Kabut mulai menipis ketika langit perlahan-lahan memucat, menandai datangnya fajar. Namun, suasana di dalam hutan purba tetap suram, seolah waktu dan ruang terperangkap dalam kegelapan yang sulit dihapus.
Kael memimpin rombongan dengan langkah hati-hati, matanya tajam mengawasi setiap gerakan di sekitar mereka, setiap goyangan ranting dan suara lembut dari dedaunan yang tersentuh angin. Meski Ordo Umbra sementara berhasil dikalahkan, ketegangan masih membungkus kelompok kecil itu, seperti jaring tak terlihat yang mengikat mereka dalam ketidakpastian. “Seharusnya kita sudah keluar dari jalur ini,” gumam Murphy, suaranya penuh kelelahan. Ia melihat sekeliling, mencoba mengenali sesuatu yang familiar di antara pepohonan besar dan akar-akar yang menjalar, seolah mencari bayang-bayang yang selalu hilang. “Tapi semua terlihat sama.” Kael berhenti sejenak di depan, membalikkan tubuhnya dengan langkah tenang. “Mereka tahu jalur ini,” katanya dengan nada serius, menekankan setiap kata. “Mereka memaksakan kita masuk lebih dalam ke wilayah yang tidak dikenal.” Sarah, yang berjalan di belakangnya dengan tangan tetap menggenggam Laila, menutup matanya sejenak untuk menggunakan Mata Sihirnya. Dalam ketenangan gelap yang mengelilinginya, ia bisa melihat sisa energi sihir yang mengambang di udara, seperti jejak kabur yang ditinggalkan para pengejar mereka, seolah setiap hembusan angin membawa pesan-pesan yang tak terucapkan. “Kael,” panggil Sarah pelan, membuka mata sihirnya kembali. “Mereka belum menyerah. Aku bisa melihat jejak energi mereka… tapi arahnya tidak jelas. Entah mereka benar-benar mengejar kita, atau ini jebakan.” Suara Sarah bergetar sedikit, mencerminkan kecemasan yang mengintai di balik perkataannya. Kael mengepalkan tangannya, merasakan ketegangan yang mencekam dalam hati. Jika mereka terus melanjutkan perjalanan tanpa arah yang pasti, mereka hanya akan menjadi sasaran empuk bagi musuh. Tetapi, berhenti juga bukan pilihan yang bijaksana. Laila menarik ujung jubah Sarah, menunjuk ke tanah dengan ekspresi penuh konsentrasi. Dengan bahasa isyarat yang cepat, dia menyampaikan, “Ada jejak kaki di sana.” Sarah langsung menerjemahkan dengan hati-hati. “Laila melihat sesuatu. Jejak kaki.” Kael mendekat, memperhatikan jejak samar di atas tanah lembap. “Ini bukan jejak kita,” katanya setelah mengamati. “Terlalu besar. Mereka menggunakan monster pelacak.” Suaranya penuh dengan kepastian, tetapi juga sebuah ancaman yang menggelayuti pikiran mereka. Murphy menghela napas berat, menggenggam pedangnya lebih erat, seolah-olah logam dingin itu dapat memberinya keberanian. “Tentu saja mereka tidak akan mempermudah kita.” Mereka berkumpul di sekitar jejak itu, mencoba memutuskan langkah selanjutnya, hati mereka berdebar kencang dengan setiap detik yang berlalu. “Kita tidak bisa kembali ke jalur utama,” kata Kael tegas, memandang ke arah hutan yang lebih gelap. “Tapi jika kita mengikuti jejak ini, itu bisa membawa kita lebih dekat pada musuh.” “Atau mungkin malah menjauhkan kita dari mereka,” timpal Murphy skeptis. “Jika kita beruntung, jejak ini mengarah ke tempat mereka bermarkas sementara. Kita bisa mencari tahu rencana mereka sebelum mereka menemukan kita.” Sarah mengerutkan kening, ragu dengan usulan itu. “Kael, kita membawa Laila. Apakah kita bisa mengambil risiko sebesar itu?” Suara Sarah dipenuhi oleh rasa khawatir yang mendalam, memikirkan ancaman yang bisa menanti mereka. Kael menatap kedua adiknya, wajahnya terbagi antara rasa perlindungan dan kewajiban. Dia tahu Sarah benar. Laila mungkin menunjukkan keberaniannya sebelumnya, tetapi dia tetap seorang anak kecil yang harus dijaga agar aman. Namun, sebelum Kael