“Ulah sok api-api! Apal kuring ge maneh bisa nempo kami!” Mati-matian aku menahan ketakutanku sendiri saat sesosok berambut panjang dengan wajah yang begitu menyeramkan itu tiba-tiba saja muncul di hadapanku.
(Jangan pura-pura! Aku tahu kamu bisa melihat kami!)
Sudah hampir delapan jam aku dan Pak Ahmad berkendara dari Jakarta menuju Garut Selatan untuk mengunjungi pesantren milik kakekku, tetapi tak kunjung ditemukan.
“Gimana nih, Neng? Udah mau magrib juga, tapi kita masih belum menemukan perkampungan sejak tadi,” ujar Pak Ahmad, sopir pribadiku.
“Sebentar Pak, Sri cek dulu di map.” Aku kembali membuka aplikasi penunjuk arah dari ponsel pintar milikku. Namun sayang, tidak ada jaringan sama sekali di sana dan baterai ponselku pun tinggal beberapa persen lagi.
Brak.
Atap mobil kami seperti kejatuhan sesuatu hingga bunyi benturannya terdengar sangat nyaring. Pak Ahmad menepi dan mengecek apa gerangan yang menimpa mobil kami barusan.
“Ada apa, Pak?” tanyaku sambil turun dari bangku belakang menghampiri pria seusia ayah itu.
“Gak tahu, Neng. Mungkin ranting pohon kali,” sahut Pak Ahmad.
Kami pun beristirahat sebentar di tengah hutan belantara itu. Kabut mulai datang menyelimuti pepohonan tinggi di sisi-sisi jalan yang kami lewati.
“Pak, cari sumber air dulu buat wudhu. Setelah itu baru kita lanjutkan perjalanan,” tegurku pada Pak Ahmad yang tengah menyandarkan kepalanya di kursi kemudi dengan memejamkan mata.
“Iya, Neng.” Kami pun turun dari mobil dan mencari sumber air untuk bersuci sebelum melaksanakan salat. Setelah berjalan selama sepuluh menit ke arah bukit, kami pun menemukan sebuah sumber air yang mengalir cukup deras dari atas bukit.
Aku dan Pak Ahmad menggelar sejadah di tepi jalan untuk melaksanakan salat magrib dengan beliau sebagai imamnya. Setelah selesai, kami bersiap untuk melanjutkan perjalanan menuju kampung yang terletak di Kecamatan Pameungpeuk.
“Kenapa, Pak?” tanyaku saat melihat Pak Ahmad beberapa kali mengusap tengkuknya.
“Gak tahu nih, Neng. Pundak Bapak rasanya berat, terus mual juga,” jawabnya.
“Masih kuat nyetir, gak?”
Belum sempat menjawab, dia menepikan mobil dan buru-buru keluar untuk memuntahkan isi perutnya. Astagfirullah! Mataku menangkap sosok berbaju putih bertengger di pundak Pak Ahmad. Wajahnya begitu mengerikan penuh belatung, dengan bola mata yang memerah, memancarkan amarah.
Kususul Pak Ahmad karena takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Benar saja, tubuhnya sudah menggigil. Mungkin efek ketempelan.
“Pakai ini, Pak.” Kuambil minyak kayu putih yang sudah dicampur dengan sari dari daun bidara dan memberikannya pada Pak Ahmad.
"Bagaimana, Pak? Sudah baikkan?" Tanyaku memastikan.
"Alhamdulillah, Neng," jawab Pak Ahmad. Sosok tadi telah menghilang entah ke mana.
Langkahku yang hendak kembali ke dalam mobil pun terhenti setelah sosok putih yang pertama muncul di hadapan kembali menghadang. Dia terus saja bertanya apa aku bisa melihatnya atau tidak. Benar-benar setan yang keras kepala.
“Neng, ayo masuk,” panggil pak Ahmad yang sudah kembali duduk di kursi kemudi.
“Iya, Pak, sebentar.” Aku kembali mengabaikan makhluk itu dan masuk ke mobil.
Dari kaca spion, sosok itu mengikuti kami dengan melayang di atas mobil. Sepanjang perjalanan, banyak sosok lain yang dapat kulihat dengan indra keenamku ini.
