Lorong tengah Perpustakaan Tersegel bergema dengan suara benturan keras dan raungan yang memekakkan telinga. Dinding batu tua yang dingin dan berlumut bergetar hebat seolah akan runtuh di bawah tekanan pertarungan yang kian brutal. Cahaya hijau dan biru yang dulu memenuhi langit-langit dari lendir kini meredup, digantikan oleh kilauan gelap yang mencekam dari **parasit raksasa**, tubuhnya hitam pekat membengkak hingga menyentuh langit-langit. Sayapnya yang tipis dan bergetar berdengung seperti ribuan lebah marah. Udara terasa tebal dan menyengat, aroma asam lendir bercampur dengan bau darah hitam serigala jadian yang membusuk serta logam tua yang berkarat, menciptakan kabut tipis yang menusuk paru-paru hingga terasa terbakar. Kael berdiri di tengah ruangan, napasnya tersengal dan berat, keringat menetes membasahi wajahnya yang pucat. Tangannya gemetar namun tetap menyala dengan energi hijau kehitaman **Racun Tiga Mayat**, matanya biru tajam berkilat penuh tekad meski bayangan kelel
Lorong tengah Perpustakaan Tersegel terasa seperti medan perang yang membeku dalam ketegangan. Dinding batu tua yang dingin dan berlumut bergetar pelan oleh gema pertarungan sebelumnya, serpihan kayu dari rak-rak raksasa yang hancur berserakan di lantai yang retak. Udara dipenuhi bau asam lendir yang menyengat, darah hitam serigala jadian yang membusuk, dan logam tua yang berkarat, menciptakan kabut tebal yang menyesakkan dada. Parasit gelap raksasa masih berjuang dalam kepompong cair lendir raksasa. Sayapnya berdengung liar dengan suara yang memekakkan, tubuhnya hitam pekat berkilauan seperti minyak hidup yang bergetar penuh amarah. Lendir raksasa yang menyelimutinya kini meleleh perlahan. Cairan hijau dan birunya memudar jadi abu-abu kusam, menetes ke lantai dengan suara licin yang menyedihkan, meninggalkan bercak basah yang menguap menjadi asap tipis. Kael berlutut di lantai, napasnya tersengal berat. Energi sihirnya habis sehingga ia hanya bisa bersandar ke dinding batu yang di
Lorong tengah Perpustakaan Tersegel terbungkus dalam keheningan yang mencekam setelah pertarungan sengit, dinding batu tua yang dingin dan berlumut masih bergema pelan oleh getaran terakhir. Serpihan kayu dari rak-rak raksasa yang hancur berserakan di lantai yang retak dan basah oleh darah hitam serigala jadian. Udara terasa tebal dan menyengat, bau asam lendir yang meleleh bercampur dengan aroma darah busuk dan logam tua yang berkarat, menciptakan kabut tipis yang menusuk hidung hingga tenggorokan terasa kering. Parasit gelap raksasa, yang kini terkulai di lantai dalam kepompong lendir cair yang menipis, tak lagi bergerak. Tubuhnya hitam pekat menyusut perlahan, sayapnya yang berdengung kini diam seperti reruntuhan yang patah. Laila berdiri di tengah, tubuh kecilnya gemetar hebat, matanya cokelat besar berkaca-kaca oleh kelelahan saat ia mengerahkan kekuatan terakhirnya. Ia menutup mata, pendengaran supernya menangkap aliran darah hitam yang kacau di tubuh parasit, dan dengan n
