Home / Fantasi / Tiga Mayat Satu Takdir / Bab 103 – Pencarian Bukit Kembar Tiga

Share

Bab 103 – Pencarian Bukit Kembar Tiga

Author: Pok Jang
last update Last Updated: 2025-04-30 00:17:45

Molly mengepakkan sayap lebarnya, membawa Kael naik ke langit untuk pertama kalinya. Udara tipis dan hempasan angin kencang membuat tubuh Kael sedikit oleng di punggung monster kecil berbentuk tupai naga itu. Ia menggenggam erat bulu lebat Molly, mencoba menyesuaikan diri dengan ritme gerakan terbangnya.

Molly sendiri tampak canggung. Sayap barunya yang besar dan kuat itu bergetar tak stabil, seolah masih berusaha mengimbangi berat tambahan di punggungnya. Mereka berputar-putar beberapa kali di langit, turun naik perlahan, sebelum akhirnya menemukan harmoni dalam gerakan. Seperti dua nada berbeda yang akhirnya menemukan melodi yang serasi.

"Bagus, Molly," bisik Kael, menepuk lembut leher makhluk itu. Ia bisa merasakan bagaimana ketegangan dalam tubuh Molly perlahan mengendur, membentuk ikatan kepercayaan yang lebih dalam di antara mereka.

Setelah yakin bahwa mereka mampu terbang stabil, Kael menunjuk ke langit yang lebih tinggi. "Ayo, kita naik," katanya.

Molly mendesis pelan, lal
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 104 — Bukit Kembar Tiga

    Awan kelabu tipis menggantung rendah di atas langit. Di ketinggian, Kael duduk di atas punggung Molly yang terbang dengan sayap kecil namun kuat. Angin dingin menyapu wajahnya, membawa bau lembap khas hutan liar yang bersembunyi di bawah kabut tebal. Kael dan Paman Peter berdiskusi serius di udara, mengamati dua bukit kembar yang menjulang samar dalam kabut. Keduanya tampak hampir identik, membuat sulit menentukan mana yang merupakan jalan menuju area terlarang Akademi Vitrum. Paman Peter, dengan tatapan tajamnya, tampak memikirkan sesuatu. Lalu dia berbicara dengan nada dalam. "Makhluk beracun yang tinggal di sini seharusnya dianggap sebagai penjaga area terlarang. Jika kedua tempat mempunyai penjaga yang sama, kita hanya perlu memastikan mana penjagaannya yang lebih kuat. Tempat yang dijaga lebih ketat dan lebih agresif, pastilah tempat yang asli." Kael mengerutkan kening, kebingungan. "Bagaimana kita tahu makhluk mana yang lebih agresif? Apa kita harus menyerang mereka?" tanya

    Last Updated : 2025-04-30
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 105 – Sarang Berbisa di Bukit Kembar

    Kael mengerutkan kening begitu mendengar derap langkah dan gerakan sihir samar dari kejauhan. Ia segera memanggil Paman Peter yang belum terlalu jauh darinya, memberi isyarat tangan untuk mendekat dan bersembunyi bersamanya di balik batu besar yang tersembunyi di antara semak berduri. "Sepertinya ada kelompok lain yang datang," bisik Kael, matanya tajam mengamati pergerakan di kejauhan. Mereka berdua menahan napas, memampatkan aura mereka serendah mungkin. Angin malam membawa aroma busuk khas sihir gelap, membuat Kael menyipitkan mata penuh waspada. Ia sempat berpikir, seharusnya kelompok Ordo Cahaya yang sebelumnya mereka lihat masih membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai area bukit kembar ini. Tetapi siapa sebenarnya yang datang? Dalam diam yang menegangkan, mereka mengintip dari celah batu besar itu. Saat siluet-siluet mendekat, Kael akhirnya dapat melihat dengan jelas — itu adalah kelompok dari Ordo Umbra! Jubah-jubah hitam, lambang kabut kelam di dada, dan monster modifi

    Last Updated : 2025-05-01
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 106: Pintu Tersembunyi dan Bayangan Kematian

