganya kue. Aku suka.” Aqeela akan membuka kotak kue.“Cuci tangan dulu, Aqeela,” tegas Bramasta.“Ya.” Aqeela berlari menuju wastapel.“Ahh!” Bramasta menepuk jidatnya melihat Aqeela yang terus-terusan berlari di dalam rumah.“Untung saja dia bukan gadis yang ceroboh sehingga tidak mudah jatuh atau menabrak.” Bramasta menghela napas melihat Aqeela yang sudah kembali dengan tetap berlari.“Om. Terima kasih,” ucao Aqeela duduk di sofa.“Jangan terlalu banyak karena harus makan malam,” tegas Bramasta.“Siap.” Aqeela tersenyum lebar.“Pasti enak.” Aqeela mengambil garpu dan mulai memotong kue. Dia memasukan ke dalam mulut dan memejamkan mata untuk menikmati setiap rasa yang tercipta.“Mmm. Benar-benar enak.” Aqeela membuka mata dan terkejut melihat wajah Bramasta yang begitu dekat di depannya.“Apa suka?” tanya Bramasta pelan.“Mmm.” Aqeela mengangguk dan tersipu.“Mau.” Aqeela mengambil kue dengan ga
Bramasta bersiap untuk pulang. Dia selalu mengelabui orang-orang dengan dua mobil. Pergi dan pulang dengan kendaraan dan jalur yang berbeda.“Tuan, tumben Anda minta anter saya?” tanya Beni.“Bawa aku ke toko kue yang menyediakan desert buah dan seperti ini.” Bramasta memperlihatkan foto dari ponselnya.“Apa untuk Nyonya?” Beni menahan senyum.“Ya,” Bramasta menyimpan kembali ponsel ke saku kemejanya. “Saya akan membawa Anda, Tuan.” Beni mengendarai mobil dengan kecepatan standar. Dia menuju sebuah toko kue yang sangat terkenal dan selalu ramai.“Kita sampai, Tuan.” Beni menghentikan mobil di tempat parkir.“Ramai sekali.” Bramasta melihat toko yang memiliki tempat tongkrongan.“Toko ini sangat popular dan terkenal enak, Tuan. Cafenya juga selalu ramai anak-anak muda yang baru pulang kerja dan kuliah,” jelas Beni.“Toko baru buka jam tiga sore dan tutup jam sembilan malam,” lanjut Beni.“Bos, tunggu di mobil saja. Saya akan belikan kue untuk Nyonya.” Beni keluar dari mobil. “Saya mau
Jordi terkejut karena mendapatkan laporan bahwa robot buatan Perusahaan Bramasta telah disempurnakan. Terkunci dari jarak jauh dan dipastikan aman. Tidak bisa diotak atik lagi.“Kita tidak bisa merusak robot buatan Perusahaan Tuan Bramasta,” ucap pria berdiri di depan Jordi.“Kenapa begitu cepat?” tanya Jordi menatap tajam pada anak buahnya.“Maaf, Pak. Kami tidak tahu.” Pria itu menunduk.“Apa kalian sudah bisa menghubungi hacker yang dibicarakan Elena?” tanya Jordi mengepalkan tangannya.“Akun sang Hacker telah dihanguskan. Dia tidak menerima pekerjaan lagi,” jawab pria itu.“Apa?” Mata Jordi melotot.“Aku dengar. Setelah menyerang Perusahaan Tuan Bramasta. Beberapa waktu kemudian sang hacker menghilang,” jelas pria itu memberikan ponselnya kepada Jordi. “Apa Aqeela benar-benar hacker itu?” tanya Jordi di dalam hati.“Itu artinya dia yang menyempurnakan robot milik Bram,” gumam Jordi.“Apa Elena sudah tahu bahwa hacker yang dibayarnya sangat mahal itu adalah Aqeela?” tanya Jordi yan
Alina segera beranjak dari lantai dan berlari pergi ke kamar mamanya. Dia melihat pintu yang tertutup rapat.“Ma,” Alina mengetuk dan mencoba membuka pintu kamar, tetapi gagal karena terkunci.“Ma. Apa Mama di dalam?” tanya Alina khawatir. Dia tidak juga mendapatkan jawaban dari mamanya.“Bibi!” teriak Alina dan bibi pun datang.“Ada apa, Non?” tanya bibi.“Di mana kunci kamar ini?” Alina menoleh pada bibi.“Itu Non.” Bibi menunjukkan kunci yang tergantuk di rak sudut di samping pintu kamar.Alina yang terburu-buru dan panik tidak bisa berpikir jernis. Dia ketakutan akan ancaman Anggara.“Buka pintunya, Bi!” perintah Alina menyingkir dari depan pintu.“Baik, Non.” Bibi segera mengambil kunci dan membuka pintu kamar Anggara untuk Alina.“Silakan, Non.” Bibi membuka lebar pintu kamar Marlina.“Ma, Mama.” Alina dengan cepat masuk ke dalam kamar. Dia melihat ruangan itu rapi dan kosong.“Ma! Mama di mana?” Alina memeriksa kamar mandi dan tidak menemukan ibunya.“Bi. Bibi. Di mana mama?” t
Anggara pulang ke rumah di malam hari. Pria itu masih belum sudi melihat wajah Marlina yang telah menyiksa putri kandungnya yang lahir dari rahim wanita yang benar-benar dia cintai. Pernikahan rahasia karena cinta dan bukan bisnis.“Aku tidak menyangka gudang di belakang itu dijadikan tempat penyiksaan Aqeela.” Anggara menghentikan mobil di halaman. Dia masih duduk diam di balik kemudi. Tangannya berat untuk membuka pintu mobil dan masuk ke dalam rumah. Ada rasa benci, sedih dan marah yang membuat dadanya sesak.“Apa yang harus aku lakukan pada Marlina untuk membalas luka Aqeela?” Anggara turun dari mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah yang sepi. Semua orang sudah tidur kecuali para petugas keamanan dan beberapa pelayan.“Anda pulang, Pak.” Bibi menyambut kedatangan Anggara. “Di mana Marlina dan Alina?” tanya Anggara pelan. Mata pria itu masih bengkak karena menangis. Dia terlihat lemah dan sedih. “Ibu dan Non tidur di kamar masing-masing,” jawab bibi.“Apa Bibi tahu bahwa Marlina
Aqeela masih meringkuk di lantai. Tubuhnya penuh dengan tanda merah ciuman dan cengkraman Bramasta. Bibirnya pun bengkak. Dia kesakitan karena keganasan dan kemarahan sang suami yang terlalu cemburu.“Dulu disiksa Tante Marlina. Sekarang disiksa Om Bram. Kapan aku akan bahagia?” tanya Aqeela menangis. Dia benar-benar tidak mengerti tentang cinta yang berlebihan dari Bramasta.“Aarrggh!” Aqeela beranjak dari lantai dan meninju cermin hingga pecah. Dia melakukan itu tanpa sadar dan tidak sengaja.“Brak!” sepihan cermin jatuh ke lantai. Tangan Aqeela berdarah bercampur air yang terus mengalir.“Aqeela!” Bramasta kembali ke kamar mandi dan melihat Aqeela yang berdiri dengan tangan bercucuran darah hingga lantai kamar mandi pun memerah.“Aqeela!” Bramasta segera menggendong Aqeela dan memindahkan ke tempat tidur. Dia menghubungi dokter Diko.“Arrggh!” Bramasta sangat kesal. Dia memanggil para pelayan perempuan untuk menggantikan pakaian Aqeela. “Kenapa, Aqeela? Kenapa?” Bramasta berteriak