Lorong tengah Perpustakaan Tersegel terbungkus keheningan yang rapuh. Dinding batu tua yang dingin dan berlumut memantulkan bayangan samar dari rak-rak kayu raksasa yang bergerak pelan, seolah tak terganggu oleh pertarungan sengit yang baru berakhir. Udara terasa dingin dan lembap, bau asam lendir yang meleleh perlahan memudar, digantikan aroma logam tua yang berkarat dan darah hitam serigala jadian yang mulai mengering di lantai yang retak. Kael duduk bersandar ke dinding, napasnya masih tersengal tapi lebih teratur, tangannya gemetar saat ia mengeluarkan roti kering dan botol air dari karung bekal. Matanya yang biru, meski lelah, tetap waspada menatap lendir kecil yang terbaring di dekat sisa tubuh parasit gelap, tubuhnya yang bening berkilau samar seolah masih mencerna energi besar yang diperolehnya. Sarah duduk di sisinya; rambut pirangnya kusut menempel di dahi pucatnya. Tangannya sibuk merobek kain dari mantelnya untuk membalut pundak Murphy yang berdarah. "Pegang diam, Murp
Lorong gelap Perpustakaan Tersegel bergema dengan suara benturan keras dan geraman yang menggetarkan, dinding batu tua yang berlumut bergetar hebat hingga serpihan kecil berjatuhan dari langit-langit. Udara dipenuhi bau logam tua yang berkarat dan tanah basah, dicampuri aroma samar darah hitam yang masih membekas dari pertarungan sebelumnya. Di tengah kegelapan, monster berkepala kambing berdiri marah, tubuhnya besar berotot dan tertutup bulu hitam kusut, tanduk melengkungnya berkilau samar di bawah cahaya redup, matanya merah menyala penuh nafsu membunuh. Sabit raksasanya menggores lantai dengan bunyi logam menusuk telinga, meninggalkan bekas dalam yang mengeluarkan percikan api kecil saat ia melangkah maju, geramannya mengguncang udara seperti guntur. Dua sosok muncul dari bayang-bayang gelap, menghalangi jalannya—paman misterius dan wanita misterius. Paman itu berdiri tegak, mantel hitamnya menyatu dengan kegelapan, belatinya berkilau samar di tangan kanannya, matanya dingin sep
Lorong rahasia di balik rak buku raksasa terasa dingin dan sempit. Dinding batu tua yang kasar ditumbuhi lumut basah dan licin. Udara di sana pengap, berbau tanah lembap bercampur aroma kayu lapuk yang samar. Semua itu menciptakan suasana suram yang membuat mereka sulit bernapas. Kael berjalan paling depan, mantelnya melambai pelan tertiup angin dingin yang mengalir dari arah depan. Sepasang mata birunya yang tajam menatap ke dalam kegelapan dengan penuh kewaspadaan. Tangannya dalam keadaan siaga, meski energi sihir dalam tubuhnya masih terasa lemah. Sarah dan Laila mengikuti rapat di belakangnya. Rambut pirang Sarah dan rambut cokelat gelap milik Laila menempel pada dahi mereka yang pucat karena keringat. Langkah kedua gadis itu hati-hati, menghindari lantai batu yang tidak rata. Murphy berjalan di belakang mereka, pundaknya terbalut kain yang bernoda darah. Pedangnya masih tersarung, namun tangan pria itu tetap waspada di dekat gagang senjata. Napasnya terdengar sesak akibat luka
Angin dingin bertiup kencang di puncak tebing, membawa aroma segar air tawar bercampur bau tanah basah dari sungai deras di bawah. Cahaya matahari yang redup menyelinap di sela-sela awan tebal, memantulkan kilauan samar di permukaan air hitam yang berputar ganas. Gemuruh arusnya menggema hingga ke dinding batu curam, mengirim getaran halus ke kaki Kael dan kelompoknya. Di seberang sungai, sebuah gunung menjulang megah, puncaknya terselimut kabut tipis. Di lerengnya berdiri teguh bangunan kuno; dinding batunya dipenuhi ukiran simbol penyihir yang telah pudar dimakan waktu, atapnya retak namun tetap berdiri kokoh seperti penjaga abadi. Itulah tujuan akhir yang mereka kejar sejak memasuki wilayah Perpustakaan Tersegel. Kael berdiri tegak di bibir tebing, mantelnya berkibar pelan diterpa angin. Matanya yang biru menyipit, menatap tajam ke arah sungai sambil menggenggam erat peta kulit di tangannya—sebuah peta yang kini diam setelah selesai menunjukkan arah. Napasnya masih berat akibat p