    Di bawah cahaya redup bulan yang tertutup awan, sosok Molly dan Vale melesat di udara, membawa Sarah dan Laila di punggung mereka. Sementara itu, di daratan, platform luncur lendir buatan Sophia bergerak dengan kecepatan yang tidak kalah cepat, membelah semak dan melewati jalanan berbatu tanpa hambatan. Jika dilihat dari kejauhan, kelompok Kael tampak seperti pasukan kecil yang menunggangi seekor ular raksasa yang melesat mulus melintasi permukaan bumi. Murphy, Lyra, dan Paman Peter bergerak di posisi depan, matanya waspada terhadap setiap bayangan yang mencurigakan. Sementara itu, Kael menjaga posisi paling belakang, berdiri kokoh di platform lendir bersama Sophia yang terus mengendalikan arah dan kecepatan luncur mereka. Platform itu membentuk jalur khusus, membuka semak belukar dan menghaluskan permukaan tanah, seolah-olah memberikan karpet rahasia di tengah hutan belantara. Meskipun bahaya mengintai di setiap sudut, perasaan meluncur bebas di udara malam itu memberikan sensasi

    Last Updated : 2025-05-01
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 107 – Ketegangan di Bukit Kembar Tiga

    Paman Peter dan Sophia kembali dengan cepat, wajah mereka tampak serius di bawah naungan kabut malam. Begitu tiba di tempat persembunyian, Paman Peter segera membagikan informasi penting. Kelompok kelelawar raksasa terlihat semakin waspada, dan di antara mereka, seekor kelelawar raksasa yang berukuran mengerikan tampak menguasai wilayah sekitar pintu masuk tersembunyi. Ia mendengkur pelan, namun bahkan dalam tidurnya, auranya terasa mengancam. "Kalau kita cuma mengandalkan kabut untuk menyelinap, aku ragu kita bisa lolos," kata Paman Peter, suaranya rendah dan berat, seraya menatap Kael dan yang lainnya. "Kita harus membuat pengalih perhatian. Sesuatu yang cukup besar untuk memaksa mereka berpaling." Mereka berdiskusi di tengah gemuruh sunyi malam. Aroma makanan sederhana yang mereka siapkan perlahan memenuhi udara, menenangkan saraf yang tegang. Beberapa potong roti panggang, daging kering, dan sup hangat membantu mengisi kembali tenaga mereka. Makan malam ini terasa seperti jeda y

    Last Updated : 2025-05-01
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 1: Kegelapan yang Menyelubungi

    Kael merasa terhimpit oleh kegelapan hutan purba yang melingkupi sekelilingnya, seolah-olah ia terjebak dalam ruang hampa tanpa ujung. Aroma tanah basah dan dedaunan membusuk berpadu dengan kabut dingin yang menyesakkan, membakar hidungnya dan menyisakan rasa pahit di tenggorokannya. Di antara pepohonan yang menjulang tinggi, cahaya bulan muncul samar, berjuang menembus tirai daun lebat yang selalu menghalangi.Akar-akar pohon menjalar di bawah kakinya, menimbulkan sensasi aneh seolah tangan-tangan hantu berusaha menahan langkahnya, menariknya ke dalam kedalaman misterius hutan. Angin lembut membawa bisikan halus, menyerupai suara-suara kuno yang memanggil dari balik bayang-bayang pepohonan. Hutan ini bukan sekadar tempat; ia adalah makhluk hidup dengan kesadaran dan niatnya sendiri, berbisik kepada Kael untuk berhati-hati, atau bahkan menyerah.Keheningan malam terasa pekat dan getir, seolah alam pun menahan napas, menunggu sesuatu yang tak terduga. Setiap langkah Kael semakin berat,

    Last Updated : 2024-12-30
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 2: Pengejaran Ordo Umbra

    Malam menyelimuti rumah Kael dengan kegelapan pekat, seolah-olah selimut malam menutupi setiap sudutnya. Angin dingin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah yang baru saja diguyur hujan, berpadu dengan kabut yang menggantung di udara. Di depan pintu rumahnya yang rusak dan tampak rapuh, Kael berdiri tegap, menjadi satu-satunya pelindung bagi keluarganya yang berharga.Dari kegelapan, tiga penyihir Ordo Umbra muncul. Jubah hitam mereka berkibar bagaikan sayap gagak, menandakan kematian yang mengintai di setiap langkah mereka. Mata merah mereka bersinar di balik topeng, memancarkan kebencian yang tak pernah padam. Dalam cahaya bulan yang redup, mereka tampak seperti perwujudan kegelapan yang menjelma menjadi manusia, seolah-olah mereka lahir dari mimpi buruk."Kael Aethel," suara salah satu dari mereka terdengar kasar dan dingin, memecah keheningan malam. "Serahkan Teknik sihir Racun Tiga Mayat. Atau kami akan menyelesaikan ini dengan cara kami."Kael mengepalkan tangan, merasakan

    Last Updated : 2024-12-30
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 3: Pelarian ke Hutan

