Home / Fantasi / Tiga Mayat Satu Takdir / Bab 44: Persiapan dan Misteri Bangunan Kuno

Share

Bab 44: Persiapan dan Misteri Bangunan Kuno

Author: Pok Jang
last update Last Updated: 2025-03-22 06:36:05

Udara di luar bangunan kuno terasa dingin dan kering. Angin gunung sepoi-sepoi membawa aroma debu tua dan kayu lapuk dari pintu raksasa yang baru terbuka, suara deritnya masih bergema samar di tebing berbatu. Cahaya matahari redup menyelinap melalui celah awan tebal, memantulkan kilauan lembut pada dinding batu berukir, menciptakan bayang-bayang panjang yang menari di tanah tempat Kael dan kelompoknya berdiri.

Kael duduk di atas batu besar, mantel basahnya menempel di tubuh. Tangannya menggenggam peta kulit yang kini diam, mata birunya menatap tajam ke pintu gelap dengan penuh kewaspadaan. Napasnya masih tersengal namun mulai teratur. Instingnya bergetar—firasat samar namun kuat bahwa langkah berikutnya ke dalam bangunan ini tidak akan mudah.

"Kita istirahat dulu di sini," ujar Kael, suara rendah tetapi tegas, tangannya mengepal saat melirik kelompoknya. "Instingku mengatakan kita harus siap—apa yang di dalam mungkin lebih berat dari yang telah kita hadapi. Kita tidak boleh masuk de
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 45: Pertarungan di Lorong Gelap

    Udara di dalam lorong bangunan kuno terasa **dingin dan pengap**, menyelinap ke paru-paru seperti kabut beku yang membawa bau debu tua serta logam berkarat—aroma tajam yang menggigit hidung dan meninggalkan rasa getir di tenggorokan. Cahaya redup dari permata kecil yang bertaburan di langit-langit berkilau samar, seperti nyala lilin yang sekarat, melemparkan bayang-bayang gemetar ke dinding batu yang penuh retakan halus. **Boneka-boneka makhluk aneh** berdiri kaku di sepanjang lorong, tubuh kayu mereka yang lapuk dan logam berkarat berderit pelan seolah menahan napas, wujud terdistorsi mereka memenuhi ruangan dengan ketegangan yang tak terucap, seperti penjaga bisu yang menunggu perintah. Kael berdiri di depan kelompok, mantel basahnya menempel erat di tubuh yang lelah, dinginnya kain terasa seperti beban tambahan di pundaknya yang kaku. **Tangannya menyala dengan energi hijau kehitaman** yang lemah, nyala itu bergetar seperti api kecil yang hampir padam, matanya biru menyipit taja

    Last Updated : 2025-03-22
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 46: Duel dengan Boneka Sapi Raksasa

    Udara di sepanjang lorong bangunan kuno terasa mencekik dan berat, dipenuhi oleh aroma debu kering yang tajam, bercampur dengan wangi logam berkarat yang menusuk dan kayu lapuk yang menyengat tenggorokan. Cahaya redup dari permata kecil di langit-langit memancarkan sinar yang redup, seolah lilin hampir padam, menciptakan bayangan bergetar di dinding batu yang retak halus. Getaran langkah yang berat mengguncang lantai, debu tua rontok dari celah-celah dengan suara desiran lembut, sementara deritan kayu dan dentingan logam semakin mendekat, menyelimuti lorong dalam suasana tegang yang terlihat seolah hidup. Kael berdiri tegak di depan kelompok, mantel basahnya melekat pada tubuh yang kelelahan, dinginnya kain terasa seperti beban di bahu yang tegang. Tangan kanannya berkilauan dengan energi hijau kehitaman yang lembut, meliuk seperti nyala api kecil di tengah tiupan angin, matanya yang biru menyipit tajam menatap dalam kelam dengan napas yang berat. Detak jantungnya berdegup kencang,

    Last Updated : 2025-03-23
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 47: Pelarian ke Ruang Token Penyihir Kuno

