Masuk3. Tak Ada Rasa
*** "Mama? Papa?" Emely terkejut melihat kedatangan kedua mertuanya. Dia pun segera membuka pintu rumahnya lebar-lebar. "Masuk, Pa, Ma. Semuanya sedang sarapan." Emely memberitahu kedua mertuanya lalu mengajak mereka untuk ke meja makan. "Pa, Ma." Darren dan Hans menyapa kedua orang tuanya. Mereka juga merasa terkejut melihat kedatangan mereka. "Tumben datang pagi sekali? Tidak memberitahu sebelumnya juga. Tahu begitu Darren jemput," ujar Darren. "Kami memang sengaja datang pagi-pagi, Dar. Cuma mau lihat anak nakal ini loh," ujar Gita, mamanya Darren dan Hans. Perempuan itu menjewer telinga Hans. "Kembali ke negaranya bukannya ke rumah orang tua malah ke rumah kakaknya," lanjut Gita sembari menatap marah Hans. "Ma. Aku sampai di Indonesia malam hari. Karena rumah Kakak yang lebih dekat, makanya aku pulang ke sini biar cepat istirahat. Kakak saja juga tidak tahu aku datang." Hans berujar. "Karena kamu sukanya yang mendadak memang," ujar Gita kesal. "Terus sejak kemarin kamu ke mana saja? Kok belum juga balik ke rumah?" Gita berkacak pinggang seperti sedang memarahi anak kecil. Hans tersenyum. "Ma. Indonesia ini memang sangat menakjubkan. Baru seharu aku sampai di sini, ide sudah berdatangan. Karena itulah aku tidak mengunjungi kalian dulu sebab ide yang ada sudah harus aku tulis sebelum mereka lari semua." Dia menjelaskan dengan senyuman lebar. Di saat Hans berkata-kata, ada Emely yang tampak merasa khawatir. Dia seperti orang yang baru saja melakukan kejahatan yang sangat besar dan takut untuk ketahuan. "Sudah-sudah. Kalian datang pagi-pagi sekali. Kalian sudah makan atau belum?" tanya Darren kemudian. Fathur menggeleg. "Belum. Kami datang pagi karena nanti siang kami harus terbang ke Mexico," ujarnya kemudian. "Kalau begitu, Papa sama mama ikut makan saja," ujar Emely dengan senyuman lebar. "Pasti dong. Selain karena kami akan pergi annti siang, kami juga ingin mencicipi masakan menantu mama yang cantik ini," ujar Gita dengan mencubit dagu Emely. "Kenapa tidak jujur saja sejak awal sih kalau kalian ini ke sini mau numpang makan?" tanya Hans. "Hans!" teriak Gita yang langsung membuat Hans lari ke meja makan. Mereka semua menuju meja makan lalu menikmati sarapan bersama. "Ada urusan apa ke Mexico, Pa?" tanya Darren. Fathur menggeleng pelan. "Tidak ada urusan apa-apa. Kami hanya ingin berbulan madu saja," ujar pria yang tak lagi muda itu tetapi masih memanjakan istrinya. Dia tersenyum ke arah sang istri. "Bulan madu kok ke Mexico. Nyari apa, Pa? Bulan madu itu ke Paris, Swiss, Maldives atau New Zealand. Mexico." Hans tak habis pikir dengan kedua orang tuanya ini. "Kok kamu yang syirik. Makanya cepat nikah sana biar bisa ajak istrinya bulan madu." Gita mencemooh anaknya. Kalau seperti ini Hans tak bisa apa-apa. Gita menatap Emely dan Darren. "Kalian kapan bulan madu lagi? Sebaiknya kalian segera jadwalkan. Biar program anaknya bisa cepat. Kami, kan sudah tidak sabar menimang cucu," ujar Gita. Jika Darren hanya tersenyum tipis, Emely tersenyum malu-malu, maka tidak dengan Hans yang entah kenapa dia merasa tidak suka dengan percakapan itu. Mendengar Emely dan Darren memiliki anak, rasanya menyakitkan dan memuakkan. *** Hans memutuskan untuk mengunjungi perusahaan. Dia mengetuk pintu ruangan yang tak lain milik kakaknya. "Apa aku mengganggu?" tanya Hans kemudian. Darren mendongak. "Hans?" Dia menggeleng. "Tidak. Aku hanya mengerjakan beberapa berkas saja. Masuklah." Hans mengangguk. Pria itu pun memasuki ruangan kakaknya dan meneliti sekitar beberapa saat. Setelah itu, dia duduk di kursi yang ada di seberang kakaknya. "Ada apa? Apa kau sedang mencari inspirasi?" tanya Darren. Pria itu bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari berkas miliknya. Hans terdiam beberapa saat untuk memikirkan apa yang akan dia katakan. Setelah mempertimbangkan, dia pun akhirnya memutuskan untuk