Raya langsung menarik lengan lelaki itu yang terentang. Membuat lelaki itu terhuyung ke belakang. Karena posisi Raya berada di belakang lelaki itu, otomatis ketika lelaki itu terjatuh ke belakang, badannya menimpa Raya. Alhasil keduanya jatuh dengan posisi lelaki itu berada di atas tubuh Raya.
Tatapan Raya memaku pada wajah lelaki yang berada di atasnya. Lelaki itu terlihat tampan meski dalam keadaan gelap seperti ini. Tatapan tajam lelaki itu membuat Raya tak mampu untuk sekedar mengalihkan pandangan barang sedetik saja. Bahkan aroma tubuhnya yang maskulin begitu memanjakan indra penciuman Raya. Raya mengerjap pelan seperti tersadar ke alam sadarnya. Ia segera mendorong lelaki itu dengan kasar. Membuat lelaki itu terguling ke samping.
Raya segera bangkit dari posisinya. Gadis itu menepuk pelan pantatnya yang kotor. Ia menatap geram lelaki yang kini tengah duduk dengan posisi kaki di tekuk. Mata lelaki itu menatap kosong ke sungai yang ada di depannya. Raya yang niatnya ingin marah menjadi mengurungkan niatnya saat melihat tatapan lelaki itu yang seperti tidak memiliki gairah hidup.
Raya mengamati penampilan lelaki itu dari atas sampai bawah. Lelaki itu sepertinya bukan lelaki biasa. Pakaian yang dikenakan merupakan barang branded semua. Raya bisa menjamin kalau lelaki itu berasal dari kalangan atas.
Raya berdehem sebentar. “Apa otakmu sudah hilang? Kenapa kau ingin bunuh diri?” tanyanya berusaha mengontrol suaranya agar tetap tenang walau dalam hatinya, ia khawatir.
Bagaimana tidak khawatir? Ia melihat orang yang hendak bunuh diri di depan matanya. Meskipun ia tidak kenal, namun sebagai manusia ia merasa khawatir kalau sampai hal itu terjadi. Untung saja ia dengan cepat menarik lelaki itu. Kalau tidak, entah apa yang akan terjadi.
Lelaki itu mengalihkan pandangannya menatap Raya. Matanya tampak menyipit saat melihat wajah Raya. Gadis itu terlihat begitu menawan dengan dress yang ia kenakan. Membuat lelaki itu terpaku akan kecantikan Raya. Namun tak berlangsung lama, karena setelahnya lelaki itu kembali mengalihkan pandangannya ke sungai. Menatap hampa aliran air yang mengalir tenang di depan sana.
“Aku benci dengan diriku sendiri,” ujarnya di akhiri dengan helaan nafas berat. Seolah ada beban yang harus lelaki itu pikul.
Raya mengernyit bingung mendengar itu. Kemudian ia memilih untuk ikut duduk di sebelah lelaki itu. “Seharusnya kau mencintai dirimu sendiri, bukannya malah membenci. Kalau bukan kau yang mencintai dirimu sendiri, lalu siapa lagi?”
Lelaki itu terdiam cukup lama. Sepertinya tengah meresapi kalimat yang diucapkan oleh gadis di sampingnya itu. “Karena sikapku, aku kehilangan gadis yang aku cintai,” curhatnya.
Raya menganggukkan kepalanya. Ia sepertinya mengerti apa yang membuat lelaki itu terlihat frustrasi. Rupanya karena kehilangan seorang gadis? Ah, benarkan dugaan Raya. Memiliki pasangan adalah hal yang merepotkan.
Lihatlah lelaki ini, terlihat gagah, tampan, bahkan kaya. Tapi menjadi rapuh hanya karena seorang gadis. Malah berniat ingin bunuh diri. Bukankah itu tindakan yang gegabah dan tentunya bodoh?
“Apa susahnya mencari gadis lain? Kau tidak terlihat buruk juga,” ujar Raya dengan tatapan menilai.
Lelaki itu langsung mengalihkan tatapannya. Menatap datar ke arah Raya. Membuat Raya mengerjapkan matanya beberapa kali. Apa ia salah bicara?
