Kabut pagi mulai memudar, membiarkan sinar matahari yang malu-malu membias di balik awan kelabu. Namun, suasana tetap suram, seolah dunia terjebak dalam penantian akan sesuatu yang mengerikan. Lingkaran sihir berkilau dengan cahaya biru, memancarkan kilauan misterius, berdenyut seperti detak jantung yang tak wajar, mengeluarkan aura energi gelap yang menyelimuti udara dengan perasaan berat dan mencekik.
Kael dan Murphy, bersembunyi hati-hati di balik semak-semak lebat, mengawasi ritual yang semakin mendekati puncaknya di area terbuka di bawah mereka. Sementara itu, di atas bukit kecil, Sarah dan Laila tetap dalam posisi tenang namun waspada. Sarah, dengan Mata Sihir yang aktif, memindai sekeliling dengan ketelitian luar biasa, mengamati ancaman yang mungkin tidak bisa dilihat oleh Kael dan Murphy. Napasnya teratur, tetapi ketegangan di bahunya mencerminkan betapa seriusnya situasi ini. Di sampingnya, Laila menggenggam erat ujung jubah Sarah, mencari ketenangan dalam kehangatan dan kehadiran kakaknya. Keduanya tahu bahwa momen ini sangat krusial dan kesalahan sekecil apapun bisa berujung pada bencana. “Kael,” bisik Murphy, matanya terpaku pada bola kaca yang terletak di tengah lingkaran. “Mereka semakin dekat pada penyelesaian ritualnya. Kau bisa merasakannya, bukan?” Suara Murphy, meski pelan, dipenuhi kepastian dan kekhawatiran. Kael mengangguk, wajahnya tetap serius, tatapannya tak pernah lepas dari para penyihir berjubah hitam yang mengelilingi lingkaran. “Ya. Energi sihirnya semakin tidak stabil. Jika kita tidak menghentikan mereka sekarang, sesuatu yang jauh lebih buruk akan muncul dari portal itu, dan dunia ini mungkin tidak akan siap untuk menghadapi apa yang akan keluar.” "Jadi, apa rencananya?" tanya Murphy, suaranya tegas dan penuh tekad. “Kita harus menghancurkan bola kaca itu,” tegas Kael, matanya menyipit penuh perhitungan. “Itu adalah pusat kekuatan mereka. Tapi kita harus sangat berhati-hati. Begitu kita menyerang, mereka akan membalas dengan semua kekuatan yang mereka miliki.” Murphy menyeringai tipis, mencengkeram pedangnya yang berselimut energi emas. "Aku sudah siap untuk itu. Mari kita tunjukkan pada mereka siapa yang sebenarnya mengendalikan situasi ini." Kael menarik napas dalam-dalam, menutup matanya sejenak untuk memusatkan pikirannya. Dia merasakan energi sihir mengalir dalam dirinya, dan ketika membuka matanya kembali, ia sudah mengaktifkan Racun Melemahkan—sebuah bola energi hijau kehitaman dengan ungu samar yang berdenyut di telapak tangannya. Dengan gerakan cepat dan terampil, dia melontarkan racun itu ke arah salah satu penyihir yang berada di tepi lingkaran. Racun itu terbang seperti panah, tepat mengenai sasaran dan segera kabut beracun menyelimuti penyihir itu, menciptakan suara batuk keras saat tubuhnya terhuyung sebelum akhirnya tumbang ke tanah. Ketika racun mulai menghancurkan fokus penyihir itu, Murphy melompat keluar dari persembunyiannya dengan penuh keberanian, bilah pedangnya membara dengan energi emas yang menyilaukan. Ia menyerang dua penyihir sekaligus, memaksa mereka mundur dari posisi mereka di lingkaran. “Apakah itu mengganggu kalian? Mengecewakan,” ejek Murphy, meskipun gerakan tubuhnya memancarkan ketegangan yang sulit disembunyikan. Kael, melihat kesempatan itu, meluncur ke tengah lingkaran. Angin seakan bersamanya, membawa kecepatan layaknya bayangan, membuatnya sulit ditangkap. Dengan cepat, ia meraih bola kaca itu, tetapi saat berada lebih dekat, sebuah ledakan energi gelap menghantam tanah di depannya, memaksanya untuk mundur. Salah satu penyihir terkuat kini berdiri di pusat lingkaran dengan tongkat sihir, melindungi bola kaca dengan mantra pelindung yang menjulang dan berkilau. "Beraninya kau mengganggu ritual kami!" pekik