mengatakannya. "Kak. Aku mendengar apa yang terjadi antara kau dan kakak ipar semalam," ujar Hans jujur. Apa yang dikatakan Hans membuat tangan Darren berhenti bergerak di atas kertas. Dia mengalihkan pandangan ke arah sang adik dengan pelan. "Jadi, kamu tahu?" Hans mengangguk. "Aku mendengar pertengkaran kalian. Aku melihat kepergianmu dari kamar kalian dan setelahnya aku mendengar kakak ipar yang menangis." Mereka terdiam beberapa saat. "Kak. Apa kau belum bisa mencintai Kakak ipar?" tanya Hans. Darren hanya diam dan itu sudah cukup sebagai jawabannya. "Kak. Aku tahu kalian menikah karena dijodohkan. Tapi tidak bisa kah kau memberikan cinta untuknya sedikit saja?" tanya Hans. Jujur saja, dia merasa marah pada dirinya sendiri karena mengatakan hal ini padahal dia sendiri tidak suka. "Cinta tidak bisa dipaksa, Hans." Darren menjawab dan dia melanjutkan kembali kegiatannya. "Lalu kenapa kau dulu mau menikahinya kalau kau tidak mencintai dirinya?" tanya Hans dengan kesal. Tanpa diduga, Darren langsung menggebrak meja dengan keras. Dia menatap sang adik dengan tajam. "Berhenti ikut campur mengenai rumah tanggaku, Hans. Lebih baik kau urusi saja pekerjaanmu," ujarnya marah. Hans ikut terpancing, tetapi dia masih bisa menahan emosinya. Dia pun mengangguk. "Oke. Aku tidak akan ikut campur lagi." Pria itu pun langsung bangkit dan keluar dari ruangan sang kakak. Detik itu juga ekspresi Hans berubah. Dia menunjukkan seringainya. "Baiklah. Aku tidak akan ikut campur lagi. Tapi, jangan salahkan aku kalau aku ingin mengambilnya darimu." setelahnya, dia benar-benar pergi. Di dalam ruangan, Darren tampak berpikir keras. Suara ponsel mengalihkan konsentrasi pria itu. Meraih benda pipih miliknya, dia mendapati sebuah pesan yang membuat pria itu menarik garis senyuman di bibir. "Aku datang.""Darren. Apa maksud mama kamu?" tanya Isabel panik, perempuan itu segera mendekat Darren dan menggoyangkan lengan sang kekasih untuk meminta jawaban.Gita hanya diam memperhatikan keduanya.Sedangkan Darren masih dalam keadaan terpaku setelah mendengar perkataan mamanya. Kalau sampai benar apa yang dikatakan sang mama, itu artinya dia ....Ah tidak-tidak. Bukan hanya dia, tetapi Isabell lah yang paling dalam keadaan berbahaya. Dia menatap Isabel dab memegang tangan perempuan itu kuat-kuat."Darren. Sakit," ujar Isabel yang berusaha untuk melepaskan genggaman tangan sang kekasih.Saking khawatirnya, Darren tanpa sadar meremas tangan Isabel dengan sangat kuat sampai perempuan itu kesakitan. "Maaf-maaf." Darren segera melepaskan genggaman tangannya pada tangan Isabel."Ada apa?" tanya Isabel kemudian. Dia menatap Darren yang terlihat jelas ekspresi kekhawatirannya."Kamu harus kembali keluar negri," ujar Darren kemudian kembali menggenggam tangan Isabel. Kali ini jauh lebih lembut dari s
"Mama?" Setelah mendapat pemberitahuan kalau dirinya dipanggil oleh sang mama, Gita langsung bergegas menuju ruangan Visha. Dia tampak bingung melihat ekspresi mamanya yang terlihat sangat marah.Visha menatap tajam satu-satunya anak yang dia miliki. "Apa yang sebenarnya kamu ajarkan terhadap anak kamu, Gita!"Melihat kemarahan mamanya, Gita langsung paham. Pasti Darren baru saja melakukan sebuah kesalahan yang besar. Perempuan itu pun langsung menunduk ketakutan. "Ma---maaf, Mama. Apa yang telah Darren lakukan?" Ya. Bertanya yang hanya bisa dia lakukan saat ini."Putar," ujar Oma Visha. Tak lama, layar besar di belakangnya memutar sebuah vidio kejadian. Gita yang melihat itu melotot seketika.Dia segera menunduk kembali. Kedua tangannya saling bertaut satu sama lain. "Ma--maaf, Mama."Oma Visha menggeleng pelan. "Ini sudah berada di luar kendali, Gita. Apa yang akan dia lakukan setelah ini? Menghancurkan keluarga kita?" tanyanya dengan suara penuh penekanan.Gita pun menggeleng cepat
