Raya menatap layar televisi dengan kesal. Bagaimana tidak? Sekarang semua saluran menayangkan berita tentang Edard Stollin yang jalan dengan gadis lain yang bukan tunangannya. Dan parahnya lagi, gadis itu adalah dirinya sendiri. Membuat Raya merasa seperti gadis selingkuhan Edard. Lagi pula bukannya lelaki itu tidak memiliki kekasih? Ah, lebih tepatnya baru saja putus karena ditinggalkan oleh pacarnya.
Raya memijat kepalanya yang mendadak pusing. Merasa menyesal karena telah menjadikan Edard sebagai pasangan sewaannya yang malah berujung menyusahkan seperti ini. Seharusnya ia tidak menolong Edard saat itu. Biarkan saja lelaki itu bunuh diri, toh itu bukan hal yang penting untuk Raya.
“Argghhh! Menyebalkan!” pekik Raya sembari memukuli bantal yang ada dipangkuannya.
Hari ini gadis itu sedang tidak ada kelas. Biasanya ia akan pergi berjalan-jalan atau sekedar me time. Bukannya Raya tidak memiliki teman. Banyak gadis yang ingin berteman dengan Raya. Hanya saja menurut Raya sendiri lebih baik. Ia merasa lebih tenang. Melakukan segala hal sendiri akan membuat dirinya tidak bergantung dengan siapapun.
Namun hal itu tidak berlaku untuk Davin. Davin adalah satu-satunya teman Raya. Apapun yang tidak bisa Raya lakukan sendiri, maka Davin akan membantunya. Ah, membicarakan lelaki itu membuat Raya sedikit kesal. Andai saja Davin tidak ada meeting kemarin, pasti ia tidak akan menjadi trending topic seperti sekarang ini.
Raya mengalihkan atensinya pada benda pipih yang tergeletak di ranjang. Tangannya terulur mengambil benda itu. Raya tersenyum tipis mendapati nama Davin yang tertera di layar.
“Panjang umur,” ujarnya sendiri.
Menggeser icon hijau, Raya langsung menempelkan benda itu ke telinganya. “Hallo?” sapanya.
“Hallo, Ray.” Davin membalasnya dari seberang sana.
“Iya, ada apa?” tanya Raya. Kini gadis itu sudah merubah posisi duduknya menjadi tidur tengkurap.
“Aku sedikit terkejut dengan pemberitaan yang beredar di televisi dan media sosial,” ujar Davin.
Raya menghela nafas panjang. Ternyata karena ini Davin menelponnya?
“Hal itu sangat membuatku kesal,” kata Raya.
Terdengar tawa menggelegar dari Davin. Membuat Raya mendengus sebal. Apa ini terlihat lucu?
“Bagaimana bisa kau bertemu orang seperti Edard? Dia adalah orang yang selalu di kelilingi media. Dan beritamu yang pergi ke pesta ulang tahun Scarlett bersama Edard sekarang menjadi trending topic. Bahkan banyak yang menyebutmu pelakor. Karena seperti yang diketahui, Edard sudah memiliki tunangan dan akan segera menikah,” papar Davin panjang lebar.
Raya memutar bola matanya malas. Menikah apanya? Lelaki itu bahkan tengah galau karena ditinggal tunangannya dan hampir bunuh diri. Mungkin berita tentang putusnya hubungan Edard dan kekasihnya belum tercium media. Jadi mereka mengira kalau Edard masih memiliki tunangan.
“Aku tidak peduli, Dav. Aku tidak pernah merasa merebut dia dari tunangannya. Aku hanya meminta bantuannya dan dia juga meminta bantuanku. Setelah itu, bisa aku pastikan tidak akan berurusan lagi dengan dia,” ujar Raya.
Davin terdengar menghela nafas. “Ya, baiklah. Aku tahu kau tidak suka dengan situasi seperti ini. Tapi aku sarankan, berhati-hatilah kalau ingin pergi keluar. Media sudah tahu wajahmu, aku takut kalau mereka akan mengejarmu dan mencecarmu dengan berbagai pertanyaan,” saran Davin.
Raya tersenyum mendengar ucapan Davin. Lelaki itu selalu perhatian dengan segala hal yang menyangkut dengan dirinya. Raya merasa tidak masalah jika ia memiliki pasangan, asalkan pasangannya adalah Davin, bukan lelaki lain. Karena hanya bersama Davin, Raya merasa aman.
“Ya, sudah. Aku tutup, ya? Sebentar lagi akan ada meeting.”
“Oke. Semangat!”
