Edard langsung membuka kelopak matanya begitu mendengar kalimat itu dari mulut Raya. Lelaki itu mendudukkan badannya dan menatap tak mengerti ke arah Raya.
"Kenapa kau mengatakan itu?" tanya Edard. Nada kecewa jelas kentara disana.
Raya mengerjapkan matanya. "Iya aku hanya berbicara apa yang seharusnya kita lakukan, Ed."
Raya mendadak bingung dengan sikap Edard yang sepertinya tidak terima dengan ucapannya. Apanya yang salah? Memang benar, kan, kalau mereka menikah hanya sebatas formalitas saja?
Edard mengusap wajahnya kasar lalu menggelengkan kepalanya. "Nggak akan ada perceraian di antara kita," ujar Edard.
Raya mengernyitkan keningnya bingung. Tidak ada perceraian? Itu artinya...
"Ed, berhentilah bercanda. Kau gila?" tanya Raya tak habis fikir.
Edard bangkit dari duduknya lalu berjalan mendekati Raya. Membuat Raya beringsut menjauh dari Edard. Matanya menatap waspada, takut kalau nanti Edard melakukan sesuatu diluar dugaannya
Sam yang tersungkur di lantai langsung bangun sembari memegang pipinya yang berdenyut nyeri akibat serangan tiba-tiba itu. Matanya menatap tajam bak elang pada orang asing yang tiba-tiba menyerangnya."Apa masalahmu denganku?" desis Sam dengan suara berat.Lelaki yang baru saja melayangkan tinjuan pada Sam itu hanya terkekeh pelan kemudian mendekati Sam. Tangannya terulur, menepuk bahu Sam berulang kali."Maaf, teman. Aku terpaksa melakukan itu karena tindakanmu sangat tidak gentle," ujar lelaki itu dengan tatapan remeh.Sam menggertakkan giginya. Rahangnya mengetat, emosinya perlahan tersulut."Pergi dan jangan ikut campur," usirnya pada lelaki itu."Aku akan pergi asalkan gadis ini ikut bersamaku," ujar lelaki itu sambil menyunggingkan senyum tipis.Sedangkan Raya, gadis itu hanya bisa terdiam menyaksikan perdebatan antara Sam dan lelaki asing yang menolongnya. Raya bersyukur karena lelaki itu datang tepat waktu. Kalau tidak a
"Apa kabar, Bu?" tanya salah satu pegawai yang berada di pintu masuk menyambut kedatangan Raya.Raya tersenyum kecil. "Baik. Kalian bagaimana?" tanyanya kembali."Kami baik-baik saja, Bu. Apalagi sekarang restaurant milik kita ramai pengunjung. Jelasnya, omset per-bulan juga ikut melonjak drastis," paparnya pada Raya.Raya hanya tersenyum tipis. Pengaruh tangan Edard memang cukup kuat. Meskipun Raya sudah berkali-kali menolak, namun Edard tetap keras kepala ingin membantu mengembangkan usahanya.Sekarang lihat saja, ada banyak perubahan interior di setiap sudut ruangannya. Dan pastinya semua itu menghabiskan uang yang tidak sedikit. Pernikahan pura-pura ini, kenapa rasanya seperti nyata? Bahkan Edard kerap kali ikut campur dalam urusan pribadinya. Sangat berbeda dengan kesepakatan di awal."Mari masuk, Bu."Pegawai itu mengantar Raya untuk masuk ke ruang kerjanya. Raya pun menurut. Ah, dia lupa. Gadis itu menoleh ke belakang, mendapati Egar yang tersenyum ke arahnya."Ayo, Gar." Ray
"Maaf menunggu lama," ujar Raya.Gadis itu baru saja dari kamar mandi. Meninggalkan Egar cukup lama. Egar menoleh, lalu mengulas senyum tipisnya. "Nggak papa," ujarnya.Kemudian Egar menyerahkan ponsel di genggaman tangannya pada Raya. Gadis itu mengernyitkan kening mendapati ponsel miliknya berada di tangan Egar lalu mengambilnya."Kenapa ada di kamu?" tanya Raya bingung.Pasalnya, sebelum ke kamar mandi, ponsel itu berada di atas meja kerjanya. Lalu sekarang ada pada Egar, terlihat aneh bukan? Tidak salahnya juga kan kalau Raya menaruh curiga pada lelaki itu?Egar tersenyum canggung. "Ponselmu berdering sejak tadi. Jadi aku-""Kau mengangkatnya?" Sela Raya.Egar mengangguk. "Iya. Maaf, Ray."Raya memejamkan matanya kesal. Bagaimana bisa Egar selancang itu mengangkat telepon miliknya? Dengan segera Raya mengecek siapa yang baru saja menelponnya.Mata gadis itu membuka begitu mendapati banyak pesan dan juga panggilan tak terjawab. Damn! Jika itu dari Davin, maka Raya tidak akan pedul
Raya lantas membeku kala mendapati Edard tengah berbaring di ranjangnya. Lelaki itu berbaring dengan lengan yang ditekuk untuk menumpu kepalanya. Matanya menyorot tajam ke arah Raya yang masih mematung di ambang pintu."Kenapa baru pulang?" tanya Edard dengan nada yang dingin. Wajahnya terlihat datar, tidak sumringah seperti biasanya.Raya menelan salivanya kelat. Sial! Kenapa Edard bisa berada di kamarnya? Bukankah lelaki itu belum pulang? Bahkan mobilnya saja tidak ada di parkiran.Raya menaikkan pandangannya serta menatap Edard dengan acuh. Setidaknya ia tidak boleh terlihat takut, toh bukannya di perjanjian kemarin tidak boleh ikut campur dalam urusan pribadi? Edard juga sudah menyetujui itu. Lantas kenapa sekarang lelaki itu menyalahi perjanjiannya?Raya menutup pintu lalu melangkah masuk. Tidak enak kalau nanti di dengar oleh Emily. "Apa urusannya sama kamu? Mau aku pulang jam berapa dan pergi kemana, itu bukan urusanmu," ketus Raya sembari meletakkan tas jinjingnya ke atas mej
