Di tempat lain, Ria baru saja selesai jadwal kuliah. Abid serta Nisa mengajak Ria untuk berjalan-jalan dulu setelah mereka selesai makan siang. Tiba-tiba ponsel Ria berdering. Terlihat nama ‘ Si Pak Bos’ pada layar androidnya. Gadis yang saat itu mengenakan baju tunik bermotif pokladot itu menghela napas berat.
“Ya, halo. Ada apa Pak?” Ria membuka percakapan.
“Segera ke kantor saya, sekarang!” titah suara bariton Afran di sambungan.
‘Siap!” jawab Ria singkat. Bibirnya yang tebal berukuran kecil itu pun maju beberapa senti.
“Heh, napa?” tanya Abid. “Jadi nggak yok buruan.” Abid menarik tangan Ria yang tertinggal dari berjalan beriringan dengan Nisa.
“Maaf ya, aku—“
“Tu kan, pasti nggak jadi.” sewot Nisa. Gadis bertubuh gempal itu merasa Ria sudah memiliki kesibukan sendiri. Mereka sudah sangat lama tidak pergi hunting bersama-sam
Pagi Minggu yang cerah. Selesai Salat Subuh Ria menghubungi bibinya serta menjelaskan hal yang terjadi. Bahkan panggilan melalui video call itu pun Ria manfaatkan untuk menunjukan barang-barang baru miliknya. Semula wajah Bi Tinah terlihat datar dan tak suka. Ia meragukan kemampuan keponakannya itu. Selain itu ia khawatir dengan waktu kuliah Ria yang nantinya akan terbagi. Berulang kali Ia menyesalkan atas keputusan Ria yang tanpa meminta pendapatnya terlebih dahulu. Untunglah Bibi Laila membantu Ria, agar Bi Tinah bisa menerima apa yang telah Ria pilih. Berapa kali juga Bi Laila berdecak kagum dengan barang-barang yang telah gadis itu dapatkan untuk menunjang penampilan bekerjanya mendatang.Selanjutnya gadis itu mendapat nasihat yang panjang tentang harusnya ia memiliki kewaspadaan dalam segala hal. Dunia kejam itu ada, kenyataan memang terkadang jauh dari harapan. Kepalsuan akan selalu ada mengiringi kehidupan. Menurut kedua bibinya Ria gadis yang masih lugu dan belu
“Rata semua,” Pria bercambang halus itu bergumam. Ketika melihat penampilan Ria dengan busana kerja yang formal. Meski diakuinya wajah gadis di depannya ini sangat menawan, apalagi dengan polesan tipis natural.“Apa, Bapak bilang,” sungut Ria karena samar ia mendengar atasannya itu bersuara.“Tak ada! Segera kita pergi!” ajaknya.Mereka menggunakan mobil Afran yang dikemudikan oleh supir. Ria duduk di belakang di samping Afran hanya diam. Tak ada yang membuka percakapan. Arah mobil menuju keluar dari kota Pekanbaru. Gadis berkulit putih itu hanya memandang ke kaca mobil. Melihat dan menikmati pemandangan sepanjang jalan.Afran yang duduk dengan menyilangkan kakinya, asyik dengan tablet di tangannya. Sepertinya dia pun tak menganggap Ria ada. Gadis itu menghela napas berat, matanya mendadak diserang kantuk. Ia pun terpejam, dinginnya AC mobil membuatnya makin lelap. Tanpa sadar tubuh dan kepala gadis berhijab warna hitam
“Kau tahu La, aku ni tak enak hati!” Bi Tinah menghentikan kunyahannya, makannya tak begitu berselera setelah mendengar pengaduan Ria semalam.“Kakak terlalu berlebihan, santai kak. Yakinlah Ria pandai jaga diri itu,” Bi Laila mencoba menghibur.“Aku rasa ingin menyusul ke pekanbaru, menjenguknya atau—““Hah, coba telpon dulu.”Bi Tinah meninggalkan meja makan berangsur ke kamar, beberapa detik kemudian keluar dengan membawa ponselnya. Melalui aplikasi berlogo telepon hijau Ia melakukan panggilan video tetapi tak tersambung. Wajah perempuan bermata bulat itu menjadi lebih murung. Gelisah serta khawatir segera menghingapi hatinya.“Mungkin lagi di cas lo,” Bi Laila mengambil ponsel itu. Mengeser layar serta mengulangi panggilan. Hasilnya tetap sama, handphonenya tak aktif.Di saat kedua wanita dewasa itu hanyut dalam pikirannya. Tiba-tiba panggilan masuk terdengar di ponsel Bi
Mendadak hawa panas terasa, meski angin justru berembus dengan kencang. Afran yang tidak tahu apa-apa, hanya bisa terkejut. Afran melihat tiba-tiba ikatan pada tubuh mereka tiba-tiba putus dengan sendirinya. Ria segera berdiri, menarik tangan Afran agar mengikutinya. Terdengar knop pintu yang terkunci itu bergerak sendiri, pintu pun terbentang mempersilahkan mereka keluar. Mereka dihadang dua pengawal yang semalam telah berkelahi dengan Ria. Perkelahian pun terjadi, Afran pun beraksi menunjukan kebolehannya. Kekuatan dari alam gaib pun masih berlangsung, sampai kedua pengawal itu terhuyung tanpa sebab. Afran dan Ria terus berlari mencari jalan keluar. Ternyata di pintu gerbang segerombolan pengawal telah menghadang mereka. Adu kekuatan dengan jumlah berbeda itu pun tak terelakkan lagi. Mereka menghadapi pasukan khusus terlatih yang jumlahnya sangat ramai, membuat mereka kewalahan. Untung saja bantuan dari jin penghuni pulau itu ikut serta memberi keku
