Kabut pagi mulai memudar, membiarkan sinar matahari yang malu-malu membias di balik awan kelabu. Namun, suasana tetap suram, seolah dunia terjebak dalam penantian akan sesuatu yang mengerikan. Lingkaran sihir berkilau dengan cahaya biru, memancarkan kilauan misterius, berdenyut seperti detak jantung yang tak wajar, mengeluarkan aura energi gelap yang menyelimuti udara dengan perasaan berat dan mencekik.
Kael dan Murphy, bersembunyi hati-hati di balik semak-semak lebat, mengawasi ritual yang semakin mendekati puncaknya di area terbuka di bawah mereka. Sementara itu, di atas bukit kecil, Sarah dan Laila tetap dalam posisi tenang namun waspada. Sarah, dengan Mata Sihir yang aktif, memindai sekeliling dengan ketelitian luar biasa, mengamati ancaman yang mungkin tidak bisa dilihat oleh Kael dan Murphy. Napasnya teratur, tetapi ketegangan di bahunya mencerminkan betapa seriusnya situasi ini. Di sampingnya, Laila menggenggam erat ujung jubah Sarah, mencari ketenangan dalam kehangatan dan kehadiran kakaknya. Keduanya tahu bahwa momen ini sangat krusial dan kesalahan sekecil apapun bisa berujung pada bencana. “Kael,” bisik Murphy, matanya terpaku pada bola kaca yang terletak di tengah lingkaran. “Mereka semakin dekat pada penyelesaian ritualnya. Kau bisa merasakannya, bukan?” Suara Murphy, meski pelan, dipenuhi kepastian dan kekhawatiran. Kael mengangguk, wajahnya tetap serius, tatapannya tak pernah lepas dari para penyihir berjubah hitam yang mengelilingi lingkaran. “Ya. Energi sihirnya semakin tidak stabil. Jika kita tidak menghentikan mereka sekarang, sesuatu yang jauh lebih buruk akan muncul dari portal itu, dan dunia ini mungkin tidak akan siap untuk menghadapi apa yang akan keluar.” "Jadi, apa rencananya?" tanya Murphy, suaranya tegas dan penuh tekad. “Kita harus menghancurkan bola kaca itu,” tegas Kael, matanya menyipit penuh perhitungan. “Itu adalah pusat kekuatan mereka. Tapi kita harus sangat berhati-hati. Begitu kita menyerang, mereka akan membalas dengan semua kekuatan yang mereka miliki.” Murphy menyeringai tipis, mencengkeram pedangnya yang berselimut energi emas. "Aku sudah siap untuk itu. Mari kita tunjukkan pada mereka siapa yang sebenarnya mengendalikan situasi ini." Kael menarik napas dalam-dalam, menutup matanya sejenak untuk memusatkan pikirannya. Dia merasakan energi sihir mengalir dalam dirinya, dan ketika membuka matanya kembali, ia sudah mengaktifkan Racun Melemahkan—sebuah bola energi hijau kehitaman dengan ungu samar yang berdenyut di telapak tangannya. Dengan gerakan cepat dan terampil, dia melontarkan racun itu ke arah salah satu penyihir yang berada di tepi lingkaran. Racun itu terbang seperti panah, tepat mengenai sasaran dan segera kabut beracun menyelimuti penyihir itu, menciptakan suara batuk keras saat tubuhnya terhuyung sebelum akhirnya tumbang ke tanah. Ketika racun mulai menghancurkan fokus penyihir itu, Murphy melompat keluar dari persembunyiannya dengan penuh keberanian, bilah pedangnya membara dengan energi emas yang menyilaukan. Ia menyerang dua penyihir sekaligus, memaksa mereka mundur dari posisi mereka di lingkaran. “Apakah itu mengganggu kalian? Mengecewakan,” ejek Murphy, meskipun gerakan tubuhnya memancarkan ketegangan yang sulit disembunyikan. Kael, melihat kesempatan itu, meluncur ke tengah lingkaran. Angin seakan bersamanya, membawa kecepatan layaknya bayangan, membuatnya sulit ditangkap. Dengan cepat, ia meraih bola kaca itu, tetapi saat berada lebih dekat, sebuah ledakan energi gelap menghantam tanah di depannya, memaksanya untuk mundur. Salah satu penyihir terkuat kini berdiri di pusat lingkaran dengan tongkat sihir, melindungi bola kaca dengan mantra pelindung yang menjulang dan berkilau. "Beraninya