Share

Bab 3

Author: April
Aku mengabaikan wajah Hubert yang memerah, lalu berbalik melangkah pergi dengan cepat.

Namun aku baru berjalan beberapa langkah ketika dia tiba-tiba menarikku, lalu dengan suara dingin bertanya,

"Vadya, sampai sekarang kamu masih mau keras kepala denganku? Kamu itu cewekku. Jadi wajar saja pakai uangku, tidak usah sok sombong. Aku tuh mengerti sekali apa isi hatimu itu?"

Aku menatap matanya dengan teguh, "Perlu kuingatkan, tiga tahun lalu, saat kamu usir aku dari gedung pernikahan, kita sudah putus."

Mendengar kata "mengerti", saat ini aku teringat pada wajah Leandro.

Dia tidak pernah bilang apa-apa, tapi selalu ingat dengan jelas apa kesukaanku.

Aku suka aroma segar mawar tiap pagi, jadi dia tiap hari selalu meletakkan sebuket bunga di depan jendela.

Aku suka kopi susu, dia selalu mengingatkan sekretarisnya membuatkan kopi susu untukku.

Bahkan kebiasaanku yang takut dingin pun dia ingat dengan baik. Dia selalu menyiapkan syal dan sarung tangan untukku.

Kalau Leandro tahu pria di depanku berkata dia mengerti diriku, aku sih cuma bisa berdoa atas keselamatan pria di depan ini.

Hubert tampaknya salah paham, melirik Yuna lalu menunjukkan ekspresi mengerti.

"Kamu masih suka ngambek? Sudahlah, tiga hari lagi Grup Fusman akan mengadakan jamuan penyambutan tahunan untuk Pak Leandro yang kembali ke dalam negeri. Banyak orang hebat dalam dunia bisnis akan hadir. Waktu itu aku akan membawamu untuk merasakan gimana rasanya ada di kalangan atas yang sebenarnya."

"Tapi kamu harus ganti pakaian kampungan ini, jangan sampai mempermalukan diriku."

Belum sempat dia selesai bicara, aku segera menolak dengan sopan, "Nggak perlu, terima kasih."

Ditolak lagi, Hubert jadi agak gusar, giginya bergemeletuk karena ditekan kuat.

"Vadya, sekarang kamu makin berani, tapi tetap saja tak bisa mengubah jiwamu yang miskin itu."

"Kalau kamu nggak mau ikut, aku akan mengajak Yuna. Jangan menyesal nanti!"

Mendengar itu, mata Yuna segera berbinar, buru-buru berkata,

"Hubert, kasihkan saja kartu bank itu padaku, aku pasti akan berdandan cantik, nggak akan mempermalukanmu."

Tak ingin terus berurusan dengan mereka, aku berbalik pergi, meninggalkan satu kalimat.

"Semoga tiga hari lagi, kalian masih bisa percaya diri seperti ini."

Setelah melangkah cepat keluar dari aula penjemputan dan menghirup udara segar di luar, rasa mual yang lama tertekan di perutku barulah agak mereda.

Tiga tahun lalu, orang tuaku mengaturku untuk menikah demi aliansi keluarga. Di tengah tekanan mereka, aku berniat menempuh jalan pintas dengan memohon pada Hubert, pacarku yang sudah tujuh tahun bersamaku, agar mau menikah denganku.

Hubert setuju.

Tapi siapa sangka, di aula pernikahan aku bukan hanya melihat Hubert, tapi juga Yuna, sahabat masa kecilnya.

"Anak Yuna butuh seorang ayah, aku harus menikah dengannya dulu. Setelah keluarga Yuna tenang, aku akan menikahimu."

"Ini semua demi kesehatan mental anak, jangan salah paham."

Memandangi sosoknya menggandeng Yuna masuk ke aula pernikahan, aku benar-benar kehilangan semua harapanku.

Malam itu juga, aku menyetujui pernikahan aliansi yang diatur orang tua.

Sebulan kemudian, aku menikah dengan Leandro. Setahun kemudian, aku melahirkan anak pertama. Sekarang ini, anak kedua pun hampir lahir.

Kalau bukan karena pulang menjenguk orang tua kali ini, seumur hidup aku takkan pulang ke negara ini, apalagi bertemu Hubert.

...

Tiga hari kemudian, aku merias wajah dengan tipis, mengenakan pakaian longgar, lalu datang sendiri ke lokasi jamuan perusahaan.

Saat melihatku, mata Hubert segera berbinar, tersenyum penuh kepuasan.

"Mulutmu bilang nggak datang, tapi tubuhmu jujur sekali."