    Rumah itu kini hanya sebuah bayangan kenangan, gambaran masa lalu yang terhapus oleh kepingan waktu. Kael melangkah cepat melalui lorong hutan purba yang lebat dengan semak belukar, setiap langkahnya menggelora dalam kesunyian yang mencekam. Di belakangnya, Sarah dan Laila mengikuti dengan wajah cemas, seolah kegelapan hutan menelan ketenangan yang tersisa di hati mereka.Sarah menggenggam tangan Laila erat, menyalurkan semangat agar adiknya tetap di sampingnya. Matanya yang berpendar ungu menembus kegelapan tebal hutan, mendeteksi setiap gerakan energi di sekeliling mereka, seolah bisa merasakan ketegangan di atmosfer. Setiap kali Kael melirik ke belakang, dia bisa melihat kerut kecemasan di wajah Sarah dan keceriaan yang perlahan memudar dari raut Laila yang polos.Hutan purba Aethel dikenal sebagai tempat yang tidak ramah dan penuh misteri. Udara dingin menyengat kulit mereka, aroma tajam tanah lembap bercampur dengan suara alam yang terus berbunyi, menciptakan simfoni kesunyian ya

    Last Updated : 2024-12-30
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 4: Jalan Tanpa Kembali

    Hutan purba semakin gelap seiring perjalanan mereka. Pepohonan raksasa menjulang tinggi, dahan-dahannya saling bersilangan, menciptakan kanopi alami yang hampir sepenuhnya menutupi cahaya bulan. Aroma tanah basah dan dedaunan membusuk memenuhi udara, membalut setiap langkah mereka dalam rasa dingin dan waspada. Suara-suara hutan malam, dari desau angin hingga suara makhluk tak terlihat, semakin menambah suasana yang mencekam.Kael berjalan di depan dengan langkah mantap, mata birunya tajam mencermati setiap detail di sekeliling. Setiap suara mengisyaratkan sesuatu, setiap bayangan yang bergerak membuatnya waspada. Sarah dan Laila mengikuti di belakangnya, tangan mereka saling menggenggam, sementara Murphy menjaga bagian belakang, mengantisipasi ancaman tak terduga."Kita sudah terlalu dalam ke hutan ini," gumam Murphy pelan, suaranya seolah takut mengganggu ketenangan malam. Energi emas samar menyelubungi dirinya, siap memberikan perlindungan. "Aku tidak ingat ada jalur seperti ini di

    Last Updated : 2024-12-30

Latest chapter

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 107 – Ketegangan di Bukit Kembar Tiga

    Paman Peter dan Sophia kembali dengan cepat, wajah mereka tampak serius di bawah naungan kabut malam. Begitu tiba di tempat persembunyian, Paman Peter segera membagikan informasi penting. Kelompok kelelawar raksasa terlihat semakin waspada, dan di antara mereka, seekor kelelawar raksasa yang berukuran mengerikan tampak menguasai wilayah sekitar pintu masuk tersembunyi. Ia mendengkur pelan, namun bahkan dalam tidurnya, auranya terasa mengancam. "Kalau kita cuma mengandalkan kabut untuk menyelinap, aku ragu kita bisa lolos," kata Paman Peter, suaranya rendah dan berat, seraya menatap Kael dan yang lainnya. "Kita harus membuat pengalih perhatian. Sesuatu yang cukup besar untuk memaksa mereka berpaling." Mereka berdiskusi di tengah gemuruh sunyi malam. Aroma makanan sederhana yang mereka siapkan perlahan memenuhi udara, menenangkan saraf yang tegang. Beberapa potong roti panggang, daging kering, dan sup hangat membantu mengisi kembali tenaga mereka. Makan malam ini terasa seperti jeda y

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 106: Pintu Tersembunyi dan Bayangan Kematian

    Di bawah cahaya redup bulan yang tertutup awan, sosok Molly dan Vale melesat di udara, membawa Sarah dan Laila di punggung mereka. Sementara itu, di daratan, platform luncur lendir buatan Sophia bergerak dengan kecepatan yang tidak kalah cepat, membelah semak dan melewati jalanan berbatu tanpa hambatan. Jika dilihat dari kejauhan, kelompok Kael tampak seperti pasukan kecil yang menunggangi seekor ular raksasa yang melesat mulus melintasi permukaan bumi. Murphy, Lyra, dan Paman Peter bergerak di posisi depan, matanya waspada terhadap setiap bayangan yang mencurigakan. Sementara itu, Kael menjaga posisi paling belakang, berdiri kokoh di platform lendir bersama Sophia yang terus mengendalikan arah dan kecepatan luncur mereka. Platform itu membentuk jalur khusus, membuka semak belukar dan menghaluskan permukaan tanah, seolah-olah memberikan karpet rahasia di tengah hutan belantara. Meskipun bahaya mengintai di setiap sudut, perasaan meluncur bebas di udara malam itu memberikan sensasi

