Share

Tiga Kakak Tiriku yang Menggoda
Tiga Kakak Tiriku yang Menggoda
Penulis: Lil Seven

1. Rintihan Menggoda

Penulis: Lil Seven
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-07 11:06:27

“Ternyata kamu gadis nakal.”

Aku tersentak mendengar suara berat Aaron tepat di belakangku. Kurasakan tubuhnya menempel rapat, panasnya menembus tipis kain bajuku.

“K-Kak… aku tidak–”

Bibirku dibekap telapak tangannya, sementara pinggangku dicekal kuat.

“Lanjutkan menonton,” bisiknya, serak, menggoda. “Jangan pejamkan matamu.”

Melalui celah kecil pintu yang terbuka, tatapanku kembali terarah pada Aresh, kakak tiri pertamaku, yang tengah menghunjam tubuh wanita di bawahnya tanpa ampun.

Ranjang berderit, desahan bercampur raungan sensual, membuat darahku mendidih.

Leherku meremang saat napas panas Aaron menyapu kulitku. Ia terkekeh pelan.

“Kamu tampak sangat menikmatinya,” bisik Aaron, suaranya menancap di telingaku.

“Jadi, bagaimana kalau kita mencobanya juga malam ini, Adik Tersayang?”

Suara dalam Aaron, mengirim getaran aneh ke tubuh bagian bawahku, aku pun gemetar tanpa sadar.

***

Beberapa hari sebelumnya....

“Waaah, besar sekali!”

Aku meloloskan desah penuh kekaguman saat melihat rumah megah di hadapan. Hal itu memancing tawa dari ayah baruku, sementara pipi ibuku bersemu kemerahan–mungkin malu karena ucapanku yang polos tersebut.

“Manis sekali anak gadis ini,” komentar ayah baruku sambil tersenyum. Beliau menepuk-nepuk puncak kepalaku pelan.

“Ayo masuk dulu, Sherry. Saya kenalkan dulu pada kakak-kakakmu.”

Belum lama ini, ibuku yang cantik menikah lagi dengan seorang milyuner tua yang membawa tiga orang putra ke dalam pernikahan. Ayah baruku itu adalah orang yang hangat dan humoris, membuatku sulit untuk tidak menyukainya.

Apalagi memang ia membuat ibuku tampak bahagia setelah bertahun-tahun sengsara bertahan hidup tanpa dukungan suami.

Aku masuk ke dalam rumah megah yang tidak pernah kubayangkan akan bisa kutinggali.

Ruang utamanya begitu lapang, dengan langit-langit tinggi yang membuat segalanya terasa lebih besar dari seharusnya. Semua tampak bersih, teratur, dan mahal–sungguh mencerminkan betapa kayanya pria yang menikahi ibuku tersebut.

“Itu kakakmu yang nomor dua,” kata ayah baruku saat seorang pria berbadan tegap berjalan menuruni tangga. Membuatku langsung mengarahkan pandangan ke arahnya.

Tatapan mata tajamnya yang sempat melihatku tampak dingin, sementara setengah wajahnya yang lain tertutup masker hitam.

“Aku pergi dulu. Ada masalah kantor,” kata pria itu pada ayah baruku dengan nada datar. Lalu tanpa menunggu respons, ia langsung keluar rumah.

Ayah baruku menghela napas. “Haa. Anak itu….”

Tatapanku tiba-tiba tertuju pada sesuatu di atas lantai. Sebuah kunci motor.

Apakah pria tadi menjatuhkannya?

“Maaf, permisi sebentar, Om,” kataku. Tanpa pikir panjang, aku ambil benda itu dan mengejar si kakakku yang nomor dua.

"Kak!" panggilku dengan suara cukup keras.

Pria itu menghentikan langkah, menoleh ke arahku dengan kening berkerut. Meski tampak tidak ramah padaku, aku tetap berjalan mendekat sembari mengulurkan kunci yang kutemukan tadi.

"Kak, ini tadi jatuh," ucapku sambil tersenyum.