Sambungan pun terputus. Raya meletakkan ponselnya ke kasur. Namun ketika dirinya hendak beranjak, ponselnya kembali berdering. Raya pun mengambilnya dan langsung mengangkat tanpa melihat siapa penelponnya. Toh, sudah pasti kalau ini Davin. Memangnya siapa lagi kalau bukan lelaki itu?
“Apa lagi, Dav?”
“Aku ingin kau datang ke kantorku. Alamatnya sudah ku share. Bukankah kau ingin membantuku?”
***
Raya menghentakkan kakinya kesal di halaman kantor besar dengan nama Santiago yang terpampang besar di bagian depan gedung. Bagaimana ia tidak kesal? Baru saja turun dari mobil, sudah banyak pasang mata yang menatapnya sinis. Jelas Raya tahu apa penyebabnya.
Menarik nafas panjang, Raya menaikkan dagunya dengan congkak. Seolah tidak terjadi apa-apa. Ia tidak peduli dengan tatapan intimidasi dari karyawan yang ada di kantor Edard. Kalau bukan karena untuk balas budi, Raya tidak sudi menginjakkan kakinya di kantor ini. Ia pastikan ini terakhir kalinya ia masuk ke kantor ini.
Raya berjalan menuju meja resepsionis. Raya mengernyit saat mendapati karyawan yang menjadi resepsionis itu memandangnya sinis. Kenapa hotel sebesar ini memiliki karyawan yang begitu buruk? Lihatlah resepsionis ini. Bukannya bersikap ramah malah memandang sinis tamu yang datang. Bagaimanapun juga status Raya disini sebagai tamu.
Raya berdehem sebentar. “Dimana ruangan pak Edard?” tanyanya.
“Lantai 5, ruangan dengan pintu kayu berwarna coklat,” ujar karyawan itu.
Tanpa mengucapkan terimakasih, Raya langsung melenggang pergi menuju lift.
“Sombong sekali,” ujar karyawan itu yang masih di dengar oleh Raya.
Raya tersenyum sinis. Ia tidak peduli dan langsung masuk ke dalam lift. Menekan tombol 5 lalu tak lama kemudian pintu lift terbuka. Raya melangkah keluar dengan pandangan mengedar. Ia sedikit kagum, ternyata hotel milik Edard memang besar dan terkesan mewah.
Tatapan gadis itu terhenti saat melihat pintu kayu berwarna coklat. Raya sedikit bingung, di saat semua pintu terbuat dari kaca, milik Edard malah dari kayu. Tak mau ambil pusing, Raya segera berjalan menuju pintu itu lalu mengetuknya.
“Masuk,” terdengar sahutan dari dalam.
Raya pun membuka pintu itu. Menampilkan sosok Edard yang menatapnya datar. Raya menelan salivanya kelat, tiba-tiba rasa canggung menyelimuti dirinya. Berdehem sebentar, gadis itu berjalan menuju meja Edard. Kemudian duduk di bangku yang ada di depan meja lelaki itu.
“Katakan apa yang perlu aku bantu?” tanya Raya tanpa basa-basi.
Demi apapun ia tidak mau berlama-lama berurusan dengan Edard lagi. terlalu menyusahkan. Bukannya menjawab, lelaki dengan jas berwarna mint itu berdiri dari duduknya.
“Ikut aku,” titahnya.
Raya mengernyit. “Kemana?”
“Membantuku,” ujarnya singkat kemudian melenggang pergi.
Raya melipat bibirnya ke dalam, menahan agar tidak mengumpat lelaki itu. Dasar lelaki sombong! Kemarin terlihat menyedihkan tapi sekarang menjelma menjadi lelaki yang arogan.
Menghentakkan kakinya, Raya berjalan mengekori Edard. Sesampainya di lobi, kedua orang itu tentu saja menjadi pusat perhatian. Bahkan bisik-bisik jahat terdengar jelas di telinga Raya. Namun gadis itu mengabaikannya. Selagi ia tidak melakukan itu, kenapa harus ambil pusing?
Saat hendak membuka pintu mobil, sebuah tangan menahan gerakannya. Raya menatap Edard, sang pelaku. “Apa lagi?”
“Pakai mobilku.”
“Tidak, aku bisa sendiri,” tolak Raya.
Namun bukan Edard namanya kalau menerima begitu saja, lelaki itu menarik lengan Raya dan memasukkan gadis itu ke mobilnya. Tentu saja hal itu tak luput dari pandangan para karyawan yang mengintip interaksi keduanya. Raya hendak memberontak namun tatapan tajam milik Edard menghentikkan niatnya.
“Jangan menjadi gadis yang keras kepala, Raya Devani.”
