Cahaya pagi merayap perlahan di antara celah-celah pohon hutan purba. Kabut yang sebelumnya menyelimuti pandangan mulai terangkat, namun suasana tetap terasa dingin dan penuh kewaspadaan. Kael, Sarah, Laila, dan Murphy melangkah pelan, meninggalkan tempat pertempuran yang dipenuhi kekacauan di belakang mereka. Hutan ini, meskipun menunjukkan tanda-tanda kehidupan baru, masih tergerak oleh gema ketegangan yang baru saja mereka alami.
Kael berjalan di depan, wajahnya dipenuhi konsentrasi dan ketegangan yang mendalam. Dalam pikirannya, ritual yang baru saja mereka gagalkan melingkar bak bayangan tak berujung, diiringi satu pertanyaan yang terus menghantuinya: apa sebenarnya yang sedang dipanggil oleh Ordo Umbra? “Kita perlu berhenti sebentar,” kata Murphy dari belakang, suaranya terdengar tersengal. Wajahnya basah oleh keringat, sementara tangan kanannya menekan luka kecil di lengannya. “Aku butuh waktu untuk mengatur napas. Dan mungkin... menjahit luka ini,” tambahnya, suaranya bergetar penuh kesakitan. Kael melirik ke belakang, merasakan beban di hatinya untuk semua orang. Ia mengangguk. “Baik. Tapi tidak lama. Mereka mungkin masih ada di sekitar.” Dalam hati, Kael merasa harus melindungi semua orang di dekatnya, menjaga mereka dari ancaman yang mungkin tetap memburu mereka. Sarah bergegas membantu Murphy, membantunya duduk di atas akar pohon besar yang membentuk kursi alami, dikelilingi lapisan lumut dan dedaunan lembab. Sementara itu, Laila dengan sigap membuka tas kecil yang selalu dia bawa, merogoh ke dalamnya untuk mencari ramuan sederhana yang bisa membantu menyembuhkan luka Murphy. Gerakannya cepat dan terampil, mencampurkan ramuan untuk menghentikan pendarahan, meski tidak banyak bicara—ia lebih memilih beraksi daripada berbicara. Murphy tersenyum lemah ke arah Laila, meski rasa sakit masih tampak di wajahnya. “Kalau aku punya adik sepertimu, mungkin aku bisa selamat lebih sering.” Laila hanya tersenyum kecil, tangannya tetap sibuk mengolah ramuan. Dia menoleh ke Sarah, mengisyaratkan sesuatu dengan tangan yang gesit. Sarah, yang lebih terbiasa dengan bahasa tubuh Laila, menerjemahkan dengan suara lembut, “Laila bilang kau harus lebih hati-hati. Kami tidak selalu bisa menyelamatkanmu.” Murphy tertawa kecil, meski kesakitan masih membayangi wajahnya. “Pesan diterima. Aku akan berusaha lebih berhati-hati,” ucapnya bertekad, seolah mencoba meyakinkan diri sendiri. Kael menjauh sedikit, berusaha mencari tempat untuk mengawasi sekeliling mereka. Ia mendongak, memandangi pohon-pohon besar yang menjulang seperti raksasa diam yang menjaga hutan. Pikirannya melayang kembali ke masa lalu, ke hari-hari sebelum semuanya menjadi rumit dan berbahaya. Ia ingat ayahnya, Jarvis Aethel, seorang pemburu mahir yang selalu memimpin mereka melewati jalur tersembunyi di hutan ini. Jarvis selalu tenang, suaranya berat dan dapat memberikan rasa aman kepada anak-anaknya. Dia mengajarkan Kael cara membaca jejak, mengenali tanda bahaya, dan menggunakan hutan sebagai perlindungan dari ancaman. “Kau tidak hanya bersembunyi, Kael,” suara Jarvis terngiang dalam ingatannya, tegas penuh percaya diri. “Kau belajar menjadi bayangan yang tidak bisa disentuh musuh, pelajari cara mengalahkan mereka dengan kecerdikan.” Namun, kenangan itu tiba-tiba berubah gelap. Ia ingat malam ketika ayahnya pergi, meninggalkan mereka dengan janji bahwa ia akan kembali dengan solusi untuk penyakit ibunya. Kenyataan berbicara lain; Jarvis tidak pernah kembali. Desingan angin dan suara ranting patah seolah mengingatkan akan kehilangan itu, bergetar dalam hatinya. Kael mengepalkan tangannya, merasakan kemarahan dan rasa bersalah bercampur