Home / Fantasi / Tiga Mayat Satu Takdir / Bab 48: Cahaya Token dan Transformasi Sophia

Share

Bab 48: Cahaya Token dan Transformasi Sophia

Author: Pok Jang
last update Last Updated: 2025-03-24 13:26:25

Udara di ruang terpelihara terasa dingin namun bersih, membawa aroma kayu tua yang dipoles dan logam terjaga baik, kontras dengan lorong berdebu yang penuh ancaman di luar pintu kayu tebal yang kini berderit hebat. Cahaya redup dari permata kecil di langit-langit berkilau samar, memantulkan bayang-bayang gemetar ke dinding batu halus, seolah ruangan ini menahan napas di tengah dentuman keras rantai raksasa yang menghantam pintu separuh tertutup.

Kael duduk bersandar pada dinding, mantel basahnya melekat di tubuh yang lelah, matanya biru menatap peti terpelihara di tengah ruang—token emas kecil di dalamnya berkilau lembut, seperti harapan yang rapuh di tengah kegelapan. Sarah dan Laila berlutut di sisi Murphy yang terbaring pucat, botol potion rendah kini kosong di tangan mereka, sementara Sophia berdiri diam, matanya cokelat besar melirik pintu dengan ketakutan tersembunyi di balik raut polosnya.

Kael menghela napas panjang, jantungnya masih berdebar oleh pertarungan sebelumnya, pi
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 49: Rahasia Token dan Luncur Lendir

    Udara di ruang terpelihara terasa dingin dan kaku, membawa aroma kayu tua yang dipoles dan logam kuno, kontras dengan lorong berdebu yang penuh ancaman di luar pintu kayu tebal yang terus bergetar hebat. Cahaya redup dari permata kecil di langit-langit berkilau samar, memantulkan bayang-bayang gemetar ke dinding batu halus, sementara dentuman rantai raksasa dan derit boneka kecil yang mencoba merangsek masuk menggema seperti irama kegelapan yang tak pernah usai. Kael duduk bersandar pada dinding, matanya biru menatap Sophia yang kini berdiri dengan kulit manusia biasa, pikirannya berputar penuh pertanyaan tentang gadis kecil yang baru saja berubah di hadapan mereka. Kael menarik napas dalam, jantungnya berdetak kencang oleh rasa ingin tahu yang membakar, lalu melangkah mendekati Sophia dengan hati-hati. “Sophia, siapa sebenarnya kau? Dan siapa orang tua yang kau maksud itu?” tanyanya, suaranya rendah namun penuh tekanan, mata birunya menyipit mencari jawaban di wajah kecil yang men

    Last Updated : 2025-03-24
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 50: Pelarian dari Bangunan Kuno

    Udara di ruang terpelihara terasa dingin dan tebal, membawa aroma kayu tua yang lapuk dan logam kuno, sementara dentuman keras rantai raksasa mengguncang pintu kayu yang kini penuh celah kecil. Cahaya redup dari permata di langit-langit berkilau samar, memantulkan bayang-bayang boneka kecil yang bergerak agresif di luar, mata merah mereka menyala seperti bara haus darah. Kael berdiri di dekat luncur lendir Sophia, tangannya mengepal erat, matanya biru menyipit penuh tekad saat menatap pintu yang hampir jebol, jantungnya berdebar oleh ancaman yang menanti. Sophia melangkah maju, tangan mungilnya terangkat, dan lendir bening mengalir dari tubuhnya, memperkuat luncur di bawah mereka. “Pegang erat—kita keluar sekarang!” katanya, suaranya halus namun tegas, lalu menembakkan bola lendir besar dari tangannya, menghantam pintu seperti batu raksasa hingga kayu itu berderit keras dan terbuka lebar. Luncur lendir melaju cepat, mencengkeram kaki Kael dan kelompoknya dengan lembut namun kuat, m

    Last Updated : 2025-03-25
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 51: Pelarian Melalui Sungai dan Misteri Portal

    Udara di lereng gunung terasa dingin dan basah, angin kencang membawa aroma tanah lembap dan rerumputan liar yang bergoyang liar di sisi tebing berbatu. Luncur lendir Sophia melaju cepat menuruni gunung, permukaannya licin namun kuat mencengkeram kaki Kael dan kelompoknya, meski getaran keras dari batu-batu kecil yang terlepas membuat mereka bergoyang hebat. Kael mengepalkan tangan, matanya biru menyipit penuh fokus, jantungnya berdebar oleh urgensi waktu—monster serigala jadian dan parasit gelap yang mereka bunuh sebelumnya bisa bangkit kapan saja. Laila mengeluarkan frekuensi sonik rendah, suara berdengung halus menggema di udara, menghancurkan batu-batu kecil yang menghalangi jalur luncur dengan pecahan tajam yang beterbangan. Sarah menunjuk arah dengan Mata Sihir, mata ungunya menyala terang, “Ke bawah—sungai di sana!” serunya, suaranya tegas meski napasnya tersengal, sementara Murphy mengaktifkan perisai emas tipis, melindungi mereka dari serpihan batu yang menyengat kulit. L

