Ekspresi Sarah menjadi gelap, dan dia pergi setelah mencuci tangannya. Zahra mendengar Tamara menggumamkan sesuatu di dalam hati tentang memasak Sarah hidup-hidup. Dia bersyukur mereka tidak bermusuhan.
“Tempat ini sangat bagus, bukan? Tidak akan ada tempat yang selezat ini di sekitar sini.”“Kamu melakukan pekerjaan yang sangat baik dalam menemukan restoran. Divisi kita jarang mengadakan makan malam bersama, jadi kita harus makan makanan mahal dan berkualitas baik saat ada kesempatan,” kata Zahra.“Kata-kata yang bijak.”Zahra dan Tamara bercanda satu sama lain saat mereka kembali, tetapi menghentikan langkah mereka pada saat yang bersamaan. Kenapa Sarah duduk di sebelah Theo ketika dia seharusnya dia mengincar Adi?“Sarah, itu tempat dudukku,” kata Tamara.Sarah tersenyum. “Tidak ada yang namanya tempat dudukku atau tempat dudukmu dalam acara makan malam perusahaan. Semua orang menjadi lebih dekat dengan bergerak dan berpindah“Aku butuh minuman untuk merayakannya,” gumam Zahra pada dirinya sendiri, mencoba melupakan masa lalu yang mengerikan. Dia berjalan keluar dari jalan yang gelap dan menemukan bar jalanan tanpa pelanggan. Pemiliknya tersenyum ketika dia masuk.“Selamat datang. Hanya kamu?”“Ya.” Dia merasa sebagian dari indranya kembali berkat kursi yang dingin itu. “Satu botol bir.”“Apa yang ingin kamu makan untuk pendampingnya?”“Apa saja boleh.”Dia membuka ponselnya karena kebiasaannya dan melihat beberapa panggilan tidak terjawab. Sebagai besar dari Diana dan Tamara, dan satu panggilan dari Theo.Drrrtt— Teleponnya berdering lagi. Kali ini dari Tamara.“Halo?”“Penyelamatku, di mana kau? Aku mencarimu ke mana-mana karena kau tiba-tiba menghilang!” Tamara terdengar panik.“Maaf. Aku pergi lebih dulu karena terlalu berisik.”“Apakah kau sudah pulang?”“Aku ada di bar pinggir jalan di belak
“K-kak! Apa yang kita lakukan? Apakah sesuatu terjadi kemarin? Sesuatu terjadi, bukan? Benarkah?”Tentu saja sesuatu telah terjadi. Adi menjambak rambutnya seperti sedang berusaha mengeluarkan ingatan semalam dari otaknya.Ini akan menjadi akhir hidupnya jika hal ini terbongkar. Karyawan wanita di tempat kerja akan memandangnya seperti kecoa, dan Zahra akan membatalkan pertemuan mereka dengan orang tuanya besok. Dia bingung harus berbuat apa.“Sarah, tenanglah dan lihat aku.”Sarah mengintip dari dalam selimut.“Kita sangat mabuk tadi malam. Kita membuat kesalahan karena alkohol. Ini tidak pernah terjadi—”“Tidak pernah terjadi?" Air mata terbentuk di mata Sarah sebelum Adi menyadari apa yang dia katakan. “Kak—maksudku, Adi. Apakah ini sesuatu yang bisa kamu anggap tidak pernah terjadi? Kami tidur bersama dan hanya itu saja?”“Aku tidak bermaksud seperti itu….”“Lalu apa maksudmu?”Sarah menggosok matan
Tut-tut-tut. “Nomor yang Anda tuju tidak menjawab panggilan ini....” terdengar suara mekanis perempuan dari lubang speaker teleponnya berulang kali.“Benar-benar keterlaluan. Mengapa kau tidak menjawab teleponku?” gumam seorang wanita. Suaminya tidak mengangkat teleponnya juga.Zahra Rosalina Azhari. Umur 35 tahun. Dia berbaring di sudut bangsal kanker nomor enam dan sedang menatap teleponnya. Teleponnya sudah empat kali langsung masuk ke pesan suara—upaya terakhir itu adalah yang kelima. Matanya yang cekung menatap layar yang retak, lalu beralih ke tanggal kecil di pojok kanan atas: 21 September.Kemungkinan terburuknya, masa hidupnya tinggal tiga bulan; paling lama enam tahun. Dua belas bulan, kata dokter, jika ada keajaiban.Proyeksi ini—semuanya lebih pendek dari yang dia harapkan—merupakan perkiraan dari apa yang tersisa dari hidupnya. Dan dia membenci mereka. Mereka terlalu nyaman, seperti dokter yang memprediksi hidupnya tinggal tiga bulan dan dikalikan dari sana. Mungkin dia
“Z-Z-Zahra?”“Sayang!”Adi, yang juga telanjang, segera duduk. Di belakangnya, Sarah yang juga telanjang meraba-raba untuk menutupi dirinya dengan seprai.Mereka tampak seperti sepasang binatang yang kepanasan; pemandangan itu mengejutkan dan tidak realistis. Zahra tertawa sendiri dan melangkah masuk ke dalam ruangan yang mengerikan itu.“S-Sayang. Ini tidak seperti yang kau lihat….”“Berengsek kau.”Kata-kata kasar keluar dari sela-sela giginya. Mulut Adi ternganga karena ini pertama kalinya dia mendengar kata-kata makian Zahra.“Apa? Apa yang baru saja kau….”“Kau bajingan menjijikkan!” Seperti gunung berapi yang meletus, amarah Zahra yang terus ditekan langsung meledak. “Dan kau menyebut dirimu manusia? Apakah itu yang kau pelajari dari ibumu yang hebat itu? Bahkan binatang pun tidak bertindak seperti ini, bajingan!”Zahra melemparkan apapun yang dijangkau tangannya ke meja rias. Bahkan dalam situasi ini, bajingan itu masih sibuk melindungi Sarah dengan selimut.“Zahra, kau konyol s