menjadi satu. Ia tidak tahu apakah ayahnya masih hidup, tetapi satu hal pasti: jawabannya ada di Batu Sihir, artefak misterius yang menjadi kunci untuk mengungkap kebenaran dan rahasia terpendam. Sarah mendekat, membuyarkan lamunan Kael dengan lembut. “Apa kau baik-baik saja?” tanyanya, suaranya ramah namun menyiratkan kekhawatiran. Kael mengangguk singkat, meski dalam hatinya merasa hampa. “Aku hanya memikirkan... ayah,” jawabnya, suaranya dipenuhi kesedihan. Sarah mengangguk, meski wajahnya tetap tenang. “Aku juga sering memikirkannya. Tetapi sekarang kita harus fokus. Ritual itu—aku melihat sesuatu melalui Mata Sihir.” Ia menatap Kael, berusaha mencari cara untuk membangkitkan kewaspadaan mereka. Kael menoleh, alisnya terangkat penuh rasa ingin tahu. “Apa yang kau lihat?” tanyanya, suaranya penuh ketegangan. Sarah menutup matanya sejenak, mencoba mengingat dengan jelas. “Makhluk yang mereka coba panggil. Itu besar, seperti monster dari dimensi lain. Tapi ada yang aneh. Aku merasa seperti... ada sesuatu yang familiar tentang energinya,” jawabnya pelan, seakan masih menggali ingatan tersebut. “Familiar?” Kael mengerutkan kening, ketakutan bercampur rasa curiga. “Maksudmu apa?” “Aku tidak tahu,” jawab Sarah, membuka matanya kembali. “Tapi rasanya seperti energi itu... memiliki koneksi dengan Ordo Umbra. Aku tidak yakin bagaimana, tetapi aku merasa kita semakin dekat dengan sesuatu yang penting.” Wajahnya menunjukkan kekhawatiran, seakan intuisi ini bukan sekadar ilusi. Setelah beberapa saat, Murphy berdiri dengan susah payah, meski masih terlihat lemah. “Aku siap melanjutkan. Kita tidak bisa berlama-lama di sini,” ujarnya dengan napas terengah-engah. Semangat juangnya tak pernah pudar, meski luka-lukanya masih membayangi wajahnya. Kael mengangguk, lalu memandang Sarah dan Laila. “Kita harus menemukan jalur menuju Akademi Baseus. Professor Aldos mungkin bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.” Ia merasa terdesak untuk mendapatkan jawaban, meski setiap langkah membawa risiko yang tak terduga. “Kalau begitu kita harus bergegas,” kata Sarah. “Jika Ordo Umbra tahu kita menuju ke sana, mereka tidak akan tinggal diam.” Waktu semakin mendesak, dan keputusan harus diambil dengan cepat dan bijaksana. Dengan semangat baru yang mengalir, mereka melanjutkan perjalanan, mengikuti jalur sempit di antara pepohonan yang rapat. Namun, dalam hati Kael, ia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa mereka diawasi. Bayangan kegelapan menyelimuti mereka, menciptakan rasa tidak aman yang semakin mendalam. “Kael,” panggil Murphy pelan, suaranya membuat Kael terhenti. Kael berhenti, menoleh ke arahnya. “Ada apa?” tanyanya, merasakan adanya sesuatu yang mengganggu. Murphy menunjuk ke tanah dengan teliti. Jejak kaki besar terlihat di atas tanah lembap, jejak itu terlalu besar untuk manusia biasa, dan ukurannya menunjukkan bahwa makhluk yang membuatnya bukanlah makhluk jinak. Itu seakan memberikan gambaran gelap tentang apa yang telah mereka hadapi. “Mereka sudah memanggil sesuatu,” kata Murphy, suaranya suram. Kael merasakan ketegangan di dalam dadanya meningkat, seolah terperangkap dalam lingkaran ancaman yang semakin kuat. Kael menatap jejak itu, rahangnya mengeras. “Kita harus terus bergerak. Dan kali ini, kita harus lebih hati-hati.” Itu bukan sekadar perintah, tetapi janji untuk melindungi teman-temannya. Langit mulai mendung, menciptakan suasana yang semakin kelam. Hutan menjadi lebih sunyi, seolah semua makhluk hidup memilih bersembunyi dari ancaman yang tidak terlihat. Sarah yang berjalan di belakang mendadak berhenti sejenak, matanya yang buta menatap lurus ke depan, berusaha menangkap