Share

Tidak Ada Suami yang Sempurna
Tidak Ada Suami yang Sempurna
Author: Ik-Hyeon

Episode 01. Dua Pasang Sepatu di Pintu Depan

Tut-tut-tut.

“Nomor yang Anda tuju tidak menjawab panggilan ini....” terdengar suara mekanis perempuan dari lubang speaker teleponnya berulang kali.

“Benar-benar keterlaluan. Mengapa kau tidak menjawab teleponku?” gumam seorang wanita. Suaminya tidak mengangkat teleponnya juga.

Zahra Rosalina Azhari. Umur 35 tahun. Dia berbaring di sudut bangsal kanker nomor enam dan sedang menatap teleponnya. Teleponnya sudah empat kali langsung masuk ke pesan suara—upaya terakhir itu adalah yang kelima. Matanya yang cekung menatap layar yang retak, lalu beralih ke tanggal kecil di pojok kanan atas: 21 September.

Kemungkinan terburuknya, masa hidupnya tinggal tiga bulan; paling lama enam tahun. Dua belas bulan, kata dokter, jika ada keajaiban.

Proyeksi ini—semuanya lebih pendek dari yang dia harapkan—merupakan perkiraan dari apa yang tersisa dari hidupnya. Dan dia membenci mereka. Mereka terlalu nyaman, seperti dokter yang memprediksi hidupnya tinggal tiga bulan dan dikalikan dari sana. Mungkin dia mengira kemungkinan lebih banyak waktu akan meyakinkannya, meski hanya sedikit. Ternyata tidak. Dia tahu dia sakit, dan tahu dia akan mati. Penyebab di balik penyakitnya sangat banyak: pola makan yang buruk; kurang olahraga; stres yang luar biasa, dan juga alkohol yang dia minum setiap malam. Namun pelaku utamanya—penyebab dari semua perkara itu—adalah suaminya. Suami yang sama yang bahkan tidak menjawab teleponnya sekarang.

Dia bergegas mengenakan kardigan berlapis serat untuk menutupi pakaian rumah sakit dan meninggalkan rumah sakit, berpura-pura keluar untuk berjalan-jalan di luar. Dedaunan kering berjatuhan dan angin bertiup kencang saat dia berjuang sendirian melawan kanker—atau lebih tepatnya, sementara sel kanker tanpa ampun menggerogoti dirinya dari dalam—melayang ke kepalanya.

“Taksi!” Zahra menghentikan taksi begitu sampai di jalan raya utama. “Pak, antarkan saya ke apartemen Green palace, Matraman.”

Tak lama berselang, kini Zahra telah berada di depan apartemennya seraya menatap kosong ke atas, memandangi unit rumahnya setelah keluar dari taksi. Dia naik lift yang berbau apek di lantainya dan berjalan ke pintu terakhir di lorong lantai 5. Sampai di unit rumah yang dituju dia memandangi pintu besi yang sudah usang itu.

Zahra menarik pegangan pintu yang mudah dibuka dan diam-diam melangkah masuk.

Pada saat itu, mata kusam Zahra tiba-tiba menjadi dingin. Di sebelah sepasang sepatu pria berwarna cokelat—disingkirkan begitu saja seperti biasanya—duduk dua sepatu hak stiletto warna peach. Kedua pasang sepatu itu adalah hadiah yang dibeli Zahra untuk orang yang spesial baginya. Sepatu coklat itu untuk pria yang merupakan separuh dari dunianya, Andi Perkasa Adiputra. Dan sepatu hak merah itu….

‘Tidak. Pasti ada kesalahpahaman. Ya, Sarah mungkin mampir untuk membawakan barang-barangku. Aku memang mengatakan kepadanya bahwa aku membutuhkan lebih banyak pakaian dalam beberapa waktu lalu. Ya. Tentu saja. Itu pasti.’

