Cahaya pagi merayap perlahan di antara celah-celah pohon hutan purba. Kabut yang sebelumnya menyelimuti pandangan mulai terangkat, namun suasana tetap terasa dingin dan penuh kewaspadaan. Kael, Sarah, Laila, dan Murphy melangkah pelan, meninggalkan tempat pertempuran yang dipenuhi kekacauan di belakang mereka. Hutan ini, meskipun menunjukkan tanda-tanda kehidupan baru, masih tergerak oleh gema ketegangan yang baru saja mereka alami.
Kael berjalan di depan, wajahnya dipenuhi konsentrasi dan ketegangan yang mendalam. Dalam pikirannya, ritual yang baru saja mereka gagalkan melingkar bak bayangan tak berujung, diiringi satu pertanyaan yang terus menghantuinya: apa sebenarnya yang sedang dipanggil oleh Ordo Umbra? “Kita perlu berhenti sebentar,” kata Murphy dari belakang, suaranya terdengar tersengal. Wajahnya basah oleh keringat, sementara tangan kanannya menekan luka kecil di lengannya. “Aku butuh waktu untuk mengatur napas. Dan mungkin... menjahit luka ini,” tambahnya, suaranya bergetar penuh kesakitan. Kael melirik ke belakang, merasakan beban di hatinya untuk semua orang. Ia mengangguk. “Baik. Tapi tidak lama. Mereka mungkin masih ada di sekitar.” Dalam hati, Kael merasa harus melindungi semua orang di dekatnya, menjaga mereka dari ancaman yang mungkin tetap memburu mereka. Sarah bergegas membantu Murphy, membantunya duduk di atas akar pohon besar yang membentuk kursi alami, dikelilingi lapisan lumut dan dedaunan lembab. Sementara itu, Laila dengan sigap membuka tas kecil yang selalu dia bawa, merogoh ke dalamnya untuk mencari ramuan sederhana yang bisa membantu menyembuhkan luka Murphy. Gerakannya cepat dan terampil, mencampurkan ramuan untuk menghentikan pendarahan, meski tidak banyak bicara—ia lebih memilih beraksi daripada berbicara. Murphy tersenyum lemah ke arah Laila, meski rasa sakit masih tampak di wajahnya. “Kalau aku punya adik sepertimu, mungkin aku bisa selamat lebih sering.” Laila hanya tersenyum kecil, tangannya tetap sibuk mengolah ramuan. Dia menoleh ke Sarah, mengisyaratkan sesuatu dengan tangan yang gesit. Sarah, yang lebih terbiasa dengan bahasa tubuh Laila, menerjemahkan dengan suara lembut, “Laila bilang kau harus lebih hati-hati. Kami tidak selalu bisa menyelamatkanmu.” Murphy tertawa kecil, meski kesakitan masih membayangi wajahnya. “Pesan diterima. Aku akan berusaha lebih berhati-hati,” ucapnya bertekad, seolah mencoba meyakinkan diri sendiri. Kael menjauh sedikit, berusaha mencari tempat untuk mengawasi sekeliling mereka. Ia mendongak, memandangi pohon-pohon besar yang menjulang seperti raksasa diam yang menjaga hutan. Pikirannya melayang kembali ke masa lalu, ke hari-hari sebelum semuanya menjadi rumit dan berbahaya. Ia ingat ayahnya, Jarvis Aethel, seorang pemburu mahir yang selalu memimpin mereka melewati jalur tersembunyi di hutan ini. Jarvis selalu tenang, suaranya berat dan dapat memberikan rasa aman kepada anak-anaknya. Dia mengajarkan Kael cara membaca jejak, mengenali tanda bahaya, dan menggunakan hutan sebagai perlindungan dari ancaman. “Kau tidak hanya bersembunyi, Kael,” suara Jarvis terngiang dalam ingatannya, tegas penuh percaya diri. “Kau belajar menjadi bayangan yang tidak bisa disentuh musuh, pelajari cara mengalahkan mereka dengan kecerdikan.” Namun, kenangan itu tiba-tiba berubah gelap. Ia ingat malam ketika ayahnya pergi, meninggalkan mereka dengan janji bahwa ia akan kembali dengan solusi untuk penyakit ibunya. Kenyataan berbicara lain; Jarvis tidak pernah kembali. Desingan angin dan suara ranting patah seolah mengingatkan akan kehilangan itu, bergetar dalam hatinya. Kael mengepalkan tangannya, merasakan kemarahan dan rasa bersalah bercampur