apa yang tidak bisa dilihat oleh yang lain. “Sarah?” panggil Kael, memperhatikan perubahan sikapnya. Sarah menggeleng pelan, mengikuti intuisi yang lebih tajam daripada yang lain. “Aku... merasakan sesuatu. Energi gelap. Itu bukan dari Ordo Umbra,” ujarnya, suaranya tenang namun tegang. Laila mendekat ke Sarah, gerakannya lincah. "Apa itu?" tanyanya dengan bahasa isyarat, penuh rasa ingin tahu. Sarah menggenggam tangan Laila dengan lembut, suaranya rendang saat dia berkata, “Aku tidak tahu. Tapi itu besar, dan itu mendekat.” Matanya terpaku ke arah hutan, seolah tertarik pada sesuatu yang lebih gelap. Kael melangkah mundur, mendekati mereka dengan kekhawatiran. “Semuanya tetap bersama. Kita tidak boleh ceroboh.” Murphy, tak mau ketinggalan, menghunus pedangnya, matanya memindai sekitar. “Apa pun itu, kita harus siap. Kalau mereka memanggil monster, itu pasti bukan sesuatu yang bisa kita abaikan.” Keberanian yang terpancar tetap menyala meskipun rasa takut menghampiri mereka. Dengan napas tertahan dan semua indera waspada, mereka melanjutkan perjalanan, menyadari ancaman yang mungkin hanya beberapa langkah di depan. Hutan purba ini, dengan segala misterinya, menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang bisa mereka bayangkan. Dan mereka harus siap menghadapi apapun yang datang berikutnya.Langit hampir terbenam, mengecat cakrawala dengan warna merah keemasan yang memudar perlahan. Kael dan kelompoknya telah tiba di pinggir hutan purba, yang menyelimuti mereka dalam ketegangan dan kewaspadaan. Meskipun telah berjam-jam mereka berjalan dan tidak melihat pengejar dari Ordo Umbra, keheningan hutan itu semakin membuat mereka waspada."Ini aneh. Kita harus lebih berhati-hati meskipun sudah berada di pinggir hutan. Beberapa langkah lagi akan ada sebuah desa kecil tempat kita bisa bermalam, tanpa perlu tidur di hutan lagi," ucap Kael, sambil memperhatikan Sarah dan Laila yang tampak kelelahan. Kerut di alisnya menunjukkan kekhawatiran atas keselamatan mereka.Walaupun seharusnya mereka merasa lega karena tidak ada pengejar, aura aneh di tepi hutan membuat mereka lebih waspada daripada sebelumnya. Suasana tenang dan misterius seolah membangkitkan rasa takut yang terpendam di dalam diri masing-masing."Itu bagus, aku juga ingin tidur di tempat yang lebih nyaman. Aku harap mereka
Saat mereka memasuki lebih dalam lorong yang hanya diterangi oleh cahaya energi sihir Murphy yang keemasan di tangannya, mereka akhirnya melihat lampu minyak yang terpasang di dinding, menandakan bahwa ada orang di dalam. Namun, ketika mereka mencapai ujung lorong, mereka dihadapkan pada sebuah pintu tebal setinggi 3 meter lebih yang tertutup rapat."Apakah mereka mengorbankan harta desa mereka untuk menciptakan pintu sekuat ini? Kini, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita perlu menyapa mereka? Aku berharap mereka menyambut kita dengan baik..." ucap Murphy, bersandar lelah pada pintu."Tenang saja, aku mengenal kepala desa mereka. Tapi itu saat aku masih kecil; aku harap dia masih ingat padaku," balas Kael, yang terkejut melihat pintu yang sangat kokoh. Dia juga curiga, bagaimana warga desa bisa menghabiskan banyak uang untuk membuat pintu tersebut.Kael melihat Sarah dan Laila yang juga kelelahan dan merasa sedikit tidak nyaman, karena mereka sedang kelaparan. Lagi pula, mereka ti