Tepi sungai di sisi gunung terasa dingin dan lembap. Angin sepoi membawa aroma air tawar yang berpadu dengan wangi tanah basah. Gemuruh arus deras di bawah mengisi udara dengan irama konstan yang menenangkan setelah perjalanan melelahkan. Kael duduk di atas batu licin, mantelnya basah melekat di tubuh. Tangannya menggenggam peta kulit yang kini sedikit robek di tepi. Mata birunya lelah namun tetap waspada, menatap bangunan kuno yang menjulang di sisi gunung. Sarah bersandar di sampingnya, rambut pirang kusutnya menempel di wajah pucat. Ia meneguk air dari botol dengan perlahan, mata ungunya sesekali melirik sungai penuh kewaspadaan. Laila duduk di tanah berbatu, memeluk gadis kecil yang dulunya berupa lendir. Mata cokelatnya yang besar memancarkan kelelahan namun tetap siaga saat mengawasi arus deras, pendengaran supernya kini terbiasa dengan suara air sebagai latar. Murphy terbaring di dekat mereka, bahunya terbalut kain berdarah, wajahnya pucat berman
Paman Peter dan Sophia kembali dengan cepat, wajah mereka tampak serius di bawah naungan kabut malam. Begitu tiba di tempat persembunyian, Paman Peter segera membagikan informasi penting. Kelompok kelelawar raksasa terlihat semakin waspada, dan di antara mereka, seekor kelelawar raksasa yang berukuran mengerikan tampak menguasai wilayah sekitar pintu masuk tersembunyi. Ia mendengkur pelan, namun bahkan dalam tidurnya, auranya terasa mengancam. "Kalau kita cuma mengandalkan kabut untuk menyelinap, aku ragu kita bisa lolos," kata Paman Peter, suaranya rendah dan berat, seraya menatap Kael dan yang lainnya. "Kita harus membuat pengalih perhatian. Sesuatu yang cukup besar untuk memaksa mereka berpaling." Mereka berdiskusi di tengah gemuruh sunyi malam. Aroma makanan sederhana yang mereka siapkan perlahan memenuhi udara, menenangkan saraf yang tegang. Beberapa potong roti panggang, daging kering, dan sup hangat membantu mengisi kembali tenaga mereka. Makan malam ini terasa seperti jeda y
Di bawah cahaya redup bulan yang tertutup awan, sosok Molly dan Vale melesat di udara, membawa Sarah dan Laila di punggung mereka. Sementara itu, di daratan, platform luncur lendir buatan Sophia bergerak dengan kecepatan yang tidak kalah cepat, membelah semak dan melewati jalanan berbatu tanpa hambatan. Jika dilihat dari kejauhan, kelompok Kael tampak seperti pasukan kecil yang menunggangi seekor ular raksasa yang melesat mulus melintasi permukaan bumi. Murphy, Lyra, dan Paman Peter bergerak di posisi depan, matanya waspada terhadap setiap bayangan yang mencurigakan. Sementara itu, Kael menjaga posisi paling belakang, berdiri kokoh di platform lendir bersama Sophia yang terus mengendalikan arah dan kecepatan luncur mereka. Platform itu membentuk jalur khusus, membuka semak belukar dan menghaluskan permukaan tanah, seolah-olah memberikan karpet rahasia di tengah hutan belantara. Meskipun bahaya mengintai di setiap sudut, perasaan meluncur bebas di udara malam itu memberikan sensasi