Kaki–kaki Afran dan Ria berusaha melangkah dengan pelan. Agar tak menimbulkan gemerisik pada rerumputan semak belukar. Mereka memiliki pemikiran yang sama seharusnya menuju garis pantai tujuan akhir. Agar bisa meninggalkan dengan makin memasuki hutan semak ini. Akhirnya bagaimana pun caranya kedua pengawal yang tersisa harus bisa mereka lumpuhkan. Terdengar letusan nyaring, suara tembakan. Tubuh Ria terkesiap. Letusan itu berasal dari salah satu pengawal Om Bram yang menembak ke arah atas. Mereka berdua mengarahkan pistol tersebut ke arah Afran dan Ria. “Hand’up” Mereka semakin mendekat. “Jangan melakukan gerakan, serahkan pistol, ikut kami!” bentaknya lagi. Afran hanya tersenyum tipis, bagaimana pun dia merasa pada masih diuntungkan. Kedua pengawal ini pasti tak akan berani membunuhnya karena belum dapat intruksi dari Om Bram. “Biar lebih jantan ayo kita duel tangan kosong, bukankah memalukan seorang pria memaksa dengan pistol,” ejek Af
“Harap menyerah, sebelum kami memborbardir kalian dengan bom!” Bagas berteriak menggunakan pengeras suara. Ketika jarak mereka hanya tinggal sekitar lima meter mendekati Speed Boat yang di dalamnya terdapat Afran dan Ria. Afran yang besembunyi di balik kemudi, memandang ke arah Ria. Seakan meminta pendapat gadis yang jilbabnya sudah tak beraturan itu Keponakan Bi Tinah itu hanya menaikan kedua bahunya. Pikiran menganalisa sedang berkecamuk di otak pria berhidung mancung itu, jika pun mereka memilih menceburkan diri ke air, jika serangan bom itu benar adanya. Mereka belum tahu kedalaman air laut di daerah tersebut. Ia pun belum sempat menanyakan pad aria apakah gadis itu memiliki kemampuan berenang dan menyelam. Pilihan sulit, maka tanpa menjelaskan pada Ria ia menarik pergelangan tangan Ria untuk di naikkan ke atas kepala masing-masing. Tak lama berselang Afran dan Ria berdiri pada ujung Speed Boat dengan mengangkat kedua tangan mereka ke atas. Bagas sangat terkejut
Ria melangkah dengan jalan yang seperti setengah berlari. Mengiringi langkah Afran dan Bagas yang melangkah lebar. Gadis itu sedikit kewalahan mengimbangi langkah kedua pria tinggi itu yang cepat. Mereka memasuki gedung di belakang perusahaan. Gedung berlantai tiga berbentuk kubah menghadap jalan besar. Berdiri dengan kokoh dilindungi pagar tinggi dengan langit biru yang membingkai atasnya. Pelatarannya luas dengan pohon rindang tertanam sepanjang pagar. Terdapat tulisan’Security’ di puncak banguannya. Pintu langsung dijaga ketat. “Selamat pagi, Pak. Sebelah sini,” sapa seorang pria berbadan tegap mengarahkan mereka ke lift. Dengan sigapnya Bagas melakukan scan ID di sensor yang disediakan di atas tombol lift. Setelah konfirmasi diterima ia memencet lantai basement. Ada dua lantai di bawah. Lantai basement A untuk operasional, sedangkan yang satunya merupakan tempat rahasia peralatan mereka. Sedangkan dua lantai di atas adalah kantor divisi keamanan yan
Di ruangan bercat putih bersih, pada brankar tubuh Om Bram di pasangi berbagai alat. Keluarga belum diperbolehkan untuk menjenguk. Kondisinya kritis, dan telah lama tak sadarkan diri. Luka di kepalanya mengakibatkan memar pada bagian dalam. Pembekuan darah terjadi, membuat tubuh itu lumpuh. Di tambah usianya yang telah tak muda lagi. Para tim dokter dan beberapa perawat keluar dari ruangan. Disambut oleh sang istri dengan kecemasan. “Bagaimana keadaan suami saya, Dok?” Wanita yang masih terlihat awet muda itu bertanya dengan terburu-buru. “Kita bahas ke ruangan saya ya, Bu.” Ruangan dokter yang nyaman dengan pendingin itu tidak membuat Mita---istri Om Bram merasa nyaman. Khawatir dan ketakutan tentu saja mengelayuti dirinya. “Dengan sangat menyesal. Kemungkinan hanya tinggal sedikit. Saya menyarankan Bapak Bram bisa di bawa ke Singapura atau Amerika saja. Karena di sana ada yang ahli khusus menanggani cedera otak komplikasi penyakit neurodegeratif,” j