Rasa pahit dari buah penyembuhan itu masih melekat di lidah Kael saat ia bersandar pada dinding dingin gua. Lengannya yang tadinya patah kini telah pulih sepenuhnya, namun tubuhnya gemetar, bukan karena rasa sakit—melainkan karena rasa lapar yang membuncah tak tertahankan, menggeliat seperti binatang buas yang terbangun dari tidur panjang. Sarah mendekat, dengan cemas mengulurkan sekantong roti kering dan sepotong daging asap. “Makan ini dulu. Kalau kau terus memakan buah itu tanpa asupan lain, kau bisa pingsan.” Kael tak menjawab, hanya meraih makanan itu dan memakannya dengan rakus. Tangannya bergetar, matanya menatap kosong namun penuh ketegangan. Beberapa menit kemudian, setelah suapan terakhir ditelan, napasnya melambat. “Aku baik-baik saja sekarang,” katanya pelan, lalu menatap lengannya, memutarnya ke kiri dan kanan, memastikan tulang itu benar-benar pulih. “Sulit dipercaya... seperti tidak pernah patah.” Sophia mendekat dengan langkah ringan, matanya bersinar dengan campur
Saat Kael berusaha melepaskan dirinya dan melawan monster sapi yang mendekat dengan sorot mata membunuh, tiba-tiba tubuhnya terguncang hebat. Sensasi itu seperti ditarik keluar dari pusaran mimpi buruk—kejut, hampa, dan membingungkan. "Hey, Kael? Kenapa denganmu?" suara Murphy memecah keheningan yang tiba-tiba terasa asing. Tangannya mengguncang bahu Kael dengan panik, wajahnya menegang. Kael tersentak sadar. Dunia di sekelilingnya berubah drastis—arena yang sebelumnya dipenuhi riuh penonton kini sunyi, gelap, dan mencekam. Suasana itu kontras sekali dengan kegaduhan sebelumnya. Sosok-sosok tengkorak yang mengisi tribun bagai patung mati, namun tetap membuat bulu kuduk merinding. Kael diam, napasnya memburu. Tanpa berkata sepatah kata, ia menarik Murphy menjauh dari arena, tubuhnya masih terasa berat seolah baru terlepas dari belenggu gaib. Murphy tidak mengerti, namun mengikuti langkah Kael dengan ragu. Matanya sempat melirik ke arah arena yang kini diliputi kegelapan pekat. Entah
Suasana di sekitar arena semakin menekan, seolah setiap langkah menuruni tangga membawa mereka lebih dalam ke rahang sesuatu yang tidak terlihat, namun mengintai dengan sabar. Udara terasa lebih berat, dan bisikan tak kasat mata menyelusup di antara dinding batu yang dipenuhi tengkorak. Kilatan sihir samar kadang terlihat dari celah-celah langit-langit arena, membuat suasana semakin tak wajar. Murphy, yang berada beberapa langkah di belakang, terus menoleh dengan gelisah. Matanya menyapu tribun yang kosong, namun hatinya bergetar. Ada sesuatu... atau seseorang, yang memperhatikannya. Ketika pandangannya tertumbuk pada sosok tengkorak duduk membatu di kursi penonton yang telah lama mati, bulu kuduknya berdiri. Ia buru-buru mempercepat langkah, menyusul yang lain sambil menelan rasa takut. Sementara itu, ketegangan menyelimuti seluruh kelompok. Bukan hanya karena atmosfer menyeramkan, tapi juga karena pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban: Apakah monster sapi benar-benar ada?