“Tunggu sebentar ya, Neng. Bapak mau tanya dulu sama akang-akang itu.” Pak Ahmad menghentikan mobil dan keluar untuk menanyakan arah tujuan kami pada bapak-bapak yang sedang duduk di warung di sisi jalan.
Aku bergidik ngeri saat melihat ke arah warung di depanku. Banyak sekali makhluk halus dengan tampilan yang begitu menjijikkan. Apa mungkin itu sebuah penglaris, ya?.
“Alhamdulillah sudah dekat katanya, Neng.” Pak Ahmad tampak senang dan kembali melajukan mobil.
Ah, aku lupa memberitahu tujuanku datang ke kampung kakek. Lima bulan yang lalu, tepatnya saat aku baru lulus dari sekolah menengah atas di Jakarta. Usaha properti milik orang tuaku mengalami peningkatan hingga menimbulkan rasa iri pada pesaing ayah.
Awalnya aku tidak percaya dengan hal-hal yang berbau mistis, hingga suatu hari seseorang yang merasa iri dengan keberhasilan ayah mulai berbuat yang aneh-aneh. Ibuku tiba-tiba sakit dan tidak bisa bangun selama beberapa bulan. Semua pengobatan sudah kami tempuh, tetapi hasilnya nihil.
Akhirnya ayahku memanggil seorang ustaz. Rumah kami diruqyah dan ustaz itu menemukan bungkusan tanah kuburan berbalut kain kafan yang tertanam didekat rumah. Katanya itulah sebab Ibu tiba-tiba sakit. Ustaz itu juga bilang kalau awalnya ilmu hitam itu ditujukan untuk ayahku, tetapi karena ayah cukup kuat maka jadilah Ibu yang menjadi sasaran ilmu hitam itu.
Tak hanya sampai di situ. Orang-orang itu mulai menargetkan aku sebagai putri tunggal ayah dan beberapa kali mengirimkan ilmu hitam. Beberapa kali aku mengalami mimpi buruk. Namun beruntung karena kata ayah, aku dilindungi oleh kakek dari jauh hingga sihir itu tak mempan padaku.
Merasa khawatir, ayah pun menyuruhku pindah untuk sementara waktu ke rumah kakek yang ada di Garut. Saat ini, itulah satu-satunya tempat yang aman untukku.
Tepat saat azan isya berkumandang, kami tiba di Kecamatan Pameungpeuk. Kami turun di rest area masjid untuk menunaikan salat terlebih dahulu. Setelah itu, aku memberanikan diri menghampiri seorang pria untuk bertanya rumah abahku.
“Maaf, kang, mau tanya. Rumah ustaz Ilham masih jauh gak, ya?” tanyaku.
“Oh, ustaz Ilham pemilik Pondok Pesantren Miftahul Ullum ya, Neng?”
“Iya, Kang.”
“Lurus aja sekitar lima puluh meter dari sini, terus belok kiri. Rumahnya di belakang Masjid yang menaranya berwarna hijau paling besar!” seru akang itu memberiku petunjuk menuju rumah abah.
“Hatur nuhun, Kang.” Aku pun undur diri dan kembali melanjutkan perjalanan.
(terimakasih, Kang)
Alhamdulillah kami pun sampai di depan masjid dengan kubah berwarna hijau paling besar. Aku segera keluar dan mengambil barang-barangku membantu Pak Ahmad.
Beberapa santri menatap ke arahku yang berjalan menuju halaman rumah kakekku. Aku hanya mengangguk dan sedikit tersenyum ke arah mereka. Mereka pun membalas senyumanku dengan tak kalah ramahnya.
“Bade 'ka saha, Teh?” sapa seorang gadis seusiaku dengan senyum ramahnya.
(mau bertemu siapa, Teh?)
“Bah Ilham-nya ada, Teh?” sahutku kembali bertanya.
“Abah mah nuju ngawulang di kelas, Teh. Upami Euceu mah Insyaa Allah aya,” jawabnya.
(Kalau Abah sedang mengajar di kelas, Teh. Tapi kalau Euceu Insyaa Allah ada)
Euceu itu panggilan para santri untuk istri pemilik pondok tempat mereka menimba ilmu agama.