    Udara di lorong bangunan kuno terasa sesak dan berat, membawa aroma debu kering yang menggigit hidung seperti serbuk besi tua, bercampur logam berkarat yang tajam dan kayu lapuk yang meninggalkan rasa kering di tenggorokan. Cahaya redup dari permata kecil di langit-langit berkilau lemah, seperti bara nyaris padam, melemparkan bayang-bayang gemetar ke dinding retak yang kini hidup dengan boneka-boneka kecil—mata merah mereka menyala terang bagai bara haus darah. Derit kayu dan gesekan logam kecil mengisi ruangan dengan suara mengerikan, bercampur getaran langkah berat boneka raksasa yang bergema seperti detak jantung kuno, menyelimuti udara dengan aura tekanan yang mencekik. Kael berdiri teguh di tengah kelompok, mantel basahnya melekat erat di tubuh yang lelah, dingin kain terasa seperti belenggu yang mencengkeram pundaknya yang gemetar, setiap ototnya bergetar oleh getaran lantai yang tak henti. Tangannya menyala dengan energi hijau kehitaman yang lemah, nyala itu berkedip seperti

    Last Updated : 2025-03-23
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 48: Cahaya Token dan Transformasi Sophia

    Udara di ruang terpelihara terasa dingin namun bersih, membawa aroma kayu tua yang dipoles dan logam terjaga baik, kontras dengan lorong berdebu yang penuh ancaman di luar pintu kayu tebal yang kini berderit hebat. Cahaya redup dari permata kecil di langit-langit berkilau samar, memantulkan bayang-bayang gemetar ke dinding batu halus, seolah ruangan ini menahan napas di tengah dentuman keras rantai raksasa yang menghantam pintu separuh tertutup. Kael duduk bersandar pada dinding, mantel basahnya melekat di tubuh yang lelah, matanya biru menatap peti terpelihara di tengah ruang—token emas kecil di dalamnya berkilau lembut, seperti harapan yang rapuh di tengah kegelapan. Sarah dan Laila berlutut di sisi Murphy yang terbaring pucat, botol potion rendah kini kosong di tangan mereka, sementara Sophia berdiri diam, matanya cokelat besar melirik pintu dengan ketakutan tersembunyi di balik raut polosnya. Kael menghela napas panjang, jantungnya masih berdebar oleh pertarungan sebelumnya, pi

    Last Updated : 2025-03-24
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 49: Rahasia Token dan Luncur Lendir

    Udara di ruang terpelihara terasa dingin dan kaku, membawa aroma kayu tua yang dipoles dan logam kuno, kontras dengan lorong berdebu yang penuh ancaman di luar pintu kayu tebal yang terus bergetar hebat. Cahaya redup dari permata kecil di langit-langit berkilau samar, memantulkan bayang-bayang gemetar ke dinding batu halus, sementara dentuman rantai raksasa dan derit boneka kecil yang mencoba merangsek masuk menggema seperti irama kegelapan yang tak pernah usai. Kael duduk bersandar pada dinding, matanya biru menatap Sophia yang kini berdiri dengan kulit manusia biasa, pikirannya berputar penuh pertanyaan tentang gadis kecil yang baru saja berubah di hadapan mereka. Kael menarik napas dalam, jantungnya berdetak kencang oleh rasa ingin tahu yang membakar, lalu melangkah mendekati Sophia dengan hati-hati. “Sophia, siapa sebenarnya kau? Dan siapa orang tua yang kau maksud itu?” tanyanya, suaranya rendah namun penuh tekanan, mata birunya menyipit mencari jawaban di wajah kecil yang men

    Last Updated : 2025-03-24
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 50: Pelarian dari Bangunan Kuno

    Udara di ruang terpelihara terasa dingin dan tebal, membawa aroma kayu tua yang lapuk dan logam kuno, sementara dentuman keras rantai raksasa mengguncang pintu kayu yang kini penuh celah kecil. Cahaya redup dari permata di langit-langit berkilau samar, memantulkan bayang-bayang boneka kecil yang bergerak agresif di luar, mata merah mereka menyala seperti bara haus darah. Kael berdiri di dekat luncur lendir Sophia, tangannya mengepal erat, matanya biru menyipit penuh tekad saat menatap pintu yang hampir jebol, jantungnya berdebar oleh ancaman yang menanti. Sophia melangkah maju, tangan mungilnya terangkat, dan lendir bening mengalir dari tubuhnya, memperkuat luncur di bawah mereka. “Pegang erat—kita keluar sekarang!” katanya, suaranya halus namun tegas, lalu menembakkan bola lendir besar dari tangannya, menghantam pintu seperti batu raksasa hingga kayu itu berderit keras dan terbuka lebar. Luncur lendir melaju cepat, mencengkeram kaki Kael dan kelompoknya dengan lembut namun kuat, m

    Last Updated : 2025-03-25
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 51: Pelarian Melalui Sungai dan Misteri Portal