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 105 – Sarang Berbisa di Bukit Kembar

    Kael mengerutkan kening begitu mendengar derap langkah dan gerakan sihir samar dari kejauhan. Ia segera memanggil Paman Peter yang belum terlalu jauh darinya, memberi isyarat tangan untuk mendekat dan bersembunyi bersamanya di balik batu besar yang tersembunyi di antara semak berduri. "Sepertinya ada kelompok lain yang datang," bisik Kael, matanya tajam mengamati pergerakan di kejauhan. Mereka berdua menahan napas, memampatkan aura mereka serendah mungkin. Angin malam membawa aroma busuk khas sihir gelap, membuat Kael menyipitkan mata penuh waspada. Ia sempat berpikir, seharusnya kelompok Ordo Cahaya yang sebelumnya mereka lihat masih membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai area bukit kembar ini. Tetapi siapa sebenarnya yang datang? Dalam diam yang menegangkan, mereka mengintip dari celah batu besar itu. Saat siluet-siluet mendekat, Kael akhirnya dapat melihat dengan jelas — itu adalah kelompok dari Ordo Umbra! Jubah-jubah hitam, lambang kabut kelam di dada, dan monster modifi

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 104 — Bukit Kembar Tiga

    Awan kelabu tipis menggantung rendah di atas langit. Di ketinggian, Kael duduk di atas punggung Molly yang terbang dengan sayap kecil namun kuat. Angin dingin menyapu wajahnya, membawa bau lembap khas hutan liar yang bersembunyi di bawah kabut tebal. Kael dan Paman Peter berdiskusi serius di udara, mengamati dua bukit kembar yang menjulang samar dalam kabut. Keduanya tampak hampir identik, membuat sulit menentukan mana yang merupakan jalan menuju area terlarang Akademi Vitrum. Paman Peter, dengan tatapan tajamnya, tampak memikirkan sesuatu. Lalu dia berbicara dengan nada dalam. "Makhluk beracun yang tinggal di sini seharusnya dianggap sebagai penjaga area terlarang. Jika kedua tempat mempunyai penjaga yang sama, kita hanya perlu memastikan mana penjagaannya yang lebih kuat. Tempat yang dijaga lebih ketat dan lebih agresif, pastilah tempat yang asli." Kael mengerutkan kening, kebingungan. "Bagaimana kita tahu makhluk mana yang lebih agresif? Apa kita harus menyerang mereka?" tanya

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 103 – Pencarian Bukit Kembar Tiga

    Molly mengepakkan sayap lebarnya, membawa Kael naik ke langit untuk pertama kalinya. Udara tipis dan hempasan angin kencang membuat tubuh Kael sedikit oleng di punggung monster kecil berbentuk tupai naga itu. Ia menggenggam erat bulu lebat Molly, mencoba menyesuaikan diri dengan ritme gerakan terbangnya. Molly sendiri tampak canggung. Sayap barunya yang besar dan kuat itu bergetar tak stabil, seolah masih berusaha mengimbangi berat tambahan di punggungnya. Mereka berputar-putar beberapa kali di langit, turun naik perlahan, sebelum akhirnya menemukan harmoni dalam gerakan. Seperti dua nada berbeda yang akhirnya menemukan melodi yang serasi. "Bagus, Molly," bisik Kael, menepuk lembut leher makhluk itu. Ia bisa merasakan bagaimana ketegangan dalam tubuh Molly perlahan mengendur, membentuk ikatan kepercayaan yang lebih dalam di antara mereka. Setelah yakin bahwa mereka mampu terbang stabil, Kael menunjuk ke langit yang lebih tinggi. "Ayo, kita naik," katanya. Molly mendesis pelan, lal

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 102 - Kabut, Racun, dan Jalan Baru

