Cahaya hijau kehitaman dari portal Perpustakaan Tersegel melingkupi Kael dan kelompoknya. Udara dingin lorong berganti dengan hembusan hangat yang membawa aroma daun basah, kayu tua, dan tanah lembap. Pusaran energi menarik mereka ke dalam kegelapan berputar, membuat jantung Kael berdegup kencang. Matanya yang biru menyipit, mencoba menembus bayang-bayang yang bergerak cepat di sekitarnya. Tiba-tiba, kaki mereka mendarat di tanah empuk. Rumput basah menyentuh kulit dengan dingin yang menusuk, sementara pepohonan raksasa menjulang di sekitar mereka. Daun-daunnya bergoyang pelan ditiup angin lembut, menciptakan bisikan samar di tengah keheningan hutan asing ini. Kael bangkit dengan cepat, tangannya meraba bola lendir Sophia yang licin dan dingin di dalam saku mantelnya. Matanya memindai sekeliling—Sarah, Laila, Murphy, dan Sophia berdiri tak jauh darinya, utuh di bawah kanopi hijau tebal yang hampir menutupi langit. “Kita keluar bersama,” gumamnya lega, meski alisnya berkerut menatap
Udara di dalam gua terasa dingin dan lembap, aroma tanah basah Aethel bercampur dengan manisnya madu dari genangan keemasan. Namun, auman beruang magis mengguncang dinding gua, membuat Kael dan kelompoknya menegang, keringat dingin membasahi kulit mereka. Kael menarik napas dalam-dalam, matanya biru menyipit penuh tekad. Tangannya menyala tipis dengan kabut hijau kehitaman—Racun Melemahkan dari Teknik Racun Tiga Mayat yang ia kuasai. “Kita sergap beruang itu—dagingnya bisa jadi bekal dan memulihkan Sophia,” katanya, suaranya rendah namun tegas. Ia melirik kelompoknya, “Aku akan jadi umpan; kalian sembunyi di balik batu dan serang saat aku beri isyarat.” Sarah mengangguk cepat, mata ungunya menyala dengan Mata Sihir. Tangannya menciptakan ilusi samar yang menyamarkan Murphy, Laila, dan Sophia di balik batu besar. Bayang-bayang mereka lenyap dalam dinding berlumut. “Aku akan sembunyikan kalian—beruang itu pasti tahu ada penyusup,” katanya, suaranya tegang namun fokus, napasnya terse
Dalam gua kecil di hutan Aethel, malam menyelimuti dunia luar dengan kegelapan pekat. Cahaya api unggun kecil berkedip lemah, memantulkan bayangan di dinding batu yang kasar. Angin malam bersiul pelan melalui celah-celah gua, membawa aroma daun basah bercampur ketegangan samar—sesuatu mengintai di hutan, namun belum menampakkan diri. Kael duduk bersandar di dinding gua, napasnya sedikit berat sambil memegang lengan kanannya yang terluka. Luka itu—goresan dalam akibat serangan beruang magis sebelumnya—masih terasa nyeri, meski darahnya sudah mulai mengering di permukaan kulitnya. Rasa sakit itu mengingatkannya pada pertarungan sengit yang meninggalkan bekas ini, dan kini dia harus menahan rasa sakit demi kelompoknya. “Kita belum tahu apa yang ada di luar sana,” katanya, suaranya rendah namun penuh kewaspadaan, “Semua harus tetap siaga. Tetapi untuk sekarang, kita istirahat—aku perlu mengatasi lukaku ini.” Sarah berlutut di sisinya, membuka tas kain kecil yang berisikan perban dan