Sementara Kael kesulitan menghadapi monster buaya yang mengganas dengan tubuh bersisik seperti logam tua dan tatapan penuh naluri predator, di sisi lain arena, Sophia sedang dalam puncak dominasinya. Dengan rambut berayun ringan dan tatapan dingin di balik keceriaan wajah mudanya, ia mengangkat tangan dan memanggil ledakan-ledakan kecil dari potion yang ia ciptakan di udara. Di hadapannya, sosok Golem batu raksasa setinggi lima meter terlihat terperangkap dalam jeratan lendir transparan yang tampak lembut seperti air, namun memiliki kekuatan menahan seperti rantai sihir baja. Lendir tersebut menjerat kaki dan lengan golem, merayap ke tubuh besarnya, dan terus mengeras, memaksa setiap gerakannya melambat. BANG! BANG! BANG! Ledakan-ledakan dari potion yang ditembakkan Sophia meletus di tubuh lawannya seperti tetesan hujan api, menorehkan bekas hitam dan retakan tajam di permukaan batu. Suara deru ledakan bercampur dengan gemuruh sorakan para penonton yang berdiri di tribun seakan me
Kael merasa terhimpit oleh kegelapan hutan purba yang melingkupi sekelilingnya, seolah-olah ia terjebak dalam ruang hampa tanpa ujung. Aroma tanah basah dan dedaunan membusuk berpadu dengan kabut dingin yang menyesakkan, membakar hidungnya dan menyisakan rasa pahit di tenggorokannya. Di antara pepohonan yang menjulang tinggi, cahaya bulan muncul samar, berjuang menembus tirai daun lebat yang selalu menghalangi.Akar-akar pohon menjalar di bawah kakinya, menimbulkan sensasi aneh seolah tangan-tangan hantu berusaha menahan langkahnya, menariknya ke dalam kedalaman misterius hutan. Angin lembut membawa bisikan halus, menyerupai suara-suara kuno yang memanggil dari balik bayang-bayang pepohonan. Hutan ini bukan sekadar tempat; ia adalah makhluk hidup dengan kesadaran dan niatnya sendiri, berbisik kepada Kael untuk berhati-hati, atau bahkan menyerah.Keheningan malam terasa pekat dan getir, seolah alam pun menahan napas, menunggu sesuatu yang tak terduga. Setiap langkah Kael semakin berat,
Malam menyelimuti rumah Kael dengan kegelapan pekat, seolah-olah selimut malam menutupi setiap sudutnya. Angin dingin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah yang baru saja diguyur hujan, berpadu dengan kabut yang menggantung di udara. Di depan pintu rumahnya yang rusak dan tampak rapuh, Kael berdiri tegap, menjadi satu-satunya pelindung bagi keluarganya yang berharga.Dari kegelapan, tiga penyihir Ordo Umbra muncul. Jubah hitam mereka berkibar bagaikan sayap gagak, menandakan kematian yang mengintai di setiap langkah mereka. Mata merah mereka bersinar di balik topeng, memancarkan kebencian yang tak pernah padam. Dalam cahaya bulan yang redup, mereka tampak seperti perwujudan kegelapan yang menjelma menjadi manusia, seolah-olah mereka lahir dari mimpi buruk."Kael Aethel," suara salah satu dari mereka terdengar kasar dan dingin, memecah keheningan malam. "Serahkan Teknik sihir Racun Tiga Mayat. Atau kami akan menyelesaikan ini dengan cara kami."Kael mengepalkan tangan, merasakan
Rumah itu kini hanya sebuah bayangan kenangan, gambaran masa lalu yang terhapus oleh kepingan waktu. Kael melangkah cepat melalui lorong hutan purba yang lebat dengan semak belukar, setiap langkahnya menggelora dalam kesunyian yang mencekam. Di belakangnya, Sarah dan Laila mengikuti dengan wajah cemas, seolah kegelapan hutan menelan ketenangan yang tersisa di hati mereka.Sarah menggenggam tangan Laila erat, menyalurkan semangat agar adiknya tetap di sampingnya. Matanya yang berpendar ungu menembus kegelapan tebal hutan, mendeteksi setiap gerakan energi di sekeliling mereka, seolah bisa merasakan ketegangan di atmosfer. Setiap kali Kael melirik ke belakang, dia bisa melihat kerut kecemasan di wajah Sarah dan keceriaan yang perlahan memudar dari raut Laila yang polos.Hutan purba Aethel dikenal sebagai tempat yang tidak ramah dan penuh misteri. Udara dingin menyengat kulit mereka, aroma tajam tanah lembap bercampur dengan suara alam yang terus berbunyi, menciptakan simfoni kesunyian ya