    Udara di lereng gunung terasa dingin dan basah, angin kencang membawa aroma tanah lembap dan rerumputan liar yang bergoyang liar di sisi tebing berbatu. Luncur lendir Sophia melaju cepat menuruni gunung, permukaannya licin namun kuat mencengkeram kaki Kael dan kelompoknya, meski getaran keras dari batu-batu kecil yang terlepas membuat mereka bergoyang hebat. Kael mengepalkan tangan, matanya biru menyipit penuh fokus, jantungnya berdebar oleh urgensi waktu—monster serigala jadian dan parasit gelap yang mereka bunuh sebelumnya bisa bangkit kapan saja. Laila mengeluarkan frekuensi sonik rendah, suara berdengung halus menggema di udara, menghancurkan batu-batu kecil yang menghalangi jalur luncur dengan pecahan tajam yang beterbangan. Sarah menunjuk arah dengan Mata Sihir, mata ungunya menyala terang, “Ke bawah—sungai di sana!” serunya, suaranya tegas meski napasnya tersengal, sementara Murphy mengaktifkan perisai emas tipis, melindungi mereka dari serpihan batu yang menyengat kulit. L

    Last Updated : 2025-03-25
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 52: Hutan Misterius dan Gua Madu

    Cahaya hijau kehitaman dari portal Perpustakaan Tersegel melingkupi Kael dan kelompoknya. Udara dingin lorong berganti dengan hembusan hangat yang membawa aroma daun basah, kayu tua, dan tanah lembap. Pusaran energi menarik mereka ke dalam kegelapan berputar, membuat jantung Kael berdegup kencang. Matanya yang biru menyipit, mencoba menembus bayang-bayang yang bergerak cepat di sekitarnya. Tiba-tiba, kaki mereka mendarat di tanah empuk. Rumput basah menyentuh kulit dengan dingin yang menusuk, sementara pepohonan raksasa menjulang di sekitar mereka. Daun-daunnya bergoyang pelan ditiup angin lembut, menciptakan bisikan samar di tengah keheningan hutan asing ini. Kael bangkit dengan cepat, tangannya meraba bola lendir Sophia yang licin dan dingin di dalam saku mantelnya. Matanya memindai sekeliling—Sarah, Laila, Murphy, dan Sophia berdiri tak jauh darinya, utuh di bawah kanopi hijau tebal yang hampir menutupi langit. “Kita keluar bersama,” gumamnya lega, meski alisnya berkerut menatap

    Last Updated : 2025-03-26

Latest chapter

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 110 — Dua Kael

    Kael berlari menembus kegelapan pekat, napasnya berat, jantungnya berdegup tak karuan seperti genderang perang. Setiap langkahnya menghentak lorong kosong itu, menghasilkan gema sunyi yang segera ditelan gelap, menyatu dengan desiran angin dingin yang menusuk hingga ke tulang sumsum. Di hadapannya, dunia seolah tak berujung. Tak ada suara selain derap langkahnya. Tak ada aroma tanah, darah, ataupun kehidupan. Tak ada energi sihir yang terasa. Hanya hampa. Hanya tubuhnya sendiri... dan keputusasaan yang menggeliat perlahan, seperti ular berbisa yang membelit hatinya. Windstep yang biasanya membawanya meluncur ringan kini terasa berat. Kael seakan berlari di atas pasir hisap. Setiap loncatan terasa menghabiskan lebih banyak tenaga, dan parahnya—jarak seolah tak pernah berkurang. Semakin cepat ia berlari, semakin jauh rasanya tujuannya. "Ada yang salah," pikir Kael, peluh dingin membasahi pelipisnya. Jantungnya menghantam tulang rusuk, memompa kegelisahan ke seluruh tubuh. "Tidak!

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 109 – Labirin Kegelapan dan Wajah yang Mengelabui

    Ketegangan yang menekan dada perlahan menyelimuti kelompok itu setelah kejadian di luar. Meskipun kekhawatiran terhadap Molly dan Vale masih menggelayuti pikiran mereka, tidak ada pilihan lain selain melanjutkan misi. Waktu tidak berpihak pada mereka. Dengan langkah waspada, mereka melangkah ke dalam kedalaman area terlarang Akademi Vitrum. Tanpa peta, tanpa informasi yang jelas, mereka ibarat pejalan buta dalam hutan lebat, hanya bergantung pada insting dan kewaspadaan mereka sendiri. Lyra menggenggam botol sihir di tangannya erat-erat, jari-jarinya yang ramping menempel kuat seolah itu adalah satu-satunya pelindungnya. Cairan biru di dalam botol beriak perlahan, memantulkan cahaya lampu magis di sepanjang lorong. Ia siap kapan saja melepaskan sihir kontrol airnya untuk menyerang atau bertahan. Murphy, di sisi lain, memegang pedang sihirnya yang diselimuti aura keemasan. Cahaya itu tampak menghangatkan, namun pada saat yang sama memancarkan ketegasan yang membuat siapa pun berpiki