bisa menjawab, Laila yang penuh semangat menarik tangan Sarah dan membuat isyarat dengan kedua tangannya. “Aku tidak takut. Kita harus tahu apa yang mereka rencanakan. Kalau tidak, mereka akan terus mengejar.” Sarah menghela napas panjang setelah menerjemahkan, dan jantungnya bergetar mendengar keteguhan Laila. “Dia mengatakan hal yang benar.” Kael mengangguk perlahan, mengakui coretan keberanian dalam diri adik-adiknya. “Baiklah. Tapi jika kita menemukan sesuatu yang berbahaya, kita akan mundur. Aku tidak akan mempertaruhkan keselamatan kalian,” ujarnya dengan suara tegas, menegaskan komitmennya untuk menjaga mereka. Jejak itu membawa mereka ke daerah yang lebih terbuka di tengah hutan. Pepohonan yang sebelumnya rapat mulai berkurang, digantikan oleh hamparan batu besar dan semak-semak liar, menciptakan petak-petak yang seolah bertentangan dengan ketertiban alam. Udara terasa lebih kering, dengan aroma samar belerang yang menusuk hidung, memicu rasa waspada yang lebih dalam. Murphy berhenti mendadak, mengangkat tangannya sebagai isyarat untuk berhenti. “Tunggu. Kalian dengar itu?” Semua diam, mencoba menangkap setiap suara yang menderu, setiap bisikan hutan. Dari kejauhan, terdengar suara samar seperti dengungan rendah yang terus menerus, bukan suara binatang, melainkan sesuatu yang terasa tidak wajar, menandakan adanya kekuatan sesaat yang sedang berkumpul. Kael menyipitkan matanya, berusaha merasakan energi sihir di sekitarnya. “Itu… portal kecil,” katanya akhirnya, merasakan ketegangan yang bergetar di udara. “Mereka mencoba membuka jalur komunikasi.” Sarah menatap Kael, keinginan untuk bertindak menggila di dalam dirinya. “Kita harus menghentikan mereka.” “Tunggu. Kita harus melihat apa yang mereka lakukan dulu,” kata Kael tegas, dengan ketenangan yang dipelajari. “Jika kita menyerang tanpa rencana, kita hanya akan mengekspos diri kita.” Dengan langkah pelan, mereka bergerak lebih dekat ke arah suara itu. Kael memimpin dengan hati-hati, menggunakan teknik Windstep untuk memastikan langkahnya tidak menghasilkan suara, menciptakan kesenyapan yang telah lama tidak mereka rasakan. Sarah dan Laila bergerak di belakangnya, sementara Murphy menjaga sisi belakang kelompok, mengawasi setiap gerakan di sekeliling mereka. Ketika mereka sampai di puncak bukit kecil, Kael memberi isyarat agar semua berhenti. Dia berlutut dan mengintip dari balik semak-semak. Di bawah mereka, sebuah area terbuka terlihat jelas, diterangi oleh cahaya biru pucat yang berdenyut dari lingkaran sihir besar yang diukir di tanah. Gambaran itu menancapkan rasa kekhawatiran yang mendalam di hati mereka. Sekelompok penyihir berjubah hitam berdiri di sekitar lingkaran itu, melafalkan mantra dengan suara rendah, seperti nyanyian gelap yang memanggil kegelapan. Di tengah lingkaran, ada sebuah objek berbentuk bola kaca kecil yang memancarkan cahaya aneh, menggeliat dengan energi yang meresahkan. “ Itu bola komunikasi,” bisik Kael keras dan jelas, merasakan bahaya yang mengintai. “Mereka menggunakan itu untuk melaporkan ke markas utama mereka.” Murphy menatap objek itu dengan rahang terkatup, niat untuk menghancurkan semakin kuat dalam benaknya. “Kita harus menghancurkannya sebelum mereka selesai.” “Tunggu,” kata Sarah tiba-tiba, matanya yang buta memancarkan warna ungu intens menatap lingkaran itu, seolah-olah memandang ke dimensi yang berbeda. “Mereka tidak hanya melaporkan sesuatu. Mereka juga memanggil sesuatu.” Kael menahan napas, jantungnya berdegup kencang. “Apa maksudmu?” Sarah menggigit bibirnya, ragu sejenak, seolah menarik kembali kata-katanya. “Aku bisa melihat… makhluk besar. Mereka mencoba membawa sesuatu ke sini. Tapi… aku