Ruangan bawah tanah yang sempit itu terasa semakin sesak, udara dipenuhi bau tajam belerang dan asap hitam yang berputar liar dari lampu api emas. Nyala emasnya berkedip-kedip, seolah berjuang melawan kegelapan yang merayap masuk, sementara asapnya membentuk bayang-bayang mengerikan yang menari di dinding batu. Warga desa yang berkerumun di sekitar lampu itu memandang dengan mata lebar penuh ketakutan, napas mereka tersengal dalam keheningan yang mencekam. "Kael, apa rencanamu?" tanya Paman Adrian, suaranya serak dan gemetar, meski ia berusaha teguh memegang tongkat kayunya yang sudah usang. Tangan tuanya tampak rapuh, namun matanya yang tertutup penutup mata memancarkan kilau harapan terakhir. "Ghoul itu... aku belum pernah melihat yang seperti ini. Kalau sampai masuk ke sini, kami semua tamat." Kael menoleh ke arah Paman Adrian, lalu ke kelompoknya. Cahaya ungu yang memancar dari dirinya, Sarah, dan Laila bercampur dengan energi emas Murphy, menciptakan kilauan samar yang menerobo
Udara dalam gudang yang bobrok terasa pekat, dipenuhi aroma busuk dari lendir ghoul yang merayap masuk ke dalam sumur. Suara licin dan mendesis dari gumpalan hitam itu menggema di antara kayu tua, menciptakan getaran kecil yang terasa hingga ke tulang. Kael berdiri di tepi sumur, napasnya terengah-engah, keringat membasahi dahinya yang tegang. Cahaya hijau kehitaman dari **Racun Tiga Mayat** yang dipegangnya berkelap-kelip, menerangi wajahnya yang penuh tekad bercampur kepanikan."Turun sekarang!" teriak Kael, suaranya menggema di ruang sempit. Ia melompat dengan **Windstep**, tubuhnya melayang ringan seolah ditarik angin, dan mendarat di dasar sumur dengan bunyi pelan. Sarah, Laila, dan Murphy mengikuti, tangga kayu berderit keras di bawah langkah terburu-buru mereka. Debu dan aroma tanah basah menyambut kedatangan mereka, tercampur dengan bau lendir yang semakin menyengat.Di ruang bawah tanah, suasana telah kacau. Lampu api emas di tengah ruangan menyala redup, asap hitamnya membu
Ruangan bawah tanah itu terasa hening setelah pertempuran yang brutal, hanya diisi oleh suara napas tersengal dan tetesan air yang jatuh dari dinding batu yang lembap. Lampu api emas di tengah ruangan masih menyala redup, asap hitamnya kini menipis, seolah kegelapan yang tadinya mengancam telah mundur untuk sementara.Bau busuk lendir ghoul masih membandel di udara, bercampur dengan aroma tanah dan keringat warga desa yang berkumpul dalam diam. Tubuh pria tua yang dirasuki ghoul tergeletak tak bernyawa di sudut, kulitnya pucat seperti lilin, meninggalkan luka emosional yang lebih dalam daripada pertarungan itu sendiri.Kael berdiri di tengah ruangan, tangannya masih gemetar karena kelelahan. Cahaya hijau kehitaman dari **Racun Tiga Mayat** perlahan memudar dari jemarinya, meninggalkan rasa dingin yang merayap di kulitnya. Ia melirik kelompoknya—Sarah yang duduk bersandar di dinding dengan mata setengah terpejam, Laila yang memeluk lututnya dengan wajah pucat, dan Murphy yang menyeka d
Matahari pagi terbit perlahan di atas cakrawala, menerangi jalan tanah berdebu yang membentang di depan Kael dan kelompoknya. Angin sepoi-sepoi membawa aroma rumput kering serta tanah lembap dari hutan purba yang kini semakin menjauh di belakang mereka.Langkah mereka terasa berat; kaki mereka masih lemas setelah malam penuh pertempuran di desa kecil. Namun, tekad untuk mencapai Akademi Baseus mendorong mereka terus maju. Nexus, kota besar tempat akademi itu berdiri megah, masih jauh—beberapa kota kecil harus mereka lewati terlebih dahulu, dan perjalanan itu terasa seperti ujian ketahanan yang tiada akhir.Kael berjalan di depan, tangannya menggenggam erat permata hitam kecil yang ditemukan oleh Sarah, matanya tajam memindai sekeliling. Di belakangnya, Sarah dan Laila berbagi selimut tipis yang diberikan oleh warga desa; wajah mereka pucat, namun penuh semangat. Murphy menutup barisan, pedangnya bergoyang di pinggang, napasnya sedikit tersengal, tetapi ia tetap bersiul pelan untuk men