“Terima kasih, Teh,” ujarku setelah kami sampai di teras rumah nenek.
“Sami-sami, Teh.” Dia pun pamit setelah mengantarku.
“Masyaa Allah, Sri. Naha nembe dugi, Geulis?” Seorang wanita paruh baya keluar dari dalam dengan wajah khawatirnya memelukku.
(Kenapa baru sampai)
“Assalamu’alaikum, Nek.” Kuraih tangan rentanya dan kucium dengan takzim.
“Waalaikumsalam, Neng geulis.” Wanita yang biasa kupanggil Mamah itu pun mengelus kepalaku, lembut.
Sri mengendarai motor trail milik Fakhri dengan wajah tegang. Fikirannya kacau dengan dugaan-dugaan yang muncul bagaikan slide film.“Khalid ada di kelasnya, tapi Khalif tidak masuk hari ini. Saya baru saja mau menghubungi Bu Sri untuk menanyakan alasan Khalif tidak masuk sekolah.”Ucapan wali kelas Khalif terus terngiang dan membuat fikirnya tak tenang. Di mana anaknya sekarang? Warga bilang, Dandi hanya tergeletak sendiri ketika ditemukan.Motor yang dikendarai Sri berhenti di tempat Dandi kecelakaan. Suasana sekitar terlihat sepi, hanya ada satu atau dua kendaraan yang lewat. “Aneh, kondisi Dandi terlihat parah padahal dia mengalami kecelakaan tunggal.” Sri merasa ada yang janggal. Kondisi motor yang digunakan Dandi bahkan hampir hancur.Sri merogoh ponsel dari saku gamis lalu menghubungi Fakhri. Panggilan tersambung, tapi Fakhri tak kunjung mengangkatnya. “Kamu sedang apa sih, Bi. Anak hilang kok malah susah dihubungi,” gumam Sri seraya memijat keningnya yang berdenyut.“Neng?” sa
Sesosok wanita paruh baya tergesa turun dari angkutan umum setelah memberikan ongkos pada sang kenek. Dia setengah berlari menuju rumah yang terletak beberapa meter dari jalan raya.“Assalamualaikum,” salamnya setengah berteriak. Raut wajahnya begitu tegang. Sebelah tangannya meremas kuat punggiran gamis yang dikenakan, sementara tangan satunya dia gunakan kembali untuk mengetuk pintu rumah duduk jendela di hadapan.“Waalaikumsalam.” Setelah hampir sepuluh menit menunggu, terlihat pintu dibuka oleh wanita yang usianya tak jauh dengan wanita tadi.“Kang Muh di mana?” tanya wanita yang tak lain adalah Bi Anih.Wanita yang ditanya malah mengerutkan dahi. “Kenapa Euceu nyari suamiku?” Wanita itu malah balik bertanya.“Katakan saja di mana Kang Muh, Surti? Saya ada perlu dengan dia sekarang,” desak Bi Anih.“Dia ada di halaman belakang,” jawab Surti.Tak menunggu waktu lama, Bi Anih gegas menuju halaman belakang rumah untuk menemui mantan kakak iparnya. Disusul Surti yang merasa heran deng
“Makhluk itu tidak akan meninggalkan tubuh Irfan jika bukan pengirimnya sendiri yang menyingkirkannya,” ucap Bah Thoha pada Sri juga Fakhri.Terdengar helaan nafas berat dari ayah dua anak itu. “Bagaimana caranya meminta Pak Muh supaya membantu Irfan? Bi Anih sendiri mengatakan jika dia enggan membantu ponakannya itu,” resah Fakhri.Tak berselang lama, suara dering telpon milik Fakhri terdengar. “Saya permisi dulu, Bah,” pamit Fakhri. Setelahnya dia pergi menjauh untuk menerima telpon.“Apa yang sedang kamu pikirkan, Neng?” tegur Bah Thoha.Sri yang sempat melamun langsung melempar senyum. “Tidak ada, Bah. Hanya kepikiran kondisi Irfan saja,” ucap Sri. Bah Thoha mengangguk seraya tersenyum.Fakhri yang selesai menerima telpon kembali ke dalam, menghampiri sang istri dan juga kakek mereka. Raut wajahnya berubah tegang sekaligus menyiratkan sebuah kekhawatiran.“Ada apa, Ri?” tanya Abah.“Itu, tadi Mang Supri mengatakan jika kondisi Irfan kritis dan Bi Anih ingin saya ke sana,” jelas Fa
