“Zahra, jam makan siang sudah selesai!”Mata Zahra terbelalak saat mendengar namanya dipanggil. Orang yang membangunkannya melompat mundur karena terkejut.“Astaga! Zahra, kamu baik-baik saja? Astaga, kamu bahkan berkeringat.”Apakah ini ilusi yang dilihat orang sebelum mati? Zahra tidak tahu apa yang sedang terjadi. Dengan tangan gemetar, dia menyentuh kepalanya.Dia baik-baik saja. Kepalanya tidak berdarah ataupun ambruk. Bingkai kacamatanya juga baik-baik saja.Namun, hal yang paling aneh adalah rambut yang dirasakan jari-jarinya. Ya, dia memakai kuncir kuda panjang, seperti itu sebelum menerima kemoterapi.‘Ini mustahil.’Seseorang berbicara karena khawatir saat Zahra menatap rambutnya, terlihat bingung.“Apakah kamu tidak enak badan? Kamu benar-benar pucat, Zahra.”Zahra kemudian perlahan berbalik untuk melihat orang di sebelahnya.Itu adalah seseorang yang dia kenal. Zahra sudah lama kenal dengan kepala bagian Diana Puspita Dewi, tapi mereka tidak sedekat itu. Tidak ada alasan ba
Bahu Zahra terangkat. Air matanya yang diam segera berubah menjadi isak tangis yang keras. Ini bukan keajaiban atau ilusi. Itu adalah hadiah terakhir dari seorang ayah yang mencintai putrinya lebih dari dirinya sendiri.Zahra menangis tersedu-sedu, tidak menyadari ada seseorang di sebelahnya. Dia tidak ingat sudah berapa lama sejak dia menangis dengan keras seperti ini. Bahkan ketika dokter mengatakan kepadanya bahwa hari-harinya tinggal menghitung hari, dia malah tertawa. Betapa lelahnya dia.Diana melihat Zahra menangis dan diam-diam meninggalkan ruang istirahat setelah meletakkan sekotak tisu di sebelah Zahra. Mereka tidak cukup dekat bagi Diana untuk menenangkan Zahra saat dia menangis.“Zahra, sepertinya sedang sakit,” kata Diana sambil mengetuk penyekat meja Adi. Adi sedang mengumpulkan dokumen untuk dikerjakan di luar kantor, dan dia mengerutkan alisnya.“Zahra? Saya sudah menyuruhnya untuk pulang lebih awal karena dia bilang dia merasa pusing tadi.”“Tapi dia tidak hanya pusing
“Ah....”Tubuhnya jatuh ke lantai. Dia tidak dapat menemukan keseimbangannya karena tempat sampah menggelinding di antara kedua kakinya. Benar. Dia tersandung setelah mengambil dokumen-dokumen ini di masa lalu.Tepat sebelum dia jatuh ke lantai dengan percikan, seperti yang terjadi di masa lalu, seseorang memegang pinggangnya dari belakang. Zahra telah memejamkan mata untuk menguatkan dirinya, jadi dia melihat ke belakang dengan terkejut dan lega.“… Pak Theo?”Emosi di balik kacamata Theo yang tebal dan berbingkai tanduk tampak rumit—campuran antara keterkejutan dan rasa kasihan. Zahra berpikir mungkin dia melihat sesuatu karena dia tidak memakai kacamatanya sendiri. Bahkan objek yang berada tepat di depannya tampak buram.“Kamu sepertinya agak pusing. Kamu harus pergi ke rumah sakit setelah menyerahkan dokumen, Zahra.”Setelah beberapa detik, yang terasa lebih seperti beberapa menit berlalu, Theo perlahan melepaskan tangannya.“Oh ya. Terima kasih.”Zahra dengan cepat menyeka kacamat
Zahra meletakkan ponselnya kedalam tas setelah selesai menelpon. Kafe itu sepi karena sudah lewat jam makan siang. Zahra membuka dompet usangnya dan mengulurkan sebuah kartu.“Tolong, satu es americano.”Kopinya selesai dibuat dengan cepat. Duduk di dekat jendela di lantai dua dengan cangkir kertasnya, dia bisa melihat jalanan Jatinegara tidak berubah dari ingatannya. Zahra membuka buku catatannya untuk menulis nama karyawan yang dia berikan dokumen itu, serta waktu stempelnya. Kemudian, dia mengeluarkan ponselnya untuk menelepon kepala departemen dan melaporkannya.Theo menjawab telepon begitu berdering. “Ya, Zahra. Ada apa?”“Halo, Pak Theo. Saya baru saja mengirimkan dokumen ke Central Food. Karyawan mengatakan dia akan menghubungi Anda secara terpisah lagi. Masih banyak waktu tersisa sebelum saya harus pergi. Haruskah saya kembali ke perusahaan?”“Tidak apa-apa. Kantor lagi sedang menganggur, jadi kamu bisa pulang sekarang,” kata Theo.“Terima kasih. Sampai jumpa besok.”Komunikas