Ekspresi pria itu tampak semakin dingin, kerutan di keningnya bertambah. Ia meraba sakunya terlebih dahulu sebelum kemudian tangannya terulur ke arahku.

Kupikir, ia akan mengambil kunci yang kusodorkan padanya ini, tapi hal yang mengejutkan terjadi.

Dengan satu gerakan keras, dia mencengkeram tanganku dan menyentakku mendekat untuk berbisik dengan suaranya yang dingin, “Siapa yang kamu panggil ‘Kak’? Tidak tahu malu.”

Tubuhku menegang. Aku tidak sempat bereaksi lebih jauh karena dia sudah mengambil kunci di tanganku dan berbalik untuk melangkah pergi

"Sialan, pagi yang menyebalkan," desisnya, terdengar sangat kesal.

Sepasang mataku membola.

Pria itu … benar-benar tidak menyukaiku ya?

Dengan hati terluka, aku kembali ke tempat ibu dan ayah tiriku menunggu.

Rupanya, selain Aaron, kakakku yang nomor dua tadi, saudara tiriku yang lain sudah tidak ada di rumah. Beliau pun baru mendapatkan kabar tersebut dari pelayan, bahwa Aresh dan Arsion, dua kakakku yang lain, sudah lebih dulu pergi dari rumah saat para orang tua menjemputku tadi.

Aku tidak terlalu ambil pusing dengan sikap mereka. Karena toh memang sulit menerima orang baru.

Apalagi, hari ini ayah tiri dan ibuku pergi berbulan madu. Aku tidak mau mereka melihatku sedih hanya karena sikap para kakak baruku.

Namun, setelah mereka berangkat ke bandara, tak urung aku merasa kesepian dan kurang kerjaan.

Karenanya, aku memutuskan untuk jalan-jalan di sekitar rumah.

Langkahku membawaku ke tempat yang asing di tengah taman belakang. Ada bangunan kecil di belakang rumah—yang aku tidak tahu untuk apa kegunaannya.

Bangunan itu berdiri agak terpisah dari rumah utama. Ukurannya tidak besar, hanya satu lantai dengan cat dinding warna putih. Di bagian depan ada teras kecil dengan beberapa kursi kayu..

“Tempat apa ini…?” gumamku, menatap pintu kayu yang sedikit terbuka.

Dari dalam terdengar suara aneh. Suara desahan yang aku tidak tahu apakah pemiliknya sedang kesakitan atau tengah dibuai kenikmatan.

Tiba-tiba jantungku berdegup tak karuan.

"Suara apa itu?"

Karena penasaran, perlahan aku mendekat dan mengintip melalui celah pintu.

Dan pandanganku membeku.

Seorang pria tanpa busana tengah bergerak liar di atas seorang wanita. Otot-otot pria itu bergerak liar, keringat bercucuran.

“Aresh–ah! Lebih cepat lagi–”

Mataku membelalak. Napasku tercekat sementara wajahku memanas melihat adegan liar di depanku, apalagi saat tahu siapa pria yang membuat wanita itu mendesah dengan suara basah.

Bukankah itu Aresh? Kakak tiriku yang pertama?

“A-aku harus pergi…”

Merasa bahaya yang tak terkatakan, aku segera berbalik, berlari secepat mungkin.

Kakiku nyaris terantuk batu, jantungku berdetak seperti ingin meledak, tapi aku terus berlari secepat mungkin.

Malam itu aku tak bisa tidur. Bayangan pria entah siapa yang bercinta dengan begitu liar tersebut terus menari di kepalaku, membuat jantungku berdebar kencang.

Aku sama sekali tidak tahu bahwa saat meninggalkan bangunan tadi untuk kembali ke rumah utama, ada sepasang mata tajam yang mengamatiku.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (4)
goodnovel comment avatar
Marni Limid
awal cerita yang bagus
goodnovel comment avatar
Ara Malikaa
penasaran ....
goodnovel comment avatar
KAMARISA LIA
mendebarkan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Tiga Kakak Tiriku yang Menggoda   136. Merangkak Ke Dosen Mesum?