Malam di hutan Aethel terasa semakin gelap, angin dingin bersiul melalui celah-celah pepohonan raksasa, membawa aroma daun basah dan tanah lembap yang bercampur dengan ketegangan samar. Di dalam gua kecil, cahaya api unggun yang berkelap-kelip memantulkan bayangan Kael dan kelompoknya di dinding batu yang kasar. Kael berdiri di ambang pintu gua, matanya yang biru menyipit menatap kegelapan di luar, sementara tangannya yang terluka berdenyut pelan di bawah perban ketat yang baru dibalut oleh Sarah. “Sarah, Laila, Murphy, Sophia—tetap di dalam dan lindungi satu sama lain,” katanya, suaranya rendah namun tegas, penuh kewaspadaan. “Aku perlu tahu apa yang terjadi di luar sana. Jika itu bukan ancaman buat kita, aku akan segera kembali.” Ia melirik ke arah mereka, memastikan posisi mereka aman di balik batu besar dekat api unggun. Sarah mengerutkan dahi, tangannya mencengkeram lengan Kael sejenak. “Kael, lukamu belum sembuh—” protesnya terpotong saat Kael menggeleng cepat. “Aku baik-bai
Malam di hutan Aethel terasa semakin mencekam. Angin dingin berdesir melalui pepohonan raksasa, membawakan aroma darah segar dan bulu basah yang samar tercium di udara. Cahaya bulan yang redup tersaring oleh kanopi tebal, menciptakan bayang-bayang yang bergoyang liar di tanah berlumut. Kael berdiri di tepi lapangan kecil, matanya yang biru menyipit menatap pertempuran sengit di depannya. Jantungnya berdegup kencang saat raungan monyet raksasa setinggi tiga meter mengguncang udara. Luka di lengannya berdenyut tajam di bawah perban, namun ia menahan rasa sakitnya, berfokus pada ancaman yang kini tak bisa dihindari lagi. Ia menoleh ke belakang, melihat Sarah, Laila, Murphy, dan Sophia mendekatinya dengan wajah penuh kekhawatiran. Kael menghela napas pasrah—kelompoknya berkumpul kembali, dan pertempuran yang ia coba hindari sejak awal kini menatap mereka langsung. “Kita tak punya pilihan,” gumamnya, suaranya rendah namun tegas. “Tapi kita tak akan bertarung langsung—kita bantu mereka da
Udara malam di hutan Aethel bergemuruh dengan jeritan monyet. Aroma logam samar dari sisa-sisa Racun Halusinasi Kael masih bercampur dengan bau tanah basah dan aroma anyir darah. Sebagian besar monyet kecil terhuyung-huyung, mata mereka sayu, terperangkap dalam bayangan ilusi yang tak nyata. Namun beberapa mulai tersadar, sayap-sayap kurus mereka bergetar, berusaha membuang sisa-sisa racun yang melekat. Di atas kekacauan itu, pemimpin mereka—monyet raksasa setinggi tiga meter—berdiri tegak, matanya menyala-nyala seperti bara api, penuh dendam. Sayapnya yang robek berkibar ganas, setiap gerakannya memicu gelombang udara yang mengguncang daun-daun di sekitarnya. Raungan kerasnya menggema di antara pepohonan, sebuah tantangan yang jelas bagi siapapun yang berani menghalangi jalannya. Kael, napasnya tersengal, menopang lengan kanannya yang masih nyeri. Di sampingnya, seorang wanita berjubah hijau berdiri tegak, wajahnya tenang namun matanya tajam mengamati setiap gerakan monyet raksa
Hutan Aethel membungkus mereka dalam kesunyian yang mencekam, hanya sesekali dipecah oleh desiran angin yang berbisik di antara pepohonan tua yang menjulang tinggi. Aroma anyir darah dari pertempuran sebelumnya masih menggantung di udara, bercampur dengan bau tanah basah dan sentuhan samar belerang yang menyengat—tanda kehadiran sesuatu yang luar biasa dan berbahaya. Di tepi sungai luas yang gelap, Kael dan kelompoknya berdiri tegap, napas mereka tersengal, tangan mereka siaga di senjata dan mantra. Jantung mereka berdetak kencang, irama yang selaras dengan gemuruh samar yang mendekat dari langit malam. Api berkobar liar di kejauhan, menari-nari dalam pola rumit yang membentuk bayangan mengerikan di permukaan air hitam dan tanah berlumut. Panas menyelinap ke kulit mereka, membawa aroma asap dan logam cair yang semakin kuat. Kael menggenggam erat bola lendir Sophia di saku mantelnya, matanya biru menyipit ke arah sumber ancaman itu, sementara Sarah menyiapkan Mata Sihir-nya, energi
