"S-selamat pagi."
Aku mengucapkan sapaan canggung saat hendak duduk di meja makan untuk sarapan. Di sana, sudah ada tiga orang pria dewasa. Aku mengenali Aaron dan tatapan tidak acuhnya. Pria itu sedang sibuk dengan ponsel, sama sekali tidak menoleh saat aku datang. Lalu … Aresh. Wajahku sontak memerah saat mengenali wajahnya. Meski sekarang ia tampak sopan dan rapi, tapi aku jelas mengingat ekspresinya saat beradegan panas di bangunan kecil di belakang rumah ini tempo hari. “Oh, jadi ini si adik kecil.” Aresh berkomentar ringan saat pandangan kami bertemu. Sudut bibirnya terangkat. “Hai.” “Halo,” cicitku, sembari berusaha menghapus ingatan. Bayangan kejadian kemarin, di mana tubuh bugar Aresh berkilau karena keringat, desah panas seorang wanita di bawahnya yang memanggil nama Aresh dengan nada memohon, disertai suasana liar di sekitar mereka.... Membuat aku tanpa sadar menelan ludah dan cepat-cepat menoleh ke arah lain untuk menyembunyikan panas wajahku. Di saat itulah, aku melihat si pria ketiga. “Selamat pagi,” sapaku pada orang yang kuduga adalah kakak ketigaku, Arsion. Katanya usianya sama denganku. “Salam kenal. Aku–” “Berisik.” Sosok kakak ketigaku itu menukas sinis. “Merepotkan sekali. Kita benar-benar harus begini?” “Ayah minta kiriman video,” ucap Aresh singkat. Apa maksud ucapannya? “Ck.” Arsion berdecak. Pria itu menyandarkan punggungnya sembari bersedekap. Tatapannya yang tajam melirikku dengan ekspresi tidak suka. Kenapa semua orang seperti membenciku di rumah ini? Apa salahku? Apakah karena aku terlambat turun untuk sarapan? Sebelumnya aku tidak tahu kalau anggota keluarga wajib makan bersama. Baru tadi seorang pelayan memintaku turun karena dipanggil oleh ketiga kakakku. "Lakukan dengan cepat. Aku muak bersandiwara." Kini suara Aaron membelah udara, aku meliriknya sedikit dari ujung mata. Hawa dingin seakan menyelimuti dirinya, membuat aku merinding tanpa sebab. Aresh tersenyum tipis dan mulai menyiapkan ponsel miliknya untuk merekam 'sarapan hangat keluarga baru' dan ketiga saudaraku pun mulai berakting sempurna di sana. "Ayah, jangan khawatirkan apa pun. Adik baru kami aman di sini, kami akan menjaganya," ucap Aresh, sebelum mengakhiri video. Senyumnya begitu cemerlang dan penuh kasih sayang, seakan-akan sedang menunjukkan kasih sayang tanpa batas padaku. Begitu video mati, semua berubah kaku seperti semula. "Aku nggak nafsu makan." Arsion menggebrak pelan meja, sebelum berdiri, meninggalkan sarapannya yang masih tak tersentuh. Sebelum pergi, dia melotot ke arahku, alisnya yang indah bertaut dengan bibir cemberut. "Heh, kamu. Kita sekarang kuliah di tempat yang samaa. Jangan sampai ada yang tahu kamu adikku. Aku malu punya adik gembel kayak kamu!" Arsion kembali melontarkan kata menyakitkan, membuat aku hanya tersenyum pasrah. "Aku juga selesai, ada panggilan mendadak," ucap Aresh, ikut berdiri. Sama seperti Arsion, sarapannya juga tak tersentuh. Sebelum ia pergi, Aresh menghampiriku yang masih duduk. Ia tersenyum begitu manis, sampai kupikir bahwa kakak pertamaku ini berbeda, dia sudah dewasa, pasti tidak akan bersikap kekanak-kanakan seperti Arsion, yang menunjukkan permusuhan terang-terangan padaku. Mungkin karena merupakan anak pertama, Aresh akan lebih mirip ayah tiriku yang ramah. Meski ia punya sisi yang tak kupahami. Akan tetapi, ternyata aku salah. Tangan besar Aresh menyentuh pundakku, dan mencengkeram pundakku dengan keras, sampai aku mengernyit kesakitan. "K-Kak–" "Adik tiriku sayang, kamu pasti tahu tempat dan tidak akan mencampuri urusanku dengan lancang, kan?" Aresh masih tersenyum, kepalanya menunduk sedikit dan ia berbisik di samping telingaku. Kata-katanya sangat lembut, manis dan memabukkan, tapi tubuhku anehnya gemetar