penyihir itu, suaranya menggelegar penuh kemarahan, membuat udara bergetar di sekeliling mereka. Ritual yang terganggu membuat para penyihir Ordo Umbra semakin agresif. Dua dari mereka melontarkan gelombang energi gelap yang menghancurkan dari tongkat sihir mereka, menghantam tanah dan mengguncang batu-batu besar di sekitar area pertempuran. Kael bergerak lincah, menghindari serangan itu menggunakan Windstep. Namun, setiap gerakan semakin berat dan menguras tenaga. Dia tahu waktu mereka semakin mendesak; dia harus bertindak segera. Di atas bukit, Sarah menatap ke area pertempuran dengan Mata Sihirnya, berusaha melihat lebih jauh ke dalam lingkaran sihir. “Kael dalam bahaya,” katanya pelan, nada suaranya tegang dan penuh kekhawatiran. Laila mengalihkan pandangannya padanya, jari-jarinya bergerak cepat dalam isyarat yang menggambarkan keragu-raguan atau tawaran. "Aku bisa membantu. Suaraku bisa mengganggu mereka, menghentikan konsentrasi mereka." Pandangan Sarah menyoroti adiknya, penuh pertimbangan. Akhirnya, setelah merenung sejenak, dia mengangguk. “Tapi jangan memaksakan diri. Kita harus tetap aman, Laila.” Laila berdiri tegap di atas bukit, menarik napas dalam-dalam sambil mengumpulkan kekuatan mentalnya seolah-olah itu akan menguatkannya. Ketika dia membuka mulutnya, energi sihir ungu samar mulai terlihat di sekitarnya. Meskipun suara tidak terdengar jelas, kekuatan sonik yang dihasilkan menghantam udara seperti gelombang tak terlihat, menerjang ke bawah dan mencapai para penyihir. Getaran suaranya menghantam mereka, menciptakan kekacauan dalam konsentrasi yang dibutuhkan. Salah satu penyihir terhuyung, wajahnya terkejut saat mantra yang harusnya dia lafalkan buyar menghilang ke udara. “Bagus, Laila,” gumam Kael ketika melihat momen tersebut. Dengan cepat, dia meluncurkan Racun Halusinasi, menciptakan kabut ungu yang mengelilingi area sekitar lingkaran, menghasilkan ilusi yang membingungkan, sehingga sulit bagi para penyihir untuk membedakan mana musuh dan mana teman. Murphy masih berjuang melawan salah satu penyihir terkuat; pertarungan mereka berlangsung sengit. Denting pedang yang beradu dengan tongkat sihir bergema, sementara ledakan kecil dari energi sihir membuat tanah di sekitar mereka bergetar hebat. “Kael! Cepat selesaikan ini!” serunya, terhindar nyaris dari semburan energi gelap yang melesat di dekatnya. Kael memahami betapa mendesaknya situasi ini. Dengan sekuat tenaga, dia melompat kembali ke lingkaran, memusatkan semua energi yang tersisa untuk satu serangan terakhir. Bola kaca itu kini berada dalam jangkauannya; wujudnya yang memancarkan cahaya biru semakin mendekat. Dengan pelindung sihir yang masih kukuh mengelilingi bola kaca, Kael mengangkat tangannya, membentuk Racun Melemahkan yang lebih besar dan lebih pekat dari sebelumnya, dengan warna hijau hitam bercampur ungu. Dengan semua kekuatan yang dimilikinya, ia menghantamkan racun itu ke pelindung sihir yang menggembung dengan energi. Retakan mulai muncul pada pelindung itu, lalu pecah dalam ledakan yang membahana, suara pecahan yang memekakkan telinga menggema di udara. Kael tak menyia-nyiakan kesempatan itu; dia memanfaatkan momen yang tepat untuk menghancurkan bola kaca dengan pukulan terakhir yang bertenaga penuh. Cahaya biru dari lingkaran sihir meredup seiring ritual itu terhenti seketika. Penyihir terakhir yang tersisa terlempar ke belakang oleh ledakan energi, sementara lingkaran sihir itu berubah menjadi tanda hitam hangus di permukaan tanah, menyisakan jejak kejadian yang mengerikan. Saat debu perlahan mengendap, Murphy berusaha tertatih-tatih menuju Kael, menepuk bahunya dengan penuh penghargaan. “Itu tadi gila,” katanya, suaranya lega meski tubuhnya sudah lelah dan penuh luka. Kael