Hutan purba semakin gelap seiring perjalanan mereka. Pepohonan raksasa menjulang tinggi, dahan-dahannya saling bersilangan, menciptakan kanopi alami yang hampir sepenuhnya menutupi cahaya bulan. Aroma tanah basah dan dedaunan membusuk memenuhi udara, membalut setiap langkah mereka dalam rasa dingin dan waspada. Suara-suara hutan malam, dari desau angin hingga suara makhluk tak terlihat, semakin menambah suasana yang mencekam.Kael berjalan di depan dengan langkah mantap, mata birunya tajam mencermati setiap detail di sekeliling. Setiap suara mengisyaratkan sesuatu, setiap bayangan yang bergerak membuatnya waspada. Sarah dan Laila mengikuti di belakangnya, tangan mereka saling menggenggam, sementara Murphy menjaga bagian belakang, mengantisipasi ancaman tak terduga."Kita sudah terlalu dalam ke hutan ini," gumam Murphy pelan, suaranya seolah takut mengganggu ketenangan malam. Energi emas samar menyelubungi dirinya, siap memberikan perlindungan. "Aku tidak ingat ada jalur seperti ini di
Sementara Kael kesulitan menghadapi monster buaya yang mengganas dengan tubuh bersisik seperti logam tua dan tatapan penuh naluri predator, di sisi lain arena, Sophia sedang dalam puncak dominasinya. Dengan rambut berayun ringan dan tatapan dingin di balik keceriaan wajah mudanya, ia mengangkat tangan dan memanggil ledakan-ledakan kecil dari potion yang ia ciptakan di udara. Di hadapannya, sosok Golem batu raksasa setinggi lima meter terlihat terperangkap dalam jeratan lendir transparan yang tampak lembut seperti air, namun memiliki kekuatan menahan seperti rantai sihir baja. Lendir tersebut menjerat kaki dan lengan golem, merayap ke tubuh besarnya, dan terus mengeras, memaksa setiap gerakannya melambat. BANG! BANG! BANG! Ledakan-ledakan dari potion yang ditembakkan Sophia meletus di tubuh lawannya seperti tetesan hujan api, menorehkan bekas hitam dan retakan tajam di permukaan batu. Suara deru ledakan bercampur dengan gemuruh sorakan para penonton yang berdiri di tribun seakan me
Suasana di sekitar arena semakin menekan, seolah setiap langkah menuruni tangga membawa mereka lebih dalam ke rahang sesuatu yang tidak terlihat, namun mengintai dengan sabar. Udara terasa lebih berat, dan bisikan tak kasat mata menyelusup di antara dinding batu yang dipenuhi tengkorak. Kilatan sihir samar kadang terlihat dari celah-celah langit-langit arena, membuat suasana semakin tak wajar. Murphy, yang berada beberapa langkah di belakang, terus menoleh dengan gelisah. Matanya menyapu tribun yang kosong, namun hatinya bergetar. Ada sesuatu... atau seseorang, yang memperhatikannya. Ketika pandangannya tertumbuk pada sosok tengkorak duduk membatu di kursi penonton yang telah lama mati, bulu kuduknya berdiri. Ia buru-buru mempercepat langkah, menyusul yang lain sambil menelan rasa takut. Sementara itu, ketegangan menyelimuti seluruh kelompok. Bukan hanya karena atmosfer menyeramkan, tapi juga karena pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban: Apakah monster sapi benar-benar ada?