kau mengganggu ritual kami!" pekik penyihir itu, suaranya menggelegar penuh kemarahan, membuat udara bergetar di sekeliling mereka. Ritual yang terganggu membuat para penyihir Ordo Umbra semakin agresif. Dua dari mereka melontarkan gelombang energi gelap yang menghancurkan dari tongkat sihir mereka, menghantam tanah dan mengguncang batu-batu besar di sekitar area pertempuran. Kael bergerak lincah, menghindari serangan itu menggunakan Windstep. Namun, setiap gerakan semakin berat dan menguras tenaga. Dia tahu waktu mereka semakin mendesak; dia harus bertindak segera. Di atas bukit, Sarah menatap ke area pertempuran dengan Mata Sihirnya, berusaha melihat lebih jauh ke dalam lingkaran sihir. “Kael dalam bahaya,” katanya pelan, nada suaranya tegang dan penuh kekhawatiran. Laila mengalihkan pandangannya padanya, jari-jarinya bergerak cepat dalam isyarat yang menggambarkan keragu-raguan atau tawaran. "Aku bisa membantu. Suaraku bisa mengganggu mereka, menghentikan konsentrasi mereka." Pandangan Sarah menyoroti adiknya, penuh pertimbangan. Akhirnya, setelah merenung sejenak, dia mengangguk. “Tapi jangan memaksakan diri. Kita harus tetap aman, Laila.” Laila berdiri tegap di atas bukit, menarik napas dalam-dalam sambil mengumpulkan kekuatan mentalnya seolah-olah itu akan menguatkannya. Ketika dia membuka mulutnya, energi sihir ungu samar mulai terlihat di sekitarnya. Meskipun suara tidak terdengar jelas, kekuatan sonik yang dihasilkan menghantam udara seperti gelombang tak terlihat, menerjang ke bawah dan mencapai para penyihir. Getaran suaranya menghantam mereka, menciptakan kekacauan dalam konsentrasi yang dibutuhkan. Salah satu penyihir terhuyung, wajahnya terkejut saat mantra yang harusnya dia lafalkan buyar menghilang ke udara. “Bagus, Laila,” gumam Kael ketika melihat momen tersebut. Dengan cepat, dia meluncurkan Racun Halusinasi, menciptakan kabut ungu yang mengelilingi area sekitar lingkaran, menghasilkan ilusi yang membingungkan, sehingga sulit bagi para penyihir untuk membedakan mana musuh dan mana teman. Murphy masih berjuang melawan salah satu penyihir terkuat; pertarungan mereka berlangsung sengit. Denting pedang yang beradu dengan tongkat sihir bergema, sementara ledakan kecil dari energi sihir membuat tanah di sekitar mereka bergetar hebat. “Kael! Cepat selesaikan ini!” serunya, terhindar nyaris dari semburan energi gelap yang melesat di dekatnya. Kael memahami betapa mendesaknya situasi ini. Dengan sekuat tenaga, dia melompat kembali ke lingkaran, memusatkan semua energi yang tersisa untuk satu serangan terakhir. Bola kaca itu kini berada dalam jangkauannya; wujudnya yang memancarkan cahaya biru semakin mendekat. Dengan pelindung sihir yang masih kukuh mengelilingi bola kaca, Kael mengangkat tangannya, membentuk Racun Melemahkan yang lebih besar dan lebih pekat dari sebelumnya, dengan warna hijau hitam bercampur ungu. Dengan semua kekuatan yang dimilikinya, ia menghantamkan racun itu ke pelindung sihir yang menggembung dengan energi. Retakan mulai muncul pada pelindung itu, lalu pecah dalam ledakan yang membahana, suara pecahan yang memekakkan telinga menggema di udara. Kael tak menyia-nyiakan kesempatan itu; dia memanfaatkan momen yang tepat untuk menghancurkan bola kaca dengan pukulan terakhir yang bertenaga penuh. Cahaya biru dari lingkaran sihir meredup seiring ritual itu terhenti seketika. Penyihir terakhir yang tersisa terlempar ke belakang oleh ledakan energi, sementara lingkaran sihir itu berubah menjadi tanda hitam hangus di permukaan tanah, menyisakan jejak kejadian yang mengerikan. Saat debu perlahan mengendap, Murphy berusaha tertatih-tatih menuju Kael, menepuk bahunya dengan penuh penghargaan. “Itu tadi gila,” katanya, suaranya