    Last Updated : 2025-03-25
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 52: Hutan Misterius dan Gua Madu

    Cahaya hijau kehitaman dari portal Perpustakaan Tersegel melingkupi Kael dan kelompoknya. Udara dingin lorong berganti dengan hembusan hangat yang membawa aroma daun basah, kayu tua, dan tanah lembap. Pusaran energi menarik mereka ke dalam kegelapan berputar, membuat jantung Kael berdegup kencang. Matanya yang biru menyipit, mencoba menembus bayang-bayang yang bergerak cepat di sekitarnya. Tiba-tiba, kaki mereka mendarat di tanah empuk. Rumput basah menyentuh kulit dengan dingin yang menusuk, sementara pepohonan raksasa menjulang di sekitar mereka. Daun-daunnya bergoyang pelan ditiup angin lembut, menciptakan bisikan samar di tengah keheningan hutan asing ini. Kael bangkit dengan cepat, tangannya meraba bola lendir Sophia yang licin dan dingin di dalam saku mantelnya. Matanya memindai sekeliling—Sarah, Laila, Murphy, dan Sophia berdiri tak jauh darinya, utuh di bawah kanopi hijau tebal yang hampir menutupi langit. “Kita keluar bersama,” gumamnya lega, meski alisnya berkerut menatap

    Last Updated : 2025-03-26
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 53: Penyergapan Beruang Magis

    Udara di dalam gua terasa dingin dan lembap, aroma tanah basah Aethel bercampur dengan manisnya madu dari genangan keemasan. Namun, auman beruang magis mengguncang dinding gua, membuat Kael dan kelompoknya menegang, keringat dingin membasahi kulit mereka. Kael menarik napas dalam-dalam, matanya biru menyipit penuh tekad. Tangannya menyala tipis dengan kabut hijau kehitaman—Racun Melemahkan dari Teknik Racun Tiga Mayat yang ia kuasai. “Kita sergap beruang itu—dagingnya bisa jadi bekal dan memulihkan Sophia,” katanya, suaranya rendah namun tegas. Ia melirik kelompoknya, “Aku akan jadi umpan; kalian sembunyi di balik batu dan serang saat aku beri isyarat.” Sarah mengangguk cepat, mata ungunya menyala dengan Mata Sihir. Tangannya menciptakan ilusi samar yang menyamarkan Murphy, Laila, dan Sophia di balik batu besar. Bayang-bayang mereka lenyap dalam dinding berlumut. “Aku akan sembunyikan kalian—beruang itu pasti tahu ada penyusup,” katanya, suaranya tegang namun fokus, napasnya terse

    Last Updated : 2025-03-26
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 54: Bayang di Dalam Gua

    Dalam gua kecil di hutan Aethel, malam menyelimuti dunia luar dengan kegelapan pekat. Cahaya api unggun kecil berkedip lemah, memantulkan bayangan di dinding batu yang kasar. Angin malam bersiul pelan melalui celah-celah gua, membawa aroma daun basah bercampur ketegangan samar—sesuatu mengintai di hutan, namun belum menampakkan diri. Kael duduk bersandar di dinding gua, napasnya sedikit berat sambil memegang lengan kanannya yang terluka. Luka itu—goresan dalam akibat serangan beruang magis sebelumnya—masih terasa nyeri, meski darahnya sudah mulai mengering di permukaan kulitnya. Rasa sakit itu mengingatkannya pada pertarungan sengit yang meninggalkan bekas ini, dan kini dia harus menahan rasa sakit demi kelompoknya. “Kita belum tahu apa yang ada di luar sana,” katanya, suaranya rendah namun penuh kewaspadaan, “Semua harus tetap siaga. Tetapi untuk sekarang, kita istirahat—aku perlu mengatasi lukaku ini.” Sarah berlutut di sisinya, membuka tas kain kecil yang berisikan perban dan

    Last Updated : 2025-03-27
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 55: Pertarungan di Tengah Bayang Hutan