tidak tahu apa itu.” Kael mengepalkan tangannya, merasakan waktu melawan mereka. Jika Ordo Umbra berhasil membuka portal itu sepenuhnya, apa pun yang mereka panggil bisa menjadi ancaman besar, sebuah malapetaka yang sampai saat ini hanya bisa mereka bayangkan. Kael berdiri perlahan, matanya memancarkan tekad yang membara. “Kita tidak bisa membiarkan mereka menyelesaikan ritual itu. Murphy, kau bersiap untuk menyerang mereka dari kanan. Sarah, Laila, tetap di sini. Jangan bergerak sampai aku memberi isyarat.” “Tidak,” kata Sarah, suaranya penuh kepastian yang menggetarkan. “Aku bisa membantu dengan Mata Sihir. Jika mereka mencoba menyerang dari tempat lain, aku akan memperingatkanmu.” Kael merasa perdebatan membara dalam dirinya, ingin membantah, tetapi dia tahu Sarah benar. Dia mengangguk dengan ragu. “Baik. Tapi jangan terlalu jauh dari Laila.” Murphy mengangkat pedangnya, cahaya sihir emas menyelimuti bilahnya, menciptakan aura keberanian yang tak terlukiskan. “Kalau begitu, ayo kita tunjukkan pada mereka bahwa mereka memilih target yang salah.” Kael mempersiapkan Racun Melemahkan di tangannya, momen ini menjadi jembatan antara ketakutan dan keberanian. Dengan satu gerakan, mereka meluncur ke bawah bukit, menuju pertempuran pertama mereka yang terencana melawan Ordo Umbra, dengan tekad dan harapan bersatu untuk mengatasi kegelapan yang membayangi.Mereka mulai bersiap-siap untuk keluar dan melanjutkan rencana mereka. Paman Peter telah pergi lebih dulu, menyelinap ke ruang penyimpanan untuk membuka jalan, agar dapat bergabung dengan kelompok mereka nanti. Meski semua anggota kelompok sudah kuat, kekhawatiran tetap menyelimuti paman Peter. Ia benar-benar cemas dengan kepergian mereka menuju sarang laba-laba itu, terutama karena mereka belum sepenuhnya mengetahui kekuatan induk laba-laba yang legendaris itu. “Baiklah, paman sudah pergi. Sekarang giliran kita untuk bergerak. Ingat, setiap sepuluh menit kita harus mencari tempat untuk bersembunyi, sebelum kemampuan ilusi Sarah menghilang,” ucap Kael dengan ekspresi serius, tatapannya penuh waspada. Semua orang mengangguk mantap, sudah paham betul batas waktu kemampuan ilusi Sarah yang hanya bertahan sepuluh menit sekali aktif, sebelum perlu waktu untuk mengaktifkannya kembali. Kabut tipis yang diciptakan oleh Sophia terus menyelimuti mereka, merayap lembut seperti selimut ha
Suasana di kelompok persembunyian Kael terasa begitu sunyi dan sepi. Celah-celah batu yang menjadi tempat mereka berlindung membungkus mereka dengan keheningan yang hampir sakral. Hanya terdengar sesekali dengkuran berat Murphy yang bersandar santai pada batu besar, seolah memberi tanda bahwa meski senyap, mereka semua masih ada di sana, hidup dan waspada dalam diam. Kabut tipis perlahan-lahan mulai menyelimuti area bebatuan di sekitar mereka, membentuk lapisan putih samar yang tampak agak aneh bila diperhatikan dengan seksama. Namun, monster-monster yang lalu lalang keluar masuk melalui lorong-lorong sempit di sekitar persembunyian mereka tidak tampak menyadari perubahan kecil itu. Seolah-olah mereka tidak menghiraukan apapun yang terjadi, percaya bahwa tidak ada yang berani mengacaukan wilayah mereka. “Dia benar-benar mampu tidur di saat seperti ini,” gumam Kael pelan, nada suaranya membawa sedikit kekhawatiran. Paman Peter sudah satu jam belum kembali, dan itu mulai mengganggu