lega meski tubuhnya sudah lelah dan penuh luka. Kael tersenyum tipis, meskipun napasnya masih tersengal. “Kita menghentikan mereka. Itu yang paling penting. Tapi aku tahu kita harus lebih berhati-hati ke depannya.” Sarah dan Laila segera bergabung dengan mereka. Laila mendekat, melompat dan langsung memeluk Kael, sementara Sarah menempatkan tangannya di bahunya. “Kau baik-baik saja?” tanya Sarah, tatapannya tajam dipenuhi rasa khawatir yang nyata. Ia mencerminkan betapa pentingnya bagi mereka untuk menjaga satu sama lain dalam situasi berbahaya ini. Kael mengangguk, dan dengan tulus, dia mengapresiasi kedua saudarinya. “Aku baik-baik saja, terima kasih untuk kalian berdua. Laila… kau luar biasa dengan tindakanmu.” Laila hanya tersenyum kecil, jari-jarinya bergerak dalam isyarat sederhana, menandakan rasa syukur. "Aku senang bisa membantu. Kita satu tim." Namun, meski mereka merayakan kemenangan kecil ini, Sarah mengangkat nada bicaranya dengan lebih serius. “Ritual ini mungkin gagal, tetapi mereka pasti akan mencoba lagi. Kita harus segera tahu apa yang mereka coba panggil, dan siapkan langkah selanjutnya.” Kael menatap lingkaran yang hancur, pikirannya dipenuhi kekhawatiran. “Kita harus terus bergerak. Ini baru permulaan dari sesuatu yang lebih besar dan lebih mengerikan.” Dengan langkah cepat namun penuh rasa waspada, mereka meninggalkan tempat itu. Kemenangan ini memang terasa manis, tetapi di dalam hati mereka, terbersit kesadaran bahwa ancaman besar masih menanti di depan, dan mereka harus selalu bersiap untuk menghadapi apa yang akan datang.Cahaya pagi merayap perlahan di antara celah-celah pohon hutan purba. Kabut yang sebelumnya menyelimuti pandangan mulai terangkat, namun suasana tetap terasa dingin dan penuh kewaspadaan. Kael, Sarah, Laila, dan Murphy melangkah pelan, meninggalkan tempat pertempuran yang dipenuhi kekacauan di belakang mereka. Hutan ini, meskipun menunjukkan tanda-tanda kehidupan baru, masih tergerak oleh gema ketegangan yang baru saja mereka alami. Kael berjalan di depan, wajahnya dipenuhi konsentrasi dan ketegangan yang mendalam. Dalam pikirannya, ritual yang baru saja mereka gagalkan melingkar bak bayangan tak berujung, diiringi satu pertanyaan yang terus menghantuinya: apa sebenarnya yang sedang dipanggil oleh Ordo Umbra? “Kita perlu berhenti sebentar,” kata Murphy dari belakang, suaranya terdengar tersengal. Wajahnya basah oleh keringat, sementara tangan kanannya menekan luka kecil di lengannya. “Aku butuh waktu untuk mengatur napas. Dan mungkin... menjahit luka ini,” tambahnya, suaranya berget
Langit hampir terbenam, mengecat cakrawala dengan warna merah keemasan yang memudar perlahan. Kael dan kelompoknya telah tiba di pinggir hutan purba, yang menyelimuti mereka dalam ketegangan dan kewaspadaan. Meskipun telah berjam-jam mereka berjalan dan tidak melihat pengejar dari Ordo Umbra, keheningan hutan itu semakin membuat mereka waspada."Ini aneh. Kita harus lebih berhati-hati meskipun sudah berada di pinggir hutan. Beberapa langkah lagi akan ada sebuah desa kecil tempat kita bisa bermalam, tanpa perlu tidur di hutan lagi," ucap Kael, sambil memperhatikan Sarah dan Laila yang tampak kelelahan. Kerut di alisnya menunjukkan kekhawatiran atas keselamatan mereka.Walaupun seharusnya mereka merasa lega karena tidak ada pengejar, aura aneh di tepi hutan membuat mereka lebih waspada daripada sebelumnya. Suasana tenang dan misterius seolah membangkitkan rasa takut yang terpendam di dalam diri masing-masing."Itu bagus, aku juga ingin tidur di tempat yang lebih nyaman. Aku harap mereka