    Malam di hutan Aethel terasa semakin gelap, angin dingin bersiul melalui celah-celah pepohonan raksasa, membawa aroma daun basah dan tanah lembap yang bercampur dengan ketegangan samar. Di dalam gua kecil, cahaya api unggun yang berkelap-kelip memantulkan bayangan Kael dan kelompoknya di dinding batu yang kasar. Kael berdiri di ambang pintu gua, matanya yang biru menyipit menatap kegelapan di luar, sementara tangannya yang terluka berdenyut pelan di bawah perban ketat yang baru dibalut oleh Sarah. “Sarah, Laila, Murphy, Sophia—tetap di dalam dan lindungi satu sama lain,” katanya, suaranya rendah namun tegas, penuh kewaspadaan. “Aku perlu tahu apa yang terjadi di luar sana. Jika itu bukan ancaman buat kita, aku akan segera kembali.” Ia melirik ke arah mereka, memastikan posisi mereka aman di balik batu besar dekat api unggun. Sarah mengerutkan dahi, tangannya mencengkeram lengan Kael sejenak. “Kael, lukamu belum sembuh—” protesnya terpotong saat Kael menggeleng cepat. “Aku baik-bai

    Last Updated : 2025-03-27
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 56: Kabut dan Ilusi di Hutan Aethel

    Malam di hutan Aethel terasa semakin mencekam. Angin dingin berdesir melalui pepohonan raksasa, membawakan aroma darah segar dan bulu basah yang samar tercium di udara. Cahaya bulan yang redup tersaring oleh kanopi tebal, menciptakan bayang-bayang yang bergoyang liar di tanah berlumut. Kael berdiri di tepi lapangan kecil, matanya yang biru menyipit menatap pertempuran sengit di depannya. Jantungnya berdegup kencang saat raungan monyet raksasa setinggi tiga meter mengguncang udara. Luka di lengannya berdenyut tajam di bawah perban, namun ia menahan rasa sakitnya, berfokus pada ancaman yang kini tak bisa dihindari lagi. Ia menoleh ke belakang, melihat Sarah, Laila, Murphy, dan Sophia mendekatinya dengan wajah penuh kekhawatiran. Kael menghela napas pasrah—kelompoknya berkumpul kembali, dan pertempuran yang ia coba hindari sejak awal kini menatap mereka langsung. “Kita tak punya pilihan,” gumamnya, suaranya rendah namun tegas. “Tapi kita tak akan bertarung langsung—kita bantu mereka da

    Last Updated : 2025-03-28

Latest chapter

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 107 – Ketegangan di Bukit Kembar Tiga

    Paman Peter dan Sophia kembali dengan cepat, wajah mereka tampak serius di bawah naungan kabut malam. Begitu tiba di tempat persembunyian, Paman Peter segera membagikan informasi penting. Kelompok kelelawar raksasa terlihat semakin waspada, dan di antara mereka, seekor kelelawar raksasa yang berukuran mengerikan tampak menguasai wilayah sekitar pintu masuk tersembunyi. Ia mendengkur pelan, namun bahkan dalam tidurnya, auranya terasa mengancam. "Kalau kita cuma mengandalkan kabut untuk menyelinap, aku ragu kita bisa lolos," kata Paman Peter, suaranya rendah dan berat, seraya menatap Kael dan yang lainnya. "Kita harus membuat pengalih perhatian. Sesuatu yang cukup besar untuk memaksa mereka berpaling." Mereka berdiskusi di tengah gemuruh sunyi malam. Aroma makanan sederhana yang mereka siapkan perlahan memenuhi udara, menenangkan saraf yang tegang. Beberapa potong roti panggang, daging kering, dan sup hangat membantu mengisi kembali tenaga mereka. Makan malam ini terasa seperti jeda y

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 106: Pintu Tersembunyi dan Bayangan Kematian

    Di bawah cahaya redup bulan yang tertutup awan, sosok Molly dan Vale melesat di udara, membawa Sarah dan Laila di punggung mereka. Sementara itu, di daratan, platform luncur lendir buatan Sophia bergerak dengan kecepatan yang tidak kalah cepat, membelah semak dan melewati jalanan berbatu tanpa hambatan. Jika dilihat dari kejauhan, kelompok Kael tampak seperti pasukan kecil yang menunggangi seekor ular raksasa yang melesat mulus melintasi permukaan bumi. Murphy, Lyra, dan Paman Peter bergerak di posisi depan, matanya waspada terhadap setiap bayangan yang mencurigakan. Sementara itu, Kael menjaga posisi paling belakang, berdiri kokoh di platform lendir bersama Sophia yang terus mengendalikan arah dan kecepatan luncur mereka. Platform itu membentuk jalur khusus, membuka semak belukar dan menghaluskan permukaan tanah, seolah-olah memberikan karpet rahasia di tengah hutan belantara. Meskipun bahaya mengintai di setiap sudut, perasaan meluncur bebas di udara malam itu memberikan sensasi