tersenyum tipis, meskipun napasnya masih tersengal. “Kita menghentikan mereka. Itu yang paling penting. Tapi aku tahu kita harus lebih berhati-hati ke depannya.” Sarah dan Laila segera bergabung dengan mereka. Laila mendekat, melompat dan langsung memeluk Kael, sementara Sarah menempatkan tangannya di bahunya. “Kau baik-baik saja?” tanya Sarah, tatapannya tajam dipenuhi rasa khawatir yang nyata. Ia mencerminkan betapa pentingnya bagi mereka untuk menjaga satu sama lain dalam situasi berbahaya ini. Kael mengangguk, dan dengan tulus, dia mengapresiasi kedua saudarinya. “Aku baik-baik saja, terima kasih untuk kalian berdua. Laila… kau luar biasa dengan tindakanmu.” Laila hanya tersenyum kecil, jari-jarinya bergerak dalam isyarat sederhana, menandakan rasa syukur. "Aku senang bisa membantu. Kita satu tim." Namun, meski mereka merayakan kemenangan kecil ini, Sarah mengangkat nada bicaranya dengan lebih serius. “Ritual ini mungkin gagal, tetapi mereka pasti akan mencoba lagi. Kita harus segera tahu apa yang mereka coba panggil, dan siapkan langkah selanjutnya.” Kael menatap lingkaran yang hancur, pikirannya dipenuhi kekhawatiran. “Kita harus terus bergerak. Ini baru permulaan dari sesuatu yang lebih besar dan lebih mengerikan.” Dengan langkah cepat namun penuh rasa waspada, mereka meninggalkan tempat itu. Kemenangan ini memang terasa manis, tetapi di dalam hati mereka, terbersit kesadaran bahwa ancaman besar masih menanti di depan, dan mereka harus selalu bersiap untuk menghadapi apa yang akan datang.Mereka mulai bersiap-siap untuk keluar dan melanjutkan rencana mereka. Paman Peter telah pergi lebih dulu, menyelinap ke ruang penyimpanan untuk membuka jalan, agar dapat bergabung dengan kelompok mereka nanti. Meski semua anggota kelompok sudah kuat, kekhawatiran tetap menyelimuti paman Peter. Ia benar-benar cemas dengan kepergian mereka menuju sarang laba-laba itu, terutama karena mereka belum sepenuhnya mengetahui kekuatan induk laba-laba yang legendaris itu. “Baiklah, paman sudah pergi. Sekarang giliran kita untuk bergerak. Ingat, setiap sepuluh menit kita harus mencari tempat untuk bersembunyi, sebelum kemampuan ilusi Sarah menghilang,” ucap Kael dengan ekspresi serius, tatapannya penuh waspada. Semua orang mengangguk mantap, sudah paham betul batas waktu kemampuan ilusi Sarah yang hanya bertahan sepuluh menit sekali aktif, sebelum perlu waktu untuk mengaktifkannya kembali. Kabut tipis yang diciptakan oleh Sophia terus menyelimuti mereka, merayap lembut seperti selimut ha
Suasana di kelompok persembunyian Kael terasa begitu sunyi dan sepi. Celah-celah batu yang menjadi tempat mereka berlindung membungkus mereka dengan keheningan yang hampir sakral. Hanya terdengar sesekali dengkuran berat Murphy yang bersandar santai pada batu besar, seolah memberi tanda bahwa meski senyap, mereka semua masih ada di sana, hidup dan waspada dalam diam. Kabut tipis perlahan-lahan mulai menyelimuti area bebatuan di sekitar mereka, membentuk lapisan putih samar yang tampak agak aneh bila diperhatikan dengan seksama. Namun, monster-monster yang lalu lalang keluar masuk melalui lorong-lorong sempit di sekitar persembunyian mereka tidak tampak menyadari perubahan kecil itu. Seolah-olah mereka tidak menghiraukan apapun yang terjadi, percaya bahwa tidak ada yang berani mengacaukan wilayah mereka. “Dia benar-benar mampu tidur di saat seperti ini,” gumam Kael pelan, nada suaranya membawa sedikit kekhawatiran. Paman Peter sudah satu jam belum kembali, dan itu mulai mengganggu
