Share

Tilasmat
Tilasmat
Author: Anonymous Girl

Aku Tahu Kamu Bisa Melihatku

“Ulah sok api-api! Apal kuring ge maneh bisa nempo kami!” Mati-matian aku menahan ketakutanku sendiri saat sesosok berambut panjang dengan wajah yang begitu menyeramkan itu tiba-tiba saja muncul di hadapanku.

(Jangan pura-pura! Aku tahu kamu bisa melihat kami!)

Sudah hampir delapan jam aku dan Pak Ahmad berkendara dari Jakarta menuju Garut Selatan untuk mengunjungi pesantren milik kakekku, tetapi tak kunjung ditemukan. 

“Gimana nih, Neng? Udah mau magrib juga, tapi kita masih belum menemukan perkampungan sejak tadi,” ujar Pak Ahmad, sopir pribadiku.

“Sebentar Pak, Sri cek dulu di map.” Aku kembali membuka aplikasi penunjuk arah dari ponsel pintar milikku. Namun sayang, tidak ada jaringan sama sekali di sana dan baterai ponselku pun tinggal beberapa persen lagi.

Brak.

Atap mobil kami seperti kejatuhan sesuatu hingga bunyi benturannya terdengar sangat nyaring. Pak Ahmad menepi dan mengecek apa gerangan yang menimpa mobil kami barusan.

“Ada apa, Pak?” tanyaku sambil turun dari bangku belakang menghampiri pria seusia ayah itu.

“Gak tahu, Neng. Mungkin ranting pohon kali,” sahut Pak Ahmad.

Kami pun beristirahat sebentar di tengah hutan belantara itu. Kabut mulai datang menyelimuti pepohonan tinggi di sisi-sisi jalan yang kami lewati.

“Pak, cari sumber air dulu buat wudhu. Setelah itu baru kita lanjutkan perjalanan,” tegurku pada Pak Ahmad yang tengah menyandarkan kepalanya di kursi kemudi dengan memejamkan mata.

“Iya, Neng.” Kami pun turun dari mobil dan mencari sumber air untuk bersuci sebelum melaksanakan salat. Setelah berjalan selama sepuluh menit ke arah bukit, kami pun menemukan sebuah sumber air yang mengalir cukup deras dari atas bukit.

Aku dan Pak Ahmad menggelar sejadah di tepi jalan untuk melaksanakan salat magrib dengan beliau sebagai imamnya. Setelah selesai, kami bersiap untuk melanjutkan perjalanan menuju kampung yang terletak di Kecamatan Pameungpeuk.

“Kenapa, Pak?” tanyaku saat melihat Pak Ahmad beberapa kali mengusap tengkuknya.

“Gak tahu nih, Neng. Pundak Bapak rasanya berat, terus mual juga,” jawabnya.

“Masih kuat nyetir, gak?”

Belum sempat menjawab, dia menepikan mobil dan buru-buru keluar untuk memuntahkan isi perutnya. Astagfirullah! Mataku menangkap sosok berbaju putih bertengger di pundak Pak Ahmad. Wajahnya begitu mengerikan penuh belatung, dengan bola mata yang memerah, memancarkan amarah.

Kususul Pak Ahmad karena takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Benar saja, tubuhnya sudah menggigil. Mungkin efek ketempelan.

“Pakai ini, Pak.” Kuambil minyak kayu putih yang sudah dicampur dengan sari dari daun bidara dan memberikannya pada Pak Ahmad.

"Bagaimana, Pak? Sudah baikkan?" Tanyaku memastikan.

"Alhamdulillah, Neng," jawab Pak Ahmad. Sosok tadi telah menghilang entah ke mana.

Langkahku yang hendak kembali ke dalam mobil pun terhenti setelah sosok putih yang pertama muncul di hadapan kembali menghadang. Dia terus saja bertanya apa aku bisa melihatnya atau tidak. Benar-benar setan yang keras kepala.

“Neng, ayo masuk,” panggil pak Ahmad yang sudah kembali duduk di kursi kemudi.

“Iya, Pak, sebentar.” Aku kembali mengabaikan makhluk itu dan masuk ke  mobil.

Dari kaca spion, sosok itu mengikuti kami dengan melayang di atas mobil. Sepanjang perjalanan, banyak sosok lain yang dapat kulihat dengan indra keenamku ini.

“Tunggu sebentar ya, Neng. Bapak mau tanya dulu sama akang-akang itu.” Pak Ahmad menghentikan mobil dan keluar untuk menanyakan arah tujuan kami pada bapak-bapak yang sedang duduk di warung di sisi jalan.