“Bu, saya ridha bekerja di rumah Ibu tanpa bayaran sepeser pun asal Ibu dan Ustaz Fakhri menolong saya untuk menyembuhkan Irfan seperti sedia kala,” lirih Bi Anih yang berlutut di depan Sri seraya memegangi kakinya. Sri sampai tak bisa berkata-kata.“Bibi tolong jangan seperti ini. Bibi ini lebih tua dari saya, tidak enak jika Bibi harus begini di depan kaki saya,” ucap Sri seraya berusaha membantunya bangkit. Mereka bahkan tengah jadi pusat perhatian pengunjung rumah sakit yang berlalu lalang."Saya tidak akan bangun sampai Ibu setuju." Bi Anih tetap bersikukuh dalam posisinya sekarang.“Dia keluarga saya satu-satunya, Bu. Kalau sampai Irfan kenapa-napa, saya tidak bisa menghadap bapaknya nanti karena malu akibat perbuatan saya Irfan harus jadi korban,” ucapnya spontan.“Maksud Bibi apa?” tanya Sri tak paham.Bi Anih refleks menutup mulut menggunakan kedua tangan dengan lelehan air mata yang sejak tadi menganak sungai. Hampir saja dia kelepasan bicara di depan Sri. Namun, wanita paru
“Kang, tolongin Irfan. Semakin hari tubuhnya semakin mengurus. Jika tetap dibiarkan Irfan mungkin tidak akan selamat,” mohon Bi Anih seraya berlutut di depan kakak iparnya- Pak Muh.“Kenapa harus aku? Kau sendiri yang teledor. Aku sudah mengatakan untuk tidak menerima jika Gus kecil itu menawarkan jambu yang aku berikan. Tapi kau….” Pak Muh menjeda perkataannya.“Semua salahmu, kau tidak memperingati Irfan untuk tidak menerima pemberian Gus kecil itu,” tambahnya.“Saat itu aku tak tahu jika Irfan akan berkunjung ke rumah mereka dan bertemu Khalif,” sesal Bi Anih.Jika saja dia tidak teledor dan melupakan beberapa bahan pokok keperluan bulanan keluarga Fakhri hingga membuatnya harus kembali pergi ke pasar, maka anaknya tidak mungkin memakan jambu yang diberikan Khalif. Irfan memang kerap kali menemuinya di rumah keluarga Fakhri untuk sekedar meminta makan atau uang jajan. Pak Muh sudah mewanti-wanti, tetapi saat itu Bi Anih terlalu sibuk hingga lupa jika pada jam-jam menuju sore, sang
Dahi Fakhri berkerut. Respon Srikandi ketika menerima kabar tentang sosok Bah Ilham yang sering muncul di sekitar rumah Idrus begitu mengejutkan sekaligus membuatnya penasaran. Seolah kabar yang dia berika bukan sesuatu yang begitu mengejutkan.“Kenapa menatap saya seperti itu?” Sri ikut mengerutkan dahi.“Respon kamu kok biasa, Mi?” Fakhri balik bertanya.“Memangnya Abi mau Ummi berekspresi seperti apa? Terkejut, terus nangis-nangis seperti dalam sinetron ikan terbang?” Fakhri menggeleng.“Ummi udah tahu, waktu itu Ayu enggak sengaja keceplosan,” tambah Sri.‘Lah, percuma selama ini aku tutupi kalau ternyata Sri udah tahu. Kang Idrus lagian kenapa tidak bilang sama Ayu untuk tidak memberitahu dulu pada Sri tentang masalah ini.’ Fakhri membatin.“Ummi tahu juga pelakunya?” tanya Fakhri memastikan. Sri menggeleng."Ayu hanya bilang jika dia dan Idrus sering melihat Abah di sekitar rumah atau bahkan muncul dalam mimpi." Sri yakin jika semua itu hanya ulah seseorang yang berniat jahil.S