Sinar matahari pagi menyelinap melalui celah-celah kanopi hutan Aethel, membawa kehangatan lembut yang kontras dengan dinginnya malam sebelumnya. Di tepi sungai yang baru mereka lewati, kelompok Kael akhirnya bisa bernapas lega setelah berhari-hari dipenuhi ketegangan. Aroma tanah basah dan kayu tua bercampur dengan bau samar abu dari bulu phoenix Profesor Aldos, yang kini berdiri megah di dekat mereka, sayap apinya meredup menjadi bara lembut. Burung raksasa itu seolah menjadi benteng hidup, menjaga mereka dari ancaman yang masih mengintai di kejauhan, memberikan waktu berharga untuk beristirahat. Kael duduk bersandar pada batu besar, lengan kanannya yang terluka terasa kaku di bawah perban yang mulai kotor. Luka dari serangan beruang magis masih menyisakan denyutan samar, tapi ia menahan keluh kesakitan demi menjaga semangat kelompoknya. Sarah mengatur kayu bakar kecil, menyalakan api sederhana dengan sihirnya, sementara Laila membantu membagi daging monyet yang Sophia bawa—bekal
Paman Peter dan Sophia kembali dengan cepat, wajah mereka tampak serius di bawah naungan kabut malam. Begitu tiba di tempat persembunyian, Paman Peter segera membagikan informasi penting. Kelompok kelelawar raksasa terlihat semakin waspada, dan di antara mereka, seekor kelelawar raksasa yang berukuran mengerikan tampak menguasai wilayah sekitar pintu masuk tersembunyi. Ia mendengkur pelan, namun bahkan dalam tidurnya, auranya terasa mengancam. "Kalau kita cuma mengandalkan kabut untuk menyelinap, aku ragu kita bisa lolos," kata Paman Peter, suaranya rendah dan berat, seraya menatap Kael dan yang lainnya. "Kita harus membuat pengalih perhatian. Sesuatu yang cukup besar untuk memaksa mereka berpaling." Mereka berdiskusi di tengah gemuruh sunyi malam. Aroma makanan sederhana yang mereka siapkan perlahan memenuhi udara, menenangkan saraf yang tegang. Beberapa potong roti panggang, daging kering, dan sup hangat membantu mengisi kembali tenaga mereka. Makan malam ini terasa seperti jeda y
Di bawah cahaya redup bulan yang tertutup awan, sosok Molly dan Vale melesat di udara, membawa Sarah dan Laila di punggung mereka. Sementara itu, di daratan, platform luncur lendir buatan Sophia bergerak dengan kecepatan yang tidak kalah cepat, membelah semak dan melewati jalanan berbatu tanpa hambatan. Jika dilihat dari kejauhan, kelompok Kael tampak seperti pasukan kecil yang menunggangi seekor ular raksasa yang melesat mulus melintasi permukaan bumi. Murphy, Lyra, dan Paman Peter bergerak di posisi depan, matanya waspada terhadap setiap bayangan yang mencurigakan. Sementara itu, Kael menjaga posisi paling belakang, berdiri kokoh di platform lendir bersama Sophia yang terus mengendalikan arah dan kecepatan luncur mereka. Platform itu membentuk jalur khusus, membuka semak belukar dan menghaluskan permukaan tanah, seolah-olah memberikan karpet rahasia di tengah hutan belantara. Meskipun bahaya mengintai di setiap sudut, perasaan meluncur bebas di udara malam itu memberikan sensasi