Aku bergidik ngeri saat melihat ke arah warung di depanku. Banyak sekali makhluk halus dengan tampilan yang begitu menjijikkan. Apa mungkin itu sebuah penglaris, ya?.

“Alhamdulillah sudah dekat katanya, Neng.” Pak Ahmad tampak senang dan kembali melajukan mobil.

Ah, aku lupa memberitahu tujuanku datang ke kampung kakek. Lima bulan yang lalu, tepatnya saat aku baru lulus dari sekolah menengah atas di Jakarta. Usaha properti milik orang tuaku mengalami peningkatan hingga menimbulkan rasa iri pada pesaing ayah.

Awalnya aku tidak percaya dengan hal-hal yang berbau mistis, hingga suatu hari seseorang yang merasa iri dengan keberhasilan ayah mulai berbuat yang aneh-aneh. Ibuku tiba-tiba sakit dan tidak bisa bangun selama beberapa bulan. Semua pengobatan sudah kami tempuh, tetapi hasilnya nihil.

Akhirnya ayahku memanggil seorang ustaz. Rumah kami diruqyah dan ustaz itu menemukan bungkusan tanah kuburan berbalut kain kafan yang tertanam didekat rumah. Katanya itulah sebab Ibu tiba-tiba sakit. Ustaz itu juga bilang kalau awalnya ilmu hitam itu ditujukan untuk ayahku, tetapi karena ayah cukup kuat maka jadilah Ibu yang menjadi sasaran ilmu hitam itu.

Tak hanya sampai di situ. Orang-orang itu mulai menargetkan aku sebagai putri tunggal ayah dan beberapa kali mengirimkan ilmu hitam. Beberapa kali aku mengalami mimpi buruk. Namun beruntung karena kata ayah, aku dilindungi oleh kakek dari jauh hingga sihir itu tak mempan padaku.

Merasa khawatir, ayah pun menyuruhku  pindah untuk sementara waktu ke rumah kakek yang ada di Garut. Saat ini, itulah satu-satunya tempat yang aman untukku.

Tepat saat azan isya berkumandang, kami tiba di Kecamatan Pameungpeuk. Kami turun di rest area masjid untuk menunaikan salat terlebih dahulu. Setelah itu, aku memberanikan diri menghampiri seorang pria untuk bertanya rumah abahku.

“Maaf, kang, mau tanya. Rumah ustaz Ilham masih jauh gak, ya?” tanyaku.

“Oh, ustaz Ilham pemilik Pondok Pesantren Miftahul Ullum ya, Neng?”

“Iya, Kang.”

“Lurus aja sekitar lima puluh meter dari sini, terus belok kiri. Rumahnya di belakang Masjid yang menaranya berwarna hijau paling besar!” seru akang itu memberiku petunjuk menuju rumah abah.

“Hatur nuhun, Kang.” Aku pun undur diri dan kembali melanjutkan perjalanan.

(terimakasih, Kang)

Alhamdulillah kami pun sampai di depan masjid dengan kubah berwarna hijau paling besar. Aku segera keluar dan mengambil barang-barangku membantu Pak Ahmad.

Beberapa santri menatap ke arahku yang berjalan menuju halaman rumah kakekku. Aku hanya mengangguk dan sedikit tersenyum ke arah mereka. Mereka pun membalas senyumanku dengan tak kalah ramahnya.

“Bade 'ka saha, Teh?” sapa seorang gadis seusiaku dengan senyum ramahnya.

(mau bertemu siapa, Teh?)

“Bah Ilham-nya ada, Teh?” sahutku kembali bertanya.

“Abah mah nuju ngawulang di kelas, Teh. Upami Euceu mah Insyaa Allah aya,” jawabnya.

(Kalau Abah sedang mengajar di kelas, Teh. Tapi kalau Euceu Insyaa Allah ada)

Euceu itu panggilan para santri untuk istri pemilik pondok tempat mereka menimba ilmu agama.

“Terima kasih, Teh,” ujarku setelah kami sampai di teras rumah nenek.

“Sami-sami, Teh.” Dia pun pamit setelah mengantarku.

“Masyaa Allah, Sri. Naha nembe dugi, Geulis?” Seorang wanita paruh baya keluar dari dalam dengan wajah khawatirnya memelukku.

(Kenapa baru sampai)

“Assalamu’alaikum, Nek.” Kuraih tangan rentanya dan kucium dengan takzim.

“Waalaikumsalam, Neng geulis.” Wanita yang biasa kupanggil Mamah itu pun mengelus kepalaku, lembut.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
ArgaNov
Pengen ngevote, tapi nggak bisa...... maaf, ya, Kak, isi gem dulu aku
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status