hebat. Merasakan bagaimana cengkeramannya yang semakin kuat di pundakku saat mengatakan hal itu, secara insting aku tahu, ini adalah ancaman. Apakah Aresh tahu aku tak sengaja melihatnya kemarin? “A-ah–” desah kesakitan lolos begitu saja dari mulutku karena cengkeramannya menguat. Buru-buru aku mengangguk. Setelah mendapatkan respons dariku, Aresh melenggang pergi dengan santai, seakan tidak pernah melontarkan ancaman apa pun. Sepasang mataku berkaca-kaca, sementara kedua tanganku menggenggam erat sendok makan untuk meredam gemetar yang kurasakan. “Singkirkan wajah sedih itu dan habiskan makananmu,” ucap Aaron tiba-tiba, membuatku mendongak menatapnya. Tatapan kami bertemu saat Aaron meminum susu di gelas yang ia pegang. "Ikut aku," ucapnya dengan nada dingin yang menakutkan, sembari mengusap ujung bibir bekas susu dengan jari jempol. Matanya yang tajam membuat aku semakin ketakutan, ditambah dengan tubuhnya yang tinggi menjulang, membuat gemetaranku semakin tak tertahankan. Pergi ke mana? Kenapa kata-katanya sangat mencurigakan sekaligus menakutkan!? Mau dipaksa sekalipun, aku jadi tidak bisa makan. Oleh karena itu, buru-buru aku mengikuti kakak tiriku yang kedua itu. "M-maaf, kita mau ke mana?" Dengan suara pelan aku bertanya sambil mengikuti langkah Aaron yang cepat menuju garasi. Aku masih takut memanggilnya 'kak' karena kejadian kemarin. Aaron hanya diam dan membuka pintu mobil. "Masuk. Aku tidak punya waktu, kita selesaikan dengan cepat." Di dalam mobil? Selesaikan dengan cepat? Maksudnya apa!?Gugup dan takut karena terpergok Aresh, aku reflek mundur ke belakang, hampir kehilangan keseimbangan.“K-kami…."Suaraku tercekat.“Kami hanya kebetulan lewat dan sedikit berdebat, Kak.”Aaron tiba-tiba memotong, suaranya tenang namun terdengar penuh kendali.Ia meraih lenganku tanpa memberi kesempatan padaku untuk mengelak, menarikku hingga berdiri di belakang tubuhnya yang kokoh.“Lanjutkan senang-senangnya, Kak. Maafkan keributan tadi,” lanjut Aaron, nada bicaranya sopan, tapi santainya seolah meremehkan.Ujung matanya dengan sengaja melirik ke arah kamar yang terbuka, memperlihatkan sosok gadis montok hanya berbalut selimut di ranjang Aresh.Aresh hanya menatap sekilas, lalu beralih ke Aaron. Dengan ekspresi malas, ia melambaikan tangan dan menutup pintu tanpa komentar.“Huff…”Aku mengusap dada, menghela napas lega, pikiranku masih kacau karena hampir saja ketahuan mengintip.Namun kelegaanku langsung hancur ketika tangan besar Aaron tiba-tiba menggenggam lenganku lebih erat. Sa
"Kak, ak-aku.... aku cuma...."Tak disangka, Aaron malah membekap mulutku, menempelkan tubuh bagian depannya ke tubuhku sambil berbisik dengan dingin."Lanjutkan.""H-hah?"Jantungku menggila saat tubuhku yang sedang panas menempel di tubuh kuat Aaron. Aroma parfumnya yang gentleman membuat kepalaku pusing."Lihat apa yang ingin kau lihat," bisiknya lagi, nada suaranya terdengar seperti ejekan.Tubuhku seketika menggigil. A-apa maksudnya?! Bagaimana bisa aku tetap melihat percintaan Aresh dengan wanita itu di depan sana, sedangkan Aaron berdiri di belakangku?!Apakah dia sedang menguji diriku untuk mempertimbangkan membunuhku atau tidak?!"Kamu berani menolak perintahku?"Aaron yang melihat aku tak mau lanjut mengintip ke dalam berkata dengan nada dingin yang membekukan tulang."T-tidak, Kak!"Suara lirihku pecah, penuh rasa takut."Bagus," balasnya singkat, lalu ia menekan sedikit tubuhku ke arah pintu, membuatku tak punya pilihan selain kembali menatap ke depan.Suara erangan wanita