"Tapi kalau kamu mau mengejarku kembali, setidaknya harus tahu etika kalangan atas. Di acara seperti ini, paling nggak kamu harus mengenakan gaun malam, bukan celana seperti itu. Lihat sekelilingmu, apa ada yang berpakaian sepertimu?"

Aku tak peduli dengan sikap Hubert yang mendadak penuh dengan narsisme itu, ingin segera melewatinya menuju tempat dudukku.

Namun dia segera mengadangku dengan nada kesal ....

"Vadya, aku sedang bicara denganmu, kamu nggak dengar? Tempat duduk warna putih kita ada di dekat pintu, kamu mau ke mana?"

Aku menepis tangannya, lalu menjawab dingin, "Itu tempat dudukmu, sedangkan tempat dudukku ada di sana."

Mengikuti arah telunjukku, Hubert menatap kursi warna emas di aula jamuan, wajahnya mendadak berubah masam.

Haley menatapku dengan sinar matanya yang jahat, lalu menunjukku sambil berseru.

"Vadya, bagaimana kamu bisa menyelinap masuk? Kamu bahkan berani memakai model tiruan dari cincin Nyonya Fusman, kamu memang sengaja bikin keributan, 'kan?"

Suaranya begitu nyaring, seketika menarik semua perhatian ke arahku.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tidak Akan Diremehkan lagi Oleh Kamu   Bab 10

    Wajahnya bengkak parah, seperti bekas pukulan.Aku menatapnya dengan waspada. "Bagaimana kamu bisa menemukan tempat ini? Apa yang kamu inginkan?"Hubert bisa menghindari begitu banyak pengawal dan sampai ke sini, pasti sudah menghabiskan banyak upaya.Mengira-ingat ekspresi gila Yuna, hatiku segera mencelus.Hubert sepertinya menyadari ketakutanku, buru-buru berkata,"Vadya, jangan takut, aku nggak akan menyakitimu.""Aku hanya ...."Aku menjauh dua langkah darinya, lalu balik bertanya dengan kesal, "Hanya apa?""Vadya, aku sudah bilang, aku menikah dengan Yuna hanya untuk memberi status ayah di atas kertas pada anak Yuna ... sebenarnya, sejak awal aku selalu mencintaimu, sungguh."Ekspresinya penuh penderitaan. "Aku ... setiap kali membayangkan kamu menikah dengan pria lain dan bahkan punya anak, hatiku seperti disayat-sayat. Aku tahu, dulu aku sombong, nggak tahu menghargaimu, selalu membuatmu sedih. Tapi aku akan berubah, aku bisa berubah demi kamu!""Aku tahu kamu juga mencintaiku.

  • Tidak Akan Diremehkan lagi Oleh Kamu   Bab 9

    Meskipun di mata orang luar, Leandro tampak dingin, kejam, dan tegas, tapi aku tahu dia tidak akan pernah membiarkan aku dan putra kami terluka sedikit pun.Kali ini aku sampai terluka, pasti membuatnya sangat menyalahkan diri sendiri.Anna memang menggambarkan tindakan Leandro seolah-olah dirinya iblis, tapi aku sama sekali tidak merasa takut. Bagaimanapun semua ini adalah akibat perbuatan mereka sendiri. Orang yang berbuat salah akhirnya akan mendapat balasan.Hanya saja aku khawatir, anakku yang masih kecil sudah harus mengalami hal-hal semacam ini, apakah itu akan berpengaruh pada dirinya secara psikologis?Ketika aku masih ingin berbincang dengan Anna, pintu kamar tiba-tiba terbuka keras. Sosok Leandro dan putraku segera muncul di hadapan, wajah mereka penuh kegembiraan.Putraku tanpa ragu menyingkirkan ibu angkatnya, menggenggam tanganku, lalu berkata,"Mama, bagaimana perasaanmu sekarang? Sudah lebih baik?"Leandro juga bertanya dengan penuh perhatian,"Apa tubuhmu masih ada yan