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 105 – Sarang Berbisa di Bukit Kembar

    Kael mengerutkan kening begitu mendengar derap langkah dan gerakan sihir samar dari kejauhan. Ia segera memanggil Paman Peter yang belum terlalu jauh darinya, memberi isyarat tangan untuk mendekat dan bersembunyi bersamanya di balik batu besar yang tersembunyi di antara semak berduri. "Sepertinya ada kelompok lain yang datang," bisik Kael, matanya tajam mengamati pergerakan di kejauhan. Mereka berdua menahan napas, memampatkan aura mereka serendah mungkin. Angin malam membawa aroma busuk khas sihir gelap, membuat Kael menyipitkan mata penuh waspada. Ia sempat berpikir, seharusnya kelompok Ordo Cahaya yang sebelumnya mereka lihat masih membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai area bukit kembar ini. Tetapi siapa sebenarnya yang datang? Dalam diam yang menegangkan, mereka mengintip dari celah batu besar itu. Saat siluet-siluet mendekat, Kael akhirnya dapat melihat dengan jelas — itu adalah kelompok dari Ordo Umbra! Jubah-jubah hitam, lambang kabut kelam di dada, dan monster modifi

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 104 — Bukit Kembar Tiga

    Awan kelabu tipis menggantung rendah di atas langit. Di ketinggian, Kael duduk di atas punggung Molly yang terbang dengan sayap kecil namun kuat. Angin dingin menyapu wajahnya, membawa bau lembap khas hutan liar yang bersembunyi di bawah kabut tebal. Kael dan Paman Peter berdiskusi serius di udara, mengamati dua bukit kembar yang menjulang samar dalam kabut. Keduanya tampak hampir identik, membuat sulit menentukan mana yang merupakan jalan menuju area terlarang Akademi Vitrum. Paman Peter, dengan tatapan tajamnya, tampak memikirkan sesuatu. Lalu dia berbicara dengan nada dalam. "Makhluk beracun yang tinggal di sini seharusnya dianggap sebagai penjaga area terlarang. Jika kedua tempat mempunyai penjaga yang sama, kita hanya perlu memastikan mana penjagaannya yang lebih kuat. Tempat yang dijaga lebih ketat dan lebih agresif, pastilah tempat yang asli." Kael mengerutkan kening, kebingungan. "Bagaimana kita tahu makhluk mana yang lebih agresif? Apa kita harus menyerang mereka?" tanya

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 103 – Pencarian Bukit Kembar Tiga

    Molly mengepakkan sayap lebarnya, membawa Kael naik ke langit untuk pertama kalinya. Udara tipis dan hempasan angin kencang membuat tubuh Kael sedikit oleng di punggung monster kecil berbentuk tupai naga itu. Ia menggenggam erat bulu lebat Molly, mencoba menyesuaikan diri dengan ritme gerakan terbangnya. Molly sendiri tampak canggung. Sayap barunya yang besar dan kuat itu bergetar tak stabil, seolah masih berusaha mengimbangi berat tambahan di punggungnya. Mereka berputar-putar beberapa kali di langit, turun naik perlahan, sebelum akhirnya menemukan harmoni dalam gerakan. Seperti dua nada berbeda yang akhirnya menemukan melodi yang serasi. "Bagus, Molly," bisik Kael, menepuk lembut leher makhluk itu. Ia bisa merasakan bagaimana ketegangan dalam tubuh Molly perlahan mengendur, membentuk ikatan kepercayaan yang lebih dalam di antara mereka. Setelah yakin bahwa mereka mampu terbang stabil, Kael menunjuk ke langit yang lebih tinggi. "Ayo, kita naik," katanya. Molly mendesis pelan, lal

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 102 - Kabut, Racun, dan Jalan Baru