Saat mereka memasuki lebih dalam lorong yang hanya diterangi oleh cahaya energi sihir Murphy yang keemasan di tangannya, mereka akhirnya melihat lampu minyak yang terpasang di dinding, menandakan bahwa ada orang di dalam. Namun, ketika mereka mencapai ujung lorong, mereka dihadapkan pada sebuah pintu tebal setinggi 3 meter lebih yang tertutup rapat."Apakah mereka mengorbankan harta desa mereka untuk menciptakan pintu sekuat ini? Kini, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita perlu menyapa mereka? Aku berharap mereka menyambut kita dengan baik..." ucap Murphy, bersandar lelah pada pintu."Tenang saja, aku mengenal kepala desa mereka. Tapi itu saat aku masih kecil; aku harap dia masih ingat padaku," balas Kael, yang terkejut melihat pintu yang sangat kokoh. Dia juga curiga, bagaimana warga desa bisa menghabiskan banyak uang untuk membuat pintu tersebut.Kael melihat Sarah dan Laila yang juga kelelahan dan merasa sedikit tidak nyaman, karena mereka sedang kelaparan. Lagi pula, mereka ti
Ruangan bawah tanah yang sempit itu terasa semakin sesak, udara dipenuhi bau tajam belerang dan asap hitam yang berputar liar dari lampu api emas. Nyala emasnya berkedip-kedip, seolah berjuang melawan kegelapan yang merayap masuk, sementara asapnya membentuk bayang-bayang mengerikan yang menari di dinding batu. Warga desa yang berkerumun di sekitar lampu itu memandang dengan mata lebar penuh ketakutan, napas mereka tersengal dalam keheningan yang mencekam. "Kael, apa rencanamu?" tanya Paman Adrian, suaranya serak dan gemetar, meski ia berusaha teguh memegang tongkat kayunya yang sudah usang. Tangan tuanya tampak rapuh, namun matanya yang tertutup penutup mata memancarkan kilau harapan terakhir. "Ghoul itu... aku belum pernah melihat yang seperti ini. Kalau sampai masuk ke sini, kami semua tamat." Kael menoleh ke arah Paman Adrian, lalu ke kelompoknya. Cahaya ungu yang memancar dari dirinya, Sarah, dan Laila bercampur dengan energi emas Murphy, menciptakan kilauan samar yang menerobo
Udara dalam gudang yang bobrok terasa pekat, dipenuhi aroma busuk dari lendir ghoul yang merayap masuk ke dalam sumur. Suara licin dan mendesis dari gumpalan hitam itu menggema di antara kayu tua, menciptakan getaran kecil yang terasa hingga ke tulang. Kael berdiri di tepi sumur, napasnya terengah-engah, keringat membasahi dahinya yang tegang. Cahaya hijau kehitaman dari **Racun Tiga Mayat** yang dipegangnya berkelap-kelip, menerangi wajahnya yang penuh tekad bercampur kepanikan."Turun sekarang!" teriak Kael, suaranya menggema di ruang sempit. Ia melompat dengan **Windstep**, tubuhnya melayang ringan seolah ditarik angin, dan mendarat di dasar sumur dengan bunyi pelan. Sarah, Laila, dan Murphy mengikuti, tangga kayu berderit keras di bawah langkah terburu-buru mereka. Debu dan aroma tanah basah menyambut kedatangan mereka, tercampur dengan bau lendir yang semakin menyengat.Di ruang bawah tanah, suasana telah kacau. Lampu api emas di tengah ruangan menyala redup, asap hitamnya membu
Ruangan bawah tanah itu terasa hening setelah pertempuran yang brutal, hanya diisi oleh suara napas tersengal dan tetesan air yang jatuh dari dinding batu yang lembap. Lampu api emas di tengah ruangan masih menyala redup, asap hitamnya kini menipis, seolah kegelapan yang tadinya mengancam telah mundur untuk sementara.Bau busuk lendir ghoul masih membandel di udara, bercampur dengan aroma tanah dan keringat warga desa yang berkumpul dalam diam. Tubuh pria tua yang dirasuki ghoul tergeletak tak bernyawa di sudut, kulitnya pucat seperti lilin, meninggalkan luka emosional yang lebih dalam daripada pertarungan itu sendiri.Kael berdiri di tengah ruangan, tangannya masih gemetar karena kelelahan. Cahaya hijau kehitaman dari **Racun Tiga Mayat** perlahan memudar dari jemarinya, meninggalkan rasa dingin yang merayap di kulitnya. Ia melirik kelompoknya—Sarah yang duduk bersandar di dinding dengan mata setengah terpejam, Laila yang memeluk lututnya dengan wajah pucat, dan Murphy yang menyeka d