“Kau tidak akan mengerti,” ujarnya lesu.
Raya tidak lagi membalas ucapan lelaki itu. Ia melirik jam yang melingkar di tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Pesta ulang tahun Scarlett akan di mulai 15 menit lagi. Raya pun bangkit dari duduknya.
“Sepertinya aku harus pergi,” pamitnya.
Lelaki itu mendongak, kemudian ikut berdiri. Membuat Raya terlihat seperti kurcaci karena tingginya hanya sebatas dada lelaki itu.
Kemudian lelaki itu mengulurkan tangannya ke arah Raya. “Namaku Edard. Bolehkah aku ikut denganmu?”
***
Tidak pernah Raya bayangkan kalau pada akhirnya ia akan bergandengan tangan dengan lelaki lain selain Davin. Bagaimana tidak? Lelaki yang bernama Edard itu malah meminta ikut dengannya. Yang tentu saja Raya setujui karena ia memang sedang butuh lelaki untuk menjadi pasangannya malam ini. Bukankah ini menguntungkan baginya? Tidak perlu mencari tapi datang sendiri.
Raya melempar senyumannya ketika Scarlett datang menghampirinya. “Raya! Siapa yang kau bawa ini?” tanya Scarlett dengan antusias.
Scarlett adalah salah satu gadis pencinta lelaki tampan. Jadi ketika ia melihat Edard dari kejauhan, gadis itu langsung terpesona dan datang menghampirinya.
“Tentu saja dia pasanganku,” jawab Raya dengan bangga.
Setidaknya ia tidak malu menjadikan Edard sebagai pasangan sewaannya karena lelaki itu terlihat tampan dan berkelas. Ia yakin, teman-temannya pasti banyak yang iri padanya.
Scarlett mencebikkan bibirnya. “Pasangan satu malam, ya? Setelah ini, bolehkan kalau dia menjadi pasanganku?” ujar Scarlett sembari mengedipkan sebelah matanya ke arah Edard.
Namun Edard tetap saja bungkam. Ekspresi lelaki itu tetap datar dan dingin. Membuat Scarlett salah tingkah sendiri. Kemudian gadis itu mendekatkan kepalanya ke telinga Raya.
“Apa kau membawa patung hidup? Kenapa dia tidak memiliki ekspresi?” bisiknya membuat Raya menahan tawanya.
“Iya, aku membawa manekin,” ujar Raya diiringi tawa kecil.
Entahlah, ia merasa puas saja melihat Scarlett yang tidak di respon oleh Edard. Karena biasanya, Scarlett akan selalu sombong padanya karena banyak lelaki tampan yang mengejarnya. Namun sekarang ketika ia menggoda Edard, jangankan diberi senyuman, dilirik saja tidak. Haha, rasakan!
Tak menyerah, Scarlett mengulurkan tangannya. “Kenalkan, aku Scarlett. Teman satu kampus dengan Raya.”
Edard melepaskan genggaman tangannya pada tangan Raya kemudian menyambut uluran tangan gadis di depannya itu. “Edard,” ujarnya singkat kemudian kembali menggenggam tangan gadis mungil di sampingnya itu. Membuat Raya tersentak kecil karena perlakukan Edard padanya.
Scarlett tampak membuka mulutnya tak percaya. “Apa kau Edard Stollin?” tanyanya dengan antusias.
Edard mengangguk membenarkan. “Ya.”
Scarlett semakin tersenyum lebar karena masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Kemudian ia menatap Raya. “Bagaimana bisa kau menjadikan seorang Edard Stollin menjadi pasangan sewaanmu?” tanyanya pada Raya.
Raya mengernyit tak mengerti. Siapa Edard Stollin? Ia tidak mengenalnya. Lagi pula kenapa Scarlett seheboh itu? Apa karena wajah Edard yang kelewat tampan?
“Edard Stollin. Pengusaha muda kaya raya, pemilik hotel Santiago, sekaligus model papan atas. Kenapa kau bisa seberuntung itu? Kau tau? Ini untuk pertama kalinya aku bertemu dengan Edard. Dia tidak pernah mengekspos wajahnya secara keseluruhan di media. Maka dari itu aku tidak mengenalnya tadi,” ujar Scarlett mengoceh panjang lebar.