Berdiri di sana, membeku, pikirannya menolak untuk menerima kenyataan. Tapi perutnya lebih cepat dan lebih tepat daripada kepalanya. Jauh di lubuk hati, dia tahu yang sebenarnya. Giginya mulai bergemeletuk, dan tubuhnya gemetar seolah-olah diterpa oleh angin yang berhembus.

Zahra mengatupkan rahangnya dan merayap ke ruang tamu tanpa melepas sepatunya. Dia terus maju melewati sofa, tempat mantel wanita tergeletak, lalu ke kamar tidur.

“… kalau begitu mari kita ambil depositnya dan pindah.”

Suara manis memuakkan—seperti marshmallow—terdengar dari pintu kamar tidur yang tertutup. Itu adalah suara yang sama yang biasa dia bisikkan di telinganya malam itu saat makan malam perusahaan; suara yang sama yang tidak pernah dia dengar lagi setelah insiden dengan ibu Adi.

“Hmm. Berapa banyak yang kamu katakan depositnya? Aku ingin tinggal di apartemen baru, sayang.”

Itu pasti suara Sarah, meski lebih licik dan pemarah dari yang biasa dikenal Zahra.

“Tentu saja. Ayo kita cari tempat segera setelah aku mendapatkan uang asuransinya.”

“Hmm... berapa banyak yang akan kamu dapatkan?”

“Satu miliar rupiah.”

Zahra, yang pikirannya masih membeku, tidak menyangka asuransi yang dibicarakan Adi itu ada hubungannya dengan dirinya. Itu wajar karena Zahra sama sekali tidak memiliki asuransi jiwa, apalagi polis yang bernilai satu miliar. Terlebih lagi, dia terpaksa membatalkan setiap polis asuransi atas namanya ketika masa-masa sulit, apa pun jenisnya, jadi dia bahkan tidak memiliki pertanggungan yang paling dasar. Inilah mengapa dia bahkan tidak bisa bermimpi untuk mendapatkan pengobatan untuk menyembuhkan penyakit kankernya.

“Benarkah? Sebanyak itu? Bagaimana?” Seru Sarah dengan suara terkejut dan gembiranya.

“Ayahnya juga meninggal karena kanker. Aku dengar itu turun-temurun. Dia terus mengalami sakit perut dan gangguan pencernaan, jadi aku mengambil asuransinya sebelum membawanya ke rumah sakit.”

Jadi itu sebabnya Adi begitu peduli untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Zahra sudah bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit sendiri, tetapi dia memberikan obat gangguan pencernaannya dan menyuruhnya berbaring di tempat tidur untuk sementara waktu. Dia menambahkan bahwa dia akan mengantarnya ke rumah sakit jika perutnya terus sakit.

Mengetahui apa niat sebenarnya adalah kejutan yang lebih besar daripada sepatu di pintu masuk tadi. Darah mengalir deras ke kepalanya. Zahra meraih pegangan pintu kamar, tangannya mati rasa sehingga tidak terasa seperti tangannya sendiri.

“Jadi kamu mendapat uang dari asuransi kanker juga? Kalau begitu sayang, maukah kamu membelikanku tas desainer yang mahal?”

“Aku sudah membelikanmu satu bulan lalu. Dia akan mati dalam enam bulan, jadi tunggu saja. Aku akan membelikan semua yang kamu inginkan setelah itu.”

Adi dan Sarah adalah dunia bagi Zahra. Yang berarti bahwa dalam satu saat, seluruh dunianya runtuh di sekelilingnya. Zahra bahkan tidak bernapas lagi saat dia menekan gagang pintu.

Pintu terbuka dengan suara derit. Sarah, yang sedang berbaring telanjang di tempat tidur Zahra—tempat tidur yang sama yang dia dan Adi beli untuk bulan madu mereka—membuka matanya lebar-lebar, seolah-olah dia sedang melihat hantu.

“Z-Z-Zahra?”

“Sayang!”

Adi dan Sarah terkejut melihat kedatangan Zahra di hadapan mereka berdua.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status