menjadi satu. Ia tidak tahu apakah ayahnya masih hidup, tetapi satu hal pasti: jawabannya ada di Batu Sihir, artefak misterius yang menjadi kunci untuk mengungkap kebenaran dan rahasia terpendam. Sarah mendekat, membuyarkan lamunan Kael dengan lembut. “Apa kau baik-baik saja?” tanyanya, suaranya ramah namun menyiratkan kekhawatiran. Kael mengangguk singkat, meski dalam hatinya merasa hampa. “Aku hanya memikirkan... ayah,” jawabnya, suaranya dipenuhi kesedihan. Sarah mengangguk, meski wajahnya tetap tenang. “Aku juga sering memikirkannya. Tetapi sekarang kita harus fokus. Ritual itu—aku melihat sesuatu melalui Mata Sihir.” Ia menatap Kael, berusaha mencari cara untuk membangkitkan kewaspadaan mereka. Kael menoleh, alisnya terangkat penuh rasa ingin tahu. “Apa yang kau lihat?” tanyanya, suaranya penuh ketegangan. Sarah menutup matanya sejenak, mencoba mengingat dengan jelas. “Makhluk yang mereka coba panggil. Itu besar, seperti monster dari dimensi lain. Tapi ada yang aneh. Aku merasa seperti... ada sesuatu yang familiar tentang energinya,” jawabnya pelan, seakan masih menggali ingatan tersebut. “Familiar?” Kael mengerutkan kening, ketakutan bercampur rasa curiga. “Maksudmu apa?” “Aku tidak tahu,” jawab Sarah, membuka matanya kembali. “Tapi rasanya seperti energi itu... memiliki koneksi dengan Ordo Umbra. Aku tidak yakin bagaimana, tetapi aku merasa kita semakin dekat dengan sesuatu yang penting.” Wajahnya menunjukkan kekhawatiran, seakan intuisi ini bukan sekadar ilusi. Setelah beberapa saat, Murphy berdiri dengan susah payah, meski masih terlihat lemah. “Aku siap melanjutkan. Kita tidak bisa berlama-lama di sini,” ujarnya dengan napas terengah-engah. Semangat juangnya tak pernah pudar, meski luka-lukanya masih membayangi wajahnya. Kael mengangguk, lalu memandang Sarah dan Laila. “Kita harus menemukan jalur menuju Akademi Baseus. Professor Aldos mungkin bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.” Ia merasa terdesak untuk mendapatkan jawaban, meski setiap langkah membawa risiko yang tak terduga. “Kalau begitu kita harus bergegas,” kata Sarah. “Jika Ordo Umbra tahu kita menuju ke sana, mereka tidak akan tinggal diam.” Waktu semakin mendesak, dan keputusan harus diambil dengan cepat dan bijaksana. Dengan semangat baru yang mengalir, mereka melanjutkan perjalanan, mengikuti jalur sempit di antara pepohonan yang rapat. Namun, dalam hati Kael, ia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa mereka diawasi. Bayangan kegelapan menyelimuti mereka, menciptakan rasa tidak aman yang semakin mendalam. “Kael,” panggil Murphy pelan, suaranya membuat Kael terhenti. Kael berhenti, menoleh ke arahnya. “Ada apa?” tanyanya, merasakan adanya sesuatu yang mengganggu. Murphy menunjuk ke tanah dengan teliti. Jejak kaki besar terlihat di atas tanah lembap, jejak itu terlalu besar untuk manusia biasa, dan ukurannya menunjukkan bahwa makhluk yang membuatnya bukanlah makhluk jinak. Itu seakan memberikan gambaran gelap tentang apa yang telah mereka hadapi. “Mereka sudah memanggil sesuatu,” kata Murphy, suaranya suram. Kael merasakan ketegangan di dalam dadanya meningkat, seolah terperangkap dalam lingkaran ancaman yang semakin kuat. Kael menatap jejak itu, rahangnya mengeras. “Kita harus terus bergerak. Dan kali ini, kita harus lebih hati-hati.” Itu bukan sekadar perintah, tetapi janji untuk melindungi teman-temannya. Langit mulai mendung, menciptakan suasana yang semakin kelam. Hutan menjadi lebih sunyi, seolah semua makhluk hidup memilih bersembunyi dari ancaman yang tidak terlihat. Sarah yang berjalan di belakang mendadak berhenti sejenak, matanya yang buta menatap lurus ke depan, berusaha