    "Sophia, segera tebalkan kabutnya! Kita harus menyembunyikan keberadaan kita!" seru Kael cepat, matanya menyipit tajam menatap kerumunan laba-laba raksasa yang mulai memasuki gua. Semua anggota kelompok berkeringat dingin. Dari balik kabut tipis yang sudah mulai tersebar, mereka bisa mendengar suara ratapan memilukan dari dalam gua—suara manusia yang seolah menjadi santapan makhluk-makhluk itu. Aroma amis darah bercampur udara lembap membuat bulu kuduk meremang. Mereka belum sempat menarik napas lega, ketika suara langkah tergesa-gesa kelompok lain yang mendekat bergema dari arah lain. Sontak, mereka mempererat formasi, bersembunyi di balik pohon-pohon besar, menyatu dalam kabut sihir Sophia yang semakin padat. Ketegangan merayap di udara. Semua orang siap bertempur jika perlu. Namun, sesuatu yang tak mereka duga terjadi. Kelompok yang datang itu tiba-tiba berteriak kacau, suara raungan dan teriakan ketakutan memenuhi hutan malam. Dari balik kegelapan, ratusan ular berbisa melata,

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 101 — Hutan Labirin Racun

    Paman Peter kembali ke rumah persembunyian mereka dengan nafas memburu. Wajahnya yang biasanya santai kini mengeras penuh ketegangan. “Aku dapat kabar buruk,” katanya, begitu masuk. “Banyak kelompok lain yang bergerak ke area terlarang Akademi Vitrum. Lebih dari yang kita perkirakan.” Kael yang sedang membentangkan peta langsung menoleh. “Seberapa banyak?” “Sedikitnya sepuluh kelompok. Dan mereka bukan kelompok biasa,” jawab Paman Peter cepat. “Ada kelompok pemburu bayaran, kelompok murid senior, bahkan rumor tentang orang-orang yang bukan dari akademi.” Kata-katanya membuat ruangan menjadi berat. Murphy bersiul pelan. “Wah, ini lebih parah dari waktu di area terlarang Baseus. Setidaknya waktu itu kita tahu apa yang akan kita hadapi,” gumamnya. Paman Peter mengangguk. “Area ini tidak pernah dieksplorasi ratusan tahun. Tidak ada peta akurat sebelumnya. Kita baru saja beruntung mendapatkan salinan peta lama. Tapi tetap saja, apa yang menunggu di dalam... siapa yang tahu?” Semua o

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 100 — Awan Gelap di Atas Vitrum

    Sambil menunggu waktu malam untuk beraksi, Kael memanggil Paman Peter ke sudut ruang, jauh dari pendengaran yang lain. Dengan suara rendah, ia meminta bantuan sang paman untuk bergerak lebih awal—mengamati situasi di sekitar Akademi Vitrum. Kekhawatiran menekan dada Kael. Ia butuh lebih dari sekadar kesiapan; ia butuh informasi. Terutama tentang kelompok-kelompok bayangan yang mungkin muncul saat Ordo Cahaya membuka pintu area terlarang yang selama ini tersembunyi dari dunia. Akademi Vitrum menyimpan lebih dari sekadar reruntuhan tua. Adanya keterlibatan penyihir kuno dalam sejarahnya telah menarik perhatian banyak pihak. Ordo Cahaya—seperti biasa—bergerak atas nama 'pencerahan', namun Kael tahu lebih baik. Di balik topeng suci mereka, tersembunyi ambisi rakus terhadap Batu Sihir, artefak kuno yang diyakini mampu mengubah nasib siapa pun yang memilikinya. Tak hanya Ordo Cahaya. Organisasi bayangan, para pemburu artefak, bahkan keluarga-keluarga bangsawan yang haus kekuasaan, semua

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 99 — Bayangan di Kota

    Suasana mencekam membebat udara di ruangan kecil itu. Hanya bunyi detak jarum jam tua dan napas yang tertahan memenuhi kesunyian. Setiap detik berlalu terasa seperti tarikan waktu yang tak berujung, menekan dada mereka dengan rasa waswas yang makin berat. Kael duduk bersandar di dinding, matanya tajam menatap pintu, seolah berusaha menembusnya dengan pandangan. Sarah merapatkan jubahnya, telapak tangannya mengepal di atas lutut. Laila menggenggam erat tangan Sophia yang duduk di sebelahnya, sementara Murphy berulang kali mengetuk lantai dengan ujung sepatunya tanpa sadar. Setengah jam berlalu, penuh ketegangan membeku. Akhirnya, langkah kaki berat mendekat dari kejauhan. Mereka semua menahan napas. Ketukan tiga kali di pintu—kode yang sudah mereka sepakati. Pintu dibuka perlahan, memperlihatkan sosok Paman Peter dengan wajah tegas. Matanya menyapu seluruh ruangan, memastikan tidak ada yang terluka atau panik. "Rumah itu aman," katanya, suaranya berat namun membawa kelegaan. "Tapi

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status