  • Tidak Akan Diremehkan lagi Oleh Kamu   Bab 8

    Hubert tidak menyangka aku benar-benar tidak memedulikan kehadirannya. Dia menatap kami sekeluarga bertiga yang tampak harmonis, matanya memerah.Dia ingin mendekatiku, tapi putraku berdiri mengadang dan menatapnya dengan tajam."Jauhkan dirimu dari mamaku!""Beraninya kamu menyuruh mamaku jadi pembantu? Di rumah saja kami semua harus dengar kata Mama, apa pantas kamu menyainginya?""Aku tahu siapa dirimu. Kamu bukan hanya pria berengsek yang menyakiti hati mamaku, tapi juga punya anak haram!""Mama hanya punya aku dan adik perempuanku. Anakmu nggak pantas jadi anak Mama!""Lelaki sepertimu bahkan nggak pantas dibandingkan dengan papaku. Wajahmu tak setampan Papa, kamu tak sekaya Papa, dan kamu juga nggak sebaik Papa pada Mama."Putraku menatap Hubert dari atas ke bawah dengan jijik."Paman, apa kamu nggak punya sedikit kesadaran diri?"Hubert mengepalkan tinju, dadanya naik-turun hebat karena malu dan marah.Semua orang tahu, dirinya hanya bisa duduk di posisi tinggi berkat koneksi. K

  • Tidak Akan Diremehkan lagi Oleh Kamu   Bab 7

    Saat bertemu tatapan mereka, hatiku segera melunak."Dokter, aku nggak apa-apa, jangan hiraukan mereka."Setelah aku bicara, dokter merasa agak lega.Setelah memastikan tubuhku tak ada masalah lain, dokter dengan hormat berkata,"Pak Leandro, luka Nyonya lumayan parah, tapi untungnya waktu jatuh, langsung tertahan oleh tangan, jadi bayi dalam perutnya tidak terkena masalah.""Aku sudah memberikan obat pada luka di punggung tangan, nggak akan meninggalkan bekas."Leandro mengangguk tanpa ekspresi.Lalu tatapan matanya yang tampak menekan kemarahan itu menyapu semua orang.Sebagai dalang dari semua ini, Hubert menjadi risau melihat suasana tegang itu.Dia tak pernah menyangka suatu hari aku akan tiba-tiba menjadi istri Leandro.Mata Hubert memerah menatapku, dirinya dipenuhi rasa tidak terima, hasrat memilikinya yang tertahan meledak saat itu.Tapi dia tak mampu melawan pria yang berdiri di sampingku, hanya bisa mengepalkan tangan dengan erat sampai telapak memutih.Leandro memelukku, ta

  • Tidak Akan Diremehkan lagi Oleh Kamu   Bab 6

    Orang-orang yang menyinggungku bersama Hubert mulai lemas, bahkan tidak sanggup memegang anggur.Mereka tidak menyangka, orang yang mereka ejek sebagai bajingan penjilat sampah, ternyata benar-benar istri Leandro!Dalam sekejap, mereka menyesali diri mereka yang tak tahu diri.Jelas-jelas di jariku tersemat cincin satu-satunya itu.Aku juga sudah mengakui diriku sebagai istri Leandro, aku tak pernah menipu siapa pun. Dan mereka akan membayar untuk kesombongan mereka sendiri.Aku melihat beberapa orang diam-diam mundur beberapa langkah, otomatis menjauh dari Hubert dan Yuna.Namun, Rovia yang berada di samping Yuna tiba-tiba bersuara lantang, "Vadya, aku cuma ke kamar mandi sebentar, kamu malah entah dari mana cari aktor pria dan anak ini.""Lumayan tampan juga, jangan-jangan dia gigolo yang kamu sewa?"Dia mendongak dengan congkak, "Bahkan kalau mau berpura-pura, lakukanlah dengan lebih meyakinkan. Kamu habiskan semua uangmu pada hal ini, nantinya mau makan apa? Kalau kau mau mohon pad

  • Tidak Akan Diremehkan lagi Oleh Kamu   Bab 5

    Lelaki yang biasanya terlihat dingin saat di luar, di saat melihatku, wajahnya justru menampakkan senyum tipis.Anak kecil yang menggemaskan segera berlari memelukku, tapi ketika melihat punggung tanganku yang berdarah, dirinya dengan cemas bertanya,"Mama, tanganmu kenapa terluka? Apa ada yang menindas Mama?"Satu kata "Mama" menarik semua pandangan di tempat itu, aku mendengar orang-orang dengan nada terkejut menarik napas dingin.Para tamu yang tadinya menatapku dengan ejekan, kini menatapku dengan mata terbelalak tak percaya.Putraku selalu peka terhadap perasaanku, hal ini benar-benar sama persis dengan ayahnya.Perhatiannya menghangatkan diriku, membuat semua rasa kesalku seketika sirna.Aku penuh kasih sayang meraihnya erat ke dalam pelukan, mengecup pipinya yang lembut seraya berbisik, "Aku nggak apa-apa kok."Namun dia tetap hati-hati menggenggam tanganku, dengan penuh rasa sayang meniup pelan punggung tanganku yang terluka."Tiup-tiup biar sakitnya hilang! Mama, bilang saja,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status