Kedua netra yang bertabrakan itu saling memutuskan kontak. Raya melengos begitu saja dan masuk ke dalam tanpa peduli dengan Edard yang terus memperhatikannya. Biar saja, demi apapun Raya membenci Edard yang egois seperti ini. Sudah memiliki kesepakatan namun dengan seenak jidatnya Edard mengubah kesepakatan itu. Ia pikir Raya akan setuju? Cih!Raya berjalan menuju kamarnya lalu mengunci pintu. Terserah bagaimana nanti Edard menjelaskan pada Emily perihal mereka yang tidak tidur satu kamar. Salah siapa mencari masalah dengan Raya.Sementara itu, Edard yang kini tengah berbaring di sofa ruang keluarga tampak termenung. Pandangannya menatap lurus ke plafon di atasnya. Memikirkan tindakannya barusan. Apa ia salah mengatakan itu pada Raya? Atau mungkin, apa ini terlalu cepat sehingga Raya belum siap menerimanya?"Sedang apa, Ed?" Edard tersentak kaget ketika mendapati Emily berjalan ke arahnya. Lelaki itu menilik jam yang tergantung di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Edar
Kicauan burung kian terdengar bersahutan. Mengusik tidur tenang gadis yang masih setia di bawah gulungan selimut. Sinar mentari pun sudah naik. Menerobos masuk melalui kaca jendela.Gadis itu melenguh pelan. Tangannya terentang, meregangkan otot-otot. Selimut itupun tersibak, menampakkan gadis yang tengah mengusap kedua wajahnya.Gadis itu beranjak duduk dan menilik jam yang ada di nakasnya. Waktu menunjukkan pukul 7 pagi. Beruntung ini hari minggu, ia tidak perlu berangkat kuliah.Raya, gadis itupun bergegas turun dari ranjangnya dan berjalan menuju walk in closet. Berniat untuk mencuci mukanya.Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu. Pikirannya langsung tertuju pada Edard. Semalam ia mengunci kamarnya, sudah pasti lelaki itu tidak bisa masuk. Lantas dimana lelaki itu tidur?Raya menggelengkan kepalanya. Untuk apa ia memikirkan Edard? Masalah lelaki itu tidur dimana saja bukanlah urusannya. Toh, rumahnya ini memiliki banyak kamar. Jadi tidak perlu berlebihan.Meskipun jika Emily melihatn
Raya menepuk pipinya berulang kali. Pikirannya masih melayang pada insiden tadi pagi. Bisa-bisanya Edard bersikap tidak senonoh padanya. Sembarangan menciumnya. Tentu saja hal itu membuat Raya kesal. Tapi, selain rasa kesal, perasaan aneh lebih mendominasi dirinya.Bahkan jantungnya seperti bekerja dua kali lebih cepat saat Edard menciumnya. Memang hanya sekilas, tapi tetap saja. Ini adalah yang pertama bagi Raya. Wajar jika Raya merasa aneh.Ditambah lagi dengan panggilan "sayang" yang lelaki itu sematkan. Sial! Kesambet apa dia sampai berubah jadi semanis itu. Ingin membuat Raya jatuh cinta? Tidak semudah itu. Apalagi hanya dengan ucapan manis, Raya sudah sering mendapatkan itu dari Sam yang sangat menyukainya.Perkara kejadian itu, Raya memutuskan untuk mengurung diri di kamar daripada harus bertemu dengan Edard. Berhubung ini hari libur, sudah pasti lelaki itu ada di rumah. Untung saja Emily sedang pergi bersama teman-temannya. Jadi ia tidak perlu berakting menjadi istri Edard se
Alis Raya mengerut dalam kala melihat seorang wanita memeluk Edard dengan mesra. Bahkan wanita itu dengan beraninya mencium Edard di depan Raya. Hei! Apa dia tidak lihat kalau Edard bersama orang lain? Siapa sih wanita itu? Bisa-bisanya bersikap agresif terhadap lelaki yang bukan mukhrimnya. Ditambah lagi Edard sepertinya tidak risih dengan kehadiran wanita itu. Buktinya lelaki itu malah mengulas senyum lebar.Raya menatap sekeliling. Banyak sekali orang yang memperhatikan dirinya dengan tatapan iba. Sial! Ia merasa seperti nyamuk disini. Lebih baik ia pergi saja. Toh, untuk apa melihat kemesraan dua orang yang tak tau malu itu. Buang-buang waktu saja.Raya berniat melangkahkan kakinya meninggalkan Edard. Namun lengannya dicekal oleh Edard. Raya meliriknya sinis."Je, kenalkan ini Raya," ujar Edard sembari merangkul pundak Raya.Raya menggerakkan bahunya risih akan keberadaan tangan Edard. Wanita yang dipanggil "Je" itu menatap Raya dari atas sampai bawah dengan tatapan menilai. Waja