Api unggun berkobar redup, nyalanya bergoyang liar saat raungan wyvern mengguncang udara malam. Makhluk itu berdiri di tepi sungai, sayapnya yang compang-camping bergetar penuh amarah, dan taringnya berkilau dalam cahaya bulan yang samar. Cakarnya mengoyak tanah berlumpur, meninggalkan bekas dalam yang berbau asam menyengat, sementara mata kuningnya menyala dengan nafsu membunuh yang liar. Pedagang berteriak panik, Toman mendorong keluarganya ke belakang gerbong, sementara Kael berdiri teguh di depan kelompoknya, energi hijau kehitaman **Racun Tiga Mayat** menyala di tangannya, berpendar dengan semburat ungu yang mengerikan. "Sarah, Laila, mundur!" bisik Kael tajam, matanya melirik ke arah lima sosok pemburu yang berdiri tenang di sisi unggun, mantel cokelat tua mereka bergoyang pelan di angin malam. "Awasi mereka—jangan ikut bertarung dengan wyvern. Aku dan Murphy akan menangani ini." Sarah mengangguk cepat, tangannya menggenggam erat lengan Laila. Matanya berpendar ungu samar sa
Pagi menyingsing dengan langit kelabu yang berat, awan tebal menggantung rendah di atas jalan tanah berdebu yang membentang di depan Kael dan kelompoknya. Udara terasa dingin dan lembap, membawa aroma samar rumput basah dan kayu bakar yang masih mengepul dari unggun semalam. Gerbong pedagang bergoyang pelan, roda kayunya berderit di atas batu kecil, sementara kuda-kuda mendengus lelet, seolah merasakan ketegangan yang menyelimuti kelompok itu. Pertarungan malam sebelumnya masih membekas—bau darah wyvern dan energi emas yang hangus terngiang di ingatan mereka, membuat setiap suara kecil dari semak di pinggir jalan terasa seperti ancaman. Kael duduk di tepi gerbong, tangannya memegang salah satu kristal sihir pengubah penampilan yang ia ambil dari Pemburu Crimson yang tewas. Cahaya biru samar dari kristal itu berkedip pelan di tangannya, hangat namun asing. Matanya yang tajam menatap benda itu dengan konsentrasi penuh, keningnya berkerut saat ia mencoba menyalurkan energi sihirnya ke
Paman Peter dan Sophia kembali dengan cepat, wajah mereka tampak serius di bawah naungan kabut malam. Begitu tiba di tempat persembunyian, Paman Peter segera membagikan informasi penting. Kelompok kelelawar raksasa terlihat semakin waspada, dan di antara mereka, seekor kelelawar raksasa yang berukuran mengerikan tampak menguasai wilayah sekitar pintu masuk tersembunyi. Ia mendengkur pelan, namun bahkan dalam tidurnya, auranya terasa mengancam. "Kalau kita cuma mengandalkan kabut untuk menyelinap, aku ragu kita bisa lolos," kata Paman Peter, suaranya rendah dan berat, seraya menatap Kael dan yang lainnya. "Kita harus membuat pengalih perhatian. Sesuatu yang cukup besar untuk memaksa mereka berpaling." Mereka berdiskusi di tengah gemuruh sunyi malam. Aroma makanan sederhana yang mereka siapkan perlahan memenuhi udara, menenangkan saraf yang tegang. Beberapa potong roti panggang, daging kering, dan sup hangat membantu mengisi kembali tenaga mereka. Makan malam ini terasa seperti jeda y
Di bawah cahaya redup bulan yang tertutup awan, sosok Molly dan Vale melesat di udara, membawa Sarah dan Laila di punggung mereka. Sementara itu, di daratan, platform luncur lendir buatan Sophia bergerak dengan kecepatan yang tidak kalah cepat, membelah semak dan melewati jalanan berbatu tanpa hambatan. Jika dilihat dari kejauhan, kelompok Kael tampak seperti pasukan kecil yang menunggangi seekor ular raksasa yang melesat mulus melintasi permukaan bumi. Murphy, Lyra, dan Paman Peter bergerak di posisi depan, matanya waspada terhadap setiap bayangan yang mencurigakan. Sementara itu, Kael menjaga posisi paling belakang, berdiri kokoh di platform lendir bersama Sophia yang terus mengendalikan arah dan kecepatan luncur mereka. Platform itu membentuk jalur khusus, membuka semak belukar dan menghaluskan permukaan tanah, seolah-olah memberikan karpet rahasia di tengah hutan belantara. Meskipun bahaya mengintai di setiap sudut, perasaan meluncur bebas di udara malam itu memberikan sensasi