Kening Raya mengkerut dalam saat mobil yang di kendarai oleh Edard berhenti di sebuah toko berlian yang terkenal di kota ini. Pikirannya menerka-nerka bantuan apa yang dibutuhkan lelaki itu di tempat ini? Meminta Raya untuk memilihkan perhiasan untuk kekasihnya barunya? Atau mungkin kekasihnya yang kemarin sudah kembali? Ah, entahlah. Raya tidak peduli dengan itu. Toh, bukan urusan dia juga. Tujuannya hanya ingin balas budi lalu setelah itu selesai.Tangan Edard terulur menyentil kening Raya yang mengkerut dengan pelan. “Jangan terlalu dalam, nanti cepat tua,” ujarnya pelan.Raya melotot mendengar ucapan Edard. Ia menepis kasar tangan lelaki itu yang masih bertengger di keningnya. “Jauhkan tanganmu! Aku tidak mau ada gosip baru yang muncul di media,” ketusnya.“Kita jalan berdua seperti ini saja sudah menimbulkan gosip,” sinis Edard membuat Raya mencebik kesal.Malas berlama-lama dengan Edard, Raya memilih untuk keluar
“Apa otakmu sudah hilang? Bisa-bisanya kau mengatakan kalau aku adalah calon istrimu!” marah Raya ketika mereka sedang berada di perjalanan pulang.Nafas gadis itu terdengar memburu. Dadanya naik turun menandakan ia tengah emosi. Matanya menatap ke jendela. Ia kesal dengan sikap Edard yang seenaknya. Bagaimana bisa lelaki itu mengatakan kalau ia adalah calon istrinya?Menjadi istri? Itu bukanlah keinginan Raya. Dalam kamus hidupnya, ia tidak pernah menginginkan status istri. Ia hanya ingin hidup dengan dirinya sendiri. Hidup bebas tanpa ikatan adalah impian Raya sejak dulu. Ia tidak mau membuang waktu berharganya hanya karena urusan percintaan. Ia tidak peduli dengan tanggapan orang lain, yang ia butuhkan adalah kebahagiaan untuk dirinya.Edard membuang nafas pelan. Mata lelaki itu masih fokus menatap ke jalan. Ia tahu ini kalau Raya kesal padanya. Ia juga menyadari itu. Kalau ia yang berada di posisi Raya, ia pasti juga akan melakukan hal yang sama.
Raya berjalan menyusuri koridor gedung fakultas hukum. Kedua tangannya mendekap tumpukan buku tebal. Wajahnya terlihat kusut. Bibirnya tak henti menggerutu. Hari ini mood-nya benar-benar buruk. Bagaimana ia tidak kesal? Tadi ketika ia baru berangkat, tiba-tiba ia diserbu oleh banyak gadis terutama oleh Scarlett and the gank.Awalnya ia bingung apa yang membuat mereka menyerbunya, namun ketika Scarlett menyebut nama Edard, Raya jadi mengerti apa permasalahannya. Terlebih lagi dengan berita yang menyebutkan kalau Raya akan menikah dengan Edard yang beredar di berbagai acara gosip dan berita di media sosial.Tentu saja hal itu memicu berbagai argument. Apa lagi Scarlett. Gadis itu bahkan menyindir Raya kalau selama ini Raya tidak mau berhubungan dengan lelaki lain karena tidak memenuhi kriterianya. Jadi ketika Edard mendekatinya dan mengajak menikah, Raya langsung menerima karena menurut Scarlett, siapa sih yang bisa menolak pesona seorang Edard Stollin? Ada! Itu Raya men
Raya menatap dirinya di pantulan cermin besar di depannya. Kemudian menghembuskan nafasnya pelan. Apa mungkin ini keputusan terbaik yang ia pilih? Apa mungkin setelah ini hidupnya akan tetap berjalan seperti sebelumnya? Setelah berdebat panjang dengan Edard, akhirnya Raya bersedia membantu Edard dengan syarat pernikahan ini hanya sebagai formalitas saja. Tidak ada yang namanya pernikahan sungguhan. Raya juga bebas melakukan apapun dan pernikahan dilangsungkan secara privat. Raya tidak ingin menjadi bullyan di kampusnya hanya karena ia menikah. Tanpa banyak pertimbangan, Edard pun menyetujui syarat dari Raya. Karena yang ia butuhkan saat ini hanyalah pengantin pengganti.Tepat setelah menyetujui persayaratan itu, hari ini mereka melangsungkan pernikahan dan sesuai dengan permintaan Raya, pernikahan ini dilangsungkan dengan privat. Tidak ada yang tahu kecuali Davin, sahabat Raya. Untuk orang tua Edard, beruntungnya mereka tidak bisa hadir karena masih ada urusan bisnis. M