Wajahku memerah mendengar ucapannya.“Bukan begitu,” sanggahku, malu. Tapi tidak mampu menjelaskan lebih lanjut karena debar jantungku masih tidak karuan.Lelah.Pada akhirnya, aku hanya menunduk dalam-dalam, tak berani menatap siapa pun sembari memikirkan sebuah cara untuk menyembunyikan bajuku yang membingkai bentuk tubuh ini dengan sempurna..Tiba-tiba, sesuatu yang tidak kuduga terjadi. Arsion tiba-tiba melemparkan jaketnya ke arahku. Gerakannya cepat, seolah ia sendiri tidak mau terlihat terlalu peduli.“Pakai. Badanmu itu … memang bisa dipakai buat menggoda pria?”Aku terpaku, menatapnya dengan bingung, tapi sama sekali tidak tersinggung.Jaket itu hangat, berbeda dengan kata-kata yang barusan ia lontarkan.Sebelum aku sempat bicara, Arsion sudah berjalan menjauh. ***[Aku ada acara selesai kelas. Kamu pulang sendiri, jangan merepotkanku lagi.][Alamat rumah: terlampir.][Awas jika kamu mengadu ke Papa.]Tiga pesan singkat itu masuk ke ponsel baruku. Kulihat pengirimnya sedang
“K-Kak–”Satu tangannya yang bebas menangkup pinggulku–menahanku agar tidak bisa melarikan diri.Dari jarak sedekat ini, aroma maskulin yang menguar darinya makin tercium jelas, memaksaku menahan napas agar tidak jadi makin gila.Tidak … tidak boleh begini!“Kenapa? Tidak mau?”Aku menggeleng kuat-kuat. Bibirku terbuka, ingin memberikan penolakan masuk akal. Atau penjelasan apa pun agar dia berhenti.Namun, tidak ada suara yang keluar.Kenapa aku tidak bisa menolaknya!?Akan tetapi, sepertinya gelengan kepalaku tadi cukup, karena kulihat sorot mata Aaron berubah makin dingin seiring seringai di bibirnya menghilang.“Kalau begitu, jadilah gadis baik yang tidak mengintip atau masuk ke tempat yang tidak seharusnya.” Suara Aaron yang rendah terdengar mengancam. “Keluar.”Aku memaksakan diriku untuk pergi dari sana, meskipun kakiku terasa seperti agar-agar. Lemas dan tak bertenaga.“Oh?”Tepat saat aku keluar dari kamar Aaron, aku berpapasan dengan Aresh di depan. Penampilan pria itu rapi
"Nona, ini ponsel untuk Anda dari Tuan Aaron."Malam harinya, seorang pria muda dengan jas rapi menyodorkan sebuah tas bertuliskan merk ponsel yang tadi pagi kulihat. "Ah, terima kasih banyak," jawabku sambil menerima kotak ponsel itu dengan canggung. Saat kubuka, di dalamnya berisi ponsel seharga lima belas juta yang tadi direkomendasikan oleh kakak pegawai toko.Sontak saja aku terkejut.“Eh–ini.” Aku menatap sang asisten yang mengantarkan ponsel. “Dari Kak Aaron?”Sang asisten mengangguk. “Beliau memerintahkan saya untuk membelikan ponsel yang diinginkan oleh Nona Sherry. Pegawai toko yang Nona kunjungi tadi pagi menginformasikan bahwa ponsel inilah yang Nona sukai.”Tidak! Bukan ponsel ini yang kumaksud tadi. Pegawai itu berbohong!Aduh, bagaimana jika Aaron benar-benar berpikir bahwa aku memanfaatkan uangnya? Apakah ia makin membenciku?Aku harus segera minta maaf!“Kak Aaron sekarang di mana?” tanyaku kemudian.“Beliau sedang menuju rumah, Nona. Mungkin sebentar lagi sampai.”T
Apakah ia mau membuangku? Kalau ditinggalkan di suatu tempat di kota ini, aku pasti tidak akan bisa kembali ke sini. Ataukah dia akan membiusku, membedahku, lalu menjual organ tubuhku?Sejujurnya, postur tubuh Aaron sangat mendukung untukku berimajinasi liar. Lihatlah setelan serba hitam yang ia pakai dan wajah dingin tanpa ekspresi itu, siapa pun pasti akan mengira jika dia adalah bos penjual organ tubuh manusia. Tangan Aaron yang besar itu kemudian mendorongku masuk ke dalam mobil, lalu menutup pintu.“Eh, anu, Kak–eh, Pak,” ucapku buru-buru saat ia duduk di kursi pengemudi. “Tuan Aaron. Itu. Maaf. Kayaknya aku kurang pantas kalau dijadikan sasaran….”Wajah Aaron tampak mengernyit. “Bicara apa? Kita akan ke mal,” katanya. “Ayah menyuruhku mengantarmu membeli ponsel baru.”Aku berkedip, tampak bingung. “Tapi ponselku baik-baik aja, Kak. Eh–”Aaron mendengus, lalu melirik barang jadul di pangkuanku. Aku bisa merasakan kejengkelannya saat melihat ponsel tuaku. Memang, layarnya sudah