Kael mengerutkan kening begitu mendengar derap langkah dan gerakan sihir samar dari kejauhan. Ia segera memanggil Paman Peter yang belum terlalu jauh darinya, memberi isyarat tangan untuk mendekat dan bersembunyi bersamanya di balik batu besar yang tersembunyi di antara semak berduri. "Sepertinya ada kelompok lain yang datang," bisik Kael, matanya tajam mengamati pergerakan di kejauhan. Mereka berdua menahan napas, memampatkan aura mereka serendah mungkin. Angin malam membawa aroma busuk khas sihir gelap, membuat Kael menyipitkan mata penuh waspada. Ia sempat berpikir, seharusnya kelompok Ordo Cahaya yang sebelumnya mereka lihat masih membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai area bukit kembar ini. Tetapi siapa sebenarnya yang datang? Dalam diam yang menegangkan, mereka mengintip dari celah batu besar itu. Saat siluet-siluet mendekat, Kael akhirnya dapat melihat dengan jelas — itu adalah kelompok dari Ordo Umbra! Jubah-jubah hitam, lambang kabut kelam di dada, dan monster modifi
Awan kelabu tipis menggantung rendah di atas langit. Di ketinggian, Kael duduk di atas punggung Molly yang terbang dengan sayap kecil namun kuat. Angin dingin menyapu wajahnya, membawa bau lembap khas hutan liar yang bersembunyi di bawah kabut tebal. Kael dan Paman Peter berdiskusi serius di udara, mengamati dua bukit kembar yang menjulang samar dalam kabut. Keduanya tampak hampir identik, membuat sulit menentukan mana yang merupakan jalan menuju area terlarang Akademi Vitrum. Paman Peter, dengan tatapan tajamnya, tampak memikirkan sesuatu. Lalu dia berbicara dengan nada dalam. "Makhluk beracun yang tinggal di sini seharusnya dianggap sebagai penjaga area terlarang. Jika kedua tempat mempunyai penjaga yang sama, kita hanya perlu memastikan mana penjagaannya yang lebih kuat. Tempat yang dijaga lebih ketat dan lebih agresif, pastilah tempat yang asli." Kael mengerutkan kening, kebingungan. "Bagaimana kita tahu makhluk mana yang lebih agresif? Apa kita harus menyerang mereka?" tanya
Molly mengepakkan sayap lebarnya, membawa Kael naik ke langit untuk pertama kalinya. Udara tipis dan hempasan angin kencang membuat tubuh Kael sedikit oleng di punggung monster kecil berbentuk tupai naga itu. Ia menggenggam erat bulu lebat Molly, mencoba menyesuaikan diri dengan ritme gerakan terbangnya. Molly sendiri tampak canggung. Sayap barunya yang besar dan kuat itu bergetar tak stabil, seolah masih berusaha mengimbangi berat tambahan di punggungnya. Mereka berputar-putar beberapa kali di langit, turun naik perlahan, sebelum akhirnya menemukan harmoni dalam gerakan. Seperti dua nada berbeda yang akhirnya menemukan melodi yang serasi. "Bagus, Molly," bisik Kael, menepuk lembut leher makhluk itu. Ia bisa merasakan bagaimana ketegangan dalam tubuh Molly perlahan mengendur, membentuk ikatan kepercayaan yang lebih dalam di antara mereka. Setelah yakin bahwa mereka mampu terbang stabil, Kael menunjuk ke langit yang lebih tinggi. "Ayo, kita naik," katanya. Molly mendesis pelan, lal
