Sepulang dari shalat ied kami mengambil rute memutar, kami berjalan melewati sebuah rumah tua dengan halaman yang luas. Ada beberapa pohon yang rindang dan ada pula bangku-bangku taman yang hampir lapuk dimakan usia. Ditempat itu dulu aku sering menghabiskan waktu soreku bersama kakak-kakakku dan juga beberapa anak tetangga.Kami sering bermain kejar-kejaran atau lompat tali sepulang mengaji, kini bangunan tua tempat mengaji itu sudah tidak dipergunakan lagi semenjak Umi Farida pemiliknya meninggal dunia. Seingatku beliau meninggal ketika aku hendak masuk pondok pesantren selepas sekolah dasar. Kudengar semenjak saat itu, bangunan ini terbengkalai begitu saja.Dari yang kudengar tanah dan bangunan itu kini dijual oleh anak satu-satunya dari Umi Farida yang tinggal di Malaysia. Ahh.. andaikan aku bisa membeli rumah itu. Angan-angan yang mungkin tidak pernah terlaksana. Dari mana bisa mendapatkan uang untuk membeli rumah sebesar itu. kupalingkan pandanganku yang sedari tadi terfokus pad
Semenjak hamil Cassandra lebih banyak berkumpul mengikuti kajian dirumah ustadzah ataupun kajian keliling kerumah-rumah masing-masing peserta kajian. Cassandra sengaja aku larang melakukan kegiatan rumah yang biasa ia kerjakan. Aku tidak mempermasalahkannya, toh aku bisa menghubungi jasa bersih-bersih rumah jika dibutuhkan, aku juga sudah berlangganan laundry, juga memesan paket catering untuk makanku dan Cassandra.Segala kebutuhan berusaha aku penuhi sehingga Cassandra tidak perlu lelah mengurus rumah tangga. Aku berharap dengan banyak berkumpul dengan orang-orang solihah dia bisa lebih banyak berpikir positif dan semakin bisa mendekatkan dirinya pada Allah. Karena jujur aku sangat terpukul melihat Cassandra yang terus-menerus bersedih selama kehamilan.Selain itu aku juga bisa mempererat ukhuwah dengan para suami yang juga mengantar para istri kajian. Kami banyak membicarakan bisnis juga belajar banyak dari pengalaman hijrah beberapa ikhwah. Karena alasan ini pula terkadang aku sej
Kupacu mobilku menuju rumah sakit tempat ayah Zia di rawat. Tak lupa aku mampir ke mini market untuk membeli beberapa snack kesukaan Zia, madu, kurma, dan vitamin untuk Zia dan kakak-kakaknya. Setelah sampai parkiran, aku segera mengabari Cassandra bahwa aku telah sampai agar ia tak merasa khawatir."Sayang, aku sudah sampai. Kamu sedang apa?" Tanyaku melalui sambungan telepon."................................................""Iya, pasti aku sampaikan. Ingat, jaga kesehatanmu ya sayang, jangan terlalu banyak pikiran. Aku mencintaimu, Sayang." ".....….........................................""Aku belum bertemu Zia, aku masih di parkiran. Aku tutup dulu ya teleponnya. Takutnya mereka membutuhkan aku.""................................""Wa'alaikum salam warahmatullahi wa barakatuh."Kusimpan lagi ponselku dan segera menemui Zia yang ayahnya kini sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Kulangkahkan kaki menuju ruang rawat Ayah mertua. Setelah jarak tak jauh lagi, kulihat Zia tengah du
"Sayang, Ayah Zia meninggal. Aku minta ijin untuk beberapa hari disini menemani Zia. Aku janji tidak akan lama." Kutulis pesan pada Cassandra."Innalilahi wa innailaihi raji'un. Iya sayang, tolong sampaikan belasungkawaku pada Zia. Dan juga tolong tarik tunaikan uang untuk Zia dariku. Akan aku transfer habis ini." Balasnya dalam barisan kata-kata."Oke, makasih pengertiannya sayangku. Kau sedang apa?" Tanyaku lagi masih dalam mode perpesanan."Aku sedang bersama dokter Aisyah. Kami sedang sarapan di rumah sakit." Balasnya"Siapa yang sakit, sayang?" Tanyaku."Tidak ada yang sakit, aku mau kontrol aja. Dokter Aisyah menawari barengan ke rumah sakit. Jadi aku ikut dan sarapan dulu di kantin." Jawabnya."Oh, begitu. Ya sudah lanjutkan, nanti kabari ya kondisi bayi kita. Hati-hati sayang, aku mau mandi dulu." Pamitku pada Cassandra sebelum menyambar handuk dan masuk kamar mandi.***"Kaaaaak, aku sudah selesai masak nih. Jangan lama-lama dikamar mandinya." Ucap Zia sambil menggedor pintu