Setelah mengetahui situasinya, paman Peter segera bergegas menuju tempat yang telah ia sepakati bersama paman Barrett sebagai titik pertemuan untuk saling bertukar informasi yang mereka dapatkan dari dua lokasi berbeda. Langkahnya cepat namun penuh kehati-hatian, setiap detik seolah menekan beban pikiran yang tak kunjung reda. Sesampainya di lokasi, paman Peter mendapati bahwa paman Barrett dan Maya belum tiba. Ia pun terpaksa menunggu di sana, pikirannya terus dibayangi pandangan dari ruangan luas yang baru saja ia kunjungi. "Apakah kita benar-benar harus menghadapi monster tersebut?" gumam paman Peter, suaranya serak dan penuh kekhawatiran. "Pertanyaan bodoh memang, tapi monster itu… monster itu adalah bencana yang bergerak." Tiba-tiba, bayangan bergerak, perlahan membentuk sosok paman Barrett dan Maya yang muncul keluar dari kegelapan. Mereka menyapa paman Peter yang masih termenung dengan raut wajah kusut. Paman Peter menunjukkan ekspresi rumit, lalu mengangguk pelan. "Bagaim
Suasana di kota monster itu begitu asing dan mencekam bagi siapa saja yang pertama kali mengalaminya. Dari kejauhan, terdengar deru suara berbagai makhluk yang berbaur jadi satu — suara berat troll yang menggeram, bisikan reptil kadal dengan sisik berkilau, hingga jeritan nyaring goblin abu-abu yang seringkali melengking seolah penuh ketakutan atau kemarahan. Suara goblin yang menjerit kesakitan karena tamparan troll terdengar bergema di antara bangunan-bangunan rapuh, diiringi oleh raungan mereka yang seakan-akan berdebat sengit. Namun, setiap kali monster laba-laba besar merayap melintasi lorong, suara itu tiba-tiba terhenti. Suasana mendadak sunyi, seolah ketakutan akan makhluk berkaki delapan itu mengekang segala kegaduhan. Di balik bayang-bayang lorong bangunan yang remang, Paman Peter bersembunyi dengan tenang, matanya menatap dua sosok yang muncul dari kegelapan. Sosok Paman Barrett terlihat kabur, hampir seperti bayangan yang berdenyut pelan, sedangkan Maya tampak muncul d
Setelah mengalami hal yang tidak terduga sebelumnya, kelompok Kael kembali melanjutkan perjalanan mereka menuju ke bagian paling bawah — lokasi utama perut gunung yang menjadi tujuan. Suasana lorong yang mereka lalui tetap terasa sunyi, hanya suara langkah kaki mereka yang bergema pelan di dinding batu yang dingin dan kasar. Lorong yang berliku itu membuat mereka sadar bahwa mereka sudah berkali-kali berputar-putar mengikuti jalur yang hampir sama. Jika dibandingkan dengan sebuah bangunan bertingkat, mereka mungkin sudah turun lebih dari dua puluh lantai, dan perjalanan masih jauh sebelum mencapai kedalaman terdalam yang mereka cari. “Sepertinya ini saatnya kita istirahat, ya? Sepanjang lorong ini, monster yang kami temui hampir tidak ada...” gumam Murphy, nada suaranya sedikit bosan, mencoba mengusir kejenuhan perjalanan yang monoton. Kael, yang tetap waspada meskipun lorong terlihat tenang, mengangguk. “Ada begitu banyak lorong bercabang, seperti akar pohon yang menjalar. Jalu
Suhu di perut gunung itu terasa lembab, dengan hangat yang tidak menentu, membuat udara terasa pengap dan menyulitkan napas selama perjalanan mereka. Dinding-dinding lorong yang berliku tampak basah dan berlumut, memantulkan cahaya redup dari obor yang mereka bawa. Aroma tanah basah dan batu yang pekat menyelimuti setiap langkah, semakin menegaskan betapa dalamnya mereka menyusuri rahasia perut gunung. Lorong-lorong itu begitu banyak dan berkelok seperti akar pohon raksasa, diciptakan oleh monster-monster penghuni perut gunung yang tersembunyi di balik gelap. Bagi siapa pun yang tak terbiasa, perjalanan di labirin ini sangat mudah membuat kehilangan arah dan tersesat dalam kegelapan yang membingungkan. Bahkan Sarah, yang memiliki mata sihir mampu menembus ilusi dan kegelapan, beberapa kali hampir tersesat saat memimpin mereka mencari jalur yang benar. Ketelitian dan konsentrasinya diuji habis, menelusuri setiap celah dan belokan demi memastikan jalan menuju kedalaman perut gunung ya