"Sophia, segera tebalkan kabutnya! Kita harus menyembunyikan keberadaan kita!" seru Kael cepat, matanya menyipit tajam menatap kerumunan laba-laba raksasa yang mulai memasuki gua. Semua anggota kelompok berkeringat dingin. Dari balik kabut tipis yang sudah mulai tersebar, mereka bisa mendengar suara ratapan memilukan dari dalam gua—suara manusia yang seolah menjadi santapan makhluk-makhluk itu. Aroma amis darah bercampur udara lembap membuat bulu kuduk meremang. Mereka belum sempat menarik napas lega, ketika suara langkah tergesa-gesa kelompok lain yang mendekat bergema dari arah lain. Sontak, mereka mempererat formasi, bersembunyi di balik pohon-pohon besar, menyatu dalam kabut sihir Sophia yang semakin padat. Ketegangan merayap di udara. Semua orang siap bertempur jika perlu. Namun, sesuatu yang tak mereka duga terjadi. Kelompok yang datang itu tiba-tiba berteriak kacau, suara raungan dan teriakan ketakutan memenuhi hutan malam. Dari balik kegelapan, ratusan ular berbisa melata,
Paman Peter kembali ke rumah persembunyian mereka dengan nafas memburu. Wajahnya yang biasanya santai kini mengeras penuh ketegangan. “Aku dapat kabar buruk,” katanya, begitu masuk. “Banyak kelompok lain yang bergerak ke area terlarang Akademi Vitrum. Lebih dari yang kita perkirakan.” Kael yang sedang membentangkan peta langsung menoleh. “Seberapa banyak?” “Sedikitnya sepuluh kelompok. Dan mereka bukan kelompok biasa,” jawab Paman Peter cepat. “Ada kelompok pemburu bayaran, kelompok murid senior, bahkan rumor tentang orang-orang yang bukan dari akademi.” Kata-katanya membuat ruangan menjadi berat. Murphy bersiul pelan. “Wah, ini lebih parah dari waktu di area terlarang Baseus. Setidaknya waktu itu kita tahu apa yang akan kita hadapi,” gumamnya. Paman Peter mengangguk. “Area ini tidak pernah dieksplorasi ratusan tahun. Tidak ada peta akurat sebelumnya. Kita baru saja beruntung mendapatkan salinan peta lama. Tapi tetap saja, apa yang menunggu di dalam... siapa yang tahu?” Semua o
Sambil menunggu waktu malam untuk beraksi, Kael memanggil Paman Peter ke sudut ruang, jauh dari pendengaran yang lain. Dengan suara rendah, ia meminta bantuan sang paman untuk bergerak lebih awal—mengamati situasi di sekitar Akademi Vitrum. Kekhawatiran menekan dada Kael. Ia butuh lebih dari sekadar kesiapan; ia butuh informasi. Terutama tentang kelompok-kelompok bayangan yang mungkin muncul saat Ordo Cahaya membuka pintu area terlarang yang selama ini tersembunyi dari dunia. Akademi Vitrum menyimpan lebih dari sekadar reruntuhan tua. Adanya keterlibatan penyihir kuno dalam sejarahnya telah menarik perhatian banyak pihak. Ordo Cahaya—seperti biasa—bergerak atas nama 'pencerahan', namun Kael tahu lebih baik. Di balik topeng suci mereka, tersembunyi ambisi rakus terhadap Batu Sihir, artefak kuno yang diyakini mampu mengubah nasib siapa pun yang memilikinya. Tak hanya Ordo Cahaya. Organisasi bayangan, para pemburu artefak, bahkan keluarga-keluarga bangsawan yang haus kekuasaan, semua
Suasana mencekam membebat udara di ruangan kecil itu. Hanya bunyi detak jarum jam tua dan napas yang tertahan memenuhi kesunyian. Setiap detik berlalu terasa seperti tarikan waktu yang tak berujung, menekan dada mereka dengan rasa waswas yang makin berat. Kael duduk bersandar di dinding, matanya tajam menatap pintu, seolah berusaha menembusnya dengan pandangan. Sarah merapatkan jubahnya, telapak tangannya mengepal di atas lutut. Laila menggenggam erat tangan Sophia yang duduk di sebelahnya, sementara Murphy berulang kali mengetuk lantai dengan ujung sepatunya tanpa sadar. Setengah jam berlalu, penuh ketegangan membeku. Akhirnya, langkah kaki berat mendekat dari kejauhan. Mereka semua menahan napas. Ketukan tiga kali di pintu—kode yang sudah mereka sepakati. Pintu dibuka perlahan, memperlihatkan sosok Paman Peter dengan wajah tegas. Matanya menyapu seluruh ruangan, memastikan tidak ada yang terluka atau panik. "Rumah itu aman," katanya, suaranya berat namun membawa kelegaan. "Tapi