“Zahra, jam makan siang sudah selesai!”Mata Zahra terbelalak saat mendengar namanya dipanggil. Orang yang membangunkannya melompat mundur karena terkejut.“Astaga! Zahra, kamu baik-baik saja? Astaga, kamu bahkan berkeringat.”Apakah ini ilusi yang dilihat orang sebelum mati? Zahra tidak tahu apa yang sedang terjadi. Dengan tangan gemetar, dia menyentuh kepalanya.Dia baik-baik saja. Kepalanya tidak berdarah ataupun ambruk. Bingkai kacamatanya juga baik-baik saja.Namun, hal yang paling aneh adalah rambut yang dirasakan jari-jarinya. Ya, dia memakai kuncir kuda panjang, seperti itu sebelum menerima kemoterapi.‘Ini mustahil.’Seseorang berbicara karena khawatir saat Zahra menatap rambutnya, terlihat bingung.“Apakah kamu tidak enak badan? Kamu benar-benar pucat, Zahra.”Zahra kemudian perlahan berbalik untuk melihat orang di sebelahnya.Itu adalah seseorang yang dia kenal. Zahra sudah lama kenal dengan kepala bagian Diana Puspita Dewi, tapi mereka tidak sedekat itu. Tidak ada alasan ba
Bahu Zahra terangkat. Air matanya yang diam segera berubah menjadi isak tangis yang keras. Ini bukan keajaiban atau ilusi. Itu adalah hadiah terakhir dari seorang ayah yang mencintai putrinya lebih dari dirinya sendiri.Zahra menangis tersedu-sedu, tidak menyadari ada seseorang di sebelahnya. Dia tidak ingat sudah berapa lama sejak dia menangis dengan keras seperti ini. Bahkan ketika dokter mengatakan kepadanya bahwa hari-harinya tinggal menghitung hari, dia malah tertawa. Betapa lelahnya dia.Diana melihat Zahra menangis dan diam-diam meninggalkan ruang istirahat setelah meletakkan sekotak tisu di sebelah Zahra. Mereka tidak cukup dekat bagi Diana untuk menenangkan Zahra saat dia menangis.“Zahra, sepertinya sedang sakit,” kata Diana sambil mengetuk penyekat meja Adi. Adi sedang mengumpulkan dokumen untuk dikerjakan di luar kantor, dan dia mengerutkan alisnya.“Zahra? Saya sudah menyuruhnya untuk pulang lebih awal karena dia bilang dia merasa pusing tadi.”“Tapi dia tidak hanya pusing
“Ah....”Tubuhnya jatuh ke lantai. Dia tidak dapat menemukan keseimbangannya karena tempat sampah menggelinding di antara kedua kakinya. Benar. Dia tersandung setelah mengambil dokumen-dokumen ini di masa lalu.Tepat sebelum dia jatuh ke lantai dengan percikan, seperti yang terjadi di masa lalu, seseorang memegang pinggangnya dari belakang. Zahra telah memejamkan mata untuk menguatkan dirinya, jadi dia melihat ke belakang dengan terkejut dan lega.“… Pak Theo?”Emosi di balik kacamata Theo yang tebal dan berbingkai tanduk tampak rumit—campuran antara keterkejutan dan rasa kasihan. Zahra berpikir mungkin dia melihat sesuatu karena dia tidak memakai kacamatanya sendiri. Bahkan objek yang berada tepat di depannya tampak buram.“Kamu sepertinya agak pusing. Kamu harus pergi ke rumah sakit setelah menyerahkan dokumen, Zahra.”Setelah beberapa detik, yang terasa lebih seperti beberapa menit berlalu, Theo perlahan melepaskan tangannya.“Oh ya. Terima kasih.”Zahra dengan cepat menyeka kacamat
Zahra meletakkan ponselnya kedalam tas setelah selesai menelpon. Kafe itu sepi karena sudah lewat jam makan siang. Zahra membuka dompet usangnya dan mengulurkan sebuah kartu.“Tolong, satu es americano.”Kopinya selesai dibuat dengan cepat. Duduk di dekat jendela di lantai dua dengan cangkir kertasnya, dia bisa melihat jalanan Jatinegara tidak berubah dari ingatannya. Zahra membuka buku catatannya untuk menulis nama karyawan yang dia berikan dokumen itu, serta waktu stempelnya. Kemudian, dia mengeluarkan ponselnya untuk menelepon kepala departemen dan melaporkannya.Theo menjawab telepon begitu berdering. “Ya, Zahra. Ada apa?”“Halo, Pak Theo. Saya baru saja mengirimkan dokumen ke Central Food. Karyawan mengatakan dia akan menghubungi Anda secara terpisah lagi. Masih banyak waktu tersisa sebelum saya harus pergi. Haruskah saya kembali ke perusahaan?”“Tidak apa-apa. Kantor lagi sedang menganggur, jadi kamu bisa pulang sekarang,” kata Theo.“Terima kasih. Sampai jumpa besok.”Komunikas