    "Sophia, segera tebalkan kabutnya! Kita harus menyembunyikan keberadaan kita!" seru Kael cepat, matanya menyipit tajam menatap kerumunan laba-laba raksasa yang mulai memasuki gua. Semua anggota kelompok berkeringat dingin. Dari balik kabut tipis yang sudah mulai tersebar, mereka bisa mendengar suara ratapan memilukan dari dalam gua—suara manusia yang seolah menjadi santapan makhluk-makhluk itu. Aroma amis darah bercampur udara lembap membuat bulu kuduk meremang. Mereka belum sempat menarik napas lega, ketika suara langkah tergesa-gesa kelompok lain yang mendekat bergema dari arah lain. Sontak, mereka mempererat formasi, bersembunyi di balik pohon-pohon besar, menyatu dalam kabut sihir Sophia yang semakin padat. Ketegangan merayap di udara. Semua orang siap bertempur jika perlu. Namun, sesuatu yang tak mereka duga terjadi. Kelompok yang datang itu tiba-tiba berteriak kacau, suara raungan dan teriakan ketakutan memenuhi hutan malam. Dari balik kegelapan, ratusan ular berbisa melata,

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 101 — Hutan Labirin Racun

    Paman Peter kembali ke rumah persembunyian mereka dengan nafas memburu. Wajahnya yang biasanya santai kini mengeras penuh ketegangan. “Aku dapat kabar buruk,” katanya, begitu masuk. “Banyak kelompok lain yang bergerak ke area terlarang Akademi Vitrum. Lebih dari yang kita perkirakan.” Kael yang sedang membentangkan peta langsung menoleh. “Seberapa banyak?” “Sedikitnya sepuluh kelompok. Dan mereka bukan kelompok biasa,” jawab Paman Peter cepat. “Ada kelompok pemburu bayaran, kelompok murid senior, bahkan rumor tentang orang-orang yang bukan dari akademi.” Kata-katanya membuat ruangan menjadi berat. Murphy bersiul pelan. “Wah, ini lebih parah dari waktu di area terlarang Baseus. Setidaknya waktu itu kita tahu apa yang akan kita hadapi,” gumamnya. Paman Peter mengangguk. “Area ini tidak pernah dieksplorasi ratusan tahun. Tidak ada peta akurat sebelumnya. Kita baru saja beruntung mendapatkan salinan peta lama. Tapi tetap saja, apa yang menunggu di dalam... siapa yang tahu?” Semua o

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 100 — Awan Gelap di Atas Vitrum

    Sambil menunggu waktu malam untuk beraksi, Kael memanggil Paman Peter ke sudut ruang, jauh dari pendengaran yang lain. Dengan suara rendah, ia meminta bantuan sang paman untuk bergerak lebih awal—mengamati situasi di sekitar Akademi Vitrum. Kekhawatiran menekan dada Kael. Ia butuh lebih dari sekadar kesiapan; ia butuh informasi. Terutama tentang kelompok-kelompok bayangan yang mungkin muncul saat Ordo Cahaya membuka pintu area terlarang yang selama ini tersembunyi dari dunia. Akademi Vitrum menyimpan lebih dari sekadar reruntuhan tua. Adanya keterlibatan penyihir kuno dalam sejarahnya telah menarik perhatian banyak pihak. Ordo Cahaya—seperti biasa—bergerak atas nama 'pencerahan', namun Kael tahu lebih baik. Di balik topeng suci mereka, tersembunyi ambisi rakus terhadap Batu Sihir, artefak kuno yang diyakini mampu mengubah nasib siapa pun yang memilikinya. Tak hanya Ordo Cahaya. Organisasi bayangan, para pemburu artefak, bahkan keluarga-keluarga bangsawan yang haus kekuasaan, semua

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 99 — Bayangan di Kota

    Suasana mencekam membebat udara di ruangan kecil itu. Hanya bunyi detak jarum jam tua dan napas yang tertahan memenuhi kesunyian. Setiap detik berlalu terasa seperti tarikan waktu yang tak berujung, menekan dada mereka dengan rasa waswas yang makin berat. Kael duduk bersandar di dinding, matanya tajam menatap pintu, seolah berusaha menembusnya dengan pandangan. Sarah merapatkan jubahnya, telapak tangannya mengepal di atas lutut. Laila menggenggam erat tangan Sophia yang duduk di sebelahnya, sementara Murphy berulang kali mengetuk lantai dengan ujung sepatunya tanpa sadar. Setengah jam berlalu, penuh ketegangan membeku. Akhirnya, langkah kaki berat mendekat dari kejauhan. Mereka semua menahan napas. Ketukan tiga kali di pintu—kode yang sudah mereka sepakati. Pintu dibuka perlahan, memperlihatkan sosok Paman Peter dengan wajah tegas. Matanya menyapu seluruh ruangan, memastikan tidak ada yang terluka atau panik. "Rumah itu aman," katanya, suaranya berat namun membawa kelegaan. "Tapi

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status