Matahari pagi terbit perlahan di atas cakrawala, menerangi jalan tanah berdebu yang membentang di depan Kael dan kelompoknya. Angin sepoi-sepoi membawa aroma rumput kering serta tanah lembap dari hutan purba yang kini semakin menjauh di belakang mereka.Langkah mereka terasa berat; kaki mereka masih lemas setelah malam penuh pertempuran di desa kecil. Namun, tekad untuk mencapai Akademi Baseus mendorong mereka terus maju. Nexus, kota besar tempat akademi itu berdiri megah, masih jauh—beberapa kota kecil harus mereka lewati terlebih dahulu, dan perjalanan itu terasa seperti ujian ketahanan yang tiada akhir.Kael berjalan di depan, tangannya menggenggam erat permata hitam kecil yang ditemukan oleh Sarah, matanya tajam memindai sekeliling. Di belakangnya, Sarah dan Laila berbagi selimut tipis yang diberikan oleh warga desa; wajah mereka pucat, namun penuh semangat. Murphy menutup barisan, pedangnya bergoyang di pinggang, napasnya sedikit tersengal, tetapi ia tetap bersiul pelan untuk men
Api unggun berkobar redup, nyalanya bergoyang liar saat raungan wyvern mengguncang udara malam. Makhluk itu berdiri di tepi sungai, sayapnya yang compang-camping bergetar penuh amarah, dan taringnya berkilau dalam cahaya bulan yang samar. Cakarnya mengoyak tanah berlumpur, meninggalkan bekas dalam yang berbau asam menyengat, sementara mata kuningnya menyala dengan nafsu membunuh yang liar. Pedagang berteriak panik, Toman mendorong keluarganya ke belakang gerbong, sementara Kael berdiri teguh di depan kelompoknya, energi hijau kehitaman **Racun Tiga Mayat** menyala di tangannya, berpendar dengan semburat ungu yang mengerikan. "Sarah, Laila, mundur!" bisik Kael tajam, matanya melirik ke arah lima sosok pemburu yang berdiri tenang di sisi unggun, mantel cokelat tua mereka bergoyang pelan di angin malam. "Awasi mereka—jangan ikut bertarung dengan wyvern. Aku dan Murphy akan menangani ini." Sarah mengangguk cepat, tangannya menggenggam erat lengan Laila. Matanya berpendar ungu samar sa
Paman Peter dan Sophia kembali dengan cepat, wajah mereka tampak serius di bawah naungan kabut malam. Begitu tiba di tempat persembunyian, Paman Peter segera membagikan informasi penting. Kelompok kelelawar raksasa terlihat semakin waspada, dan di antara mereka, seekor kelelawar raksasa yang berukuran mengerikan tampak menguasai wilayah sekitar pintu masuk tersembunyi. Ia mendengkur pelan, namun bahkan dalam tidurnya, auranya terasa mengancam. "Kalau kita cuma mengandalkan kabut untuk menyelinap, aku ragu kita bisa lolos," kata Paman Peter, suaranya rendah dan berat, seraya menatap Kael dan yang lainnya. "Kita harus membuat pengalih perhatian. Sesuatu yang cukup besar untuk memaksa mereka berpaling." Mereka berdiskusi di tengah gemuruh sunyi malam. Aroma makanan sederhana yang mereka siapkan perlahan memenuhi udara, menenangkan saraf yang tegang. Beberapa potong roti panggang, daging kering, dan sup hangat membantu mengisi kembali tenaga mereka. Makan malam ini terasa seperti jeda y
Di bawah cahaya redup bulan yang tertutup awan, sosok Molly dan Vale melesat di udara, membawa Sarah dan Laila di punggung mereka. Sementara itu, di daratan, platform luncur lendir buatan Sophia bergerak dengan kecepatan yang tidak kalah cepat, membelah semak dan melewati jalanan berbatu tanpa hambatan. Jika dilihat dari kejauhan, kelompok Kael tampak seperti pasukan kecil yang menunggangi seekor ular raksasa yang melesat mulus melintasi permukaan bumi. Murphy, Lyra, dan Paman Peter bergerak di posisi depan, matanya waspada terhadap setiap bayangan yang mencurigakan. Sementara itu, Kael menjaga posisi paling belakang, berdiri kokoh di platform lendir bersama Sophia yang terus mengendalikan arah dan kecepatan luncur mereka. Platform itu membentuk jalur khusus, membuka semak belukar dan menghaluskan permukaan tanah, seolah-olah memberikan karpet rahasia di tengah hutan belantara. Meskipun bahaya mengintai di setiap sudut, perasaan meluncur bebas di udara malam itu memberikan sensasi