Kael mengerutkan kening begitu mendengar derap langkah dan gerakan sihir samar dari kejauhan. Ia segera memanggil Paman Peter yang belum terlalu jauh darinya, memberi isyarat tangan untuk mendekat dan bersembunyi bersamanya di balik batu besar yang tersembunyi di antara semak berduri. "Sepertinya ada kelompok lain yang datang," bisik Kael, matanya tajam mengamati pergerakan di kejauhan. Mereka berdua menahan napas, memampatkan aura mereka serendah mungkin. Angin malam membawa aroma busuk khas sihir gelap, membuat Kael menyipitkan mata penuh waspada. Ia sempat berpikir, seharusnya kelompok Ordo Cahaya yang sebelumnya mereka lihat masih membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai area bukit kembar ini. Tetapi siapa sebenarnya yang datang? Dalam diam yang menegangkan, mereka mengintip dari celah batu besar itu. Saat siluet-siluet mendekat, Kael akhirnya dapat melihat dengan jelas — itu adalah kelompok dari Ordo Umbra! Jubah-jubah hitam, lambang kabut kelam di dada, dan monster modifi
Awan kelabu tipis menggantung rendah di atas langit. Di ketinggian, Kael duduk di atas punggung Molly yang terbang dengan sayap kecil namun kuat. Angin dingin menyapu wajahnya, membawa bau lembap khas hutan liar yang bersembunyi di bawah kabut tebal. Kael dan Paman Peter berdiskusi serius di udara, mengamati dua bukit kembar yang menjulang samar dalam kabut. Keduanya tampak hampir identik, membuat sulit menentukan mana yang merupakan jalan menuju area terlarang Akademi Vitrum. Paman Peter, dengan tatapan tajamnya, tampak memikirkan sesuatu. Lalu dia berbicara dengan nada dalam. "Makhluk beracun yang tinggal di sini seharusnya dianggap sebagai penjaga area terlarang. Jika kedua tempat mempunyai penjaga yang sama, kita hanya perlu memastikan mana penjagaannya yang lebih kuat. Tempat yang dijaga lebih ketat dan lebih agresif, pastilah tempat yang asli." Kael mengerutkan kening, kebingungan. "Bagaimana kita tahu makhluk mana yang lebih agresif? Apa kita harus menyerang mereka?" tanya
Molly mengepakkan sayap lebarnya, membawa Kael naik ke langit untuk pertama kalinya. Udara tipis dan hempasan angin kencang membuat tubuh Kael sedikit oleng di punggung monster kecil berbentuk tupai naga itu. Ia menggenggam erat bulu lebat Molly, mencoba menyesuaikan diri dengan ritme gerakan terbangnya. Molly sendiri tampak canggung. Sayap barunya yang besar dan kuat itu bergetar tak stabil, seolah masih berusaha mengimbangi berat tambahan di punggungnya. Mereka berputar-putar beberapa kali di langit, turun naik perlahan, sebelum akhirnya menemukan harmoni dalam gerakan. Seperti dua nada berbeda yang akhirnya menemukan melodi yang serasi. "Bagus, Molly," bisik Kael, menepuk lembut leher makhluk itu. Ia bisa merasakan bagaimana ketegangan dalam tubuh Molly perlahan mengendur, membentuk ikatan kepercayaan yang lebih dalam di antara mereka. Setelah yakin bahwa mereka mampu terbang stabil, Kael menunjuk ke langit yang lebih tinggi. "Ayo, kita naik," katanya. Molly mendesis pelan, lal
"Sophia, segera tebalkan kabutnya! Kita harus menyembunyikan keberadaan kita!" seru Kael cepat, matanya menyipit tajam menatap kerumunan laba-laba raksasa yang mulai memasuki gua. Semua anggota kelompok berkeringat dingin. Dari balik kabut tipis yang sudah mulai tersebar, mereka bisa mendengar suara ratapan memilukan dari dalam gua—suara manusia yang seolah menjadi santapan makhluk-makhluk itu. Aroma amis darah bercampur udara lembap membuat bulu kuduk meremang. Mereka belum sempat menarik napas lega, ketika suara langkah tergesa-gesa kelompok lain yang mendekat bergema dari arah lain. Sontak, mereka mempererat formasi, bersembunyi di balik pohon-pohon besar, menyatu dalam kabut sihir Sophia yang semakin padat. Ketegangan merayap di udara. Semua orang siap bertempur jika perlu. Namun, sesuatu yang tak mereka duga terjadi. Kelompok yang datang itu tiba-tiba berteriak kacau, suara raungan dan teriakan ketakutan memenuhi hutan malam. Dari balik kegelapan, ratusan ular berbisa melata,