Beberapa hari sudah aku menemani Zia dirumah almarhum ayahnya, kadang kami bercanda kadang pula kami menangis mengenang ayah mertua. Seringkali kakak-kakak Zia datang dengan suami mereka untuk saling menguatkan satu sama lain. Terkadang aku dan Zia hanya berdua saja berbincang berusaha mengalihkan kesedihan agar tak berlarut-larut.Seperti saat ini, kami sedang mengobrol santai sambil minum teh ditemani kue bolu buatan kak Bilqis."Sayang, kuliah kamu gimana?" Tanyaku"Ya ini aku tinggal selesaikan dinas yang terakhir ini, tugas akhirku juga sudah selesai." Jawabnya santai sambil menyomot bolu lembut buatan sang kakak."Oh, terus rencanamu kedepannya gimana?" Tanyaku lagi."Entahlah kak, awalnya aku ingin kembali kerumah ini menemani ayah dan bekerja di klinik bersalin dekat sini saja. Tapi Ayah..." Kalimatnya terpotong dan terdengar isakan tangisnya lagi."Maaf sayang, aku nggak bermaksud membuat kamu sedih lagi." Ucapku tak enakan."Nggak apa-apa kok kak, aku mungkin..." Ucapannya ya
"Ahhh.. akhirnya sampai juga.. huft capek juga ternyata." Ucap Zia sembari merebahkan diri di atas kasur hotel yang telah ia pesan melalui aplikasi beberapa hari lalu.Hembusan angin yang hangat terasa ketika jendela kamar itu dibuka. "Baru juga sampai udah capek, katanya mau honeymoon?" Goda Ahmad yang sedang meneguk sekaleng soda di balkon kamar hotel mereka. "Hehehehe, iya juga ya. Baru sampai. Hehehehe." Ucap Zia sambil terkekeh."Cengengesan aja kamu, hayo ngebayangin apa?" Ahmad masuk ke kamar dan melempar tubuhnya ke atas kasur.Wiiiiiing... Tubuh Zia terpental dan jatuh lagi ke atas kasur."Astaghfirullah, kak Ahmaaaad... Ngeselin banget sih. Aku sampe terbang." Omel Zia masih dalam mode bahagia."Terbang apanya, orang cuma loncat dikit doang." Ucap Ahmad santai yang malah membuat Zia terpingkal-pingkal."Dasar selera humor rendah, apa coba yang lucu?" Tanya Ahmad pura-pura heran.Zia tiba-tiba bergerak cepat dan seketika sudah berada di
"Iya nggak apa-apa kak, jadi gimana apa mas Ferdi menyanggupi?" Tanya Zia sekali lagi."Baiklah, Mad. Temani aku mempersiapkan diri. Aku siap menikahi Raisa malam ini juga. Tapi sekali lagi aku minta kejelasan juga Raisa menerima aku yang jarak umurnya cukup jauh?" Ferdi meminta kejelasan."Baik aku tanyakan dulu. Sekalian ajak Raisa kesini, untuk nadhor." Ucap Zia kemudian membawa Raisa duduk semeja dengan suaminya dan juga Ferdi.Perbincangan singkatpun dilakukan demi memantapkan hati menjalani biduk rumah tangga kedepannya. Walaupun terkesan tergesa-gesa namun mereka berusaha tidak mengurangi kesakralan komitmen ini."Maaf sebelumnya, Namaku Ferdiansyah Abdullah. Aku saat ini sedang merintis bisnis kecil-kecilan, belum berpenghasilan besar. Namun insyaAllah aku akan berkomitmen untuk menafkahi keluargaku kelak dengan layak. Berusaha membimbing Istri dan anakku dengan pendidikan agama yang baik, dan senan tiasa memberikan kasih sayang. Aku berniat melamarmu Raisa, karena cerita yang
Aku dan Raisa mulai dengan pergi ke butik untuk membeli baju pengantin, kami pilih yang sederhana agar tidak terlalu mencolok mengingat acara ini dilaksanakan di ruang inap rumah sakit. Mas Ferdi sudah meminta pihak rumah sakit memindahkan Ayah Raisa ke ruang VIP dan bersedia menanggung seluruh biaya berobat ayah Raisa. Setelah membeli gaun, kami ke mini market untuk membeli beberapa alat make-up seadaanya untuk merias Raisa, sekedar agar terlihat lebih cerah, mengingat ia terlalu banyak menangis. Itupun karena Raisa menolak aku ajak ke salon. Setelah menyelesaikan semua persiapan kami melaksanakan sholat magrib berjamaah di ruang rawat, kemudian Raisa mulai merias diri, memantaskan penampilan sembari memandang bayangan dirinya di depan cermin."Cantik, Cha." Ucapku jujur."MasyaAllah, makasih banyak Zia. Kamu benar-benar dikirim Allah untuk jadi ibu periku hari ini." Raisa memelukku terharu."Yuk sholat lagi, tuh udah adzan isya'. Kamu belum kentut kan? Udah dandan begi