    "Apa maksudnya?" Aku bertanya, pura-pura tak tahu meski dadaku berdebar kencang. "Ah, tidak kok, Sherry. Tidak ada apa-apa," jawab salah satu mahasiswi sambil cepat-cepat membereskan laptopnya dan meninggalkan bangku, seakan-akan ada yang disembunyikan. "Aku benar-benar tak mengerti, apa maksud kamu bilang aku mahasiswi favorit pak Samuel?" tanyaku sekali lagi, tapi mahasiswi itu tetap tak menjawab. Beberapa mahasiswi yang tadi melirikku sambil terkikik-kikik, juga buru-buru bangkit dan pergi. "Hey... "Aku berusaha memanggil mereka dan bertanya apa maksud kata favorit yang mereka katakan, tapi tak ada satu pun yang berhenti. "Kenapa firasatku buruk?" gumamku saat melihat gelagat aneh mereka, tapi, tepat ketika aku berusaha menarik napas panjang dan mencoba tidak berpikir terlalu jauh, ponselku bergetar.Aresh, menelepon. Jantungku seketika terasa berhenti berdetak dan kulit tengkukku merinding."Tidak… jangan sekarang," ggumamku panik. Ponselku terus menyala dan telepon Aresh

  • Tiga Kakak Tiriku yang Menggoda   135. Mahasiswi Plus Plus

    "Apa saking tak bisa menahan nafsunya sampai kondisi kamu seberantakan ini? Kamu ini benar-benar memalukan, Sherry!"Mendengar tuduhan tak berdasar Aresh, aku tentu saja langsung menggeleng keras dan menyangkal. "A-apa maksudnya, Kak? Siapa yang mampir hotel, hari ini aku bahkan tidak bertemu Kaiser dan—""Oh, lalu dengan pria mana kamu menghabiskan malam sampai kondisimu seberantakan itu, Sherry? Jangan menipuku, aku jelas bisa melihat kamu baru saja disentuh seorang pria!"Aku terdiam, tak mampu berkata-kata, hanya mataku yang berkaca-kaca lah yang menjawab semua tuduhannya. "Kak...."Rasanya sangat sakit, saat tak ada satupun yang mau mendengar aku bicara dan terus menuduh macam-macam. Mungkin karena tak tahan melihat aku yang hampir menangis, Aresh akhirnya hanya menghela napas dan mengacak pelan rambutnya. "Hah, pokoknya kamu harus fokus kuliah dan mendapatkan nilai tinggi, Sherry. Karena kalau nilaimu turun lagi, hukumannya bukan hanya magang saat liburan semester, tapi lebi

  • Tiga Kakak Tiriku yang Menggoda   134. Pemuas Lelaki?

    Arsion tidak langsung menjawab pertanyaanku. Ia berdiri membelakangi, kedua tangannya mengepal seolah sedang menahan sesuatu. Ketika ia berbalik, sorot matanya tajam, dingin… bukan murka besar, tapi cukup menusukku hingga membuat napasku tertahan."Sion.... "Suaraku serak, menahan tangis. Entah kenapa tatapannya sekarang mengingatkan aku pada hari pertama memasuki rumah ini, di mana tak ada satu pun dari ketiga kakakku yang menerima kehadiranku. Arsion hanya mengangkat satu alis, menatapku seperti melihat sesuatu yang menjijikkan.“Kenapa kamu telepon aku berkali-kali?” tanyanya pelan, tapi nadanya seperti pisau. “Itu... itu karena aku membutuhkan kamu tadi, Sion. Aku… aku takut. Aku—”Belum selesai aku bicara, Arsion memotong. “Takut?” Dia tersenyum sinis, berjalan melewatiku seperti tidak peduli. “Kamu benar-benar takut, atau cuma sedang drama karena kamu terlalu sibuk ngurusin hidup orang lain?”Aku mengerutkan kening, bingung. “Apa maksudmu? Aku tadi benar-benar—”“Double d

  • Tiga Kakak Tiriku yang Menggoda   133. Kamu Kenapa, Arsion?