Saat Kael berusaha melepaskan dirinya dan melawan monster sapi yang mendekat dengan sorot mata membunuh, tiba-tiba tubuhnya terguncang hebat. Sensasi itu seperti ditarik keluar dari pusaran mimpi buruk—kejut, hampa, dan membingungkan. "Hey, Kael? Kenapa denganmu?" suara Murphy memecah keheningan yang tiba-tiba terasa asing. Tangannya mengguncang bahu Kael dengan panik, wajahnya menegang. Kael tersentak sadar. Dunia di sekelilingnya berubah drastis—arena yang sebelumnya dipenuhi riuh penonton kini sunyi, gelap, dan mencekam. Suasana itu kontras sekali dengan kegaduhan sebelumnya. Sosok-sosok tengkorak yang mengisi tribun bagai patung mati, namun tetap membuat bulu kuduk merinding. Kael diam, napasnya memburu. Tanpa berkata sepatah kata, ia menarik Murphy menjauh dari arena, tubuhnya masih terasa berat seolah baru terlepas dari belenggu gaib. Murphy tidak mengerti, namun mengikuti langkah Kael dengan ragu. Matanya sempat melirik ke arah arena yang kini diliputi kegelapan pekat. Entah
Rasa pahit dari buah penyembuhan itu masih melekat di lidah Kael saat ia bersandar pada dinding dingin gua. Lengannya yang tadinya patah kini telah pulih sepenuhnya, namun tubuhnya gemetar, bukan karena rasa sakit—melainkan karena rasa lapar yang membuncah tak tertahankan, menggeliat seperti binatang buas yang terbangun dari tidur panjang. Sarah mendekat, dengan cemas mengulurkan sekantong roti kering dan sepotong daging asap. “Makan ini dulu. Kalau kau terus memakan buah itu tanpa asupan lain, kau bisa pingsan.” Kael tak menjawab, hanya meraih makanan itu dan memakannya dengan rakus. Tangannya bergetar, matanya menatap kosong namun penuh ketegangan. Beberapa menit kemudian, setelah suapan terakhir ditelan, napasnya melambat. “Aku baik-baik saja sekarang,” katanya pelan, lalu menatap lengannya, memutarnya ke kiri dan kanan, memastikan tulang itu benar-benar pulih. “Sulit dipercaya... seperti tidak pernah patah.” Sophia mendekat dengan langkah ringan, matanya bersinar dengan campur
Jam empat pagi menyelimuti hutan belakang Akademi Vitrum dalam kabut tipis yang menggantung seperti napas malam terakhir. Embun menggigit di udara, menggantung di ujung-ujung dedaunan yang membisik pelan ketika angin menyentuh mereka. Dari celah-celah pepohonan tinggi, cahaya lembut dari lampu sihir melayang perlahan, menyorot wajah-wajah tegang sekelompok orang berjubah putih dan ungu. Mereka berjalan dalam diam, hanya suara ranting terinjak dan desau angin yang menemani langkah mereka. Sekitar lima puluh orang, sebagian dari Ordo Cahaya dan sebagian lagi guru Akademi Vitrum, berdiri dalam barisan rapi menghadap sebuah kawasan yang menjulang tenang—tiga bukit kembar yang nyaris identik berdiri bersisian, diselimuti kabut dan aura misterius. Tatapan mereka penuh keraguan dan keheranan. "Jadi, ini adalah bukit kembar tiga lainnya yang baru ditemukan?" Suara berat lelaki tua dari Ordo Cahaya, Tuan Ramos, memecah keheningan pagi. Wajahnya dipenuhi gurat kekecewaan. "Kita sudah kehilan