Raya hanya tersenyum canggung. “Selamat ulang tahun, Scar,” ujar Raya sembari memberikan kado kecil yang ia simpan di dalam tasnya.
Mata Scarlett berbinar ketika menerima kado itu. “terimakasih, Ray. Aku ke sana dulu, oke? Sampai jumpa lain waktu, Edard. Ah,kau tampan sekali!” kata Scarlett yang langsung diangguki oleh Raya. Gadis itupun langsung beranjak pergi dengan wajah berseri-seri.
Raya dan Edard pun masih berdiri di tempat mereka. Raya sedikit canggung, ia juga tidak menyangka kalau akan bertemu dengan lelaki terkenal yang seperti Scarlett ucapkan tadi.
Edard berdehem sebentar, kemudian menatap Raya. “Aku sudah membantumu. Jadi aku minta, kau harus membantuku juga.”
Sumpah serapah jelas keluar dari bibir Raya apalagi saat mengingat bagaimana dengan gamblangnya, Edard melayangkan satu kecupan manis di bibirnya tanpa permisi.Hei! Bibir Raya yang awalnya masih suci jelas ternodai oleh tindakan Edard yang menurutnya kurang ajar. Ya, jelas saja kurang ajar meskipun mereka sudah menikah, tapi meraka menikah hanya di atas kertas. Tapi kenapa Edard selalu bersikap kalau mereka ini menikah sungguhan? Sangat menyebalkan.Raya tersentak saat merasakan sesuatu yang dingin menyentuh kedua pipinya. Ternyata itu Edard yang baru saja menempelkan sebotol minuman dingin ke pipinya."Ish!" Dengus Raya dengan sebal. Ia mengusap pipinya yang basah karena embun minuman itu.Edard duduk di sebelah Raya yang tampak cemberut. Lelaki itu tertawa pelan melihat ekspresi kesal milik gadis itu. Terlihat sangat menggemaskan. Bahkan Edard baru menyadari kalau istrinya itu menggemaskan.Saat ini mereka tengah duduk di sebuah taman kota. Sore hari yang cukup cerah. Apalagi Raya y
"Biar aku yang antar kamu ke kampus."Raya yang sedang menyisir rambutnya itu sontak memalingkan wajahnya menatap Edard yang sudah berdiri di ambang pintu. Kening gadis itu mengernyit, sedikit heran dengan keinginan Edard yang tiba-tiba itu? Tumben sekali, biasanya Edard lebih mengutamakan berangkat pagi ke kantor."Tumben. Kesambet apa kamu? Tapi nggak usah, aku bisa berangkat sendiri," kata Raya lagi.Ia hanya malas saja jika nanti Edard akan merecokinya sepanjang perjalanan. Lelaki itu sangat bawel jika menyangkut dirinya. Membuat Raya risih.Edard melangkah masuk ke kamar sembari bersedekap dada. Menatap Raya dengan pandangan menilik."Kamu mau bertemu dengan lelaki itu, ya? Makanya tidak mau aku antar," tuduh Edard.Yah, bukannya ia berniat menuduh Raya. Hanya saja ia tidak suka melihat Raya berdekatan dengan lelaki kemarin. Bahkan kelihatannya mereka cukup akrab. Siapa lelaki itu? Bukankah kata Davin, Raya tidak suka berdekatan dengan lelaki manapun selain Davin?Raya mendelik m
Alis Raya mengerut dalam kala melihat seorang wanita memeluk Edard dengan mesra. Bahkan wanita itu dengan beraninya mencium Edard di depan Raya. Hei! Apa dia tidak lihat kalau Edard bersama orang lain? Siapa sih wanita itu? Bisa-bisanya bersikap agresif terhadap lelaki yang bukan mukhrimnya. Ditambah lagi Edard sepertinya tidak risih dengan kehadiran wanita itu. Buktinya lelaki itu malah mengulas senyum lebar.Raya menatap sekeliling. Banyak sekali orang yang memperhatikan dirinya dengan tatapan iba. Sial! Ia merasa seperti nyamuk disini. Lebih baik ia pergi saja. Toh, untuk apa melihat kemesraan dua orang yang tak tau malu itu. Buang-buang waktu saja.Raya berniat melangkahkan kakinya meninggalkan Edard. Namun lengannya dicekal oleh Edard. Raya meliriknya sinis."Je, kenalkan ini Raya," ujar Edard sembari merangkul pundak Raya.Raya menggerakkan bahunya risih akan keberadaan tangan Edard. Wanita yang dipanggil "Je" itu menatap Raya dari atas sampai bawah dengan tatapan menilai. Waja