Setelah mengetahui situasinya, paman Peter segera bergegas menuju tempat yang telah ia sepakati bersama paman Barrett sebagai titik pertemuan untuk saling bertukar informasi yang mereka dapatkan dari dua lokasi berbeda. Langkahnya cepat namun penuh kehati-hatian, setiap detik seolah menekan beban pikiran yang tak kunjung reda. Sesampainya di lokasi, paman Peter mendapati bahwa paman Barrett dan Maya belum tiba. Ia pun terpaksa menunggu di sana, pikirannya terus dibayangi pandangan dari ruangan luas yang baru saja ia kunjungi. "Apakah kita benar-benar harus menghadapi monster tersebut?" gumam paman Peter, suaranya serak dan penuh kekhawatiran. "Pertanyaan bodoh memang, tapi monster itu… monster itu adalah bencana yang bergerak." Tiba-tiba, bayangan bergerak, perlahan membentuk sosok paman Barrett dan Maya yang muncul keluar dari kegelapan. Mereka menyapa paman Peter yang masih termenung dengan raut wajah kusut. Paman Peter menunjukkan ekspresi rumit, lalu mengangguk pelan. "Bagaim
Suasana di kota monster itu begitu asing dan mencekam bagi siapa saja yang pertama kali mengalaminya. Dari kejauhan, terdengar deru suara berbagai makhluk yang berbaur jadi satu — suara berat troll yang menggeram, bisikan reptil kadal dengan sisik berkilau, hingga jeritan nyaring goblin abu-abu yang seringkali melengking seolah penuh ketakutan atau kemarahan. Suara goblin yang menjerit kesakitan karena tamparan troll terdengar bergema di antara bangunan-bangunan rapuh, diiringi oleh raungan mereka yang seakan-akan berdebat sengit. Namun, setiap kali monster laba-laba besar merayap melintasi lorong, suara itu tiba-tiba terhenti. Suasana mendadak sunyi, seolah ketakutan akan makhluk berkaki delapan itu mengekang segala kegaduhan. Di balik bayang-bayang lorong bangunan yang remang, Paman Peter bersembunyi dengan tenang, matanya menatap dua sosok yang muncul dari kegelapan. Sosok Paman Barrett terlihat kabur, hampir seperti bayangan yang berdenyut pelan, sedangkan Maya tampak muncul d
Setelah mengalami hal yang tidak terduga sebelumnya, kelompok Kael kembali melanjutkan perjalanan mereka menuju ke bagian paling bawah — lokasi utama perut gunung yang menjadi tujuan. Suasana lorong yang mereka lalui tetap terasa sunyi, hanya suara langkah kaki mereka yang bergema pelan di dinding batu yang dingin dan kasar. Lorong yang berliku itu membuat mereka sadar bahwa mereka sudah berkali-kali berputar-putar mengikuti jalur yang hampir sama. Jika dibandingkan dengan sebuah bangunan bertingkat, mereka mungkin sudah turun lebih dari dua puluh lantai, dan perjalanan masih jauh sebelum mencapai kedalaman terdalam yang mereka cari. “Sepertinya ini saatnya kita istirahat, ya? Sepanjang lorong ini, monster yang kami temui hampir tidak ada...” gumam Murphy, nada suaranya sedikit bosan, mencoba mengusir kejenuhan perjalanan yang monoton. Kael, yang tetap waspada meskipun lorong terlihat tenang, mengangguk. “Ada begitu banyak lorong bercabang, seperti akar pohon yang menjalar. Jalu
Suhu di perut gunung itu terasa lembab, dengan hangat yang tidak menentu, membuat udara terasa pengap dan menyulitkan napas selama perjalanan mereka. Dinding-dinding lorong yang berliku tampak basah dan berlumut, memantulkan cahaya redup dari obor yang mereka bawa. Aroma tanah basah dan batu yang pekat menyelimuti setiap langkah, semakin menegaskan betapa dalamnya mereka menyusuri rahasia perut gunung. Lorong-lorong itu begitu banyak dan berkelok seperti akar pohon raksasa, diciptakan oleh monster-monster penghuni perut gunung yang tersembunyi di balik gelap. Bagi siapa pun yang tak terbiasa, perjalanan di labirin ini sangat mudah membuat kehilangan arah dan tersesat dalam kegelapan yang membingungkan. Bahkan Sarah, yang memiliki mata sihir mampu menembus ilusi dan kegelapan, beberapa kali hampir tersesat saat memimpin mereka mencari jalur yang benar. Ketelitian dan konsentrasinya diuji habis, menelusuri setiap celah dan belokan demi memastikan jalan menuju kedalaman perut gunung ya