Seharusnya, Edard menjelma menjadi lelaki paling bahagia karena bisa menikah dengan gadis cantik seperti Raya yang kini sudah sah menjadi istrinya. Baik secara agama maupun hukum.Seharusnya, sebagai pengantin baru, Edard bisa menikmati moment penting bersama istrinya seperti tidur seranjang.Seharusnya juga, Edard merasakan bagaimana rasanya dilayani dengan baik oleh istrinya seperti Papanya dulu.Tapi semua itu sepertinya hanya ada di dalam imajinasinya saja. Jangankan untuk dilayani, diizinkan masuk ke kamar sama tidak.Edard ingat betul bagaimana Raya memberinya satu bogem mentah ketika Edard masuk ke kamar ketika Raya sedang berganti pakaian. Bukankah seharusnya itu biasa saja karena mereka sudah suami istri?Tapi kembali lagi, rupanya Edard melupakan sesuatu. Ia lupa kalau pernikahan ini hanya di atas kertas. Raya mau menikah dengannya hanya sebatas memberi bantuan.Raya tidak meminta cerai di hari pertama mereka menikah saja itu sudah
"Davin!" teriak Raya dengan nyaring.Membuat beberapa pasang mata pengunjung mall melihat ke arahnya. Namun gadis itu terlihat tidak peduli dan terus berjalan ke arah Davin. Nafasnya menggebu-gebu bersiap menumpahkan segala amarah untuk lelaki itu.Sementara Davin, lelaki itu terdiam kaku di tempatnya. Dalam hatinya, ia merutuk kesal. Padahal tadi ia sudah berusaha untuk tidak terlihat tapi kenapa penglihatan Raya tajam sekali?Di lain sisi, ada Ava, gadis yang beberapa hari lalu telah resmi menjadi kekasihnya. Tampaknya gadis itu sedikit bingung melihat kedatangan Raya dengan muka marah."Vin, dia siapa? Apa dia temanmu?" tanya Ava pada Davin.Sedangkan Raya, gadis itu menatap Ava dengan penuh penilaian. Cukup bagus juga selera Davin, pikirnya.Davin berdehem sebentar kemudian menatap Raya lalu tersenyum lebar. "Hallo, Ray. Apa kabar?" tanyanya basa-basi.Raya mendengus kesal. Bisa-bisanya Davin dengan percaya diri tersenyum lebar di
Ava menganga tak percaya dengan apa yang di dengarnya barusan. Bagaimana mungkin Edard Stollin sudah menikah? Bahkan tidak ada pemberitaan apapun tentang lelaki itu baik di televisi atau di media sosial.Lagipula, yang benar saja lelaki setampan Edard mau menikahi gadis gatal seperti Raya. Ah, itu tidak mungkin."Ternyata Edard suka becanda, ya?" kekeh Ava membuat Raya memutar bola matanya malas."Dia memang suami Raya, Va." Davin memberitahu dengan nada datar."Mana mungkin seorang Edard mau menikahi gadis gatal seperti Raya, Vin?" ujar Ava tanpa tahu malu.Padahal jelas-jelas disini dia yang gatal. Lihat saja tingkahnya, terlihat sekali kalau sedang menggoda suami orang.Sedangkan Raya, gadis itu tentu saja menahan amarah karena selalu disebut gadis gatal oleh Ava. Namun Edard terus menggenggam erat tangannya agar ia tidak bertindak gegabah.Ava, dimana Davin menemukan gadis ular semacam ini? Sejak bersama Davin, lelaki itu be
"Mampir sebentar di toko depan, aku ingin beli sesuatu," pinta Raya saat ia mengingat ada barang yang perlu ia beli.Edard mengangguk kecil menyetujui permintaan Raya. Saat sampai di toko yang dimaksud Raya, Edard segera menepikan mobilnya."Aku akan menemanimu," ujar Edard.Raya mengernyitkan keningnya. "Tidak perlu, aku bisa sendiri," tolaknya kemudian bergegas keluar mobil.Sementara Edard, lelaki itu hanya menghela nafasnya pelan. Ia lupa kalau Raya adalah gadis yang mandiri. Tentu saja hal semacam ini akan dinilai terlalu manja baginya.Mata Edard menatap punggung Raya yang semakin menjauh lalu hilang dibalik pintu toko. Edard mengeluarkan ponselnya untuk mengusir rasa bosan.Lelaki itu menatap foto Raya yang ia jadikan wallpaper di ponselnya. Bibirnya tertarik ke atas, membentuk lengkungan setengah lingkaran.Ia sengaja memasang foto gadis itu di ponselnya karena ia memang menyukainya. Tentu saja hal itu tanpa sepeng