Paman Peter kembali ke rumah persembunyian mereka dengan nafas memburu. Wajahnya yang biasanya santai kini mengeras penuh ketegangan. “Aku dapat kabar buruk,” katanya, begitu masuk. “Banyak kelompok lain yang bergerak ke area terlarang Akademi Vitrum. Lebih dari yang kita perkirakan.” Kael yang sedang membentangkan peta langsung menoleh. “Seberapa banyak?” “Sedikitnya sepuluh kelompok. Dan mereka bukan kelompok biasa,” jawab Paman Peter cepat. “Ada kelompok pemburu bayaran, kelompok murid senior, bahkan rumor tentang orang-orang yang bukan dari akademi.” Kata-katanya membuat ruangan menjadi berat. Murphy bersiul pelan. “Wah, ini lebih parah dari waktu di area terlarang Baseus. Setidaknya waktu itu kita tahu apa yang akan kita hadapi,” gumamnya. Paman Peter mengangguk. “Area ini tidak pernah dieksplorasi ratusan tahun. Tidak ada peta akurat sebelumnya. Kita baru saja beruntung mendapatkan salinan peta lama. Tapi tetap saja, apa yang menunggu di dalam... siapa yang tahu?” Semua o
Sambil menunggu waktu malam untuk beraksi, Kael memanggil Paman Peter ke sudut ruang, jauh dari pendengaran yang lain. Dengan suara rendah, ia meminta bantuan sang paman untuk bergerak lebih awal—mengamati situasi di sekitar Akademi Vitrum. Kekhawatiran menekan dada Kael. Ia butuh lebih dari sekadar kesiapan; ia butuh informasi. Terutama tentang kelompok-kelompok bayangan yang mungkin muncul saat Ordo Cahaya membuka pintu area terlarang yang selama ini tersembunyi dari dunia. Akademi Vitrum menyimpan lebih dari sekadar reruntuhan tua. Adanya keterlibatan penyihir kuno dalam sejarahnya telah menarik perhatian banyak pihak. Ordo Cahaya—seperti biasa—bergerak atas nama 'pencerahan', namun Kael tahu lebih baik. Di balik topeng suci mereka, tersembunyi ambisi rakus terhadap Batu Sihir, artefak kuno yang diyakini mampu mengubah nasib siapa pun yang memilikinya. Tak hanya Ordo Cahaya. Organisasi bayangan, para pemburu artefak, bahkan keluarga-keluarga bangsawan yang haus kekuasaan, semua
Suasana mencekam membebat udara di ruangan kecil itu. Hanya bunyi detak jarum jam tua dan napas yang tertahan memenuhi kesunyian. Setiap detik berlalu terasa seperti tarikan waktu yang tak berujung, menekan dada mereka dengan rasa waswas yang makin berat. Kael duduk bersandar di dinding, matanya tajam menatap pintu, seolah berusaha menembusnya dengan pandangan. Sarah merapatkan jubahnya, telapak tangannya mengepal di atas lutut. Laila menggenggam erat tangan Sophia yang duduk di sebelahnya, sementara Murphy berulang kali mengetuk lantai dengan ujung sepatunya tanpa sadar. Setengah jam berlalu, penuh ketegangan membeku. Akhirnya, langkah kaki berat mendekat dari kejauhan. Mereka semua menahan napas. Ketukan tiga kali di pintu—kode yang sudah mereka sepakati. Pintu dibuka perlahan, memperlihatkan sosok Paman Peter dengan wajah tegas. Matanya menyapu seluruh ruangan, memastikan tidak ada yang terluka atau panik. "Rumah itu aman," katanya, suaranya berat namun membawa kelegaan. "Tapi