Balasan tiba sebelum Zahra bisa menutup teleponnya. Dia membaca pesan itu dan mulai menulis di buku catatannya.‘Aku akan menjadi sehat dan berlarian sebelum aku menyadarinya. Aku akan mendapatkan banyak uang dan aku akan menikah dengan seorang pria yang melingkari dan menggenggam jariku, seseorang yang bahkan akan mati untuk diriku. Aku akan bahagia selama sisa hidupku. Aku berjanji, Ayah.’‘Aku akan menjadi bahagia. Aku akan menempatkan diriku di atas segalanya, dan aku akan hidup dan melakukan apa pun yang aku inginkan.’Dia meminum sisa kopinya sambil menyusun rencana melawan Adi.Pada tahun 2010, Adi "berhasil besar" dengan beberapa saham. Pada tahun 2011, setelah menikah dengan Zahra, dia mendedikasikan seluruh waktunya hanya untuk saham, bahkan berhenti bekerja hanya untuk perdagangan saham.Pada tahun 2012, ia mulai melecehkan Zahra secara verbal. Menurutnya, itu semua salahnya karena dia tidak beruntung dan kehilangan uang untuk investasinya.Mengapa dia hidup seperti itu? Apa
Tidak ada banyak barang di apartemen tempat dia tinggal sebelum menikah. Zahra menyukai hal-hal yang rapi, jadi dia hanya memerlukan kebutuhan pokok. Ketika Sarah berkunjung untuk pertama kalinya, dia mengatakan bahwa sepertinya tidak ada orang yang tinggal di dalam sini. Setelah itu, dia memberi Zahra beberapa pernak pernik kecil dan juga boneka.“…itu kita waktu dulu,” gumam Zahra, memegang dua boneka binatang kecil—boneka bayi kecil—di tangannya.Keduanya tidak pernah bertengkar sekali pun karena persahabatan panjang mereka. Saat mereka makan bersama, Sarah selalu menjawab dengan “apa pun yang kamu suka,” dan membiarkan Zahra yang memilih. Dia melangkah lebih jauh untuk mulai menunjukkan menu kepada Sarah sebelum memilih tempat makan, hanya untuk memastikan mereka memiliki sesuatu yang dia sukai.“Tentu, aku suka apapun yang kamu suka.”Itu adalah kata-kata Sarah sendiri.‘Siapa yang tahu itu juga berlaku untuk cowok yang aku suka juga?’Zahra menyalahkan dirinya sendiri karena tid
Zahra tersenyum pahit dan memesan untuk mereka. “Tolong, ceker ayam tanpa tulang, shabu-shabu, dan sebotol bir. Ah, dan satu soda juga.”Timun, wortel, saus celup, dan bir dingin keluar lebih dulu.Adi memandangi Zahra seperti baru pertama kali melihatnya saat membuka botol bir.“Kau tampak cantik hari ini.”“Benarkah?”Zahra pura-pura tertawa malu-malu dan mengisi gelas mereka dengan bir.“Hahaha, Zahra. Mengapa kau begitu pemalu?” Sarah menutup mulutnya dan terkikik. “Zahra kita cantik tidak peduli apa yang dia kenakan. Dia tinggi seperti raksasa juga. Oh benar, Adi, berikan aku tanganmu.”Adi tampak sedikit bingung tetapi tetap mengulurkan tangannya. Sarah tidak membuang waktu dan meletakkan tangannya di tangan Adi. Itu terlihat lebih mungil jika dibandingkan dengan tangan besar seorang pria.“Aku tahu itu. Ukuran tanganmu mirip dengan tangan Zahra. Kalian cocok satu sama lain.”“Terima kasih, Sarah.
Zahra melambaikan tangan pada taksi yang melaju pergi. Sangat mudah untuk menyingkirkan Sarah. Mengapa dia dengan bodohnya menderita karena kehadiran wanita itu di kehidupan masa lalunya?Ketika dia kembali ke dalam bar, Adi sedang menenggak sisa bir sendirian. Kenangan yang terlupakan tiba-tiba terlintas di benak Zahra.Adi secara rutin selalu menikmati minuman, tetapi ketika sahamnya mulai anjlok, dia mulai minum lebih banyak lagi dan lagi—dan dia selalu melampiaskan kebiasaan mabuknya pada Zahra. Dia akan melempar cangkir ke arahnya dan berteriak, mengatakan itu semua salahnya karena tidak ada satupun yang berhasil.“Apakah kau sudah menemukan taksi untuk Sarah?” Adi bertanya, melihat Zahra di pintu masuk.Zahra mengumpulkan keberaniannya dan duduk dengan acuh tak acuh. “Ya. Dia tidak bisa menahan minuman kerasnya, tetapi dia tetap mencoba untuk minum lebih banyak lagi. Dia juga mengalami mabuk yang sangat parah.”“Dia pasti buruk dalam minum. Itu lucu se