Kael mengerutkan kening begitu mendengar derap langkah dan gerakan sihir samar dari kejauhan. Ia segera memanggil Paman Peter yang belum terlalu jauh darinya, memberi isyarat tangan untuk mendekat dan bersembunyi bersamanya di balik batu besar yang tersembunyi di antara semak berduri. "Sepertinya ada kelompok lain yang datang," bisik Kael, matanya tajam mengamati pergerakan di kejauhan. Mereka berdua menahan napas, memampatkan aura mereka serendah mungkin. Angin malam membawa aroma busuk khas sihir gelap, membuat Kael menyipitkan mata penuh waspada. Ia sempat berpikir, seharusnya kelompok Ordo Cahaya yang sebelumnya mereka lihat masih membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai area bukit kembar ini. Tetapi siapa sebenarnya yang datang? Dalam diam yang menegangkan, mereka mengintip dari celah batu besar itu. Saat siluet-siluet mendekat, Kael akhirnya dapat melihat dengan jelas — itu adalah kelompok dari Ordo Umbra! Jubah-jubah hitam, lambang kabut kelam di dada, dan monster modifi
Awan kelabu tipis menggantung rendah di atas langit. Di ketinggian, Kael duduk di atas punggung Molly yang terbang dengan sayap kecil namun kuat. Angin dingin menyapu wajahnya, membawa bau lembap khas hutan liar yang bersembunyi di bawah kabut tebal. Kael dan Paman Peter berdiskusi serius di udara, mengamati dua bukit kembar yang menjulang samar dalam kabut. Keduanya tampak hampir identik, membuat sulit menentukan mana yang merupakan jalan menuju area terlarang Akademi Vitrum. Paman Peter, dengan tatapan tajamnya, tampak memikirkan sesuatu. Lalu dia berbicara dengan nada dalam. "Makhluk beracun yang tinggal di sini seharusnya dianggap sebagai penjaga area terlarang. Jika kedua tempat mempunyai penjaga yang sama, kita hanya perlu memastikan mana penjagaannya yang lebih kuat. Tempat yang dijaga lebih ketat dan lebih agresif, pastilah tempat yang asli." Kael mengerutkan kening, kebingungan. "Bagaimana kita tahu makhluk mana yang lebih agresif? Apa kita harus menyerang mereka?" tanya
Molly mengepakkan sayap lebarnya, membawa Kael naik ke langit untuk pertama kalinya. Udara tipis dan hempasan angin kencang membuat tubuh Kael sedikit oleng di punggung monster kecil berbentuk tupai naga itu. Ia menggenggam erat bulu lebat Molly, mencoba menyesuaikan diri dengan ritme gerakan terbangnya. Molly sendiri tampak canggung. Sayap barunya yang besar dan kuat itu bergetar tak stabil, seolah masih berusaha mengimbangi berat tambahan di punggungnya. Mereka berputar-putar beberapa kali di langit, turun naik perlahan, sebelum akhirnya menemukan harmoni dalam gerakan. Seperti dua nada berbeda yang akhirnya menemukan melodi yang serasi. "Bagus, Molly," bisik Kael, menepuk lembut leher makhluk itu. Ia bisa merasakan bagaimana ketegangan dalam tubuh Molly perlahan mengendur, membentuk ikatan kepercayaan yang lebih dalam di antara mereka. Setelah yakin bahwa mereka mampu terbang stabil, Kael menunjuk ke langit yang lebih tinggi. "Ayo, kita naik," katanya. Molly mendesis pelan, lal