"Silakan, Nona," kepala pelayan kediaman utama mempersiapkan Emely untuk menuju ke ruangan di mana Oma Visha sudah menunggu di sana.Emely bangkit seraya mengembuskan napas kasar. "Dia yang katanya ingin bertemu tapi kenapa masih aku yang diminta menunggu." Dia tidak bertanya, tetapi menggerutu. Perempuan itu pun berjalan menuju ruangan pertemuannya bersama Oma Visha. Dia memasuki sebuah ruangan di mana Oma Visha sudah ada di sana, menyambut kedatangannya dengan senyuman."Selamat datang, Emely," ujar Oma Visha."Terima kasih, Oma." Emely menjawab dengan sopan. Dia mengedarkan pandangan, menatap ke segala arah dan menyadari kalau ada yang datang sebelum dirinya. Itu kenapa tadi dia diminta untuk menunggu.Tapi, siapa? "Sepertinya ada tamu yang menemui Oma tadi," ujarnya kemudian.Oma Visha mengangguk. "Ya. Kamu benar.""Siapa?" Emely bertanya penasaran. Meskipun, dia akan tahu hasil akhirnya."Apa itu penting untuk kamu?" tanya Oma Visha kemudian.Benar bukan? Emely pun menggeleng. O
Pertemuan dengan Emely beberapa waktu lalu di toko pakaian menyisakan kekesalan di hati Isabel. Niat hati ingin pamer pada perempuan itu, dia sendiri yang malah dibuat kesal dan dipermalukan di depan umum.Namun, bagaimanapun juga apa yang dikatakan Emely tadi membuat Isabel kepikiran. "Apa benar yang dia katakan?" tanyanya kemudian.Perempuan itu sedang berada di dalam taksi menuju pulang. Mood dia berbelanja sudah lesap seketika karena insiden tadi. Menyangga dagu dan terus memerhatikan ke luar kaca mobil, Isabel terus berpikir."Apa benar sebenranya Darren sudah jatuh cinta sama Emely?" tanyanya kemudian. Dia terus bepikir akan hal itu."Bagaimanapun selama aku sekolah di luar negri, hanya Emely yang ada di dekatnya. Banyak hal yang bisa saja terjadi di antara mereka. Dan ... dan bisa jadi Darren memang sudah memiliki perasaan terhadap Emely. Isabel mulai panik.Dia ingat, Darren memang selalu mengeluarkannya di luar ketika mereka melakukan hubungan. Kalau pun tidak sengaja, setela
Perdebatan terjadi di dalam keluarga Emely. Di mana tiga orang tengah memperdebatkan keputusan Emely yang ingin berpisah dengan Darren. Terlihat Andi, ayah Emely yang merasa tidak setuju dengan keputusan putrinya yang ingin berpisah. "Pah. Apa tidak sebaiknya kita bicarakan lagi hal ini dengan Nyonya besar? bagaimanapun keputusan Emely itu bukan main-main. Dia membicarakan tentang perceraian," ujar pria itu mencoba meyakinkan papanya agar papanya itu kembali memutuskan untuk berpisah kepadanya. Sayangnya, sepertinya itu akan sulit. "Apalagi yang harus dibicarakan? Darren sudah salah. Dia berselingkuh. Bagi papa apa yang dilakukan Emely sudah benar," ujar pria tua itu kemudian. "Iya, Ayah. Kenapa sih Ayah sepertinya tidak setuju kalau Emely akan bercerai dengan Darren? Darren sudah menyakiti anak kita loh," ujar Cahya ikut menyambung kemudian. "Bu. Hubungan rumah tangga itu bukan main-main. Sebaiknya kalau ada masalah dibicarakan dulu, jangan langsung mengambil keputusan dengan
Emely tertawa tiada henti, perempuan itu merasa puas dengan apa yang baru saja dia lakukan terhadap Isabel. "Sudah. Nanti perut kamu keram gara-gara banyak tertawa," ujar Hans. Pria itu sedang menyetir kendaraannya."Habis. Rasanya puas banget lihat dia seperti itu. Coba saja kamu tadi lihat bagaimana ekspresi khawatir, ketakutan dan gelisahnya Isabel. Pasti kamu juga akan terus tertawa seperti aku," ujar Emely di sela tawanya.Hans mendengus. "Kamu lupa apa bagaimana? Kamu, kan yang melarang aku untuk ikut masuk," ujarnya kemudian."Eh? Iya juga." Emely terkekeh dengan tingkahnya sendiri."Ngomong-ngomong, kamu yakin kalau Isabel akan menuntut Darren agar menikahinya?" tanya Hans kemudian.Emely mengangguk penuh keyakinan. "Pasti. Aku kenal Isabel bukan hanya setahun atau dua tahun. Tapi bertahun-tahun sejak kami sekolah dasar. Jadi, aku tahu betapa ambisinya dia bagaimana dan tekad dia yang jika menginginkan sesuatu maka dia harus mendapatkannya," ujar Emely dengan senyuman dan eks