Sihir perlindungan air berkilau samar, menyelimuti kelompok Kael yang berlindung di balik tembok reruntuhan. Aura dingin dari lapisan sihir itu seperti pelindung tak kasatmata yang memisahkan mereka dari kekacauan yang sedang terjadi di depan mata. Di sisi lain, Sophia berdiri siaga, matanya memandangi makhluk aneh yang kini mulai menumbuhkan sepasang kaki kekar yang menyentak lantai dengan bunyi menggetarkan. Namun, empat lengannya masih belum sempurna. Dari sela-sela jaringan otot dan tulangnya, luka-luka dalam dan retakan menganga di sana-sini, seolah tubuh makhluk itu berjuang untuk sembuh namun gagal mengimbangi kerusakan yang diterima. Meskipun demikian, tampaknya makhluk itu menyadari ancaman nyata dari aura bebola energi yang Sophia genggam erat—pijar merahnya berdenyut seperti jantung kematian. Raungan menggelegar mengguncang udara saat makhluk itu melompat dengan amarah membara, menerjang lurus ke arah Sophia. Namun Sophia tidak gentar. Ia seolah telah menunggu saat itu,
Ledakan serangan makhluk itu membuat semua orang terkejut. Dalam sekejap, tubuh Kael terlempar dan menghantam lantai bebatuan dengan suara tumpul yang menggema. Darah memercik dari luka menganga di dadanya, membuat udara di sekitar mereka terasa lebih pekat dan menyesakkan. Namun saat itu pula, lendir bening Sophia yang sebelumnya tersebar di medan pertempuran mulai bergerak cepat seperti arus sungai yang haus mangsa. Dalam hitungan detik, makhluk itu kembali terjebak. Kali ini, Sophia tidak memberi ruang sedikit pun untuknya bergerak. Lendir-lendir itu mencengkeram seperti belenggu hidup yang membelit tubuh mengerikan makhluk itu dengan kekuatan yang lebih pekat dan tajam daripada sebelumnya. Sarah yang melihat Kael terluka parah, wajahnya berubah. Amarah dan rasa takut bercampur menjadi satu dalam sorot matanya. Tanpa berpikir panjang, ia mengayunkan tangannya dan melempar dua potion ledakan langsung ke arah kepala makhluk itu. Ledakan yang menggelegar memenuhi ruangan, menerang
Di tengah lorong bawah tanah yang semakin pengap oleh aroma darah dan sihir yang terbakar, Kael berdiri di hadapan Lyra, Sarah, dan Laila. Nafasnya masih terengah, tubuhnya dilapisi keringat dan debu pertempuran. Meski luka-lukanya belum pulih sepenuhnya, matanya masih menyala dengan tekad. "Ini jebakan Sophia," ujar Kael, suaranya rendah namun penuh keyakinan. "Ia membuat dirinya jadi umpan agar kita bisa melancarkan serangan gabungan saat makhluk itu lengah." Lyra menggenggam botol sihir airnya lebih erat, sementara Sarah menajamkan telinganya, menangkap ritme pergerakan makhluk itu dari kejauhan. Laila mengangguk meski tak berkata apa-apa, namun matanya bersinar dengan frekuensi sonik yang siap digunakan kapan saja. Tubuh mereka semua diliputi kelelahan. Sudah terlalu lama mereka bertarung. Dimulai dari mencegah makhluk-makhluk aneh memasuki kolam darah yang memancar aura kegelapan, kemudian menghadapi klon Murphy yang tak hanya kuat secara fisik, tapi juga mengenal gaya bertaru
Suasana di dalam ruangan itu dicekam oleh ketegangan yang begitu menyesakkan. Aura bahaya memenuhi udara, menyatu dengan debu dan sisa energi sihir dari pertarungan sebelumnya. Di hadapan mereka, sesosok makhluk aneh perlahan bangkit dari dasar kolam darah yang telah mengering. Sosok itu merupakan gabungan kekuatan dari lebih dari empat ratus klon kelompok Kael—makhluk yang tak sempat mereka cegah saat menyerbu masuk ke kolam berdarah itu. Dan kini, mereka harus menghadapi hasil akhir dari kegagalan tersebut. Namun perhatian semua orang tak tertuju pada makhluk itu dahulu. Justru, mereka terpaku pada Sophia. Gadis itu berdiri paling dekat dengan bibir kolam, nyaris di tepiannya. Sementara yang lain sudah menepi, menyembunyikan diri di balik reruntuhan, mencari perlindungan terbaik, Sophia tetap berdiri di tempatnya. Seolah tak takut, seolah ia memang sudah menunggu momen ini. Kolam yang dulunya dipenuhi darah kini tampak seperti liang gelap berkedalaman lebih dari empat meter. Di