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 108 – Bayangan di Balik Kabut

    Di luar area terlarang, saat kelompok Kael bertarung keras untuk membuka pintu raksasa, di bukit berbatu yang diselimuti kabut tipis, sosok paman Peter berjongkok, menyatu dengan batuan kasar dan bayang-bayang, matanya awas menatap situasi di kejauhan. Suara langkah pelan terdengar di belakangnya. Ia langsung siaga, namun segera menurunkan bahu saat melihat dua sosok yang mendekat. Maya dan paman Barrett muncul dari balik bayangan, tubuh mereka hampir tak terlihat, terlindungi oleh lapisan sihir bayangan yang melingkupi mereka. "Aku tidak menyangka... betapa menegangkannya mengikuti perjalanan kalian," gerutu Maya, suaranya rendah dan serak, matanya yang tajam menyapu area sekitar dengan waspada. "Kami harus berusaha keras menyingkirkan makhluk beracun di sekitar sini, sementara kalian bisa bergerak cukup aman di dalam kabut itu..." Bayangan sihir paman Barrett menari samar di sekitar tubuh mereka, membuat mereka nyaris mustahil dideteksi oleh makhluk liar yang berkeliaran. Paman B

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 107 – Ketegangan di Bukit Kembar Tiga

    Paman Peter dan Sophia kembali dengan cepat, wajah mereka tampak serius di bawah naungan kabut malam. Begitu tiba di tempat persembunyian, Paman Peter segera membagikan informasi penting. Kelompok kelelawar raksasa terlihat semakin waspada, dan di antara mereka, seekor kelelawar raksasa yang berukuran mengerikan tampak menguasai wilayah sekitar pintu masuk tersembunyi. Ia mendengkur pelan, namun bahkan dalam tidurnya, auranya terasa mengancam. "Kalau kita cuma mengandalkan kabut untuk menyelinap, aku ragu kita bisa lolos," kata Paman Peter, suaranya rendah dan berat, seraya menatap Kael dan yang lainnya. "Kita harus membuat pengalih perhatian. Sesuatu yang cukup besar untuk memaksa mereka berpaling." Mereka berdiskusi di tengah gemuruh sunyi malam. Aroma makanan sederhana yang mereka siapkan perlahan memenuhi udara, menenangkan saraf yang tegang. Beberapa potong roti panggang, daging kering, dan sup hangat membantu mengisi kembali tenaga mereka. Makan malam ini terasa seperti jeda y

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 106: Pintu Tersembunyi dan Bayangan Kematian

    Di bawah cahaya redup bulan yang tertutup awan, sosok Molly dan Vale melesat di udara, membawa Sarah dan Laila di punggung mereka. Sementara itu, di daratan, platform luncur lendir buatan Sophia bergerak dengan kecepatan yang tidak kalah cepat, membelah semak dan melewati jalanan berbatu tanpa hambatan. Jika dilihat dari kejauhan, kelompok Kael tampak seperti pasukan kecil yang menunggangi seekor ular raksasa yang melesat mulus melintasi permukaan bumi. Murphy, Lyra, dan Paman Peter bergerak di posisi depan, matanya waspada terhadap setiap bayangan yang mencurigakan. Sementara itu, Kael menjaga posisi paling belakang, berdiri kokoh di platform lendir bersama Sophia yang terus mengendalikan arah dan kecepatan luncur mereka. Platform itu membentuk jalur khusus, membuka semak belukar dan menghaluskan permukaan tanah, seolah-olah memberikan karpet rahasia di tengah hutan belantara. Meskipun bahaya mengintai di setiap sudut, perasaan meluncur bebas di udara malam itu memberikan sensasi

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 105 – Sarang Berbisa di Bukit Kembar