"Sophia, segera tebalkan kabutnya! Kita harus menyembunyikan keberadaan kita!" seru Kael cepat, matanya menyipit tajam menatap kerumunan laba-laba raksasa yang mulai memasuki gua. Semua anggota kelompok berkeringat dingin. Dari balik kabut tipis yang sudah mulai tersebar, mereka bisa mendengar suara ratapan memilukan dari dalam gua—suara manusia yang seolah menjadi santapan makhluk-makhluk itu. Aroma amis darah bercampur udara lembap membuat bulu kuduk meremang. Mereka belum sempat menarik napas lega, ketika suara langkah tergesa-gesa kelompok lain yang mendekat bergema dari arah lain. Sontak, mereka mempererat formasi, bersembunyi di balik pohon-pohon besar, menyatu dalam kabut sihir Sophia yang semakin padat. Ketegangan merayap di udara. Semua orang siap bertempur jika perlu. Namun, sesuatu yang tak mereka duga terjadi. Kelompok yang datang itu tiba-tiba berteriak kacau, suara raungan dan teriakan ketakutan memenuhi hutan malam. Dari balik kegelapan, ratusan ular berbisa melata,
Paman Peter kembali ke rumah persembunyian mereka dengan nafas memburu. Wajahnya yang biasanya santai kini mengeras penuh ketegangan. “Aku dapat kabar buruk,” katanya, begitu masuk. “Banyak kelompok lain yang bergerak ke area terlarang Akademi Vitrum. Lebih dari yang kita perkirakan.” Kael yang sedang membentangkan peta langsung menoleh. “Seberapa banyak?” “Sedikitnya sepuluh kelompok. Dan mereka bukan kelompok biasa,” jawab Paman Peter cepat. “Ada kelompok pemburu bayaran, kelompok murid senior, bahkan rumor tentang orang-orang yang bukan dari akademi.” Kata-katanya membuat ruangan menjadi berat. Murphy bersiul pelan. “Wah, ini lebih parah dari waktu di area terlarang Baseus. Setidaknya waktu itu kita tahu apa yang akan kita hadapi,” gumamnya. Paman Peter mengangguk. “Area ini tidak pernah dieksplorasi ratusan tahun. Tidak ada peta akurat sebelumnya. Kita baru saja beruntung mendapatkan salinan peta lama. Tapi tetap saja, apa yang menunggu di dalam... siapa yang tahu?” Semua o
Sambil menunggu waktu malam untuk beraksi, Kael memanggil Paman Peter ke sudut ruang, jauh dari pendengaran yang lain. Dengan suara rendah, ia meminta bantuan sang paman untuk bergerak lebih awal—mengamati situasi di sekitar Akademi Vitrum. Kekhawatiran menekan dada Kael. Ia butuh lebih dari sekadar kesiapan; ia butuh informasi. Terutama tentang kelompok-kelompok bayangan yang mungkin muncul saat Ordo Cahaya membuka pintu area terlarang yang selama ini tersembunyi dari dunia. Akademi Vitrum menyimpan lebih dari sekadar reruntuhan tua. Adanya keterlibatan penyihir kuno dalam sejarahnya telah menarik perhatian banyak pihak. Ordo Cahaya—seperti biasa—bergerak atas nama 'pencerahan', namun Kael tahu lebih baik. Di balik topeng suci mereka, tersembunyi ambisi rakus terhadap Batu Sihir, artefak kuno yang diyakini mampu mengubah nasib siapa pun yang memilikinya. Tak hanya Ordo Cahaya. Organisasi bayangan, para pemburu artefak, bahkan keluarga-keluarga bangsawan yang haus kekuasaan, semua
Suasana mencekam membebat udara di ruangan kecil itu. Hanya bunyi detak jarum jam tua dan napas yang tertahan memenuhi kesunyian. Setiap detik berlalu terasa seperti tarikan waktu yang tak berujung, menekan dada mereka dengan rasa waswas yang makin berat. Kael duduk bersandar di dinding, matanya tajam menatap pintu, seolah berusaha menembusnya dengan pandangan. Sarah merapatkan jubahnya, telapak tangannya mengepal di atas lutut. Laila menggenggam erat tangan Sophia yang duduk di sebelahnya, sementara Murphy berulang kali mengetuk lantai dengan ujung sepatunya tanpa sadar. Setengah jam berlalu, penuh ketegangan membeku. Akhirnya, langkah kaki berat mendekat dari kejauhan. Mereka semua menahan napas. Ketukan tiga kali di pintu—kode yang sudah mereka sepakati. Pintu dibuka perlahan, memperlihatkan sosok Paman Peter dengan wajah tegas. Matanya menyapu seluruh ruangan, memastikan tidak ada yang terluka atau panik. "Rumah itu aman," katanya, suaranya berat namun membawa kelegaan. "Tapi