Kael mengerutkan kening begitu mendengar derap langkah dan gerakan sihir samar dari kejauhan. Ia segera memanggil Paman Peter yang belum terlalu jauh darinya, memberi isyarat tangan untuk mendekat dan bersembunyi bersamanya di balik batu besar yang tersembunyi di antara semak berduri. "Sepertinya ada kelompok lain yang datang," bisik Kael, matanya tajam mengamati pergerakan di kejauhan. Mereka berdua menahan napas, memampatkan aura mereka serendah mungkin. Angin malam membawa aroma busuk khas sihir gelap, membuat Kael menyipitkan mata penuh waspada. Ia sempat berpikir, seharusnya kelompok Ordo Cahaya yang sebelumnya mereka lihat masih membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai area bukit kembar ini. Tetapi siapa sebenarnya yang datang? Dalam diam yang menegangkan, mereka mengintip dari celah batu besar itu. Saat siluet-siluet mendekat, Kael akhirnya dapat melihat dengan jelas — itu adalah kelompok dari Ordo Umbra! Jubah-jubah hitam, lambang kabut kelam di dada, dan monster modifi
Awan kelabu tipis menggantung rendah di atas langit. Di ketinggian, Kael duduk di atas punggung Molly yang terbang dengan sayap kecil namun kuat. Angin dingin menyapu wajahnya, membawa bau lembap khas hutan liar yang bersembunyi di bawah kabut tebal. Kael dan Paman Peter berdiskusi serius di udara, mengamati dua bukit kembar yang menjulang samar dalam kabut. Keduanya tampak hampir identik, membuat sulit menentukan mana yang merupakan jalan menuju area terlarang Akademi Vitrum. Paman Peter, dengan tatapan tajamnya, tampak memikirkan sesuatu. Lalu dia berbicara dengan nada dalam. "Makhluk beracun yang tinggal di sini seharusnya dianggap sebagai penjaga area terlarang. Jika kedua tempat mempunyai penjaga yang sama, kita hanya perlu memastikan mana penjagaannya yang lebih kuat. Tempat yang dijaga lebih ketat dan lebih agresif, pastilah tempat yang asli." Kael mengerutkan kening, kebingungan. "Bagaimana kita tahu makhluk mana yang lebih agresif? Apa kita harus menyerang mereka?" tanya
Molly mengepakkan sayap lebarnya, membawa Kael naik ke langit untuk pertama kalinya. Udara tipis dan hempasan angin kencang membuat tubuh Kael sedikit oleng di punggung monster kecil berbentuk tupai naga itu. Ia menggenggam erat bulu lebat Molly, mencoba menyesuaikan diri dengan ritme gerakan terbangnya. Molly sendiri tampak canggung. Sayap barunya yang besar dan kuat itu bergetar tak stabil, seolah masih berusaha mengimbangi berat tambahan di punggungnya. Mereka berputar-putar beberapa kali di langit, turun naik perlahan, sebelum akhirnya menemukan harmoni dalam gerakan. Seperti dua nada berbeda yang akhirnya menemukan melodi yang serasi. "Bagus, Molly," bisik Kael, menepuk lembut leher makhluk itu. Ia bisa merasakan bagaimana ketegangan dalam tubuh Molly perlahan mengendur, membentuk ikatan kepercayaan yang lebih dalam di antara mereka. Setelah yakin bahwa mereka mampu terbang stabil, Kael menunjuk ke langit yang lebih tinggi. "Ayo, kita naik," katanya. Molly mendesis pelan, lal
"Sophia, segera tebalkan kabutnya! Kita harus menyembunyikan keberadaan kita!" seru Kael cepat, matanya menyipit tajam menatap kerumunan laba-laba raksasa yang mulai memasuki gua. Semua anggota kelompok berkeringat dingin. Dari balik kabut tipis yang sudah mulai tersebar, mereka bisa mendengar suara ratapan memilukan dari dalam gua—suara manusia yang seolah menjadi santapan makhluk-makhluk itu. Aroma amis darah bercampur udara lembap membuat bulu kuduk meremang. Mereka belum sempat menarik napas lega, ketika suara langkah tergesa-gesa kelompok lain yang mendekat bergema dari arah lain. Sontak, mereka mempererat formasi, bersembunyi di balik pohon-pohon besar, menyatu dalam kabut sihir Sophia yang semakin padat. Ketegangan merayap di udara. Semua orang siap bertempur jika perlu. Namun, sesuatu yang tak mereka duga terjadi. Kelompok yang datang itu tiba-tiba berteriak kacau, suara raungan dan teriakan ketakutan memenuhi hutan malam. Dari balik kegelapan, ratusan ular berbisa melata,