menangkap apa yang tidak bisa dilihat oleh yang lain. “Sarah?” panggil Kael, memperhatikan perubahan sikapnya. Sarah menggeleng pelan, mengikuti intuisi yang lebih tajam daripada yang lain. “Aku... merasakan sesuatu. Energi gelap. Itu bukan dari Ordo Umbra,” ujarnya, suaranya tenang namun tegang. Laila mendekat ke Sarah, gerakannya lincah. "Apa itu?" tanyanya dengan bahasa isyarat, penuh rasa ingin tahu. Sarah menggenggam tangan Laila dengan lembut, suaranya rendang saat dia berkata, “Aku tidak tahu. Tapi itu besar, dan itu mendekat.” Matanya terpaku ke arah hutan, seolah tertarik pada sesuatu yang lebih gelap. Kael melangkah mundur, mendekati mereka dengan kekhawatiran. “Semuanya tetap bersama. Kita tidak boleh ceroboh.” Murphy, tak mau ketinggalan, menghunus pedangnya, matanya memindai sekitar. “Apa pun itu, kita harus siap. Kalau mereka memanggil monster, itu pasti bukan sesuatu yang bisa kita abaikan.” Keberanian yang terpancar tetap menyala meskipun rasa takut menghampiri mereka. Dengan napas tertahan dan semua indera waspada, mereka melanjutkan perjalanan, menyadari ancaman yang mungkin hanya beberapa langkah di depan. Hutan purba ini, dengan segala misterinya, menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang bisa mereka bayangkan. Dan mereka harus siap menghadapi apapun yang datang berikutnya.Mereka mulai bersiap-siap untuk keluar dan melanjutkan rencana mereka. Paman Peter telah pergi lebih dulu, menyelinap ke ruang penyimpanan untuk membuka jalan, agar dapat bergabung dengan kelompok mereka nanti. Meski semua anggota kelompok sudah kuat, kekhawatiran tetap menyelimuti paman Peter. Ia benar-benar cemas dengan kepergian mereka menuju sarang laba-laba itu, terutama karena mereka belum sepenuhnya mengetahui kekuatan induk laba-laba yang legendaris itu. “Baiklah, paman sudah pergi. Sekarang giliran kita untuk bergerak. Ingat, setiap sepuluh menit kita harus mencari tempat untuk bersembunyi, sebelum kemampuan ilusi Sarah menghilang,” ucap Kael dengan ekspresi serius, tatapannya penuh waspada. Semua orang mengangguk mantap, sudah paham betul batas waktu kemampuan ilusi Sarah yang hanya bertahan sepuluh menit sekali aktif, sebelum perlu waktu untuk mengaktifkannya kembali. Kabut tipis yang diciptakan oleh Sophia terus menyelimuti mereka, merayap lembut seperti selimut ha
Suasana di kelompok persembunyian Kael terasa begitu sunyi dan sepi. Celah-celah batu yang menjadi tempat mereka berlindung membungkus mereka dengan keheningan yang hampir sakral. Hanya terdengar sesekali dengkuran berat Murphy yang bersandar santai pada batu besar, seolah memberi tanda bahwa meski senyap, mereka semua masih ada di sana, hidup dan waspada dalam diam. Kabut tipis perlahan-lahan mulai menyelimuti area bebatuan di sekitar mereka, membentuk lapisan putih samar yang tampak agak aneh bila diperhatikan dengan seksama. Namun, monster-monster yang lalu lalang keluar masuk melalui lorong-lorong sempit di sekitar persembunyian mereka tidak tampak menyadari perubahan kecil itu. Seolah-olah mereka tidak menghiraukan apapun yang terjadi, percaya bahwa tidak ada yang berani mengacaukan wilayah mereka. “Dia benar-benar mampu tidur di saat seperti ini,” gumam Kael pelan, nada suaranya membawa sedikit kekhawatiran. Paman Peter sudah satu jam belum kembali, dan itu mulai mengganggu