    "Sion, tolong angkat... tolong angkat.... "Setelah ditolak Claire untuk bicara dengan Aaron, aku mencoba menghubungi saudara tiriku yang lain, Arsion. Aku berulang kali menekan ikon telepon di layar ponselku, jemariku bergetar dan napasku sesak karena panik yang terus menggedor dada. "Arsion… angkat, tolong! Tolong!" gumamku, memohon dengan putus asa saat sekali lagi nada sambung terdengar, panjang, membosankan, dan diakhiri bunyi terputus yang menyiksa. Tidak dijawab. Arsion tak menjawab teleponku. "Kenapa? Kenapa dia tidak mau mengangkat teleponnya?"Aku menggigit bibirku, tak menyerah dan mencoba lagi menghubungi Arsion. Satu kali. Dua kali. Lima kali. Tidak diangkat.“Oke… oke… tenang…” bisikku pada diri sendiri, tapi suaraku sendiri terdengar pecah. Putus harapan. Arsion, kamu di mana, sedang sibukkah? Kenapa tak mengangkat telepon? “Baiklah, aku akan menghubungi Kaiser. Dia pasti angkat. Kaiser selalu mengangkat teleponku,” gumamku, mencoba menelepon Kaiser. Keringat d

  • Tiga Kakak Tiriku yang Menggoda   132. Gadis Kampung Merepotkan!

    Sementara itu... Di ruang tertutup dengan layar monitor penuh data, suara tembakan dari headphone masih bergema, tapi pandangan Aaron tetap fokus. Tugas penyusupan ini sangat berbahaya, ia tahu itu. Sekali salah langkah, hidupnya dan bawahan yang dia perintah, bisa berakhir.Namun tiba-tiba, suaranya Claire terdengar dari mikrofon kecil di telinganya."Boss, Sherry baru saja menelepon. Katanya dia dalam bahaya, tapi saya sudah menanganinya. Anda fokus saja dengan pekerjaan Anda," lapor Claire, yang kini berada di tempat berbeda dengan Aaron. Gerakan Aaron berhenti sejenak saat mendengar laporan Claire, napasnya tertahan tapi ekspresinya tak berubah. "Dalam bahaya?" Aaron bertanya, alisnya terangkat sedikit."Ya, katanya begitu. Tapi setelah saya cek, tidak ada ancaman spesifik. Sepertinya hanya masalah kampus biasa, atau sifat kekanak-kanakannya kambuh. Anda sendiri tahu dia suka panik berlebihan," jawab Claire, sopan tapi terdengar muak saat melaporkan Sherry. "Kamu yakin begit

  • Tiga Kakak Tiriku yang Menggoda   131. Aaron, Tolong!

    "Berani keluar, nilai D. Pikir ulang baik-baik, Sherry," ucap Pak Samuel santai, seraya menaikkan satu alisnya. Seakan-akan aku tak akan pernah berani keluar dari ruangan ini karena ancaman itu. Mataku menyipit melihat seorang dosen yang harusnya mulia, ternyata serendah ini. Kupejamkan mata, menarik napas panjang. "Apa pun konsekuensinya… saya tidak akan pernah menjual diri saya, Pak," ucapku, berusaha terdengar setegas mungkin. Lalu, tanpa menunggu reaksinya, aku mendorong pintu dan berjalan keluar secepat mungkin. Di depan pak Samuel, aku tadi terlihat begitu tegar dan tak takut sedikit pun, tapi sebenarnya, begitu keluar ruangan, seluruh tubuhku gemetaran. Masih sambil menahan gemetar, aku segera berlari melewati lorong kampus, napasku terasa sesak tapi aku terus berlari, ingin kabur secepatnya dari dosen mesum itu. Begitu sampai di pelataran kampus, aku membungkuk untuk mengatur napas yang rasanya seperti hendak putus. "Hah, hah, hah.... " Dengan napas yang masi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status