Paman Peter kembali ke rumah persembunyian mereka dengan nafas memburu. Wajahnya yang biasanya santai kini mengeras penuh ketegangan. “Aku dapat kabar buruk,” katanya, begitu masuk. “Banyak kelompok lain yang bergerak ke area terlarang Akademi Vitrum. Lebih dari yang kita perkirakan.” Kael yang sedang membentangkan peta langsung menoleh. “Seberapa banyak?” “Sedikitnya sepuluh kelompok. Dan mereka bukan kelompok biasa,” jawab Paman Peter cepat. “Ada kelompok pemburu bayaran, kelompok murid senior, bahkan rumor tentang orang-orang yang bukan dari akademi.” Kata-katanya membuat ruangan menjadi berat. Murphy bersiul pelan. “Wah, ini lebih parah dari waktu di area terlarang Baseus. Setidaknya waktu itu kita tahu apa yang akan kita hadapi,” gumamnya. Paman Peter mengangguk. “Area ini tidak pernah dieksplorasi ratusan tahun. Tidak ada peta akurat sebelumnya. Kita baru saja beruntung mendapatkan salinan peta lama. Tapi tetap saja, apa yang menunggu di dalam... siapa yang tahu?” Semua o
Sambil menunggu waktu malam untuk beraksi, Kael memanggil Paman Peter ke sudut ruang, jauh dari pendengaran yang lain. Dengan suara rendah, ia meminta bantuan sang paman untuk bergerak lebih awal—mengamati situasi di sekitar Akademi Vitrum. Kekhawatiran menekan dada Kael. Ia butuh lebih dari sekadar kesiapan; ia butuh informasi. Terutama tentang kelompok-kelompok bayangan yang mungkin muncul saat Ordo Cahaya membuka pintu area terlarang yang selama ini tersembunyi dari dunia. Akademi Vitrum menyimpan lebih dari sekadar reruntuhan tua. Adanya keterlibatan penyihir kuno dalam sejarahnya telah menarik perhatian banyak pihak. Ordo Cahaya—seperti biasa—bergerak atas nama 'pencerahan', namun Kael tahu lebih baik. Di balik topeng suci mereka, tersembunyi ambisi rakus terhadap Batu Sihir, artefak kuno yang diyakini mampu mengubah nasib siapa pun yang memilikinya. Tak hanya Ordo Cahaya. Organisasi bayangan, para pemburu artefak, bahkan keluarga-keluarga bangsawan yang haus kekuasaan, semua
Suasana mencekam membebat udara di ruangan kecil itu. Hanya bunyi detak jarum jam tua dan napas yang tertahan memenuhi kesunyian. Setiap detik berlalu terasa seperti tarikan waktu yang tak berujung, menekan dada mereka dengan rasa waswas yang makin berat. Kael duduk bersandar di dinding, matanya tajam menatap pintu, seolah berusaha menembusnya dengan pandangan. Sarah merapatkan jubahnya, telapak tangannya mengepal di atas lutut. Laila menggenggam erat tangan Sophia yang duduk di sebelahnya, sementara Murphy berulang kali mengetuk lantai dengan ujung sepatunya tanpa sadar. Setengah jam berlalu, penuh ketegangan membeku. Akhirnya, langkah kaki berat mendekat dari kejauhan. Mereka semua menahan napas. Ketukan tiga kali di pintu—kode yang sudah mereka sepakati. Pintu dibuka perlahan, memperlihatkan sosok Paman Peter dengan wajah tegas. Matanya menyapu seluruh ruangan, memastikan tidak ada yang terluka atau panik. "Rumah itu aman," katanya, suaranya berat namun membawa kelegaan. "Tapi