Setelah mengetahui situasinya, paman Peter segera bergegas menuju tempat yang telah ia sepakati bersama paman Barrett sebagai titik pertemuan untuk saling bertukar informasi yang mereka dapatkan dari dua lokasi berbeda. Langkahnya cepat namun penuh kehati-hatian, setiap detik seolah menekan beban pikiran yang tak kunjung reda. Sesampainya di lokasi, paman Peter mendapati bahwa paman Barrett dan Maya belum tiba. Ia pun terpaksa menunggu di sana, pikirannya terus dibayangi pandangan dari ruangan luas yang baru saja ia kunjungi. "Apakah kita benar-benar harus menghadapi monster tersebut?" gumam paman Peter, suaranya serak dan penuh kekhawatiran. "Pertanyaan bodoh memang, tapi monster itu… monster itu adalah bencana yang bergerak." Tiba-tiba, bayangan bergerak, perlahan membentuk sosok paman Barrett dan Maya yang muncul keluar dari kegelapan. Mereka menyapa paman Peter yang masih termenung dengan raut wajah kusut. Paman Peter menunjukkan ekspresi rumit, lalu mengangguk pelan. "Bagaim
Suasana di kota monster itu begitu asing dan mencekam bagi siapa saja yang pertama kali mengalaminya. Dari kejauhan, terdengar deru suara berbagai makhluk yang berbaur jadi satu — suara berat troll yang menggeram, bisikan reptil kadal dengan sisik berkilau, hingga jeritan nyaring goblin abu-abu yang seringkali melengking seolah penuh ketakutan atau kemarahan. Suara goblin yang menjerit kesakitan karena tamparan troll terdengar bergema di antara bangunan-bangunan rapuh, diiringi oleh raungan mereka yang seakan-akan berdebat sengit. Namun, setiap kali monster laba-laba besar merayap melintasi lorong, suara itu tiba-tiba terhenti. Suasana mendadak sunyi, seolah ketakutan akan makhluk berkaki delapan itu mengekang segala kegaduhan. Di balik bayang-bayang lorong bangunan yang remang, Paman Peter bersembunyi dengan tenang, matanya menatap dua sosok yang muncul dari kegelapan. Sosok Paman Barrett terlihat kabur, hampir seperti bayangan yang berdenyut pelan, sedangkan Maya tampak muncul d
Setelah mengalami hal yang tidak terduga sebelumnya, kelompok Kael kembali melanjutkan perjalanan mereka menuju ke bagian paling bawah — lokasi utama perut gunung yang menjadi tujuan. Suasana lorong yang mereka lalui tetap terasa sunyi, hanya suara langkah kaki mereka yang bergema pelan di dinding batu yang dingin dan kasar. Lorong yang berliku itu membuat mereka sadar bahwa mereka sudah berkali-kali berputar-putar mengikuti jalur yang hampir sama. Jika dibandingkan dengan sebuah bangunan bertingkat, mereka mungkin sudah turun lebih dari dua puluh lantai, dan perjalanan masih jauh sebelum mencapai kedalaman terdalam yang mereka cari. “Sepertinya ini saatnya kita istirahat, ya? Sepanjang lorong ini, monster yang kami temui hampir tidak ada...” gumam Murphy, nada suaranya sedikit bosan, mencoba mengusir kejenuhan perjalanan yang monoton. Kael, yang tetap waspada meskipun lorong terlihat tenang, mengangguk. “Ada begitu banyak lorong bercabang, seperti akar pohon yang menjalar. Jalu
Suhu di perut gunung itu terasa lembab, dengan hangat yang tidak menentu, membuat udara terasa pengap dan menyulitkan napas selama perjalanan mereka. Dinding-dinding lorong yang berliku tampak basah dan berlumut, memantulkan cahaya redup dari obor yang mereka bawa. Aroma tanah basah dan batu yang pekat menyelimuti setiap langkah, semakin menegaskan betapa dalamnya mereka menyusuri rahasia perut gunung. Lorong-lorong itu begitu banyak dan berkelok seperti akar pohon raksasa, diciptakan oleh monster-monster penghuni perut gunung yang tersembunyi di balik gelap. Bagi siapa pun yang tak terbiasa, perjalanan di labirin ini sangat mudah membuat kehilangan arah dan tersesat dalam kegelapan yang membingungkan. Bahkan Sarah, yang memiliki mata sihir mampu menembus ilusi dan kegelapan, beberapa kali hampir tersesat saat memimpin mereka mencari jalur yang benar. Ketelitian dan konsentrasinya diuji habis, menelusuri setiap celah dan belokan demi memastikan jalan menuju kedalaman perut gunung ya