Raya menepuk pipinya berulang kali. Pikirannya masih melayang pada insiden tadi pagi. Bisa-bisanya Edard bersikap tidak senonoh padanya. Sembarangan menciumnya. Tentu saja hal itu membuat Raya kesal. Tapi, selain rasa kesal, perasaan aneh lebih mendominasi dirinya.Bahkan jantungnya seperti bekerja dua kali lebih cepat saat Edard menciumnya. Memang hanya sekilas, tapi tetap saja. Ini adalah yang pertama bagi Raya. Wajar jika Raya merasa aneh.Ditambah lagi dengan panggilan "sayang" yang lelaki itu sematkan. Sial! Kesambet apa dia sampai berubah jadi semanis itu. Ingin membuat Raya jatuh cinta? Tidak semudah itu. Apalagi hanya dengan ucapan manis, Raya sudah sering mendapatkan itu dari Sam yang sangat menyukainya.Perkara kejadian itu, Raya memutuskan untuk mengurung diri di kamar daripada harus bertemu dengan Edard. Berhubung ini hari libur, sudah pasti lelaki itu ada di rumah. Untung saja Emily sedang pergi bersama teman-temannya. Jadi ia tidak perlu berakting menjadi istri Edard se
Kicauan burung kian terdengar bersahutan. Mengusik tidur tenang gadis yang masih setia di bawah gulungan selimut. Sinar mentari pun sudah naik. Menerobos masuk melalui kaca jendela.Gadis itu melenguh pelan. Tangannya terentang, meregangkan otot-otot. Selimut itupun tersibak, menampakkan gadis yang tengah mengusap kedua wajahnya.Gadis itu beranjak duduk dan menilik jam yang ada di nakasnya. Waktu menunjukkan pukul 7 pagi. Beruntung ini hari minggu, ia tidak perlu berangkat kuliah.Raya, gadis itupun bergegas turun dari ranjangnya dan berjalan menuju walk in closet. Berniat untuk mencuci mukanya.Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu. Pikirannya langsung tertuju pada Edard. Semalam ia mengunci kamarnya, sudah pasti lelaki itu tidak bisa masuk. Lantas dimana lelaki itu tidur?Raya menggelengkan kepalanya. Untuk apa ia memikirkan Edard? Masalah lelaki itu tidur dimana saja bukanlah urusannya. Toh, rumahnya ini memiliki banyak kamar. Jadi tidak perlu berlebihan.Meskipun jika Emily melihatn
Kedua netra yang bertabrakan itu saling memutuskan kontak. Raya melengos begitu saja dan masuk ke dalam tanpa peduli dengan Edard yang terus memperhatikannya. Biar saja, demi apapun Raya membenci Edard yang egois seperti ini. Sudah memiliki kesepakatan namun dengan seenak jidatnya Edard mengubah kesepakatan itu. Ia pikir Raya akan setuju? Cih!Raya berjalan menuju kamarnya lalu mengunci pintu. Terserah bagaimana nanti Edard menjelaskan pada Emily perihal mereka yang tidak tidur satu kamar. Salah siapa mencari masalah dengan Raya.Sementara itu, Edard yang kini tengah berbaring di sofa ruang keluarga tampak termenung. Pandangannya menatap lurus ke plafon di atasnya. Memikirkan tindakannya barusan. Apa ia salah mengatakan itu pada Raya? Atau mungkin, apa ini terlalu cepat sehingga Raya belum siap menerimanya?"Sedang apa, Ed?" Edard tersentak kaget ketika mendapati Emily berjalan ke arahnya. Lelaki itu menilik jam yang tergantung di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Edar