    Kael mengerutkan kening begitu mendengar derap langkah dan gerakan sihir samar dari kejauhan. Ia segera memanggil Paman Peter yang belum terlalu jauh darinya, memberi isyarat tangan untuk mendekat dan bersembunyi bersamanya di balik batu besar yang tersembunyi di antara semak berduri. "Sepertinya ada kelompok lain yang datang," bisik Kael, matanya tajam mengamati pergerakan di kejauhan. Mereka berdua menahan napas, memampatkan aura mereka serendah mungkin. Angin malam membawa aroma busuk khas sihir gelap, membuat Kael menyipitkan mata penuh waspada. Ia sempat berpikir, seharusnya kelompok Ordo Cahaya yang sebelumnya mereka lihat masih membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai area bukit kembar ini. Tetapi siapa sebenarnya yang datang? Dalam diam yang menegangkan, mereka mengintip dari celah batu besar itu. Saat siluet-siluet mendekat, Kael akhirnya dapat melihat dengan jelas — itu adalah kelompok dari Ordo Umbra! Jubah-jubah hitam, lambang kabut kelam di dada, dan monster modifi

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 104 — Bukit Kembar Tiga

    Awan kelabu tipis menggantung rendah di atas langit. Di ketinggian, Kael duduk di atas punggung Molly yang terbang dengan sayap kecil namun kuat. Angin dingin menyapu wajahnya, membawa bau lembap khas hutan liar yang bersembunyi di bawah kabut tebal. Kael dan Paman Peter berdiskusi serius di udara, mengamati dua bukit kembar yang menjulang samar dalam kabut. Keduanya tampak hampir identik, membuat sulit menentukan mana yang merupakan jalan menuju area terlarang Akademi Vitrum. Paman Peter, dengan tatapan tajamnya, tampak memikirkan sesuatu. Lalu dia berbicara dengan nada dalam. "Makhluk beracun yang tinggal di sini seharusnya dianggap sebagai penjaga area terlarang. Jika kedua tempat mempunyai penjaga yang sama, kita hanya perlu memastikan mana penjagaannya yang lebih kuat. Tempat yang dijaga lebih ketat dan lebih agresif, pastilah tempat yang asli." Kael mengerutkan kening, kebingungan. "Bagaimana kita tahu makhluk mana yang lebih agresif? Apa kita harus menyerang mereka?" tanya

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 103 – Pencarian Bukit Kembar Tiga

    Molly mengepakkan sayap lebarnya, membawa Kael naik ke langit untuk pertama kalinya. Udara tipis dan hempasan angin kencang membuat tubuh Kael sedikit oleng di punggung monster kecil berbentuk tupai naga itu. Ia menggenggam erat bulu lebat Molly, mencoba menyesuaikan diri dengan ritme gerakan terbangnya. Molly sendiri tampak canggung. Sayap barunya yang besar dan kuat itu bergetar tak stabil, seolah masih berusaha mengimbangi berat tambahan di punggungnya. Mereka berputar-putar beberapa kali di langit, turun naik perlahan, sebelum akhirnya menemukan harmoni dalam gerakan. Seperti dua nada berbeda yang akhirnya menemukan melodi yang serasi. "Bagus, Molly," bisik Kael, menepuk lembut leher makhluk itu. Ia bisa merasakan bagaimana ketegangan dalam tubuh Molly perlahan mengendur, membentuk ikatan kepercayaan yang lebih dalam di antara mereka. Setelah yakin bahwa mereka mampu terbang stabil, Kael menunjuk ke langit yang lebih tinggi. "Ayo, kita naik," katanya. Molly mendesis pelan, lal

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 102 - Kabut, Racun, dan Jalan Baru

    "Sophia, segera tebalkan kabutnya! Kita harus menyembunyikan keberadaan kita!" seru Kael cepat, matanya menyipit tajam menatap kerumunan laba-laba raksasa yang mulai memasuki gua. Semua anggota kelompok berkeringat dingin. Dari balik kabut tipis yang sudah mulai tersebar, mereka bisa mendengar suara ratapan memilukan dari dalam gua—suara manusia yang seolah menjadi santapan makhluk-makhluk itu. Aroma amis darah bercampur udara lembap membuat bulu kuduk meremang. Mereka belum sempat menarik napas lega, ketika suara langkah tergesa-gesa kelompok lain yang mendekat bergema dari arah lain. Sontak, mereka mempererat formasi, bersembunyi di balik pohon-pohon besar, menyatu dalam kabut sihir Sophia yang semakin padat. Ketegangan merayap di udara. Semua orang siap bertempur jika perlu. Namun, sesuatu yang tak mereka duga terjadi. Kelompok yang datang itu tiba-tiba berteriak kacau, suara raungan dan teriakan ketakutan memenuhi hutan malam. Dari balik kegelapan, ratusan ular berbisa melata,

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status